layananhukum

Simfoni Tarif dalam Nada Populisme: Sebuah Narasi Politik Ekonomi

 

Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak membalas kebijakan tarif resiprokal 32% yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump terhadap ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini, demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas) lanjutan terkait kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat yang digelar secara virtual pada Minggu, 6 April 2025.

Dalam pernyataannya, Airlangga menegaskan bahwa Indonesia akan menempuh jalur diplomasi dan negosiasi (a high-level delegation to the U.S. for direct negotiations) untuk mencari solusi yang saling menguntungkan pasca-Trump mengumumkan kenaikan tarif global secara masif pada Rabu (4/2). 

“Kita dikenakan waktu yang sangat singkat, yaitu 9 April, diminta untuk merespons. Indonesia menyiapkan rencana aksi dengan memperhatikan beberapa hal, termasuk impor dan investasi dari Amerika Serikat,” ujarnya.

Kebijakan tarif Trump terhadap Indonesia—salah satu dari enam negara Asia Tenggara yang terkena dampak keras—dijadwalkan berlaku mulai Rabu (12/2).

Trump, dalam semangat America First, meluncurkan rumus sederhana tapi sarat makna politis, ada pun rumusnya sebagai berikut:

Begini Penjelasan Sederhananya:

1.          Defisit Perdagangan Bilateral = Nilai ekspor AS ke negara X dikurangi nilai impor AS dari negara X.
Jika hasilnya negatif (defisit), maka itu menunjukkan AS mengimpor lebih banyak dari negara X dibanding ekspornya.

2.         Total Impor dari negara X = Jumlah barang yang diimpor AS dari negara tersebut.

3.         Perbandingan (Defisit / Impor) = Mengukur seberapa besar defisit perdagangan dibanding total impor.

-         Jika defisit = seluruh nilai impor, hasilnya adalah 1 (atau 100%);

-         Jika defisit hanya separuh nilai impor, hasilnya 0.5 (atau 50%).

4.         Dibagi dua = Ini bagian yang menunjukkan Trump mengklaim sedang “adil”—maksudnya hanya mengenakan tarif sebesar setengah dari ketidakseimbangan dagang tersebut.

Rumus Trump tersebut di atas, mengacu pada rumus Formal Reciprocal Tariff yang apabila ditulis ulang maka akan menjadi seperti ini:

Atau secara akademisnya rumus yang digunakan untuk menghitung tarif resiprokal adalah:

-           x i = ekspor AS ke negara i

-           m i = impor AS dari negara i

-           ε = elastisitas permintaan impor (negatif)

-           φ = tingkat pass-through tarif ke harga (positif)

Rumus ini berasal dari pendekatan mikroekonomi dan general equilibrium, yang memperhitungkan respon permintaan terhadap harga (ε) dan berapa besar tarif yang benar-benar diteruskan ke harga konsumen (φ).

Contoh, Studi Kasus Tarif terhadap China:

-           Impor AS dari China: $440 miliar;

-           Ekspor AS ke China:  $145 miliar;

-           Defisit: $295 miliar

Hitung tarif versi Trump:

Ini sesuai dengan tarif yang dikenakan saat itu, yaitu tarif 25–35% pada banyak komoditas dari China.

Sebuah formula yang terdengar seperti aritmetika dasar, namun menyimpan konsekuensi ekonomi dan geopolitik yang tidak sederhana nan kompleks ini. Di balik papan statistik yang ia tunjuk di Gedung Putih, tersembunyi pandangan dunia yang menganggap defisit perdagangan sebagai original sin ekonomi global—bahwa surplus milik negara lain adalah hasil dari eksploitasi terhadap pasar domestik AS.

