Pasar tidak pernah sekadar
angka. Ia adalah pantulan dari psikologi kolektif—ketakutan massal, harapan
yang terkikis perlahan, dan naluri terdalam manusia menghadapi ketidakpastian.
Ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh lebih dari 8%
pada Selasa, 8 April, banyak yang tersentak. Tapi bagi sebagian
lainnya, itu bukanlah kejutan—melainkan konfirmasi dari kegelisahan yang telah
lama mereka rasakan.
Dalam sebuah wawancara beberapa waktu yang lalu, ada yang prediksi akan runtuhnya pasar bukan
sekadar spekulasi hampa. Bagi mereka yang telah membaca tanda-tanda sejak lama,
krisis ini bukan akhir—melainkan awal dari koreksi struktural yang sudah lama
tertunda. Walau pun IHSG pada penutupan perdagangan hari
Kamis, 10 April 2025, berada di level 6.254,02 dengan kenaikan sebesar +286,04
poin atau 4,79%. Kenaikan ini merupakan rekor kenaikan intraday tertinggi
dalam 5 tahun terakhir. Kenaikan IHSG ini terjadi setelah adanya
kabar baik dari Amerika Serikat di mana Presiden AS Donald Trump menunda
penerapan tarif resiprokal selama 90 hari untuk sebagian besar negara, kecuali
China.
Akan
tetapi perlu tetap dicatat bahwa proyeksi bahwa IHSG yang telah menyentuh level lebih
dari 5.000 bukan
lagi wacana pinggiran; ia telah menjadi kenyataan yang terpantau di layar
terminal bursa. Koreksi ini tidak berdiri sendiri. Ia datang bersamaan dengan
tekanan lain yang tak kalah memberatkan: nilai tukar rupiah yang terus tertekan terhadap dolar
Amerika.
Satu dolar telah menembus Rp 17.000,- walau per-tanggal 11 April 2025 ini,
mengalami penurunan yang tidak terlalu signifikan sebesar Rp 16,943,- dan prediksi menuju Rp 20.000,- kini
terdengar masuk akal dalam skenario global yang tidak menentu.
Ini bukan
fluktuasi musiman, melainkan gejala dari pergeseran sistemik yang bersumber
dari tekanan eksternal dan ketidaksiapan internal. Di balik gejolak angka itu,
ada transformasi global yang sedang berlangsung—didorong oleh kebijakan moneter
ketat, fragmentasi ekonomi, dan strategi proteksionisme baru yang
dipelopori oleh kekuatan besar seperti Amerika Serikat.
Tarif
Trump: Logika yang Tak Diajarkan di Buku Teks
Banyak pejabat—termasuk mantan tokoh tinggi negara—masih bertanya: “Mengapa Amerika Serikat bisa mengenakan tarif impor sebesar 32% terhadap Indonesia, atau mengancamnya?” Sebagian bahkan merasa perlu mengajukan klarifikasi diplomatik, seolah lupa bahwa dunia kini bergerak di luar skema tarif formal ala WTO.
Dunia telah bergeser—dan perubahan itu dimulai saat Donald J. Trump membalik filosofi dagang global yaitu dari simetri multilateral menjadi transaksionalisme brutal yang berakar pada logika surplus-defisit. Dalam bingkai kebijakan Trump, tarif tinggi terhadap Indonesia bukanlah respons terhadap perlakuan tarif formal Indonesia atas produk AS. Ini bukan soal pasal. Ini soal angka. Mari kita telaah datanya:
Ekspor Indonesia ke AS |
USD28,1 miliar |
Impor Indonesia dari AS |
USD10,2 miliar |
Neraca Perdagangan (Surplus Indonesia) |
USD17,9 miliar |
Bagi Trump, angka USD 17,9
miliar itu bukan sekadar statistik. Itu adalah bentuk kerugian psikologis dan
fiskal Amerika Serikat. Dalam narasinya, angka itu adalah “uang Amerika”
yang diambil oleh sistem perdagangan global yang ia anggap timpang.
