layananhukum

Fact Sheet: Sebuah Narasi tentang Pasar, Prediksi, dan Logika Trumpian dalam Tarif Perdagangan

 


Pasar tidak pernah sekadar angka. Ia adalah pantulan dari psikologi kolektif—ketakutan massal, harapan yang terkikis perlahan, dan naluri terdalam manusia menghadapi ketidakpastian. Ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh lebih dari 8% pada Selasa, 8 April, banyak yang tersentak. Tapi bagi sebagian lainnya, itu bukanlah kejutan—melainkan konfirmasi dari kegelisahan yang telah lama mereka rasakan.

Dalam sebuah wawancara beberapa waktu yang laluada yang prediksi akan runtuhnya pasar bukan sekadar spekulasi hampa. Bagi mereka yang telah membaca tanda-tanda sejak lama, krisis ini bukan akhir—melainkan awal dari koreksi struktural yang sudah lama tertunda. Walau pun IHSG pada penutupan perdagangan hari Kamis, 10 April 2025, berada di level 6.254,02 dengan kenaikan sebesar +286,04 poin atau 4,79%. Kenaikan ini merupakan rekor kenaikan intraday tertinggi dalam 5 tahun terakhirKenaikan IHSG ini terjadi setelah adanya kabar baik dari Amerika Serikat di mana Presiden AS Donald Trump menunda penerapan tarif resiprokal selama 90 hari untuk sebagian besar negara, kecuali China.

Akan tetapi perlu tetap dicatat bahwa proyeksi bahwa IHSG yang telah menyentuh level lebih dari 5.000 bukan lagi wacana pinggiran; ia telah menjadi kenyataan yang terpantau di layar terminal bursa. Koreksi ini tidak berdiri sendiri. Ia datang bersamaan dengan tekanan lain yang tak kalah memberatkan: nilai tukar rupiah yang terus tertekan terhadap dolar Amerika.

Satu dolar telah menembus Rp 17.000,- walau per-tanggal 11 April 2025 ini, mengalami penurunan yang tidak terlalu signifikan sebesar Rp 16,943,- dan prediksi menuju Rp 20.000,- kini terdengar masuk akal dalam skenario global yang tidak menentu.

Ini bukan fluktuasi musiman, melainkan gejala dari pergeseran sistemik yang bersumber dari tekanan eksternal dan ketidaksiapan internal. Di balik gejolak angka itu, ada transformasi global yang sedang berlangsung—didorong oleh kebijakan moneter ketat, fragmentasi ekonomi, dan strategi proteksionisme baru yang dipelopori oleh kekuatan besar seperti Amerika Serikat.

Tarif Trump: Logika yang Tak Diajarkan di Buku Teks

Banyak pejabat—termasuk mantan tokoh tinggi negara—masih bertanya: “Mengapa Amerika Serikat bisa mengenakan tarif impor sebesar 32% terhadap Indonesia, atau mengancamnya?” Sebagian bahkan merasa perlu mengajukan klarifikasi diplomatik, seolah lupa bahwa dunia kini bergerak di luar skema tarif formal ala WTO.

Dunia telah bergeser—dan perubahan itu dimulai saat Donald J. Trump membalik filosofi dagang global yaitu dari simetri multilateral menjadi transaksionalisme brutal yang berakar pada logika surplus-defisit. Dalam bingkai kebijakan Trump, tarif tinggi terhadap Indonesia bukanlah respons terhadap perlakuan tarif formal Indonesia atas produk AS. Ini bukan soal pasal. Ini soal angka. Mari kita telaah datanya:

Ekspor Indonesia ke AS

USD28,1 miliar

Impor Indonesia dari AS

USD10,2 miliar

Neraca Perdagangan (Surplus Indonesia)

USD17,9 miliar

Bagi Trump, angka USD 17,9 miliar itu bukan sekadar statistik. Itu adalah bentuk kerugian psikologis dan fiskal Amerika Serikat. Dalam narasinya, angka itu adalah “uang Amerika” yang diambil oleh sistem perdagangan global yang ia anggap timpang.