Indonesia terkena tarif sebesar 32%. Kenapa? Karena AS mengalami defisit perdagangan dengan Indonesia, dan sesuai formula Trump, negara yang “menjual lebih banyak ke AS daripada membeli dari AS” dikenakan tarif lebih tinggi. Terlepas dari substansi neraca pembayaran secara keseluruhan, inilah kebijakan yang dibangun bukan atas dasar comparative advantage à la Ricardo, melainkan atas sentimen ketidakseimbangan dagang yang dikerdilkan ke satu angka: defisit.

Dari Lex Mercatoria ke Fortress Economy

Dari sudut pandang hukum perdagangan internasional, ini adalah sebuah heresi terhadap prinsip dasar WTO dan GATT yang menjunjung tinggi prinsip Most Favoured Nation (MFN) dan National Treatment. Di dalamnya terkandung pesan bahwa diskriminasi antar mitra dagang harus dihindari, dan hambatan perdagangan harus dikurangi.

Namun, tarif Trump tidak berdasarkan struktur tarif resmi WTO, melainkan, menurut beberapa pakar ekonomi, seperti Paul Robin Krugman merupakan hasil rekayasa internal yang tidak mencerminkan perlakuan timbal balik yang sah. Tarif “reciprocal” itu seolah menjadi cermin satu arah; hanya merefleksikan angka yang menguntungkan argumentasi Gedung Putih, bukan keseimbangan kepentingan yang objektif.

Sehingga ketika Indonesia dikenai tarif 32% karena “menjual lebih banyak ke AS,” maka prinsip timbal balik yang sejatinya jus gentium dalam lex mercatoria justru dipelintir menjadi alat represi ekonomi.

Tafsir Makroekonomi: Ketika Tarif Adalah Simptom, Bukan Obat

Dari kacamata makroekonomi, defisit perdagangan bukan penyakit, melainkan cerminan dari tabiat struktural perekonomian. AS, dengan tingkat konsumsi dan investasi domestik yang tinggi, secara alami mengimpor lebih banyak daripada yang diekspor. Ini adalah konsekuensi dari kelebihan permintaan domestik yang tidak bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Maka, dalam kata-kata Keynesian, “defisit bukan dosa—ia adalah refleksi dari dinamika permintaan.”

Tarif terhadap Indonesia atau negara lainnya memang mungkin bisa menurunkan defisit bilateral—tetapi hanya akan mengalihkan defisit itu ke negara lain. Ini ibarat menutup lubang di dinding dengan menambalnya dari dalam—air tetap akan merembes dari celah lainnya. Profesor Jonathan Portes tepat saat mengatakan bahwa tarif mungkin mengobati luka di satu titik, tapi tidak menyembuhkan penyakit sistemik dari struktur ekonomi AS.

Dampak bagi Indonesia: Sebuah Drama Antara Peluang dan Ancaman

Kebijakan tarif 32% yang diterapkan Amerika Serikat terhadap produk-produk tertentu dari Indonesia bukan sekadar angka di lembar statistik. Ini adalah babak baru dalam drama perdagangan global yang memaksa Indonesia menghadapi ujian berat yaitu apakah mampu beradaptasi, atau justru terpuruk dalam arus yang tak dikendalikannya?

Mengingat juga bahwa Indonesia tengah menghadapi potensi penurunan daya saing ekspor secara signifikan. Produk unggulan seperti tekstil, karet, dan berbagai barang manufaktur ringan akan kehilangan daya tariknya di pasar AS karena harganya melonjak tajam akibat tarif tersebut. Bagi eksportir, ini bukan hanya soal kehilangan pasar, tapi juga soal kelangsungan usaha.

Ancaman lain datang dalam bentuk pergeseran rantai pasok global. Pembeli dan mitra dagang di AS bisa dengan cepat beralih ke negara-negara alternatif yang tak terkena beban tarif. Ini berisiko menciptakan “diversi perdagangan”, yang artinya Indonesia perlahan tapi pasti tersisih dari percaturan perdagangan global.

