Fenomena Cover Lagu di Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena cover lagu telah menjadi
bagian tak terpisahkan dari industri musik Indonesia. Banyak musisi dan
kreator konten memanfaatkan platform digital seperti YouTube dan TikTok
untuk membawakan ulang lagu-lagu populer.
Kegiatan ini memberikan warna baru pada lagu asli (original song),
tujuannya? Menjangkau audiens yang lebih luas, dan sering kali menjadi ajang
bagi musisi muda nan amatir untuk menunjukkan bakat mereka. Namun, di tengah
popularitasnya, praktik meng-cover lagu ini juga memunculkan sejumlah
kontroversi terkait permasalahan hukum yaitu hak cipta dan izin penggunaan
musik tersebut.
Kita bisa melihat beberapa contoh kasus terkait dengan meng-cover
lagu asli dari beberapa Musisi muda yang baru ingin memulai karirnya seperti
yang kita ketahui pada tahun 2022, Tri Suaka pernah diduga melanggar hak
cipta karena membawakan lagu “Di Saat Aku Tersakiti” milik Dadali tanpa izin
di 2 (dua) tempat berbeda. Ini menjadi polemic saat itu mengingat bahwa
tindakan tersebut diduga masuk dalam pelanggaran hak cipta karena lagu yang
dibawakan dan dipublikasikan tanpa izin dari pemegang hak cipta. Kemudian,
Keluarga Gen Halilintar melakukan cover lagu “Lagi Syantik” tanpa
izin dan mengunggahnya di YouTube mereka. Tindakan ini juga termasuk
pelanggaran hak cipta, karena publikasi lagu cover di platform
digital memerlukan izin dan pembayaran royalti kepada pemegang hak
cipta.
Hanin Dhiya juga pada tahun 2017 pernah tersandung kasus terkait
cover yang mana ia mengubah beberapa lirik lagu “Akad” milik Payung
Teduh sebelum meminta maaf. Kasus ini menunjukkan pelanggaran hak cipta
karena ada perubahan pada lirik tanpa izin, yang bisa dianggap sebagai
modifikasi karya asli tanpa persetujuan.
Penyanyi Via Vallen juga sempat terlibat dalam kasus royalti saat meng-cover
lagu “How You Like That” milik Blackpink. Jika royalti tidak dibayar
dan/atau izin tidak diperoleh, ini juga termasuk dalam kategori pelanggaran
hak cipta.
Dari kasus-kasus ini, melakukan cover lagu yang sah dan tidak, yang
kemudian mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak cipta terletak pada izin
dan pengakuan hak cipta tersebut yang sudah didaftarkan. Penggunaan karya
tanpa izin apalagi mengubah materi karya ciptaan, terutama untuk tujuan
komersial, dapat berujung pada konsekuensi hukum yang serius terhadap Hak
Cipta.
Pengertian Hak Cipta
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk
nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.[1]
Kemudian, Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat
khas dan pribadi.[2]
Sedangkan, yang dimaksud dengan ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di
bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi,
kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, alau keahlian yang
diekspresikan dalam bentuk nyata.[3]
Apabila kita mencermati ketentuan
Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta
yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Hak Cipta”, menyatakan bahwa:
“Hak Cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas
hak moral dan hak ekonomi.
Hak moral merupakan
hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk:
a.
tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan
dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;
b.
menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
c.
mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
d.
mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan
e.
mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan,
modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau
reputasinya.[4]
Hak moral tersebut tidak dapat dialihkan selama Pencipta masih hidup,
tetapi pelaksanaan hak tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah Pencipta
meninggal dunia. Dalam hal terjadi pengalihan pelaksanaan hak moral
sebagaimana dimaksud, penerima dapat melepaskan atau menolak pelaksanaan
haknya dengan syarat pelepasan atau penolakan pelaksanaan hak tersebut
dinyatakan secara tertulis.[5]
Kemudian, ada Hak ekonomi (economic right) yang merupakan hak bagi
pencipta dan/atau pemegang hak cipta untuk memperoleh keuntungan ekonomi
dari karya ciptaannya.[6]
Kemudian, ini dipertegas melalui
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta
yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Hak Cipta”, menyatakan bahwa:
“Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
a.
penerbitan Ciptaan;
b.
penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
c.
penerjemahan Ciptaan;
d.
pengadaptasian, pengaransemenan, pentransformasian Ciptaan;
e.
pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
f.
pertunjukan Ciptaan;
g.
Pengumuman Ciptaan;
h.
Komunikasi Ciptaan; dan
i.
penyewaan Ciptaan.”