Apabila kita kembali mengingat, dalam kampanye Presiden Trump Tahun 2016, Trump sering menyatakan keprihatinannya tentang defisit perdagangan AS, terutama dengan negara-negara seperti China dan Meksiko. Ia menggunakan bahasa yang kuat, menyatakan bahwa AS “kita kehilangan segalanya” karena perjanjian perdagangan bebas. Trump juga menyatakan bahwa AS kehilangan “USD 500 miliar per tahun ke China” dan miliaran lebih ke negara lain seperti Jepang, Vietnam, dan India. Ia mengklaim bahwa Meksiko “mengalahkan kita di perbatasan dan mereka mengalahkan kita dalam perdagangan”.

Maka, tarif bukan sekadar alat fiskal—melainkan mekanisme “pemulihan versi mereka.” Ini bukan tentang keadilan multilateral. Ini adalah kalkulasi untung-rugi dalam mentalitas pedagang, bukan diplomat—sebuah pendekatan yang tak ditemukan dalam buku teks ekonomi konvensional, tetapi kini menjadi fondasi baru geopolitik dagang dunia.

Ketidakmampuan Membaca Bahasa Baru Ekonomi Global

Ketika para pejabat kita masih sibuk mengajukan “klarifikasi” cenderung tanpa isi, Trump dan timnya telah lama melangkah keluar dari batasan doktrin WTO. Dalam paradigma Trump, netralitas adalah ilusi; setiap relasi internasional dipandang sebagai transaksi. Dan setiap surplus ekspor yang tidak dinikmati Amerika dianggap sebagai bentuk penjajahan ekonomi terbalik—di mana adidaya merasa dirugikan oleh sistem yang dulunya ia desain.

Apakah Indonesia benar-benar menerapkan tarif 64% terhadap produk-produk Amerika? Tentu tidak. Namun bagi Trump, selisih ekspor-impor sebesar USD 17,9 miliar itu sendiri cukup untuk dianggap sebagai “tarif tidak langsung”—kerugian fiskal yang dalam kerangka pemikirannya harus dikompensasi.

Maka dikenakanlah tarif 32%, sebuah angka yang—bagi Trump—adalah formula kasar untuk “memulangkan uang yang hilang”. Akar pemikiran ini, jika dilihat dari teori perdagangan klasik, tampak eksentrik. Tapi dalam logika pragmatisme populis yang ia usung, ia konsisten yaitu menolak regulasi global jika menghambat dominasi domestik, menolak kebebasan pasar jika pasar itu menciptakan defisit struktural.

Prinsipnya sederhana, apabila kamu tak bisa menegosiasikan keuntungan, maka kerugianmu sah adanya. Inilah esensi diplomasi dagang versi Trump—transaksional, agresif, dan sepenuhnya berbasis kalkulasi jangka pendek.

Sintesis: Kejutan yang Sudah Diperingatkan

Kita bisa mencemooh narasi-narasi seperti ini sebagai alarmisme. Tapi sejarah sering kali memihak mereka yang melihat lebih dini. Fakta bahwa IHSG jatuh ke lebih dari 6.000, dan rupiah menuju 20.000, bukan sekadar asumsi semata. Ini adalah hasil dari struktur ekonomi yang rapuh, dan dunia global yang semakin tak ramah.

Kita juga harus belajar membaca logika yang tak lagi konvensional. Dunia pasca-Trump bukan dunia norma, tapi dunia angka dan kepentingan nasional yang ditakar dalam billion dollar terms. Ketika seorang mantan presiden AS menghitung tarif bukan dari pajak bea masuk, melainkan dari defisit perdagangan aktual, maka Indonesia tidak hanya perlu “klarifikasi”, tapi strategi.

Pertanyaannya kini bukan lagi: “Kenapa Indonesia kena tarif tinggi?”
Pertanyaan sesungguhnya adalah: “Apa rencana kita menghadapi paradigma dunia yang sudah berubah?”

Logika Tarif Trump: Kalkulasi Sederhana, Pesan Kuat

Jadi, apa sebenarnya yang ada di benak Amerika Serikat—lebih spesifiknya Donald Trump—dalam kebijakan tarif terhadap Indonesia?

Sederhana: “Kami rugi. Kalian untung. Selisihnya? Kembalikan.”

