Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald
Trump—dalam periode keduanya menjabat—kembali menghidupkan semangat proteksionisme ekonomi. Lewat sebuah Perintah Eksekutif, ia menetapkan tarif global sebesar 10% terhadap hampir semua barang
impor. Tak berhenti di situ, negara-negara dengan surplus perdagangan besar
terhadap AS dikenai tarif tambahan, dengan dalih 'tarif timbal balik' atau reciprocal tariffs,
sebagai upaya menyeimbangkan neraca dagang yang selama ini dianggap merugikan
Amerika.
Langkah ini bukan muncul
tiba-tiba. Konsep ini berakar kuat pada filosofi perdagangan Trump yang
konsisten sejak kampanye awalnya hingga ia terpilih kembali menjadi
Presiden Amerika Serikat yaitu “America First.” Dalam
kerangka ini, kepentingan ekonomi nasional ditempatkan di atas segala bentuk
komitmen multilateral. Defisit
perdagangan tidak dilihat sebagai bagian dari dinamika ekonomi
global, melainkan sebagai bukti bahwa Amerika telah dieksploitasi oleh praktik
dagang yang timpang dan tidak adil dari para mitranya. Maka, tarif bukan
sekadar instrumen fiskal, tetapi senjata politik—simbol bahwa Amerika tidak
lagi bersedia menjadi pasar pasif dalam sistem perdagangan dunia yang dianggap
merugikannya.
Pandangan ini berpijak pada keyakinan bahwa defisit perdagangan bukan hanya angka dalam neraca, melainkan ancaman langsung terhadap lapangan kerja domestik dan keberlangsungan basis manufaktur Amerika. Dengan logika tersebut, penerapan tarif dianggap sebagai langkah korektif.
Namun, kebijakan ini sekaligus mencerminkan pergeseran
tajam dari arah global selama beberapa dekade terakhir—yang umumnya bergerak
menuju liberalisasi perdagangan, pengurangan hambatan tarif, dan penerapan prinsip most-favored-nation (MFN) dalam kerangka kerja multilateral.
Prinsip Most-Favored-Nation
(MFN) sendiri dalam perdagangan internasional mengharuskan suatu
negara memberikan perlakuan perdagangan yang sama kepada semua mitra dagangnya,
tanpa diskriminasi. Namun, dalam beberapa kasus, negara-negara telah menyimpang
dari prinsip ini, baik dengan mencabut status MFN atau menerapkan kebijakan
yang tidak konsisten dengan MFN.
Berikut adalah beberapa contoh
konkret nyata antara lain:
a.
Pencabutan Status MFN oleh India terhadap Pakistan (2019)
Setelah serangan di Pulwama
yang menewaskan lebih dari 40 personel CRPF, India
mencabut status MFN yang sebelumnya diberikan kepada Pakistan. Langkah ini diumumkan pada 15
Februari 2019, sehari setelah serangan tersebut, sebagai respons langsung
terhadap tindakan terorisme yang didukung oleh kelompok yang berbasis di
Pakistan. Pencabutan status MFN memungkinkan India untuk memberlakukan tarif
yang lebih tinggi atau pembatasan perdagangan lainnya terhadap produk asal
Pakistan. India telah memberikan status
MFN kepada Pakistan pada tahun 1996, namun Pakistan tidak pernah memberikan
status yang sama kepada India. Langkah India ini dipandang sebagai tindakan
diplomatik dan ekonomi untuk mengisolasi Pakistan;
b.
Pencabutan Status MFN oleh G7 terhadap Rusia (2022)
Sebagai respons terhadap invasi
Rusia ke Ukraina pada 2022, negara-negara G7 (Kanada, Prancis, Jerman, Italia,
Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat) secara kolektif mengumumkan niat mereka
untuk mencabut status MFN dari Rusia. Amerika
Serikat secara resmi mencabut status Permanent Normal Trade Relations
(PNTR), sebutan AS untuk MFN, untuk Rusia dan Belarus pada 8 April 2022. Langkah
ini memungkinkan negara-negara tersebut untuk memberlakukan tarif yang lebih
tinggi dan sanksi perdagangan lainnya terhadap Rusia sebagai bentuk tekanan
ekonomi. Uni Eropa dan negara-negara lain juga mengambil tindakan serupa. Pencabutan
status MFN secara signifikan mengubah hubungan perdagangan dengan Rusia, yang
sebelumnya menikmati tarif rendah dan sedikit hambatan perdagangan sebagai
anggota WTO.
c.