Jadi, hak ekonomi yang merupakan hak eksklusif yang disebut hak cipta
tersebut ada menyebutkan bahwa pengaransemenan atau mengubah
atau penyesuaian komposisi musik tersebut merupakan hak ekonomi dari
pencipta. Sehingga, sudah selayak, dan sepantasnya serta wajib, bahwa setiap
orang yang melaksanakan hak ekonomi tersebut wajib mendapatkan izin Pencipta
atau Pemegang Hak Cipta.[7]
Pemegang Hak Cipta di sini adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak
yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang
menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.
Contohnya sebagaimana dalam kasus Gen Halilintar terkait lagu “Lagi Syantik”
yang kami berikan contoh di atas adalah PT Nagaswara Publisherindo
sebagai pihak yang menerima hak secara sah dari pencipta.
Pengertian Cover Lagu
Istilah “cover” telah dikenal sejak beberapa dekade lalu, awalnya
merujuk pada versi saingan (a rival version) dari sebuah lagu yang
direkam untuk bersaing dengan versi asli (original version) yang baru
dirilis.[8]
Contoh terkenal dari fenomena ini adalah lagu “The Hucklebuck” oleh
Paul Williams pada tahun 1949 dan “Jambalaya” oleh Hank Williams pada
tahun 1952. Kedua lagu tersebut menjadi hit dan memiliki banyak versi yang
juga mencapai popularitas.
Sebelum pertengahan abad ke-20, konsep mengenai versi asli dari sebuah lagu
populer masih belum lazim. Produksi musik pada masa itu lebih dipandang
sebagai pertunjukan langsung (live event atau music
hall). Bahkan jika musik tersebut direproduksi di rumah melalui
lembaran musik, dihafal, atau direkam dalam bentuk piringan hitam,
fokus utamanya tetap pada karya musik itu sendiri, bukan pada artis yang membawakannya. Salah satu tujuan utama penerbitan lembaran musik (sheet music)
adalah agar komposisi tersebut dapat dibawakan oleh sebanyak mungkin artis.
Dengan demikian, lagu tersebut dianggap lebih penting daripada artis yang
menampilkannya. Dalam konteks ini, versi cover atau versi “peniru”
(copycat) saling bersaing untuk mencapai kesuksesan yang sama dengan
versi aslinya.[9]
Fenomena ini menunjukkan bagaimana lagu-lagu populer di masa lalu lebih
dilihat sebagai karya kolektif yang dapat diinterpretasikan oleh berbagai
artis, menjadikannya sarana utama untuk memperluas jangkauan dan daya tarik
sebuah komposisi musik.
Dalam industri musik, rekaman versi cover telah lama menjadi cara
untuk menampilkan ulang lagu-lagu populer, sering kali dengan gaya yang
sangat berbeda dari aslinya. Cover tersebut bisa sangat bervariasi,
dari yang hampir tidak dapat dikenali hingga yang sangat mirip dengan versi
aslinya.
Misalnya, lagu rap “Baby Got Back” oleh Sir Mix-a-Lot pada tahun
1992 di-cover oleh penyanyi indie rock Jonathan Coulton pada tahun
2005 dalam gaya soft rock akustik. Cover Coulton kemudian diadaptasi
tanpa atribusi pada tahun 2013 oleh serial Glee, yang memicu tuduhan
plagiarisme atas aransemen dan melodi dari Coulton.
Versi cover yang sangat mirip dengan aslinya, terutama jika
dilakukan tanpa izin dan atribusi yang jelas, dapat melanggar hak cipta. Di
sisi lain, cover yang dilakukan dengan perubahan signifikan dan izin
yang tepat, umumnya masih dianggap sah dan merupakan bagian dari kebebasan
berekspresi artistik. Namun, ketika sebuah cover menjadi terlalu mirip
dengan karya aslinya tanpa pengakuan, seperti yang terjadi dalam kasus
Glee, permasalahan hukum dapat muncul, khususnya terkait dengan hak
atas aransemen dan rekaman suara.
Dalam industri musik modern, produser atau artis sering kali menggunakan
layanan dari perusahaan pemutaran sampel untuk mereplikasi rekaman asli
dengan presisi tinggi. Meskipun ini legal jika dilakukan dengan izin,
produksi yang disengaja untuk menyesatkan pendengar atau untuk tujuan
komersial tanpa izin dapat menimbulkan isu hukum yang serius juga atau
pelanggaran hak cipta.
Fenomena Komersial dan Etika
Pada masa kejayaan album fisik, terutama pada tahun 1970-an, album
cover yang mirip dengan aslinya sering kali dirilis untuk mengisi rak
diskon di toko musik. Strategi ini bertujuan untuk menarik pembeli yang
kurang informasi dengan kemasan yang membingungkan, yang mencantumkan nama
artis asli dalam huruf besar, disertai klaim kecil seperti “seperti yang
dinyanyikan oleh” - originally sung by- atau “seperti yang
dipopulerkan oleh” -made popular by-. Praktik semacam ini
memperkenalkan masalah etika, karena dapat dianggap sebagai upaya untuk
menyesatkan konsumen.