Dalam neraca dagang antara Indonesia dan ASdefisit senilai USD17,9 miliar bagi pihak Amerika dianggap bukan sekadar ketimpangan. Dalam cara berpikir Trump, itu adalah bentuk perampokan ekonomi yang harus ditebus. Dan karena posisi AS adalah sebagai pasar (customer) terbesar, maka yang berlaku bukan hukum WTO, tetapi hukum paling tua di dunia dagang yaitu “yang punya duit, punya kuasa.”

Maka muncullah logika kalkulatif khas Trump.

Rumusnya begini:

-        Total ekspor Indonesia ke AS: USD28,1 miliar;

-        Defisit perdagangan AS (alias surplus Indonesia): USD17,9 miliar;

-        Untuk tahu seberapa besar nilai defisit ini dibanding total perdagangan, Trump cukup melakukan perhitungan sederhana:

Inilah asal usul angka yang kemudian sering disebut-sebut sebagai “64%”. Tapi, ini bukan tarif resmi. Ini bukan bea masuk yang ditetapkan secara formal. Ini adalah angka psikologismetafora ekonomi—yang ingin menunjukkan berapa besar keuntungan yang dinikmati Indonesia dari ketimpangan perdagangan dengan Amerika Serikat.

Dari 64% jadi 32%: Diskon atau Dominasi?

Tapi Trump tidak lantas mengenakan tarif 64%. Dalam narasinya, itu terlalu ekstrem—bahkan tidak sales-friendly. Jadi apa yang dia lakukan?

Dia “berbaik hati”.

Trump menetapkan tarif 32% terhadap barang ekspor Indonesia. Artinya? Ia hanya mengambil sekitar setengah dari nilai defisit yang ia anggap “dijarah” oleh Indonesia.

Jika dihitung secara kasar:

Hasilnyahampir USD9 miliar, atau sekitar 50% dari nilai defisit USD17,9 miliar.

Dengan kata lain, dalam perspektif Trump:

“Saya tidak ambil semuanya. Saya cukup ambil setengah. Karena saya ini orang baik.”

Logika ini memang tidak akademis. Ia bahkan tidak bisa ditemukan dalam buku ekonomi manapun. Tapi ia konsisten dalam bingkai berpikir Trumpianbalas rugi dalam bahasa uang, bukan dalam debat kebijakan.

Ketidakpahaman yang Berujung Kekalahan

Masalahnya bukan pada tarif itu sendiri. Masalahnya adalah pada ketidaksiapan—bahkan ketidakmampuan—banyak pihak di dalam negeri membaca pola baru ini. Banyak pejabat kita masih sibuk bertanya, “Kenapa tarif bisa 64%? Bukannya bea masuk kita tidak segede itu?”

Dan memang benar. Tidak ada bea masuk dari Indonesia ke AS sebesar 64%. Tapi Trump tidak bicara bea masuk. Dia bicara kesenjangan transaksi. Dan untuk menyederhanakan logika itu, ia mengonversinya menjadi persentase, menjadi tarif, menjadi price to pay.

Inti Masalahnya: Kita Tidak Punya Bargaining Power

Yang lebih menyakitkan dari tarif 32% bukan angkanya, tapi kenyataan bahwa kita tidak bisa apa-apa.

Kita tidak bisa menolak, karena AS adalah pasar utama ekspor. Kita tidak bisa melawan, karena kita tidak memproduksi teknologi atau sistem keuangan yang independen. Dan kita tidak bisa berargumen dengan logika multilateral ketika dunia makin condong ke bilateral yang keras.

Apa pilihan kita?

-           Menerima dan beradaptasi; atau

-           Melawan seperti Cina—dengan tarif balik, diversifikasi pasar, dan kemandirian teknologi.

Tapi melawan berarti siap menanggung konsekuensinya. Dan di sinilah kita menyadari bahwa bukan hanya rupiah yang lemah, kita juga lemah dalam posisi tawar.

Tarif Bukan Hanya Angka, Tapi Refleksi Kuasa

Trump mungkin terdengar brutal, kasar, bahkan irasional bagi banyak analis konvensional. Tapi dalam kerangka besar perang dagang global, logika tarif 32% terhadap Indonesia adalah refleksi dari relasi kuasa, bukan hitung-hitungan bea semata.

