layananhukum

Hak Anak yang Telah Melangsungkan Perkawinan: Upaya Penegakan Pasal 20 UU SPPA

 

Pertanyaan

Selamat siang bang Eka, izin konsultasi tetang UU SPPA, sebagaimana ketentuan Pasal 20 UU SPPA, yang menyatakan:

“Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak.”

Kemudian, penjelasan Pasal 20 tersebut berbunyi:

“Sesuai dengan asas praduga tidak bersalah, seorang Anak yang sedang dalam proses peradilan tetap dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Anak yang sudah kawin dan belum berumur 18 (delapan belas) tahun tetap diberikan hak dan kewajiban keperdataan sebagai orang dewasa.”

Pertanyaan saya, apakah anak yang sudah melangsungkan perkawinan masih tetap di perlakukan sebagai anak atau sebagai orang dewasa? Terima kasih.

Jawaban

    Pengantar

    Baik, terima kasih atas pertanyaannya, pertama-tama saya ingin memulai dengan mengatakan bahwa pengakuan hak-hak anak oleh komunitas internasional memiliki sejarah yang kaya dan perkembangannya ada sebagai respons terhadap kebutuhan untuk melindungi kelompok paling rentan dalam masyarakat yaitu anak-anak khusus dalam aspek hukum.

    Seiring dengan perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai sosial, pengaturan hak-hak anak menjadi satu di antara perhatian utama dalam hukum internasional.

    Sejarah Kelam dan Perkembangan Hak-Hak Anak

    Mari kita lihat, seperti yang kita ketahui bahwa sejarah panjang Amerika Serikat dalam memisahkan anak-anak dari orang tua mereka adalah kisah kelam yang penuh dengan ketidakpedulian terhadap hak-hak keluarga dan kesejahteraan anak.

    Fenomena ini sudah dimulai sejak tahun 1620, ketika Perusahaan Virginia mengajukan keluhan kepada Sir Robert Naunton, Sekretaris Negara pada masa pemerintahan Raja James I. Mereka mengeluhkan bahwa anak-anak jalanan London menolak untuk dikirim ke koloni Virginia (Amerika Serikat saat ini) sebagai pekerja magang.

    Saat itu diketahui para pejabat dan aristokrat di London memang ingin menyingkirkan para gelandangan dan perusuh (menurut mereka), sehingga mereka memutuskan untuk mengirim anak-anak tersebut ke koloni-koloni serta menempatkan mereka “di bawah majikan yang keras agar dapat menjadi lebih baik.” (under severe masters they may be brought to goodness.)

    Jika anak-anak tersebut menolak, para pejabat juga memiliki kewenangan untuk memenjarakan, menghukum, dan mengusir anak-anak tersebut dari Kota London, serta dapat mengirim mereka ke Virginia secepat mungkin sebagai bentuk hukum yang dijatuhkan. Pada masa itu, pemisahan anak dari orang tua sudah menjadi hal yang lazim, dan anak-anak yang lahir di luar ikatan perkawinan sering kali diambil tanpa memperhatikan kepentingan terbaik mereka (anak) dan terpisah jauh dari ibu mereka.

    Dari catatan sejarah ini, dapat dilihat bahwa ada 2 (dua) masalah yang saat itu dianggap lumrah pada zaman itu yaitu ketiadapedulian hak keluarga untuk mendapatkan rasa aman dalam hubungan keperdataan mereka dan ketiadapedulian hukum melihat anak-anak yang dari keluarga miskin mendapatkan kelayakan perlindungan dan kesejahteraan.

    Tidak sampai di situ, kami mengambil contoh utama dari pemisahan anak dari orang tua yang ekstrem adalah melalui perbudakan. Pada zaman itu, istri dan anak dianggap sebagai milik suami mereka (*red-property), sehingga anak-anak mengikuti kewarganegaraan dan status ayah mereka. Hal ini menciptakan masalah bagi anak-anak yang lahir dari wanita yang diperbudak, karena anak-anak tersebut, yang lahir dari pemerkosaan oleh pemilik budak, akan mengambil status ayah mereka dan menjadi bebas untuk diperdagangkan oleh ayahnya.

    Untuk menangani hal ini, pada tahun 1662, terbitlah peraturan yang saat itu menjadi undang-undang yang kita kenal dengan “Hereditary Slavery Law Virginia 1662-ACT XII atau  Undang-Undang tentang Perbudakan Turun-Temurun Virginia 1662-ACT XII yang mana undang-undang tersebut menyatakan bahwa:

    “WHEREAS some doubts have arisen whether children got by any Englishman upon a negro woman should be slave or free, Be it therefore enacted and declared by this present grand assembly, that all children borne in this country shalbe held bond or free only according to the condition of the mother, And that if any christian shall committ ffornication with a negro man or woman, hee or shee soe offending shall pay double the ffines imposed by the former act (Hening 1809–23 Vol 2:170).”

    [Under English law a child received his or her status from his father. This Virginia colonial law law of December 1662 made a child of an enslaved mother was also a slave for life.]”