Dalam era modern, proyek seperti seri Kidz Bop, yang menampilkan
anak-anak menyanyikan lagu-lagu kontemporer, telah berhasil secara komersial
tanpa menimbulkan kontroversi besar, karena mereka dengan jelas memposisikan
diri sebagai cover versi anak-anak, dengan izin yang tepat.
Cover Lagu dalam Media Populer
Serial televisi Glee yang memulai debutnya pada tahun 2009 adalah
contoh modern dari kesuksesan komersial cover lagu. Dengan lebih dari
21 (dua puluh satu) juta singel digital yang terjual, serial ini menunjukkan
bagaimana cover dapat menjadi sumber pendapatan yang signifikan jika
dilakukan secara legal. Glee menggabungkan berbagai lagu hit dalam
format mashup dan variasi, menonjolkan daya tarik musik yang sudah
dikenal oleh audiens.
Stasiun radio Triple J di Australia memiliki segmen populer
Like a Version, di mana musisi membawakan lagu mereka sendiri dan
lagu favorit dari artis lain. Program ini, yang dimulai pada tahun 2004,
telah melahirkan album kompilasi tahunan dan menempati posisi penting dalam
budaya musik alternatif.
Dampak Cover yang Lebih Populer dari Aslinya
Dalam beberapa kasus, lagu cover menjadi lebih terkenal daripada
versi aslinya. Contohnya adalah “All Along the Watchtower” oleh Bob
Dylan yang lebih dikenal dalam versi Jimi Hendrix, hingga Dylan sendiri
menyesuaikan gaya penampilannya agar lebih menyerupai versi Hendrix. Lagu
“Hurt” oleh Nine Inch Nails yang di-cover oleh Johnny Cash
pada tahun 2002 adalah contoh lain di mana cover tersebut lebih
diingat daripada versi aslinya.
Teknologi dan Masa Depan Cover Lagu
Dengan kemajuan kecerdasan buatan (AI), pengguna internet kini dapat
membuat cover lagu menggunakan model berbasis RVC (Retrieval-based Voice Conversion). Teknologi ini memungkinkan siapa saja untuk membuat versi
cover dengan suara yang menyerupai penyanyi aslinya, membuka peluang
baru sekaligus tantangan hukum di masa depan terkait hak cipta dan
kepemilikan karya.
Sehingga, dapat kami lihat bahwa fenomena cover lagu terus
berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan dinamika industri
musik. Sementara cover dapat menjadi bentuk ekspresi artistik yang
sah, penting untuk memastikan bahwa semua aspek hukum terkait hak cipta
dipenuhi untuk menghindari pelanggaran dan menjaga integritas karya
asli.
Aturan Hukum tentang Cover Lagu di Indonesia
Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks dilindungi oleh hak cipta sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) huruf d UU tentang Hak Cipta. Adapun yang dimaksud dengan lagu atau musik dengan atau tanpa teks adalah sebagai satu kesatuan karya cipta yang bersifat utuh.[10] Disebutkan juga bahwa masa perlindungan hak cipta atas ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks adalah selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.[11]
Kembali mengingat lagi, ketentuan
Pasal 9 ayat (1) huruf d dan g Undang-Undang tentang Hak Cipta
menyatakan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi,
termasuk hak untuk mengaransemen dan
mengumumkan ciptaan. Pengumuman didefinisikan sebagaimana ketentuan
Pasal 1 Angka 11 UU tentang Hak Cipta adalah:
“pembacaan, penyiaran, pameran,
suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik
atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan
dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.”
Yang kemudian, sebagaimana sudah kami jelaskan di atas bahwa setiap orang
yang ingin melaksanakan hak ekonomi tersebut wajib memperoleh izin dari
pencipta atau pemegang hak cipta. Tanpa izin, tindakan penggandaan dan/atau
penggunaan ciptaan secara komersial adalah terlarang.
Izin untuk melakukan cover lagu atau aransemen
diberikan dalam bentuk lisensi. Ini dapat kita lihat sebagaimana ketentuan
Pasal 80 ayat (1) UU tentang Hak Cipta, yang menyatakan:
“Kecuali diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta atau
pemilik Hak Terkait berhak memberikan Lisensi kepada
pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk melaksanakan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 23 ayat (21, Pasal
24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (2).”