Ketika ekspor kita jauh lebih besar daripada impor dari mereka, dan kita tidak punya kekuatan untuk membuat mereka butuh kita seperti kita butuh mereka, maka mereka bisa dan akan menagih “diskon balik” atas surplus yang kita nikmati.

Tarif itu hanyalah kendaraan. Yang lebih penting adalah siapa yang mengendalikan jalannya.

Formula “Made in Trump”: Bukan Logika, Tapi Kekuasaan

Nah, inilah yang disebut sebagai formula dagang ala Donald Trump. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus mengakui bahwa ia sedang menciptakan aturan main baru yang bukan sekadar soal ekonomi, melainkan geopolitik dengan wajah dagang.

Kita bisa saja mengirim delegasi, diplomat, bahkan ahli negosiasi ke Gedung Putih dan berkata, “Kenapa sih tarif kami 32%? Itu tidak adil.” Tapi faktanya: itu tidak relevan.

Karena bagi Trump, ini bukan soal keadilan. Ini soal siapa yang punya kuasa menentukan harga. Dan saat ini, Amerika Serikat masih punya itu. Mau dikasih tarif 32%, 50%, bahkan 100%, itu adalah keputusan sepihak yang muncul dari posisi dominan.

“Negara gua, aturan gua. Suka-suka gua.” So, arbitrary, right?

Yang harus kita lakukan bukan merengek soal angka. Fokus kita seharusnya adalah pada “kenapa defisitnya bisa USD 17,9 miliar?”, dan “bagaimana cara kita bisa mengkompensasi ketimpangan ini?”bukan dengan debat angka, tapi dengan strategi dagang yang lebih cerdas.

Mengimbangi, Bukan Melawan: Strategi Realistis

Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mengurangi defisit ini adalah meningkatkan impor dari Amerika Serikat. Secara logika dagang, jika kita mengimpor lebih banyak, maka neraca akan menjadi lebih seimbang. Tapi, ini juga bukan langkah mudah.

Kenapa? Karena industri manufaktur Amerika sendiri sedang menurun.

Mereka sudah tidak sekuat dulu dalam memproduksi barang konsumsi. Sebagian besar sudah pindah ke Asia, termasuk ke Cina, Vietnam, bahkan Indonesia. Yang tersisa di AS adalah industri berat dan strategis—seperti pesawat tempur, teknologi militer, kapal perang, sistem persenjataan. Jadi kalau mau impor lebih banyak dari mereka, ya mungkin itu jalurnya yaitu senjata, teknologi, atau pesawat.

Tapi lagi-lagi, kita dihadapkan pada dilemmamau menyeimbangkan defisit dengan membeli barang yang mungkin tidak kita butuhkan? Itulah permainan yang sedang dijalankan Trump yaitu memaksa negara lain membeli demi menutup defisit, bukan karena kebutuhan, tapi karena tekanan.

Intinya Bukan Tarif, Tapi Selisih USD17,9 Miliar

Inilah pelajaran penting yang bisa kita ambil:

-       Bukan soal apakah tarif 32% itu adil atau tidak;

-      Bukan soal bagaimana cara mendapatkan diskon;

-      Tapi bagaimana cara kita mengimbangi defisit USD17,9 miliar itu, atau minimal membuat narasi ekonomi kita tidak lagi terlalu bergantung pada surplus ekspor tanpa arah.

“Jangan sibuk berteriak soal tarif, kalau tidak bisa menjelaskan surplusnya datang dari mana.” Karena kalau kita terus surplus tapi tidak memberi imbalan apa pun ke mitra dagang, maka dalam logika Trump—itu perampokan. Maka wajar saja kalau ia “memalak” balik lewat tarif. Dan lebih parahnya: dia hanya minta setengahnya. Itu pun dibilangnya dia “baik hati”.

Bukan Masalah BRICS, Ini Tentang Dominasi Dagang

Lalu muncul pertanyaan, “Ini gara-gara Indonesia gabung BRICS, ya?” Salah besar. Kalau itu alasannya, kenapa Vietnam juga kena? Kenapa Thailand, Kanada, dan Meksiko—negara-negara yang bukan anggota BRICS—juga dikenakan tarif yang sama?