Apabila
kita kembali mengingat, dalam kampanye Presiden Trump Tahun 2016, Trump sering
menyatakan keprihatinannya tentang defisit perdagangan AS, terutama dengan
negara-negara seperti China dan Meksiko. Ia menggunakan bahasa yang kuat,
menyatakan bahwa AS “kita kehilangan segalanya” karena perjanjian
perdagangan bebas. Trump juga menyatakan bahwa AS kehilangan “USD 500 miliar
per tahun ke China” dan miliaran lebih ke negara lain seperti Jepang, Vietnam,
dan India. Ia mengklaim bahwa Meksiko “mengalahkan kita di perbatasan dan
mereka mengalahkan kita dalam perdagangan”.
Maka, tarif bukan
sekadar alat fiskal—melainkan mekanisme “pemulihan versi mereka.” Ini bukan
tentang keadilan multilateral. Ini adalah kalkulasi untung-rugi dalam
mentalitas pedagang, bukan diplomat—sebuah pendekatan yang tak ditemukan dalam
buku teks ekonomi konvensional, tetapi kini menjadi fondasi baru geopolitik
dagang dunia.
Ketidakmampuan
Membaca Bahasa Baru Ekonomi Global
Ketika para pejabat kita masih
sibuk mengajukan “klarifikasi” cenderung
tanpa isi, Trump dan timnya telah lama melangkah keluar dari batasan
doktrin WTO. Dalam paradigma Trump, netralitas adalah ilusi; setiap relasi
internasional dipandang sebagai transaksi. Dan setiap surplus ekspor yang tidak
dinikmati Amerika dianggap sebagai bentuk penjajahan ekonomi terbalik—di mana
adidaya merasa dirugikan oleh sistem yang dulunya ia desain.
Apakah Indonesia benar-benar
menerapkan tarif 64% terhadap produk-produk Amerika? Tentu tidak. Namun bagi
Trump, selisih ekspor-impor sebesar USD 17,9 miliar itu sendiri cukup untuk dianggap sebagai “tarif tidak
langsung”—kerugian fiskal yang dalam kerangka pemikirannya harus dikompensasi.
Maka dikenakanlah tarif 32%, sebuah angka yang—bagi Trump—adalah formula kasar untuk “memulangkan uang yang hilang”. Akar pemikiran ini, jika dilihat dari teori perdagangan klasik, tampak eksentrik. Tapi dalam logika pragmatisme populis yang ia usung, ia konsisten yaitu menolak regulasi global jika menghambat dominasi domestik, menolak kebebasan pasar jika pasar itu menciptakan defisit struktural.
Prinsipnya sederhana, apabila kamu tak bisa menegosiasikan keuntungan, maka kerugianmu sah adanya. Inilah esensi diplomasi dagang versi Trump—transaksional, agresif, dan sepenuhnya berbasis kalkulasi jangka pendek.
Sintesis:
Kejutan yang Sudah
Diperingatkan
Kita bisa mencemooh
narasi-narasi seperti ini sebagai alarmisme. Tapi sejarah sering kali memihak
mereka yang melihat lebih dini. Fakta bahwa IHSG jatuh ke lebih dari 6.000, dan rupiah menuju 20.000, bukan sekadar asumsi semata. Ini adalah hasil dari struktur ekonomi yang rapuh, dan dunia
global yang semakin tak ramah.
Kita juga harus belajar membaca
logika yang tak lagi konvensional. Dunia pasca-Trump bukan dunia norma, tapi
dunia angka dan kepentingan nasional yang ditakar dalam billion dollar terms.
Ketika seorang mantan presiden AS menghitung tarif bukan dari pajak bea masuk,
melainkan dari defisit perdagangan aktual, maka Indonesia tidak hanya perlu
“klarifikasi”, tapi strategi.
Pertanyaannya kini bukan lagi: “Kenapa Indonesia kena tarif tinggi?”
Pertanyaan sesungguhnya adalah: “Apa rencana kita menghadapi paradigma dunia yang sudah berubah?”
Logika Tarif Trump: Kalkulasi Sederhana, Pesan Kuat
Jadi, apa sebenarnya yang ada
di benak Amerika Serikat—lebih spesifiknya Donald Trump—dalam kebijakan tarif
terhadap Indonesia?
Sederhana: “Kami
rugi. Kalian untung. Selisihnya? Kembalikan.”