Siapa yang dimaksud dengan pemilik hak terkait? Ini tidak terlepas dari
definisi hak terkait yang diatur dalam
Pasal 1 Angka 5 UU tentang Hak Cipta yang menyatakan:
“Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak
eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga
Penyiaran.”
Dengan demikian, baik cover lagu maupun aransemen lagu memerlukan
izin dari pencipta atau pemegang hak cipta karena termasuk dalam hak ekonomi
berupa pengumuman dan pengaransemenan. Begitu pun bagi pemilik hak terkait
seperti pelaku pertunjukan, produser fonogram atau lembaga penyiaran, harus
mengantongi terkait dengan lisensi itu tadi.
Izin yang dimaksud tadi yang dikenal dengan istilah lisensi. Lisensi adalah
izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak
Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya
atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu.[12]
Apabila setiap orang yang melakukan pengaransemenan ciptaan untuk tujuan
komersial tanpa adanya izin atau lisensi tersebut, mereka dapat dikenakan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500
(lima ratus) juta.[13]
Sedangkan, Apabila pelanggaran melibatkan pengumuman ciptaan tanpa izin
untuk tujuan komersial, pelanggar dapat dipidana penjara hingga 4 (empat)
tahun dan/atau denda maksimal Rp1 (satu) miliar.[14]
Yang kamu ketahui, Platform seperti YouTube memiliki kebijakan ketat
terkait hak cipta. Kreator hanya diizinkan mengunggah video milik mereka
sendiri atau konten orang lain dengan izin penggunaan yang sah. Mengunggah
konten berhak cipta tanpa izin, seperti lagu atau cuplikan video, dapat
melanggar kebijakan platform.
Namun, YouTube menyediakan opsi bagi video cover lagu untuk
dimonetisasi melalui program berbagi pendapatan, asalkan memenuhi syarat
tertentu. Kreator dapat mengunggah lagu cover dan mendapatkan bagian dari
pendapatan iklan, asalkan mereka mematuhi ketentuan hak cipta yang
berlaku.
Kenapa Pemberian Izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait Sangat Diperlukan?
Apabila kita kembali cermati Bahasa dalam
Pasal 80 ayat (3) UU tentang Hak Cipta yang menyatakan
bahwa:
“pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai kewajiban penerima Lisensi untuk memberikan Royalti kepada
Pemegang Hak Cipta
atau pemilik Hak Terkait selama jangka waktu Lisensi.”
Artinya, selama pelaksanaan perbuataan meng-cover lagu tersebut
dilakukan oleh artis-artis muda tersebut, seorang Pencipta lagu bisa
memberikan lisensi (izin) atas lagunya tersebut kepada para artis-artis mud
aini yang mana dengan memberikan lisensi atas lagunya
tersebut artinya pencipta lagu mendapatkan royalti.
Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau
Produk Hak Terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait.[15]
Dalam dunia internasional dikenal istilah umum dalam hal eksploitasi hak ekonomi Pencipta lagu seperti:
a.
Mechanical Rights: Hak untuk mendapatkan royalti dari reproduksi lagu pada beberapa media
seperti kaset, CD, dan lain-lain;
b.
Performance Rights: Hak untuk mendapatkan royalti dari pertunjukan-pertunjukan di mana lagu
tersebut dimainkan;
c.
Synchronization Rights: Hak untuk mendapatkan royalti apabila lagu dipakai untuk berbagai bentuk
ciptaan lain seperti film, iklan, video, dan lain-lain;
d.
Print Rights: Hak untuk mendapatkan royalti jika lagu dijual dalam bentuk cetakan.
Hak cipta lagu melibatkan berbagai hak yang harus dihormati dan dipatuhi, terutama jika karya tersebut akan digunakan kembali atau diaransemen. Pencipta memiliki hak untuk melindungi ciptaannya dari penggunaan tanpa izin, dan setiap pelanggaran terhadap hak ekonomi ini dapat mengakibatkan konsekuensi hukum yang serius. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan izin telah diperoleh sebelum lagu dinyanyikan kembali atau diaransemen untuk tujuan komersial.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1] vide
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta.
[2] vide
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta.
[3] vide
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta.
[4] vide
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta.
[5] vide
Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
[6] vide
Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta.
[7] vide
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta.
[8]
Ray Padgett, “Cover Me: The Stories Behind The Greatest Cover Songs of All Time”, (New York: Sterling, 2017), 2.
[9] Ibid, 8-9.
[10] vide
Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf d Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
[11] vide
Pasal 58 ayat (1) huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
[12] vide
Pasal 1 Angka 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta.
[13] vide
Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta.
[14] vide
Pasal 113 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta.
[15] vide Pasal 1 Angka 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.