Ini bukan soal blok geopolitik. Ini bukan tentang Timur melawan Barat. Ini murni soal dominasi pasar. Siapa yang untung terlalu besar, siap-siap dibalas. Siapa yang menikmati surplus berlebih, siap-siap dimintai ganti.

Pola Baru yang Mengajarkan Realitas Baru

Inilah “ilmu dagang baru” yang sebenarnya sedang disampaikan secara gratis ke kita semua—tanpa disadari. Dan mungkin, banyak pejabat atau analis di dalam negeri gagal menangkapnya. Karena terlalu sibuk melihat angka sebagai bea masuk, bukan sebagai representasi kuasa ekonomi.

Tarif 32% bukan untuk membuat adil, tapi untuk menyeimbangkan “kerugian” yang Trump persepsikan sebagai akibat dari dominasi ekspor Indonesia. Jadi, kalau kita ingin tetap bermain dalam dunia dagang global ke depan, kita harus belajar logika ini. Bukan hanya logika ekonomi textbook, tapi logika kekuasaan, strategi, dan kalkulasi geopolitik ala Trump.

Trans-Shipment: Trik Lama yang Masih Dimainin

Jadi begini, Perdagangan Internasional itu sebenarnya bukan cuma soal jual-beli lintas negara. Ini soal taktik. Ini soal ngeles. Ini soal kelihatan legal padahal sebenarnya penuh tipu muslihat. Salah satu taktik paling klasik adalah yang namanya transhipment.

Kita ambil contoh yang terjadi dua dekade lalu. Waktu itu, udang dari China kena larangan masuk ke Amerika Serikatbahkan Indonesia juga pernah berpolemik karena impor udang ini, dengan Amerika. Tapi apakah itu membuat mereka (China) berhenti ekspor? Tidak, bung. Mereka malah muter otak.

Caranya? Barang dari China (misalnya udang) dibawa ke tengah laut Indonesia, lalu dipindah ke kapal berbendera Indonesia. Setelah itu, dikirim ke Amerika sebagai “produk Indonesia”. Pintar? Pintar banget.

Tapi ya namanya juga Amerika, mereka tidak bodoh. Mereka kemudian minta Certificate of Origin—dokumen yang menunjukkan dari mana asal barang sebenarnya. Pas dicek, udangnya ternyata spesies yang tidak ada di Indonesia. Ya ketauan dong, itu barang dari China. Strategi transhipment langsung ketauan.

Nah, sejak saat itu, strategi transhipment mulai ketat diawasi. Tapi bukan berarti China kehabisan akal. Mereka tahu kalau mau terus eksis di pasar Amerika, mereka harus cari jalan belakang yang legal. Ya, di sini yang terjadi adalah sebuah strategi offshoring atau lebih spesifik lagi, tariff engineering.

Strategi offshoring sederhananya, perusahaan China memindahkan produksi ke luar negeri—seperti yang dilakukan oleh Ford dan GM, yang mana Perusahaan-perusahaan Amerika itu sudah lama membuka pabrik di Meksiko dan Kanada karena murah biaya produksinya, tapi barangnya tetap bisa masuk ke AS tanpa kena tarif karena ada perjanjian dagang NAFTA (sekarang USMCA).

Sedangkan, Tariff engineering, strategi penataan rantai pasokan di mana perusahaan menyusun kembali proses produksi agar barang yang dihasilkan memenuhi syarat atau “rules of origin” dalam perjanjian perdagangan bebas, sehingga dapat masuk ke pasar tertentu (dalam hal ini, AS) tanpa dikenai tarif tinggi. Jadi wajar, hal itu tidak melanggar USMCA.

China melihat celah itu. Mereka ikutan buka pabrik di Meksiko, Kanada, bahkan menyamar jadi brand lokal. Tapi barang-barangnya tetap produk ChinaLolos bea masuk ke Amerika.

Tapi tentu saja ini bikin Amerika semakin waspada. Lalu muncul isu lain: fentanil. Amerika nuduh barang itu masuk dari China lewat Kanada dan Meksiko. Jadi alasan baru buat naikin tarif. Mengerti kan sampai di sini bahwa tarif bukan lagi soal produk, tapi soal politisasi jalur distribusi.