Dalam neraca dagang antara
Indonesia dan AS, defisit senilai USD17,9
miliar bagi pihak Amerika dianggap bukan sekadar
ketimpangan. Dalam cara berpikir Trump, itu adalah bentuk perampokan ekonomi yang harus
ditebus. Dan karena posisi AS adalah sebagai pasar (customer)
terbesar, maka yang berlaku bukan hukum WTO, tetapi hukum paling tua di dunia
dagang yaitu “yang punya duit, punya
kuasa.”
Maka muncullah logika kalkulatif khas Trump.
Rumusnya begini:
-
Total
ekspor Indonesia ke AS: USD28,1
miliar;
-
Defisit
perdagangan AS (alias surplus Indonesia): USD17,9 miliar;
-
Untuk tahu
seberapa besar nilai defisit ini dibanding total perdagangan, Trump cukup
melakukan perhitungan sederhana:
Inilah asal usul angka yang kemudian sering disebut-sebut
sebagai “64%”. Tapi, ini bukan
tarif resmi. Ini bukan bea masuk yang ditetapkan secara formal. Ini adalah angka psikologis—metafora ekonomi—yang ingin
menunjukkan berapa besar keuntungan yang dinikmati
Indonesia dari ketimpangan perdagangan dengan Amerika Serikat.
Dari 64% jadi 32%: Diskon atau Dominasi?
Tapi Trump tidak lantas
mengenakan tarif 64%. Dalam narasinya, itu terlalu ekstrem—bahkan tidak sales-friendly.
Jadi apa yang dia lakukan?
Dia “berbaik hati”.
Trump menetapkan tarif 32% terhadap barang ekspor Indonesia. Artinya? Ia hanya mengambil sekitar setengah dari nilai defisit yang ia anggap “dijarah” oleh Indonesia.
Jika dihitung secara kasar:
Hasilnya: hampir USD9 miliar, atau sekitar 50% dari nilai defisit USD17,9 miliar.
Dengan kata lain, dalam
perspektif Trump:
“Saya tidak ambil semuanya. Saya cukup ambil
setengah. Karena saya ini orang baik.”
Logika ini memang tidak
akademis. Ia bahkan tidak bisa ditemukan dalam buku ekonomi manapun. Tapi ia konsisten dalam bingkai
berpikir Trumpian: balas rugi dalam bahasa uang, bukan dalam debat
kebijakan.
Ketidakpahaman yang Berujung Kekalahan
Masalahnya bukan pada tarif itu
sendiri. Masalahnya adalah pada ketidaksiapan—bahkan ketidakmampuan—banyak pihak
di dalam negeri membaca pola baru ini. Banyak
pejabat kita masih sibuk bertanya, “Kenapa tarif bisa 64%? Bukannya bea masuk
kita tidak segede itu?”
Dan memang benar. Tidak ada bea
masuk dari Indonesia ke AS sebesar 64%. Tapi Trump tidak bicara bea masuk. Dia
bicara kesenjangan transaksi. Dan
untuk menyederhanakan logika itu, ia mengonversinya menjadi persentase, menjadi
tarif, menjadi price to pay.
Inti Masalahnya: Kita Tidak Punya Bargaining Power
Yang lebih menyakitkan dari
tarif 32% bukan angkanya, tapi kenyataan bahwa kita tidak bisa apa-apa.
Kita tidak bisa menolak, karena AS adalah pasar utama ekspor.
Kita tidak bisa melawan, karena kita tidak memproduksi teknologi atau sistem keuangan yang
independen. Dan kita tidak bisa berargumen dengan logika
multilateral ketika dunia makin condong ke bilateral yang keras.
Apa pilihan kita?
-
Menerima dan beradaptasi; atau
-
Melawan seperti Cina—dengan tarif balik,
diversifikasi pasar, dan kemandirian teknologi.
Tapi melawan berarti siap
menanggung konsekuensinya. Dan di sinilah kita menyadari bahwa bukan hanya
rupiah yang lemah, kita juga lemah dalam posisi tawar.
Tarif Bukan Hanya Angka, Tapi Refleksi Kuasa
Trump mungkin terdengar brutal,
kasar, bahkan irasional bagi banyak analis konvensional. Tapi dalam kerangka
besar perang dagang global, logika tarif 32% terhadap Indonesia adalah
refleksi dari relasi kuasa, bukan hitung-hitungan bea semata.