Penerapan Tarif oleh Amerika Serikat terhadap Tiongkok (2018)
Pada 2018, Pemerintahan Presiden Donald Trump
memberlakukan tarif impor yang signifikan terhadap barang-barang dari Tiongkok,
dengan alasan praktik perdagangan yang tidak adil dan pencurian hak kekayaan
intelektual dan sampai hari ini Perang
Dagang ini masih terus berlanjut. Meskipun AS dan Tiongkok keduanya anggota WTO,
tindakan ini dianggap menyimpang dari prinsip MFN karena secara khusus
menargetkan satu negara tanpa memperluas perlakuan yang sama ke semua anggota
WTO. AS memberlakukan tarif berdasarkan Pasal
301 Undang-Undang Perdagangan Tahun
1974. WTO kemudian memutuskan bahwa tarif AS ini melanggar aturan
perdagangan internasional karena hanya diterapkan pada produk dari Tiongkok dan
tidak didasarkan pada bukti yang cukup tentang praktik perdagangan yang tidak
adil. Tiongkok merespons dengan memberlakukan tarif
pembalasan terhadap barang-barang AS;
d.
Kasus “Spanish Coffee” (1981)
Pada tahun 1981, sebuah panel
GATT memutuskan bahwa Spanyol
melanggar prinsip MFN dalam Pasal I:1 GATT sehubungan dengan tarif impor
kopi yang tidak dipanggang. Spanyol memberlakukan tarif yang berbeda pada
berbagai jenis biji kopi yang tidak dipanggang, dengan kopi jenis “unwashed
Arabica” dan “Robusta” dikenakan tarif yang lebih tinggi daripada
jenis “mild” coffee. Panel GATT menemukan bahwa praktik ini melanggar
prinsip MFN karena memberikan perlakuan yang tidak setara terhadap produk
serupa dari negara berbeda, dalam hal ini, diskriminasi terhadap impor dari
Brasil, yang sebagian besar mengekspor jenis kopi yang dikenakan tarif lebih
tinggi. Panel berpendapat bahwa semua jenis kopi yang tidak dipanggang harus
dianggap sebagai “produk serupa” dan oleh karena itu harus dikenakan tarif yang
sama.
Contoh-contoh di atas menunjukkan
bagaimana negara-negara dapat menyimpang dari prinsip MFN melalui tindakan
seperti pencabutan status MFN atau penerapan kebijakan perdagangan yang
diskriminatif terhadap negara tertentu. Langkah-langkah ini sering kali diambil
sebagai respons terhadap situasi politik atau ekonomi tertentu, meskipun
berpotensi menimbulkan ketegangan dalam hubungan perdagangan internasional.
Pengenaan Tarif oleh Pemerintahan Trump terhadap Indonesia
Tulisan ini akan berupaya mengkaji secara mendalam kasus
Indonesia, yang menghadapi tarif sebesar 32% untuk ekspornya ke Amerika
Serikat, serta potensi dampaknya. Surplus perdagangan Indonesia yang
substansial dengan AS pada tahun 2024 kemungkinan besar menjadikannya target
utama tarif-tarif ini di bawah metodologi Trump. Data dari Kementerian
Perdagangan Indonesia dan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) mengonfirmasi
surplus perdagangan yang signifikan untuk Indonesia, yang kemungkinan mendorong
AS untuk memberlakukan tarif yang lebih tinggi. Tapi apakah
benar demikian?
Tesis: Rasionalisasi Trump dalam Mengenakan Tarif terhadap Indonesia
Filosofi perdagangan “America
First” Donald Trump berpusat pada pandangan bahwa defisit perdagangan
merugikan ekonomi AS, menyebabkan hilangnya pekerjaan dan melemahnya sektor
manufaktur. Trump melihat perdagangan melalui lensa transaksional, di mana
defisit perdagangan bilateral dianggap sebagai kerugian langsung bagi AS,
terlepas dari manfaat ekonomi yang lebih luas dari perdagangan. Baginya, neraca
perdagangan yang tidak menguntungkan bagi AS merupakan indikasi bahwa negara
lain mengambil keuntungan yang tidak semestinya.