Southeast Asia: Base Baru Buat Investasi China

China udah tahu kalau Meksiko dan Kanada bakal disikat juga sama Amerika. Mereka punya rencana cadangan yaitu pindahin pabrik ke Asia Tenggara. Akhirnya muncul gelombang relokasi ke Vietnam, Thailand, Malaysia, termasuk sedikit ke Indonesia.

Contoh ekstrem? Apple pindahin produksi ke Vietnam. Intel juga udah angkat kaki dari China. Lalu apa yang terjadi? Barang yang keluar dari Vietnam sebenarnya buatan perusahaan China. Jadi meskipun label-nya bilang “Made in Vietnam”, isinya tetap DNA China. Dan Trump tahu itu.

Makanya, ketika Vietnam kena tarif, itu bukan karena Vietnam musuh Amerika. Tapi karena Vietnam jadi proxy baru buat China. Target sebenarnya tetap China—si ketua de facto BRICS.

Strategi Trump: Serang Sumbernya, Bukan Labelnya

Ini yang disebut dengan aturan dunia baru. Trump tidak peduli label produk, tidak peduli bendera, tidak peduli negara. Yang dia serang adalah asal muasal uang dan kendali. Makanya jangan heran kalau Vietnam, Thailand, bahkan Kanada sekalipun ikut kena sikat. Ini bukan tentang siapa anggota BRICS atau bukan. Ini tentang siapa yang secara de facto jadi pusat produksi global.

Kalau di dalam pabrik, modal, mesin, hingga manajemennya itu punya China, maka itu target Trump. Mau pabriknya di Ho Chi Minh kek, di Bangkok kek, tetap disikat.

Kemana Indonesia? Terjepit di tengah, jadi Korban Tak Terlihat

Nah, sekarang pertanyaannya, Indonesia di mana dalam cerita ini? Kita ini aneh. Di satu sisi kita terima investasi besar-besaran dari China. Tapi di sisi lain, kita juga masih bergantung pada akses ekspor ke Amerika Serikat.

Masalahnya, begitu Amerika anggap investasi yang masuk ke Indonesia itu berasal dari modal China, kita bisa kena efek domino juga. Meskipun kita bukan BRICS (waktu itu), kita bisa dianggap bagian dari “satelit China” oleh sistem dagang ala Trump. Yang lebih parah lagi, di saat negara lain sudah mulai bikin strategi transnasional—misalnya buka pabrik di negara tarif-friendlypelaku usaha di Indonesia masih sibuk ngurus THR dan deal sama preman yang mengancam investasi.

“Mau ekspor ke Amerika, tapi mikirin parkir ruko saja sudah ribet.” Dan inilah nasib kita: negara sekocak ini, tapi modal besar tetap masuk dari China, karena hanya mereka yang punya nyali masuk ke ekosistem yang LSM-nya doyan palak dan birokrasi yang doyan “atur urusan”.

Kesimpulan Sejenak sebelum Babak Baru

Jadi, kalau kita rangkum poinnya:

1.     Perdagangan global bukan cuma soal barang, tapi soal strategi geopolitik;

2.    Trump tidak perang dagang dengan negara, tapi dengan jaringan produksi global yang dikendalikan China;

3.    Transhipment sudah tidak laku, sekarang yang penting siapa yang punya investasinya;

4.     Vietnam, Thailand, Meksiko jadi collateral damage karena mereka jadi base baru China;

5.     Indonesia harus siap-siap. Karena kita sudah keburu banyak nerima modal dari China, tapi tidak punya daya tawar dagang global.

Dan satu hal yang harus kita pahami: era dagang global hari ini bukan soal “made in mana”, tapi soal “dimiliki siapa”. Dan selama aliran uang, modal, teknologi itu datang dari China, maka siapapun yang nampung itu akan ikut dianggap bagian dari target utama.

Narasi Lanjutan: Efek Tarif, NTB, dan Nasib Ekonomi Indonesia

So rekan-rekan lawyerpontianak, semoga Anda semakin paham ya sekarang. Khususnya buat kalian yang duduk di pemerintahan, yang masih bilang, “Tidak masuk akal 64%,”. Bung, itu masuk akal kalau Anda mengerti cara ngitung trend visit dan cara kerja non-tarif barrier alias NTB.

