layananhukum

Aturan Izin Pertambangan Rakyat Terbaru: Panduan Lengkap untuk Pemula

 

    Latar Belakang dan Pentingnya Izin Pertambangan Rakyat (IPR)

    Indonesia, sebagai negara kepulauan (archipelagic state) dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, memiliki potensi besar dalam sektor pertambangan. Sumber daya mineral yang tersebar di seluruh nusantara bukan hanya menopang perekonomian negara, tetapi juga memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, seperti menciptakan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, dan meningkatkan taraf hidup komunitas lokal.

    Berdasarkan data dari Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, tercatat bahwa pada tahun 2024 terdapat 4.283 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diterbitkan. Namun, di balik angka ini, terdapat tantangan serius, yakni maraknya aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang tidak hanya berisiko merusak lingkungan, tetapi juga merugikan negara dan masyarakat.

    Mengingat praktik ini membawa dampak negatif yang signifikan, seperti kerusakan lingkungan (potential polluter), eksploitasi sumber daya mineral yang mana bahan galian bersifat tak terbarukan (nonrenewable resources), serta ancaman hukum serius dengan tidak menerapkan kaidah pertambangan secara benar (good mining practice).

    Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Minerba”, menyatakan:

    Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah).”

    Kemudian, ketentuan Pasal 161 UU tentang Minerba, juga menyatakan:

    “Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian, Pengembangan dan/atau Pemanfaatan, Pengangkutan, Penjualan Mineral dan/atau Batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c dan huruf g, Pasal 104, atau Pasal 105 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah).”

    Perlu diingat bahwa “Setiap Orang” adalah “orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.”[1]

    2 (dua) ketentuan di atas sebagai gambaran yang mempertegas kewajiban kepemilikan izin bagi semua kegiatan tambang. Pelaku PETI yang tidak memiliki izin resmi dapat dikenai pidana hingga 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp100 miliar. Hal ini tidak hanya melindungi sumber daya alam yang tidak terbarukan tetapi juga mendorong tata kelola tambang yang sesuai dengan good mining practices itu sendiri.

    Di sinilah pentingnya Izin Pertambangan Rakyat (IPR). IPR dirancang untuk memberikan akses hukum kepada masyarakat kecil agar dapat melakukan kegiatan tambang secara sah, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Dengan adanya IPR, masyarakat dapat diberdayakan melalui regulasi yang memberikan perlindungan hukum, mengurangi ketergantungan pada PETI, sekaligus menjaga lingkungan dari dampak kerusakan yang masif. Selain itu, IPR membantu pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara melalui pajak dan pungutan resmi serta memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.

    Dengan pengelolaan yang tepat, IPR menjadi solusi yang adil, memberdayakan masyarakat kecil tanpa mengorbankan lingkungan dan kepentingan generasi mendatang.

    Tujuan Panduan Ini untuk Pemula yang Ingin Memahami Aturan Pertambangan Rakyat

    Seperti yang sudah kami jelaskan di atas, bahwa pentingnya IPR tidak hanya terletak pada aspek legalitas, tetapi juga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan memiliki izin resmi, para penambang rakyat dapat mengakses berbagai program pemerintah, seperti pelatihan teknis, bantuan modal, perlindungan sosial, mencegah pengerusakan lingkungan, terhindari dari kriminalisasi dan upaya lain yang menghambat kegiatan usaha oleh pihak-pihak yang berupaya mencari keutungan sepihak. Hal ini memberikan jaminan keamanan kerja bagi penambang sekaligus memperkuat kontribusi sektor pertambangan terhadap pembangunan nasional.

    Sehingga, Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diberikan adalah alat vital untuk mengintegrasikan kebutuhan ekonomi masyarakat lokal dengan upaya perlindungan lingkungan dan tata kelola pertambangan yang baik. Sebagai negara dengan kekayaan tambang yang luar biasa, Indonesia memerlukan kebijakan seperti IPR untuk mengelola potensi ini secara adil, berkelanjutan, dan bertanggung jawab.

    Panduan ini disusun untuk membantu pemula memahami aturan dasar terkait pertambangan rakyat, mulai dari konsep, definisi, perizinan hingga tata kelola yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Selain itu, panduan ini juga relevan sebagai referensi bagi mahasiswa, akademisi, dan praktisi yang ingin memperdalam wawasan tentang regulasi pertambangan rakyat secara praktis dan komprehensif.