    Terjemahannya begini:

    “Mengingat beberapa keraguan yang muncul mengenai apakah anak-anak yang diperoleh oleh orang Inggris dari seorang wanita negro harus menjadi budak atau bebas, hendaknya ditetapkan dan dideklarasikan oleh majelis agung saat ini bahwa semua anak yang lahir di negara ini akan ditahan atau dibebaskan sesuai dengan status ibu mereka. Selain itu, jika seorang Kristen melakukan percabulan dengan seorang pria atau wanita negro, ia harus membayar denda dua kali lipat dari yang ditetapkan oleh undang-undang sebelumnya.”

    Catatan: berdasarkan hukum Inggris, seorang anak yang menerima status dari ayahnya. Undang-undang kolonial Virginia pada bulan Desember 1662 ini menjadikan anak dari ibu yang diperbudak juga menjadi budak seumur hidup baginya.

    Sederhananya, undang-undang tersebut mengizinkan pemilik budak (ayah) untuk menjual anak-anak mereka demi keuntungan, memperlihatkan betapa parahnya ketidakpedulian terhadap hak-hak anak dan kesejahteraan dalam catatan sejarah kelam Amerika Serikat.

    Masa Revolusi Industri menjadi titik balik penting ketika dunia mulai melihat dampak buruk dari eksploitasi anak-anak dalam pekerjaan pabrik. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, negara-negara mulai membentuk undang-undang untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi tenaga kerja dan mendorong pendidikan anak sebagai hak.

    Dalam buku Child Labor and the Industrial Revolution: The 20th Century karya Harriet Isecke, disebutkan perkembangan perlindungan hak anak dapat dipahami melalui penjelasan mengenai perubahan signifikan dalam hukum dan kebijakan terkait perlindungan anak seiring dengan berjalannya waktu.

    Sebagaimana ia gambarkan pada awal abad ke-20, banyak negara mulai mengakui masalah pekerja anak dan perlunya reformasi untuk melindungi mereka dari eksploitasi di lingkungan industri. Dalam catatannya, gerakan untuk hak-hak pekerja anak mulai mendapatkan momentum dengan didirikannya organisasi-organisasi yang memperjuangkan penghapusan kerja anak dan perbaikan kondisi kerja yang lebih manusiawi.[1]

    Diketahui juga saat itu reformasi hukum yang signifikan diperkenalkan, termasuk undang-undang yang membatasi usia minimum kerja dan menetapkan standar keselamatan untuk anak-anak yang bekerja walau memang belum sepenuhnya melarang pekerja anak akan tetapi saat itu hukum mulai memperkenalkan konsep pendidikan wajib, yang bertujuan untuk memastikan bahwa anak-anak memiliki akses ke pendidikan dasar sebagai bagian dari upaya perlindungan hak-hak mereka.[2]

    Deklarasi Hak-Hak Anak Pertama (1924)

    Satu di antara tonggak sejarah penting adalah Deklarasi Hak-Hak Anak Jenewa tahun 1924 (Geneva Declaration of the Rights of the Child, 1924), yang disusun oleh Save the Children Fund yang saat itu di bawah kepemimpinan Eglantyne Jebb. Deklarasi ini merupakan pengakuan internasional pertama bahwa anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan perhatian khusus. Meskipun dokumen ini tidak mengikat secara hukum, ia menetapkan prinsip-prinsip dasar yang kemudian menjadi landasan bagi kebijakan perlindungan anak.

    Deklarasi ini diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa - The League of Nations (LON) pada tahun 1924, sebagai respons terhadap kekacauan dan penderitaan yang dihadapi anak-anak akibat Perang Dunia I dan dampaknya terhadap masyarakat. Tujuan utama deklarasi ini adalah untuk memberikan perlindungan dan hak-hak dasar kepada anak-anak, serta menggarisbawahi tanggung jawab negara dan masyarakat dalam memastikan kesejahteraan anak-anak.

    Deklarasi ini terdiri dari lima prinsip utama yang mengatur hak-hak anak:

    1.        Anak-anak harus diberi perlindungan dan perawatan yang diperlukan untuk perkembangan fisik dan mental mereka. (The child must be given the means requisite for its normal development, both materially and spiritually.)

    2.       Anak-anak yang mengalami kelaparan harus diberikan makan; yang sakit diberikan perawatan; yang tertinggal harus dibantu; yatim piatu serta gelandangan harus dilindungi dan diberikan bantuan. (The child that is hungry must be fed; the child that is sick must be nursed; the child that is backward must be helped; the delinquent child must be reclaimed; and the orphan and the waif must be sheltered and succored.)

    3.      Anak harus menjadi yang pertama menerima bantuan pada saat masa kesulitan. (The child must be the first to receive relief in times of distress.)