Secara spesifik, Presiden Trump menyoroti ketidakseimbangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Indonesia, yang ia anggap sebagai bentuk ketidakadilan dalam hubungan dagang bilateral. Mengacu pada laporan Jakarta Globe, data dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia mencatat surplus perdagangan Indonesia terhadap AS mencapai USD 16,84 miliar pada tahun 2024—angka tertinggi dibandingkan dengan mitra dagang tunggal lainnya. Menanggapi situasi ini, Gedung Putih menyatakan bahwa Presiden Trump berkomitmen untuk “menciptakan lapangan bermain yang setara bagi bisnis dan pekerja Amerika” dengan menindak apa yang disebut sebagai disparitas tarif dan hambatan non-tarif yang dianggap merugikan kepentingan ekonomi Amerika Serikat.
Sementara
itu, data
dari Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) mencatat defisit
perdagangan barang sebesar USD 17,9 miliar dengan Indonesia pada tahun 2024.
Menyikapi hal tersebut, Gedung Putih menyatakan bahwa tarif yang lebih tinggi
akan diberlakukan terhadap negara-negara dengan defisit perdagangan terbesar
terhadap Amerika Serikat. Dalam lembar fakta resmi, pemerintah AS juga
menyoroti perbedaan tarif etanol sebagai contoh konkret dari ketidakseimbangan
timbal balik dalam hubungan perdagangan bilateral dengan Indonesia.
Menurut pernyataan
resmi dari Gedung Putih, Indonesia memberlakukan tarif
sebesar 30% untuk impor etanol asal Amerika Serikat, sementara sebaliknya,
AS hanya mengenakan tarif sebesar 2,5% terhadap etanol impor. Perbedaan ini
disoroti sebagai salah satu contoh nyata dari kurangnya timbal balik dalam
hubungan perdagangan bilateral. Selain itu, Gedung Putih juga menyatakan bahwa
sejumlah regulasi di Indonesia menjadi hambatan non-tarif yang menyulitkan
akses pasar bagi produk-produk Amerika. Di antaranya adalah penerapan
persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di berbagai sektor, rezim
perizinan impor yang dinilai rumit, serta kebijakan baru yang mewajibkan
perusahaan sumber daya alam untuk merepatriasi seluruh pendapatan ekspor dalam
transaksi senilai USD 250.000 atau lebih, mulai tahun ini.
Untuk menggarisbawahi pandangan
ini, Presiden Trump dan pemerintahannya secara konsisten mengeluarkan
pernyataan yang mendukung kebijakan tarif sebagai alat untuk melindungi pekerja
Amerika dan industri domestik. Misalnya, dalam lembar fakta (Fact Sheet) Gedung Putih, tarif digambarkan sebagai respons terhadap praktik
perdagangan asing yang tidak adil yang telah menciptakan keadaan darurat
nasional. Retorika ini sering kali mencerminkan keyakinan bahwa AS telah
dirugikan oleh mitra dagangnya selama bertahun-tahun dan bahwa tarif diperlukan
untuk memulihkan keadilan dan timbal balik dalam perdagangan internasional.
Banyak pejabat—bahkan mantan pejabat tinggi negara ini—bertanya-tanya: “Mengapa Indonesia dikenakan tarif impor sebesar 32% oleh Amerika Serikat?” Sebagian bahkan merasa perlu meminta klarifikasi. Ada yang berteori bahwa kebijakan ini tidak rasional, tak punya dasar dalam teori ekonomi, bahkan dianggap membingungkan para ekonom. Katanya, akan ada delegasi tingkat tinggi yang segera dikirim ke Washington untuk bernegosiasi. Sementara itu, suara optimistis lainnya menyatakan, “keadaan ini baik-baik saja, karena Amerika pasti butuh bahan baku dari kita.”
Cara kerja dunia ini sudah sangat berbeda dari apa yang mereka bayangkan. Dunia tidak lagi bergerak dalam kerangka sopan-santun multilateralisme ala WTO. Dunia telah bergeser—dan bukan bergeser pelan-pelan, tapi diseret kasar—sejak Trump mengubah filosofi dagang global dari simetri nan liberalistik menuju transaksionalisme brutal, di mana tarif bisa dijatuhkan seperti hukuman, bukan dinegosiasikan seperti biasa.
Menurut grafik kebijakan Trump, tarif 32% terhadap Indonesia bukanlah pembalasan atas tarif formal Indonesia terhadap barang Amerika. Bukan. Ini bukan soal pasal, ini soal angka.