    Apa Itu Izin Pertambangan Rakyat (IPR)?

    Menurut Tri Hayati, pertambangan rakyat adalah salah satu usaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua golongan, yaitu golongan a, b, dan c seperti yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri. Pertambangan rakyat bertujuan memberikan kesempatan kepada rakyat setempat dalam mengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun Negara di bidang pertambangan dengan bimbingan Pemerintah.[2]

    Lebih lanjut menurutnya, pertambangan rakyat hanya dapat dilakukan oleh rakyat setempat yang memegang Kuasa Pertambangan (izin) Pertambangan Rakyat. Izin pertambangan rakyat (IPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Huruf n Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan jo. Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, memberikan pengertian yaitu:

    “Surat Keputusan izin pertambangan rakyat adalah kuasa pertambangan yang diberikan oleh Bupati/Walikota kepada rakyat setempat untuk melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat terbatas yang meliputi tahap kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan dan penjualan”[3]

    Dari definisi tersebut, izin pertambangan rakyat dikonstruksikan sebagai kuasa pertambangan yang diberikan oleh bupati/walikota kepada rakyat setempat, artinya masyarakat asli yang bertempat tinggal di wilayah tempat penambangan dilakukan (bukan pendatang). Kegiatan yang dilakukannya adalah kegiatan usaha pertambangan dengan skala kecil dan luas wilayah yang sangat terbatas, karena bertujuan hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bersama keluarganya saja, tidak untuk maksud komersial atau diperdagangkan.

    Lantas, bagaimana dengan definisinya saat ini? Apabila kita mencermati ketentuan yang baru yaitu Pasal 1 Angka 10 UU tentang Minerba, menyatakan bahwa:

    “Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan dalam wilayah pertambang rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.”

    Perbedaan utama antara kedua definisi Izin Pertambangan Rakyat (IPR) tersebut di atas, terletak pada cakupan kewenangan pemberian izin, lingkup kegiatan, dan regulasi yang mengaturnya. Pada definisi berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1967, IPR didefinisikan sebagai kuasa pertambangan yang diberikan oleh Bupati/Walikota kepada rakyat setempat untuk melakukan pertambangan skala kecil dengan cakupan aktivitas yang luas, mencakup penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, hingga pengolahan dan penjualan.

    Sementara itu, definisi dalam UU Minerba lebih ringkas dan menekankan bahwa IPR adalah izin usaha pertambangan yang hanya dapat dilakukan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas dan investasi yang terbatas, tanpa secara eksplisit menyebutkan tahapan kegiatan yang diizinkan. Secara substansi, perubahan ini menunjukkan pergeseran regulasi dari sistem kuasa pertambangan yang lebih luas ke sistem perizinan yang lebih terkontrol dan terfokus pada batasan wilayah serta skala investasi.

    Siapa yang Berwenang Memberikan Izin Pertambangan Rakyat (IPR)?

    Kemudian, siapa yang berwenang memberikan IPR ini berdasarkan rezim UU tentang Minerba saat ini? IPR diberikan oleh Menteri kepada orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat; atau koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.[4]

    Perlu dicatat bahwa, sejak diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, konsep desentralisasi menjadi prinsip utama dalam penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagai daerah otonom, yang kemudian dikenal dengan istilah delegasi.[5] Penyerahan kewenangan ini dilakukan dalam kerangka urusan konkuren yang bersifat sektoral, termasuk dalam pengelolaan sektor pertambangan mineral dan batu bara (Minerba).

    Dalam implementasi Pasal 35 ayat (4) Undang-Undang tentang Minerba jo. Pasal 6 ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang selanjutnya disebut dengan “PP tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba”, dalam konteks pendelegasian kewenangan melalui desentralisasi menjadi salah satu alternatif kebijakan yang dapat diterapkan dengan mempertimbangkan 2 (dua) prinsip utama yang sama dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya kita sebut dengan “UU tentang Pemda”, antara lain:

    1.        Prinsip Efisiensi
    Desentralisasi memungkinkan pemerintah daerah mengatur dan mengelola sektor Minerba di wilayahnya masing-masing secara lebih efektif. Dengan kewenangan penuh, daerah dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana tanpa bergantung pada pemerintah pusat.