Ketika ekspor kita jauh lebih
besar daripada impor dari mereka, dan kita tidak punya kekuatan untuk membuat
mereka butuh kita seperti kita butuh mereka, maka mereka bisa dan akan menagih
“diskon balik” atas surplus yang kita nikmati.
Tarif itu hanyalah kendaraan. Yang lebih penting adalah siapa yang mengendalikan
jalannya.
Formula “Made in Trump”: Bukan Logika, Tapi Kekuasaan
Nah, inilah yang disebut
sebagai formula dagang ala Donald Trump.
Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus mengakui bahwa ia sedang menciptakan aturan
main baru yang bukan sekadar soal ekonomi, melainkan geopolitik dengan wajah
dagang.
Kita bisa saja mengirim
delegasi, diplomat, bahkan ahli negosiasi ke Gedung Putih dan berkata, “Kenapa sih tarif kami 32%? Itu tidak adil.” Tapi faktanya: itu
tidak relevan.
Karena bagi Trump, ini bukan
soal keadilan. Ini
soal siapa yang punya kuasa menentukan harga. Dan
saat ini, Amerika Serikat masih punya itu. Mau dikasih
tarif 32%, 50%, bahkan 100%, itu adalah keputusan sepihak yang muncul dari
posisi dominan.
“Negara gua, aturan gua. Suka-suka gua.” So, arbitrary, right?
Yang harus kita lakukan bukan merengek soal angka. Fokus kita seharusnya adalah pada “kenapa defisitnya bisa USD 17,9 miliar?”, dan “bagaimana cara kita bisa mengkompensasi ketimpangan ini?”—bukan dengan debat angka, tapi dengan strategi dagang yang lebih cerdas.
Mengimbangi, Bukan Melawan: Strategi Realistis
Salah satu cara yang bisa
ditempuh untuk mengurangi defisit ini adalah meningkatkan impor dari Amerika Serikat. Secara
logika dagang, jika kita mengimpor lebih banyak, maka neraca akan menjadi lebih
seimbang. Tapi, ini juga bukan langkah mudah.
Kenapa? Karena industri manufaktur Amerika
sendiri sedang menurun.
Mereka sudah tidak sekuat dulu
dalam memproduksi barang konsumsi. Sebagian besar sudah pindah ke Asia,
termasuk ke Cina, Vietnam, bahkan Indonesia. Yang tersisa di AS adalah industri berat dan strategis—seperti
pesawat tempur, teknologi militer, kapal perang, sistem persenjataan. Jadi
kalau mau impor lebih banyak dari mereka, ya mungkin itu jalurnya yaitu senjata, teknologi, atau pesawat.
Tapi lagi-lagi, kita dihadapkan pada dilemma, mau menyeimbangkan defisit dengan membeli
barang yang mungkin tidak kita butuhkan? Itulah
permainan yang sedang dijalankan Trump yaitu memaksa negara lain membeli demi menutup
defisit, bukan karena kebutuhan, tapi karena tekanan.
Intinya Bukan Tarif, Tapi Selisih USD17,9 Miliar
Inilah pelajaran penting yang
bisa kita ambil:
- Bukan
soal apakah tarif 32% itu adil atau tidak;
- Bukan soal
bagaimana cara mendapatkan diskon;
- Tapi bagaimana cara kita
mengimbangi defisit USD17,9 miliar itu, atau minimal
membuat narasi ekonomi kita tidak lagi terlalu bergantung pada surplus ekspor
tanpa arah.
“Jangan sibuk berteriak soal
tarif, kalau tidak bisa menjelaskan surplusnya datang dari mana.” Karena kalau kita terus
surplus tapi tidak memberi imbalan apa pun ke mitra dagang, maka dalam logika
Trump—itu perampokan. Maka
wajar saja kalau ia “memalak” balik lewat tarif. Dan lebih parahnya: dia
hanya minta setengahnya. Itu pun dibilangnya dia “baik hati”.
Bukan Masalah BRICS, Ini Tentang Dominasi Dagang
Lalu muncul pertanyaan, “Ini
gara-gara Indonesia gabung BRICS, ya?” Salah besar. Kalau itu alasannya, kenapa Vietnam juga kena? Kenapa Thailand, Kanada, dan Meksiko—negara-negara
yang bukan anggota BRICS—juga dikenakan tarif yang sama?
Ini bukan soal blok geopolitik.