Tak berhenti di situ, iklim investasi pun ikut terdistorsi. Investor asing yang selama ini menanamkan modal di Indonesia dengan asumsi akses bebas hambatan ke pasar AS kini harus mengevaluasi ulang strateginya. Ketidakpastian ini bisa menghambat arus modal masuk dan memperlambat pertumbuhan sektor industri berbasis ekspor.

Di tengah tekanan tersebut, terbuka ruang untuk reposisi. Indonesia bisa menjadikan ini momentum untuk mengalihkan fokus ekspor ke kawasan lain yang prospektif seperti Asia Timur, Eropa, dan Timur Tengah. Diversifikasi pasar bukan hanya strategi bertahan, tapi bisa jadi jalan menuju ketahanan ekonomi jangka panjang.

Selain itu, ruang negosiasi dagang bilateral patut dimaksimalkan. Di luar jalur multilateral seperti WTO yang kerap memakan waktu dan penuh tarik-ulur, pendekatan bilateral bisa memberi hasil konkret dan cepat, terutama dengan negara-negara mitra strategis.

Peluang lain yang tak kalah penting adalah dorongan untuk membangun kekuatan dari dalam. Dengan makin mahalnya biaya ekspor, Indonesia terdorong untuk memperkuat pasar domestik melalui peningkatan nilai tambah produksi dalam negeri. Ini bisa mempercepat program substitusi impor, menghidupkan sektor industri hulu, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja lokal.

Namun, peluang ini tidak otomatis datang. Ia hanya akan berbuah jika Indonesia memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat industrialisasi, memperbaiki logistik, dan mengurangi ketergantungan ekspor bahan mentah. Sebuah tugas berat, namun bukan mustahil.

Di Tengah Jerat Globalisasi dan Proteksionisme: Quo Vadis?

Apa yang dilakukan Trump sesungguhnya adalah revivalisme ekonomi merkantilis, yang melihat perdagangan global sebagai permainan zero-sum. Dunia dianggap sebagai pasar penuh jebakan, bukan arena kerja sama. Padahal, dalam realitas globalisasi yang saling terhubung, tariffs are like boomerangs—pada akhirnya kembali menyakiti penggunanya.

Bagi Indonesia, strategi terbaik bukanlah membalas dengan tarif, tapi dengan memperkuat posisi dalam rantai pasok global. Dunia kini lebih terfragmentasi, tetapi itu bukan alasan untuk membangun tembok-tarif yang tinggi. Sebaliknya, kita perlu meneguhkan posisi kita dengan kekuatan kompetitif yang beretika dan berkelanjutan.

Dalam Dunia yang Tidak Saling Percaya, Tarif Adalah Bahasa Kekuasaan

Trump tidak menciptakan rumus baru—ia hanya menyederhanakan realitas yang kompleks demi memenuhi logika politik dalam negeri. Dan seperti yang kita tahu dari sejarah: when economics is bent to the will of politics, logic often becomes the first casualty.

Tarif adalah instrumen hukum, ekonomi, dan politik sekaligus. Tapi jika dipakai secara semena-mena, ia menjadi alat dominasi, bukan alat keadilan. Maka dari itu, Indonesia harus terus menggandeng hukum internasional, negosiasi strategis, dan reformasi ekonomi domestik sebagai pedang dan perisainya dalam medan laga perdagangan global yang semakin panas.

Trump menggunakan versi kebijakan dari rumus reciprocal tariff yang sangat disederhanakan untuk menyampaikan pesan proteksionis secara politik dan langsung. Rumus formal mempertimbangkan reaksi pasar dan elastisitas, tetapi versi praktis hanya berfokus pada ketidakseimbangan dagang bilateral dan menyamakan “keadilan” tarif. Ini merupakan contoh konkrit bagaimana ekonomi akademik dapat disimplifikasi menjadi kebijakan nyata, meskipun berisiko mengabaikan dinamika jangka panjang seperti retaliasi perdagangan, kenaikan harga domestik, serta gangguan rantai pasok global.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.