    2.       Prinsip Akuntabilitas
    Dalam desentralisasi menegaskan bahwa tanggung jawab suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatan dengan dampak yang ditimbulkan. Dalam konteks Minerba, sumber daya mineral dan batu bara berada di daerah, sehingga pemerintah daerah lebih memahami serta langsung merasakan dampak dari pengelolaannya. Oleh karena itu, logis jika kewenangan pengelolaan Minerba diberikan kepada pemerintah daerah agar keputusan yang diambil lebih sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal.

    Lalu bagaimana dengan prinsip eksternalitas dan prinsip kepentingan strategis nasional?

    Prinsip eksternalitas berkaitan dengan dampak suatu kebijakan atau kegiatan yang tidak hanya dirasakan oleh pihak yang langsung terlibat, tetapi juga oleh pihak lain di luar wilayah administratif tempat kegiatan tersebut berlangsung. Dalam konteks pertambangan Minerba, aktivitas eksploitasi sumber daya alam di suatu daerah dapat menimbulkan dampak luas, seperti pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem, atau perubahan sosial-ekonomi yang berpengaruh hingga ke daerah lain.

    Oleh karena itu, ketika pengelolaan Minerba memiliki eksternalitas tinggi—misalnya, menimbulkan pencemaran lintas wilayah atau berdampak pada ekosistem nasional—pemerintah pusat dapat mengambil peran lebih besar dalam pengaturannya. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa dampak negatif tidak hanya ditanggung oleh satu daerah, tetapi juga dikelola dengan kebijakan yang lebih terkoordinasi secara nasional.

    Kemudian, Prinsip Kepentingan Strategis Nasional, prinsip ini menekankan bahwa sektor pertambangan memiliki peran penting dalam mendukung stabilitas ekonomi, energi, dan ketahanan nasional. Sumber daya alam yang bernilai tinggi, seperti batu bara, nikel, dan emas, sering kali menjadi komoditas strategis yang berpengaruh terhadap pendapatan negara, investasi, serta hubungan perdagangan internasional.

    Ketika suatu kegiatan pertambangan memiliki dampak besar terhadap perekonomian nasional, ketersediaan energi, atau ketahanan sumber daya, maka pengelolaannya harus berada di bawah kendali pemerintah pusat. Misalnya, pertambangan yang terkait dengan proyek infrastruktur strategis atau yang menyangkut kepentingan industri nasional tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah, karena keputusan yang diambil harus mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian dan kepentingan nasional secara keseluruhan.

    Sehingga, dalam desentralisasi pertambangan Minerba, prinsip efisiensi dan akuntabilitas mendukung pendelegasian kewenangan ke daerah agar pengelolaan lebih optimal dan dekat dengan sumber daya yang dikelola. Namun, ketika suatu kegiatan pertambangan memiliki eksternalitas tinggi atau menyangkut kepentingan strategis nasional, maka peran pemerintah pusat menjadi lebih dominan untuk memastikan kebijakan yang terkoordinasi, mencegah dampak negatif lintas daerah, dan melindungi kepentingan negara secara keseluruhan.

    Jadi, tidak heran apabila pemberian izin IPR ini juga dapat didelegasikan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah.[6]

    Berapa Luas Wilayah yang Dapat Diberikan IPR?

    Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kewenangan pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan oleh Menteri (Pemerintah Pusat) kepada Pemerintah Daerah melalui Gubernur. Dalam prosesnya, baik perorangan maupun koperasi yang ingin memperoleh IPR harus terlebih dahulu mengajukan permohonan resmi kepada Menteri sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[7]

    Permohonan IPR sebagaimana dimaksud hanya dapat diajukan pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai WPR.[8] Mengingat, bahwa kegiatan pertambangan rakyat tersebut dilaksanakan dalam suatu WPR.[9]

    WPR adalah Wilayah Pertambangan Rakyat, WPR ini adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan Usaha Pertambangan rakyat.[10] Lantas, apa yang dimaksud dengan WP itu lagi? WP atau Wilayah Pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi Mineral dan/atau Batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.[11]

    Disebutkan bahwa kegiatan Pertambangan rakyat yang dilaksanakan dalam suatu WPR tersebut dikelompokkan sebagai berikut:

    a.       Pertambangan Mineral logam;

    b.      Pertambangan Mineral bukan logam; atau

    c.       Pertambangan batuan.[12]