Ini bukan tentang Timur melawan Barat. Ini murni soal dominasi pasar. Siapa yang untung terlalu besar, siap-siap
dibalas. Siapa yang menikmati surplus berlebih, siap-siap dimintai ganti.
Pola Baru yang
Mengajarkan Realitas Baru
Inilah “ilmu dagang baru” yang
sebenarnya sedang disampaikan secara gratis ke kita semua—tanpa disadari. Dan
mungkin, banyak pejabat atau analis di dalam negeri gagal menangkapnya. Karena terlalu sibuk melihat
angka sebagai bea masuk, bukan sebagai representasi kuasa ekonomi.
Tarif 32% bukan untuk membuat
adil, tapi untuk menyeimbangkan “kerugian” yang Trump persepsikan sebagai
akibat dari dominasi ekspor Indonesia. Jadi, kalau kita ingin tetap bermain dalam dunia dagang global ke
depan, kita harus belajar logika ini. Bukan hanya
logika ekonomi textbook,
tapi logika kekuasaan, strategi, dan kalkulasi geopolitik ala Trump.
Trans-Shipment: Trik Lama yang
Masih Dimainin
Jadi begini, Perdagangan Internasional itu sebenarnya
bukan cuma soal jual-beli lintas negara. Ini soal taktik. Ini soal ngeles. Ini soal
kelihatan legal padahal sebenarnya penuh tipu muslihat. Salah
satu taktik paling klasik adalah yang namanya transhipment.
Kita ambil contoh yang terjadi
dua dekade lalu. Waktu itu, udang dari China kena larangan masuk ke Amerika Serikat, bahkan
Indonesia juga pernah berpolemik karena impor udang ini,
dengan Amerika. Tapi apakah itu membuat
mereka (China) berhenti ekspor? Tidak, bung. Mereka malah muter otak.
Caranya? Barang dari China (misalnya udang) dibawa ke tengah laut
Indonesia, lalu dipindah ke kapal berbendera Indonesia. Setelah
itu, dikirim ke Amerika sebagai “produk Indonesia”. Pintar?
Pintar banget.
Tapi ya namanya juga Amerika,
mereka tidak bodoh. Mereka kemudian minta Certificate of Origin—dokumen yang menunjukkan
dari mana asal barang sebenarnya. Pas dicek, udangnya ternyata spesies yang tidak
ada di Indonesia. Ya ketauan dong, itu barang dari China. Strategi transhipment
langsung ketauan.
Nah, sejak saat itu, strategi transhipment mulai
ketat diawasi. Tapi bukan berarti China kehabisan akal. Mereka tahu kalau mau
terus eksis di pasar Amerika, mereka harus cari jalan belakang yang legal. Ya, di
sini yang terjadi adalah sebuah strategi offshoring atau lebih spesifik lagi, tariff engineering.
Strategi offshoring sederhananya,
perusahaan China memindahkan produksi ke luar negeri—seperti yang dilakukan
oleh Ford dan GM, yang mana Perusahaan-perusahaan
Amerika itu sudah lama membuka pabrik di Meksiko dan Kanada karena
murah biaya produksinya, tapi barangnya tetap bisa masuk ke AS tanpa kena tarif
karena ada perjanjian dagang NAFTA (sekarang
USMCA).
Sedangkan, Tariff engineering,
strategi penataan rantai pasokan di mana perusahaan menyusun kembali proses
produksi agar barang yang dihasilkan memenuhi syarat atau “rules of origin”
dalam perjanjian perdagangan bebas, sehingga dapat masuk ke pasar tertentu
(dalam hal ini, AS) tanpa dikenai tarif tinggi. Jadi wajar, hal itu tidak
melanggar USMCA.
China melihat celah itu. Mereka ikutan buka pabrik di Meksiko, Kanada, bahkan
menyamar jadi brand lokal. Tapi barang-barangnya tetap produk China. Lolos bea masuk ke
Amerika.
Tapi tentu saja ini bikin Amerika semakin waspada. Lalu muncul isu lain: fentanil. Amerika nuduh
barang itu masuk dari China lewat Kanada dan Meksiko. Jadi alasan baru buat
naikin tarif. Mengerti
kan sampai di sini bahwa tarif bukan lagi soal produk, tapi soal
politisasi jalur distribusi.