Mari kita lihat data:
Ekspor Indonesia ke AS |
USD 28,1 miliar |
Impor Indonesia dari AS |
USD 10,2 miliar |
Neraca Perdagangan (Surplus Indonesia) |
USD 17,9 miliar |
Inilah yang disebut Trump sebagai
“kerugian psikologis dan fiskal Amerika”. Dalam pandangannya, USD 17,9 miliar itu adalah 'uang
Amerika' yang dirampok oleh sistem perdagangan global yang timpang. Maka tarif
32% bukanlah soal balas dendam fiskal, tetapi cara “mengembalikan” nilai itu ke
AS. Bagi Trump, ini bukan soal keadilan multilateral. Ini soal neraca untung
rugi. Mentalitas pedagang, bukan diplomat.
Mendekonstruksi Angka: Klaim “64%” dan Tarif 32%
Pemerintah AS mengklaim bahwa
Indonesia mengenakan “tarif tidak langsung” sebesar 64% terhadap barang-barang
AS, sebuah angka yang tidak sesuai dengan tarif resmi yang diterapkan oleh
Indonesia. Perhitungan di balik klaim “64%” ini didasarkan pada surplus
perdagangan Indonesia sebesar USD17,9 miliar dengan AS pada tahun 2024, yang
dibagi dengan total ekspor Indonesia ke AS sebesar USD28,1 miliar. Angka ini,
meskipun bukan tarif resmi, dipandang oleh pemerintahan Trump sebagai
representasi kerugian ekonomi yang diderita AS akibat ketidakseimbangan
perdagangan.
Tarif 32% yang akhirnya dikenakan
terhadap barang-barang ekspor Indonesia kemudian dijelaskan sebagai sekitar
setengah dari angka “64%” yang dianggap sebagai kerugian tersebut. Pendekatan
ini digambarkan sebagai tindakan “kebaikan” oleh Trump, yang menunjukkan bahwa
AS tidak mengambil seluruh nilai defisit yang dianggap “dijarah” oleh Indonesia.
Namun, penting untuk dicatat bahwa metodologi perhitungan ini tidak didasarkan
pada metrik perdagangan standar seperti tarif MFN, melainkan pada formula yang
terkait dengan neraca perdagangan bilateral.
Tarif MFN rata-rata Indonesia
pada tahun 2023 adalah sekitar 8%. Perbedaan yang mencolok antara tarif resmi
Indonesia dan angka yang digunakan oleh pemerintahan Trump menunjukkan bahwa
perhitungan tarif AS tidak didasarkan pada kebijakan tarif aktual Indonesia,
tetapi pada interpretasi unik terhadap ketidakseimbangan perdagangan. Para ahli
ekonomi dan analis secara luas mengkritik metodologi Trump sebagai tidak
konvensional dan tidak mencerminkan kebijakan tarif atau hambatan perdagangan
yang sebenarnya.
Antitesis: Dampak Ekonomi dan Kritik terhadap Tarif Trump terhadap Indonesia
Reaksi pasar di Indonesia
terhadap pengumuman tarif Trump pada Selasa, 8 April 2025, sangat negatif.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami
penurunan tajam, lebih dari 8%. Beberapa laporan menyebutkan penurunan
sebesar 9,19%. Bursa Efek Indonesia bahkan menghentikan sementara
perdagangan selama 30 menit untuk meredam kepanikan pasar. Pelemahan nilai
tukar Rupiah terhadap Dolar AS juga terjadi, dengan nilai tukar menembus
Rp17.000 per dolar dan prediksi menuju Rp20.000 semakin menguat. Reaksi pasar
yang cepat dan negatif ini mengindikasikan kekhawatiran dan ketidakpastian
investor terhadap implikasi ekonomi tarif bagi Indonesia.
Tarif ini berpotensi menimbulkan
dampak signifikan pada sektor-sektor ekspor utama Indonesia. Industri padat
karya seperti tekstil dan alas kaki sangat rentan karena volume ekspornya yang
besar ke AS. Tarif sebesar 32% dapat secara substansial mengurangi daya saing
produk Indonesia di pasar AS, yang berpotensi menyebabkan hilangnya pekerjaan
dan penurunan pendapatan ekspor.
Sektor
kelapa sawit juga menghadapi potensi stagnasi ekspor ke AS, mendorong
pencarian pasar alternatif. Meskipun AS bukan tujuan utama ekspor batu bara
Indonesia, perlambatan ekonomi global yang dipicu oleh tarif yang meluas dapat
secara tidak langsung mempengaruhi permintaan.