    Dalam 1 (satu) WPR dapat diberikan 1 (satu) atau beberapa IPR.[13] Untuk setiap pemohon hanya dapat diberikan 1 (satu) IPR saja.[14] Kemudian, yang dimaksud dengan luas wilayah tersebut di atas adalah luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan untuk orang perseorangan paling luas 5 (lima) hektare, sedangkan untuk koperasi paling luas 10 (sepuluh) hektare.[15] 

    Terkait dengan penetapan Wilayah Pertambangan (WP) untuk dapat ditentukan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) harus memenuhi kriteria:

    a.       mempunyai cadangan Mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai;

    b.      mempunyai cadangan primer Mineral logam dengan kedalaman maksirnal 100 (seratus) meter;

    c.       endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;

    d.      luas maksimal WPR adalah 100 (seratus) hektare;

    e.       menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau

    f.        memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[16]

    Perlu diketahui juga bahwa wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR.[17] WPR sebagaimana dimaksud dapat berasal dari:

    a.       wilayah yang memiliki data dan informasi hasil Penyelidikan dan Penelitian;

    b.      wilayah yang sedang berlangsung kegiatan Pertambangan rakyat oleh pemegang IPR;

    c.       WIUP dan eks WIUPK yang berdasarkan evaluasi Menteri perlu ditetapkan kembali menjadi WPR; dan/atau

    d.      eks Wilayah Kontrak/Perjanjian yang berdasarkan evaluasi Menteri perlu ditetapkan kembali menjadi WPR.[18]

    Penetapan dan Pengelolaan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)

    Menteri menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) setelah sebelumnya ditentukan oleh Gubernur.[19] Penentuan WPR oleh Gubernur tersebut harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

    a.       harus berkoordinasi dengan Menteri dan bupati/wali kota;

    b.      sesuai dengan wilayah administrasinya; dan

    c.       mempertimbangkan penyediaan anggaran pemerintah daerah provinsi dalam pengelolaan wilayah yang ditentukan sebagai WPR.[20]

    Selanjutnya, Menteri menetapkan dokumen pengelolaan WPR sebagai dasar pengelolaan dan pengusahaan pertambangan rakyat di WPR yang telah ditetapkan. Dokumen ini sekurang-kurangnya memuat:

    a.       koordinat dan peta;

    b.      data teknis; dan

    c.       tata cara pengelolaan lingkungan.[21]

    Dokumen pengelolaan WPR ini wajib menjadi pedoman bagi pemegang Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dalam menyusun rencana pengelolaan IPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[22] Selain itu, Gubernur serta Bupati/Wali Kota, sesuai dengan kewenangannya, wajib menetapkan batas-batas (mendelineasi) WPR dalam rencana tata ruang wilayah provinsi maupun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kabupaten/kota, sehingga kawasan tersebut secara resmi diakui sebagai peruntukan pertambangan rakyat.[23]

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk menjamin bahwa tidak terjadi perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WPR yang telah ditetapkan. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang IPR dalam menjalankan kegiatan usahanya sesuai dengan peraturan yang berlaku.[24]

    Selain itu Menteri melakukan evaluasi terhadap WPR yang telah dikembalikan oleh pemegang IPR atau yang tidak diajukan permohonan IPR-nya. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, WPR yang dikembalikan atau tidak dimohonkan dapat ditetapkan kembali oleh Menteri dengan salah satu status berikut:

    a.       WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat);

    b.      WUP (Wilayah Usaha Pertambangan);

    c.       WPN (Wilayah Pencadangan Negara); dan/atau

    d.      WUPK (Wilayah Usaha Pertambangan Khusus).[25]

    Jangka Waktu IPR serta Kewajiban Pemegang IPR

    IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.[26] Pemegang IPR juga memiliki kewajiban antara lain:

    a.       melakukan kegiatan Penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan;

    b.      mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan Pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku;

    c.       mengelola lingkungan hidup bersama Menteri;

    d.      membayar iuran Pertambangan rakyat; dan

    e.       menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan rakyat secara berkala kepada Menteri.