Southeast Asia: Base Baru Buat Investasi China
China udah tahu kalau Meksiko
dan Kanada bakal disikat juga sama
Amerika. Mereka punya rencana cadangan yaitu pindahin pabrik ke Asia Tenggara. Akhirnya muncul gelombang relokasi ke Vietnam, Thailand, Malaysia,
termasuk sedikit ke Indonesia.
Contoh ekstrem? Apple
pindahin produksi ke Vietnam. Intel juga udah angkat kaki dari China. Lalu apa yang terjadi? Barang yang keluar dari
Vietnam sebenarnya buatan perusahaan China. Jadi
meskipun label-nya bilang “Made
in Vietnam”, isinya tetap DNA China. Dan Trump tahu itu.
Makanya, ketika
Vietnam kena tarif, itu bukan karena Vietnam musuh Amerika.
Tapi karena Vietnam jadi proxy baru buat China. Target
sebenarnya tetap China—si ketua de facto BRICS.
Strategi Trump: Serang Sumbernya, Bukan Labelnya
Ini yang disebut dengan aturan
dunia baru. Trump tidak peduli label produk, tidak peduli
bendera, tidak peduli negara. Yang dia serang adalah asal muasal uang dan kendali. Makanya jangan heran kalau Vietnam,
Thailand, bahkan Kanada sekalipun ikut kena sikat. Ini
bukan tentang siapa anggota BRICS atau bukan. Ini tentang siapa
yang secara de facto jadi
pusat produksi global.
Kalau di dalam pabrik, modal,
mesin, hingga manajemennya itu punya China, maka itu target
Trump. Mau pabriknya di Ho Chi Minh kek, di Bangkok kek, tetap disikat.
Kemana Indonesia?
Terjepit di tengah, jadi Korban Tak Terlihat
Nah, sekarang pertanyaannya, Indonesia di mana dalam cerita ini? Kita
ini aneh. Di satu sisi kita terima investasi besar-besaran dari China. Tapi
di sisi lain, kita juga masih bergantung pada akses ekspor ke Amerika Serikat.
Masalahnya, begitu Amerika anggap
investasi yang masuk ke Indonesia itu berasal dari modal China, kita bisa kena efek domino
juga. Meskipun kita bukan
BRICS (waktu itu), kita bisa dianggap bagian dari “satelit China” oleh sistem
dagang ala Trump. Yang lebih parah lagi, di
saat negara lain sudah mulai bikin strategi
transnasional—misalnya buka pabrik di negara tarif-friendly—pelaku usaha di Indonesia
masih sibuk ngurus THR dan deal sama preman yang
mengancam investasi.
“Mau ekspor ke Amerika, tapi mikirin parkir ruko saja sudah ribet.” Dan inilah nasib kita: negara sekocak ini,
tapi modal besar tetap masuk dari China, karena hanya mereka yang punya nyali
masuk ke ekosistem yang LSM-nya doyan palak dan birokrasi yang doyan “atur
urusan”.
Kesimpulan Sejenak sebelum Babak Baru
Jadi, kalau kita rangkum
poinnya:
1. Perdagangan global bukan cuma soal barang, tapi
soal strategi geopolitik;
2. Trump tidak perang dagang dengan negara, tapi
dengan jaringan produksi global yang dikendalikan China;
3. Transhipment sudah tidak laku, sekarang
yang penting siapa yang punya investasinya;
4. Vietnam, Thailand, Meksiko jadi collateral damage karena
mereka jadi base baru China;
5. Indonesia harus siap-siap. Karena kita sudah keburu banyak nerima
modal dari China, tapi tidak punya daya tawar dagang global.
Dan satu hal yang harus kita
pahami: era dagang global hari ini bukan soal “made in mana”, tapi soal
“dimiliki siapa”. Dan selama aliran uang, modal, teknologi
itu datang dari China, maka siapapun yang nampung itu akan ikut dianggap bagian
dari target utama.
Narasi Lanjutan: Efek Tarif, NTB, dan Nasib Ekonomi Indonesia
So rekan-rekan lawyerpontianak, semoga Anda semakin paham ya sekarang. Khususnya buat kalian yang duduk di
pemerintahan, yang masih
bilang, “Tidak masuk akal 64%,”. Bung, itu masuk akal kalau Anda mengerti cara ngitung trend visit dan cara kerja non-tarif
barrier alias NTB.