Banyak yang bilang angka 64% tarif yang dikenakan ke barang-barang dari Amerika ke Indonesia itu tidak real. Bener, realitanya memang lebih rendah, mungkin cuma 12%. Tapi... masalahnya bukan cuma angka tarif.

Begitu barang-barang dari Amerika masuk ke Indonesia, yang terjadi adalah:

-      Butuh lisensi impor;

-      Kena aturan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri);

-      Harus punya sertifikat halal, BPOM, AU, dan entah apa lagi;

-      Belum lagi biaya-biaya aneh yang tidak tercatat resmi.

Artinya, barang dari AS tidak bisa masuk lancar. Inilah yang disebut Non-Tariff Barrier (NTB). Contoh Nyata, ilustrasikan coba kamu Impor Barang Amerika

Produk

Tarif Resmi (WTO)

Realita Harga Retail

Kenaikan Harga

Harley Davidson

10–20%

Naik 200–300%

10x tarif resmi

Mobil Ford

10–20%

Naik 150–250%

Drastis

Jadi, gimana caranya produk Amerika bisa bersaing dengan produk Jepang di sini? Jelas tidak bisa.

Efek Domino ke Komoditas: Sawit, Batu Bara, dan Ekspor ke China

Sekarang kita lihat dampaknya dari perang tarif ini. Banyak pejabat bilang:

“Tenang aja, ini cuma nyerang China, kita aman.” Salah besar. Kenapa?

Struktur Rantai Ekspor Kita Sebenarnya:

1.      Indonesia jual komoditas (sawit, batu bara, nikel) ke China

2.     China olah, produksi, dan ekspor ke Amerika Serikat

3.     Kalau AS tutup pintu ke China, maka order dari China ke Indonesia juga drop

Jadi, walaupun yang kena tarif langsung itu China, Indonesia tetap kena getahnya.

Spillover ke Petani Sawit Indonesia:

-      Malaysia bisa ekspor sawit ke AS dengan tarif lebih rendah

-      Indonesia? Kena tarif tinggi + NTB

-      Akhirnya gimana? Sawit kita numpang lewat Malaysia/Singapura → kita kehilangan kendali harga

Dampak Perang Dagang terhadap Ekspor Sawit

Negara

Porsi Ekspor Sawit ke AS

Tarif Masuk AS

Posisi Saat Ini

Indonesia

Dominan

Lebih tinggi

Tersingkir perlahan

Malaysia

10–20%

Lebih rendah

Makin kompetitif

Efek Berantai Lain:

-      Harga batu bara makin anjlok

-      Harga kelapa sawit makin nyungsep

-      IHSG drop ke 8.000-an (ramalan: sudah kejadian)

-      Rupiah ke Rp20.000/USUSD (ramalan: dalam perjalanan)

-       Ekonomi rakyat? Akan makin terasa berat

Pertanyaan Besar Buat Pemerintah:

Gimana kalau kita tiru Vietnam? Gimana kalau kita kasih aja 0% tarif buat barang dari AS? Misalnya:

-      Anda bisa beli Harley murah;

-      Barang-barang Amerika jadi kompetitif di sini

Tapi...
Kalau kita kasih 0% ke Amerika Serikat, artinya kita akan kehilangan potensi penerimaan pajak miliaran dolar.
 Siapa yang bakal bayar kekurangan itu?

-     Duit nenek lo?

-     Atau lo rela pajak lo dinaikin?

Penutup:

Ini semua bukan cuma soal tarif. Ini soal:

-            Strategi dagang global;

-           Kecerdikan Cina dalam investasi;

-           Ketidaksiapan Indonesia mengimbangi perubahan

Kuncinya: deregulasi.
Hilangkan aturan-aturan yang tidak jelas dan mempersulit perdagangan global.
Kalau tidak, Indonesia akan terus jadi korban, bukan pemain.

 Diskusi Terbuka:

1.          Setuju tidak kalau Indonesia kasih 0% ke barang-barang Amerika?

2.         Kalau iya, saham apa yang paling terdampak?

3.        Dan kalau Anda tidak setuju, apa solusi Anda?

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.