    Dalam menjalankan usahanya, pemegang IPR juga memiliki kewenangan untuk melakukan penjualan hasil tambang, sebagaimana diatur dalam ketentuan perizinan usaha pertambangan. Namun, penting untuk dicatat bahwa Pemegang IPR dilarang memindahtangankan IPR kepada pihak lain.[27]

    Pemegang IPR juga memiliki kewajiban membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[28] Untuk Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP)[29], yang mencakup:

    a.       Penerimaan Pajak

    -       Pajak yang menjadi kewenangan pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku;

    -       Bea dan cukai sesuai dengan peraturan di bidang kepabeanan dan cukai.[30]

    b.      Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

    -       Iuran tetap;

    -       Iuran produksi;

    -       Kompensasi data dan informasi; serta

    -       Penerimaan negara bukan pajak lainnya yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan.[31]

    Selain pendapatan negara, pemegang IPR juga berkewajiban membayar pendapatan daerah, yang meliputi:

    a.       Pajak daerah;

    b.      Retribusi daerah;

    c.       Iuran pertambangan rakyat; serta

    d.      Pendapatan daerah lainnya yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan.[32]

    Nah, untuk Iuran pertambangan rakyat inilah yang merupakan bagian dari struktur pendapatan daerah yang dikategorikan sebagai pajak dan/atau retribusi daerah. Pendapatan ini digunakan untuk mendukung pengelolaan tambang rakyat agar tetap berjalan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Sehingga dengan adanya kewajiban perpajakan ini, pemegang IPR tidak hanya berkontribusi pada penerimaan negara, tetapi juga mendukung pembangunan daerah dan keberlanjutan sektor pertambangan rakyat.[33]

    Persyaratan Pemberian IPR

    Bagi pemohon orang perseorangan untuk mendapatkan IPR, pemohon harus memenuhi persyaratan, yang terdiri atas:

    1.        Surat Permohonan;

    2.       Nomor Induk Berusaha (NIB);

    3.      Salinan Kartu Tanda Penduduk (KTP);

    4.       Surat Keterangan dari Kelurahan/Desa Setempat yang menyatakan Pemohon Merupakan Penduduk Setempat;

    5.       Surat Pernyataan Kesanggupan untuk Mematuhi Ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Keselamatan Pertambangan; dan

    6.      Surat Keterangan Fiskal sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Perpajakan.[34]

    Selain daripada syarat-syarat yang bersifat umum lainnya yang ada di atas, terdapat pula beberapa syarat lainnya juga antara lain:

    a.       salinan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan ketentuan:

    1.      apabila dapat menyelesaikan penyusunan dokumen lingkungan hidup yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi secara sendiri; atau

    2.     apabila tidak dapat menyelesaikan penyusunan dokumen lingkungan hidup secara sendiri, dapat memperoleh pendampingan penyusunan yang pendanaannya berasal dari Pemerintah Daerah Provinsi apabila tersedia.

    b.      konfirmasi kesesuaian ruang dari instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan ruang.[35]

    Sedangkan bagi Pemohon yang merupakan Badan Hukum Koperasi, meliputi:

    1.        Surat Permohonan;

    2.       Nomor Induk Berusaha (NIB) Koperasi;

    3.      Salinan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Pengurus Koperasi;

    4.       Surat Keterangan dari Kelurahan/Desa Setempat yang menyatakan Seluruh Pengurus Koperasi merupakan Penduduk Setempat;

    5.       Surat Pernyataan Kesanggupan untuk Mematuhi Ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Keselamatan Pertambangan; dan

    6.      Surat Keterangan Fiskal sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Perpajakan.[36]

    Alur Proses Permohonan, Evaluasi, dan Pemberian IPR

    Berikut alur proses permohonan, evaluasi, dan pemberian IPR kamu rangkum untuk memberikan Gambaran, antara lain:

    1.        Pemohon, mengajukan surat permohonan pendaftaran IPR beserta kelengkapan dokumen persyaratan kepada Gubernur melalui OSS RBA setelah memenuhi persyaratan dasar;

    2.       Secara online, sistem OSS mengirimkan data permohonan ke akun OPD (Dinas ESDM Provinsi);

    3.      Kepala Dinas, mendisposisikan kepada Koordinator/ Kepala Bagian untuk melakukan evaluasi administrasi dan teknis Kepala Dinas secara internal mendisposisikan ke Koordinator;

    4.       Koordinator/Kepala Bidang, melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Jika tidak lengkap akan dikembalikan kepada pemohon. Jika lengkap menugaskan Evaluator untuk melakukan evaluasi;

    5.       Evaluator melakukan evaluasi administrasi dan teknis (tinjauan lapangan jika diperlukan dengan melampirkan berita acara);

    6.      Koordinator/Kepala Bidang, menerima hasil evaluasi dan menyiapkan konsep Rekomendasi Teknis.

    7.       Kepala Dinas, melakukan reviu terhadap konsep SK dan mengeluarkan Rekomendasi Teknis serta mengirimkan konsep SK dan Rekomendasi Teknis kepada Kepala DPMPTSP.