Banyak yang bilang angka 64%
tarif yang dikenakan ke barang-barang dari Amerika ke Indonesia itu tidak real. Bener,
realitanya memang lebih rendah, mungkin cuma 12%.
Tapi... masalahnya bukan cuma angka tarif.
Begitu barang-barang dari
Amerika masuk ke Indonesia, yang terjadi adalah:
- Butuh lisensi impor;
- Kena
aturan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri);
- Harus
punya sertifikat halal, BPOM, AU, dan entah apa lagi;
- Belum lagi biaya-biaya aneh yang
tidak tercatat resmi.
Artinya, barang dari AS tidak bisa
masuk lancar. Inilah yang disebut Non-Tariff Barrier (NTB). Contoh Nyata, ilustrasikan coba kamu Impor Barang Amerika
Produk |
Tarif Resmi (WTO) |
Realita Harga Retail |
Kenaikan Harga |
Harley Davidson |
10–20% |
Naik 200–300% |
10x tarif resmi |
Mobil Ford |
10–20% |
Naik 150–250% |
Drastis |
Jadi, gimana caranya produk
Amerika bisa bersaing dengan produk Jepang di sini? Jelas tidak bisa.
Efek Domino ke Komoditas: Sawit, Batu Bara, dan Ekspor ke China
Sekarang kita lihat dampaknya
dari perang tarif ini. Banyak pejabat bilang:
“Tenang aja, ini cuma nyerang
China, kita aman.” Salah besar. Kenapa?
Struktur
Rantai Ekspor Kita Sebenarnya:
1. Indonesia jual komoditas (sawit, batu bara, nikel) ke China
2. China olah, produksi, dan ekspor ke Amerika
Serikat
3. Kalau AS
tutup pintu ke China, maka order dari China ke Indonesia juga drop
Jadi, walaupun
yang kena tarif langsung itu China, Indonesia tetap kena getahnya.
Spillover ke
Petani Sawit Indonesia:
- Malaysia
bisa ekspor sawit ke AS dengan tarif lebih rendah
- Indonesia? Kena
tarif tinggi + NTB
- Akhirnya
gimana? Sawit kita numpang lewat Malaysia/Singapura → kita
kehilangan kendali harga
Dampak Perang Dagang terhadap
Ekspor Sawit
Negara |
Porsi Ekspor Sawit ke AS |
Tarif Masuk AS |
Posisi Saat Ini |
Indonesia |
Dominan |
Lebih tinggi |
Tersingkir perlahan |
Malaysia |
10–20% |
Lebih rendah |
Makin kompetitif |
Efek Berantai Lain:
- Harga batu
bara makin anjlok
- Harga kelapa
sawit makin nyungsep
- IHSG drop ke 8.000-an (ramalan: sudah kejadian)
- Rupiah ke Rp20.000/USUSD (ramalan: dalam
perjalanan)
- Ekonomi
rakyat? Akan makin terasa berat
Pertanyaan Besar Buat Pemerintah:
Gimana kalau kita tiru Vietnam? Gimana kalau kita kasih aja
0% tarif buat barang dari AS? Misalnya:
- Anda bisa
beli Harley murah;
- Barang-barang
Amerika jadi kompetitif di sini
Tapi...
Kalau kita kasih 0% ke Amerika Serikat, artinya kita akan kehilangan potensi
penerimaan pajak miliaran dolar. Siapa yang bakal bayar kekurangan itu?
- Duit nenek lo?
- Atau lo rela pajak lo dinaikin?
Penutup:
Ini semua bukan cuma soal
tarif. Ini soal:
-
Strategi dagang global
-
Kecerdikan Cina dalam
investasi
-
Ketidaksiapan Indonesia
mengimbangi perubahan
Kuncinya: deregulasi.
Hilangkan aturan-aturan yang tidak jelas dan mempersulit perdagangan
global.
Kalau tidak, Indonesia akan terus jadi korban, bukan pemain.
Diskusi Terbuka:
1.
Setuju tidak kalau Indonesia kasih 0% ke barang-barang Amerika?
2.
Kalau iya, saham apa yang paling terdampak?
3.
Dan kalau Anda tidak
setuju, apa solusi Anda?
Info lebih
lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara
langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke
nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.