Metodologi tarif Trump telah
menerima kritik luas dari para ekonom dan analis. Formula yang digunakan untuk
menghitung tarif, yang didasarkan pada defisit perdagangan dibagi dengan impor
dan kemudian dibagi dua, dianggap oleh banyak orang sebagai “tidak
masuk akal” dan bukan merupakan refleksi sebenarnya dari tarif timbal
balik. Para ahli berpendapat bahwa pendekatan ini cacat dan tidak didasarkan
pada prinsip-prinsip ekonomi standar.
Selain itu, AS juga mengutip
Hambatan Non-Tarif atau Non-tariff barriers to trade (NTB) yang diterapkan oleh
Indonesia terhadap barang-barang AS sebagai alasan pengenaan tarif. NTB ini
termasuk persyaratan lisensi, Tingkat
Komponen Dalam Negeri (TKDN), Sertifikasi Halal, BPOM, dan biaya-biaya tidak
resmi lainnya. Pemerintah AS berpendapat bahwa NTB ini menghambat akses pasar
bagi eksportir Amerika ke Indonesia, sehingga memperburuk ketidakseimbangan
perdagangan.
Sintesis: Respons Strategis Indonesia dan Masa Depan Hubungan Perdagangan
Menghadapi dampak negatif tarif,
Indonesia mempertimbangkan dan mengimplementasikan berbagai strategi mitigasi.
Salah satunya adalah potensi konsesi perdagangan, termasuk pengurangan pajak
impor untuk barang-barang AS seperti elektronik, baja, produk pertambangan, dan
peralatan kesehatan. Indonesia juga berencana untuk meningkatkan impor dari AS,
terutama komoditas seperti LPG, LNG, kedelai, dan gandum. Langkah-langkah ini
dipandang sebagai taktik negosiasi untuk melonggarkan tarif yang dikenakan oleh
AS.
Diversifikasi pasar ekspor di
luar AS juga menjadi strategi penting bagi Indonesia. Pemerintah dan pelaku
industri sedang menjajaki peluang di pasar Afrika, Asia Tengah, dan Timur
Tengah untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Selain itu, upaya untuk
meningkatkan ketahanan ekonomi domestik melalui deregulasi dan perbaikan iklim
bisnis juga sedang dipertimbangkan.
Indonesia juga berupaya untuk
melakukan negosiasi dengan AS. Delegasi tingkat tinggi telah dikirim ke
Washington D.C. untuk melakukan pembicaraan langsung dengan pemerintah AS.
Indonesia juga berkoordinasi dengan ASEAN untuk mencari respons bersama
terhadap kebijakan tarif Trump, mengingat bahwa semua 10 negara anggota ASEAN
terkena dampaknya. Pemerintah Indonesia cenderung memilih jalur negosiasi daripada
mengambil tindakan pembalasan, sejalan dengan pendekatan sebagian besar negara
anggota ASEAN.
Untuk menavigasi paradigma
perdagangan baru ini, para pembuat kebijakan dan pelaku bisnis Indonesia perlu
fokus pada ekspor bernilai tambah, meningkatkan daya saing, dan memperkuat
kemitraan regional.
Kesimpulan: Beradaptasi dengan Tatanan Perdagangan Global yang Berubah
Tulisan ini menyoroti
kompleksitas situasi yang dihadapi Indonesia akibat kebijakan tarif Donald
Trump. Pengenaan tarif 32% didasarkan pada interpretasi unik terhadap
ketidakseimbangan perdagangan dan kekhawatiran tentang kurangnya timbal balik,
termasuk tarif etanol dan NTB Indonesia. Reaksi pasar awal di Indonesia
menunjukkan kekhawatiran tentang potensi dampak ekonomi pada sektor-sektor
utama.
Meskipun metodologi tarif Trump
dikritik secara luas, Indonesia mengambil langkah-langkah strategis untuk
mengurangi dampak negatifnya, termasuk mempertimbangkan konsesi perdagangan,
meningkatkan impor dari AS, dan mencari diversifikasi pasar ekspor. Preferensi
untuk negosiasi daripada pembalasan mencerminkan pendekatan hati-hati dalam
menghadapi kekuatan ekonomi AS.
Era perdagangan multilateral yang dapat diprediksi mungkin sedang bergeser ke arah sistem yang lebih bilateral dan berbasis kekuatan. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengembangkan pendekatan proaktif dan strategis terhadap perdagangan internasional. Pemantauan berkelanjutan terhadap perkembangan perdagangan global dan penyesuaian kebijakan yang fleksibel akan sangat penting untuk melindungi kepentingan ekonomi Indonesia di lingkungan perdagangan global yang semakin proteksionis.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.