    8.      Secara online, DPM PTSP menerima dan menyetujui konsep SK atas nama Gubernur;

    9.      Pemohon, menerima SK IPR secara online dalam system OSS SK;

    10.    Pemohon, wajib mendaftarkan SK IPR ke MODI dengan asistensi Dinas ESDM Provinsi.

    Jangka waktu 14 (empat belas) hari tidak termasuk pelaksanaan kunjungan lapangan. Hari di sini adalah hari kerja.

    Pelaksanaan lzin Pertambangan Rakyat

    Pemegang IPR wajib memulai kegiatan penambangan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan setelah izin diterbitkan.[37] Sebelum memulai aktivitas tersebut, pemegang IPR harus menyusun Rencana Penambangan berdasarkan dokumen pengelolaan WPR yang telah disusun oleh Menteri.[38] Rencana Penambangan tersebut sekurang-kurangnya mencakup:

    1.        Metode penambangan yang akan digunakan;

    2.       Peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam operasional pertambangan;

    3.      Jadwal kerja yang terstruktur;

    4.       Kebutuhan tenaga kerja atau personel yang terlibat; dan

    5.       Estimasi biaya atau permodalan yang diperlukan.

    Selain itu, pemegang IPR diwajibkan untuk mematuhi persyaratan teknis pertambangan, yang meliputi:

    1.        Tidak menggunakan bahan peledak dalam aktivitas pertambangan;

    2.       Tidak menggunakan bahan berbahaya dan beracun yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan;

    3.       Tidak melakukan metode penambangan bawah tanah bagi pemegang IPR perorangan; dan

    4.       Menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik, terutama dalam aspek pengelolaan lingkungan dan keselamatan kerja.[39]

    Dengan adanya regulasi ini, pelaksanaan IPR diharapkan berjalan sesuai dengan prinsip keselamatan, keberlanjutan, dan kepatuhan terhadap hukum, guna memastikan manfaat optimal bagi masyarakat serta kelestarian lingkungan.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] vide Pasal 1 angka 35a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

    [2] Tri Hayati, “Era Baru Hukum Pertambangan di Bawah Rezim UU No. 4 Tahun 2009”, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), 151.

    [3] Ibid, 152.

    [4] vide Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

    [5] vide Pasal 1 Angka 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Yang menyebutkan delegasi adalah adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.

    [6] vide Pasal 2 ayat (3) huruf Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.

    [7] vide Pasal 62 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

    [8] vide Pasal 62 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

    [9] vide Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

    [10] vide Pasal 1 Angka 32 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

    [11] vide Pasal 1 Angka 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

    [12] vide Pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

    [13] vide Pasal 62 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

    [14] vide Pasal 62 ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

    [15] vide Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

    [16] vide Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara jo. Pasal 36 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan.

    [17] vide Pasal 24 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

    [18] vide Pasal 36 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan.

    [19] vide Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan.

    [20] vide Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan.

    [21] vide Pasal 37 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan.

    [22] vide Pasal 37 ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan.

    [23] vide Pasal 37 ayat (6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan.

    [24] vide Pasal 38 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan.

    [25] vide Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan.

    [26] vide Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

    [27] vide Pasal 70A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

    [28] vide Pasal 128 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

    [29] vide Pasal 128 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

    [30] vide Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara

    [31] vide Pasal 128 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara

    [32] vide Pasal 128 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara

    [33] vide Pasal 128 ayat (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara

    [34] vide Pasal 63 huruf a Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

    [35] vide Lampiran II Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 174.K/MB.01/MEM.B/2024 tanggal: 25 Juli 2024 tentang Pedoman Penyelenggaraan Izin Pertambangan Rakyat.

    [36] vide Pasal 63 huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

    [37] vide Pasal 65 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

    [38] vide Pasal 65 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

    [39] vide Pasal 66 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.