    4.       Anak yang ditempatkan dalam situasi atau kondisi yang memungkinkan mereka untuk mencari nafkah atau menghasilkan pendapatan ketika mereka dewasa nanti. Ini mencakup memberikan pendidikan, keterampilan, dan kesempatan yang diperlukan agar mereka dapat mandiri secara ekonomi di masa depan dan harus dilindungi dari segala bentuk eksploitasi. (The child must be put in a position to earn a livelihood, and must be protected against every form of exploitation.)

    5.       Anak harus dibesarkan dengan kesadaran bahwa bakatnya harus didedikasikan untuk pelayanan sesama manusia. (The child must be brought up in the consciousness that its talents must be devoted to the service of fellow men.)

    Pascaperang Dunia II dan Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

    Pengalaman pahit dari Perang Dunia II dan penderitaan yang dialami oleh anak-anak selama konflik mempercepat kesadaran global tentang pentingnya melindungi hak-hak anak. Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945 membawa perubahan besar, dengan agenda perdamaian dan hak asasi manusia sebagai fokus utama. Pada tahun 1959, PBB kemudian mengadopsi Deklarasi Hak-Hak Anak (Declaration of the Rights of the Child, 1959), memperluas prinsip-prinsip yang sudah ada dan menekankan pentingnya perlindungan khusus untuk anak-anak.

    Disebutkan bahwa:

    “Anak diakui secara universal sebagai manusia yang harus mampu berkembang secara fisik, mental, sosial, moral, dan spiritual, dengan kebebasan dan martabat.”

    Akan tetapi, baik Deklarasi Jenewa 1924 maupun Deklarasi Hak-Hak Anak 1959 tidak mendefinisikan kapan masa kanak-kanak dimulai dan berakhir (terkait usia atau umur), terutama untuk menghindari pengambilan sikap terhadap aborsi.

    Meskipun demikian, Pembukaan Deklarasi Hak-Hak Anak menyoroti kebutuhan anak akan perawatan dan perlindungan khusus, “termasuk perlindungan hukum yang tepat, sebelum maupun setelah kelahiran.”

    Kemudian, Deklarasi Hak-Hak Anak Tahun 1959 menetapkan sepuluh prinsip yang penting dalam perkembangan selanjutnya, antara lain:

    1.        Hak atas kesetaraan, tanpa pembedaan berdasarkan ras, agama, atau asal usul kebangsaan.

    2.       Hak atas perlindungan khusus terhadap perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.

    3.      Hak atas nama dan kewarganegaraan.

    4.       Hak atas gizi, perumahan, dan layanan medis yang memadai.

    5.       Hak atas pendidikan dan perlakuan khusus ketika seorang anak memiliki cacat fisik atau mental.

    6.      Hak untuk mendapatkan pengertian dan kasih sayang dari orang tua dan masyarakat.

    7.       Hak atas kegiatan rekreasi dan pendidikan gratis.

    8.      Hak untuk menjadi orang pertama yang menerima bantuan dalam situasi apa pun.

    9.      Hak atas perlindungan terhadap segala bentuk pengabaian, kekejaman, dan eksploitasi.

    10.    Hak untuk dibesarkan dalam semangat pengertian, toleransi, persahabatan antarbangsa, dan persaudaraan universal.

    Konvensi Hak-Hak Anak (1989): Dasar Modern untuk Perlindungan Anak

    Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child, CRC) yang diadopsi oleh PBB pada 20 November 1989 merupakan batu penjuru dalam pengakuan hak-hak anak di tingkat internasional (the cornerstone of children’s rights globally). Konvensi ini menjadi instrumen hukum internasional yang paling banyak diratifikasi dalam sejarah, menunjukkan komitmen global terhadap perlindungan anak terutama oleh Indonesia sebagaimana dengan adanya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak)

    CRC mendefinisikan anak sebagai setiap manusia atau individu di bawah usia 18 tahun, kecuali jika hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan menentukan usia dewasa lebih awal (a child means every human being below the age of eighteen years unless under the law applicable to the child, majority is attained earlier)[3]

    Konvensi ini mencakup hak-hak anak secara luas, termasuk hak untuk hidup, hak untuk tumbuh berkembang, dilindungi dari kekerasan dan eksploitasi, serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan keluarga, budaya, dan sosial.

    Beijing Rules

    Beijing Rules atau secara resmi dikenal sebagai United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, adalah standar internasional pertama yang secara khusus mengatur tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1985 melalui Resolusi 40/33, Beijing Rules merupakan salah satu tonggak penting dalam perlindungan hak-hak anak di dalam sistem peradilan pidana internasional.

    Lahirnya Beijing Rules dilatarbelakangi oleh meningkatnya perhatian global terhadap perlakuan anak-anak dalam sistem peradilan pidana, yang sering kali tidak memperhitungkan kebutuhan khusus dan hak-hak mereka.

    Pada masa sebelum Beijing Rules, banyak negara tidak memiliki standar yang jelas atau memperlakukan anak-anak dengan cara yang sama seperti pelaku dewasa. Situasi ini mendorong PBB untuk mengembangkan standar minimum yang dapat diadopsi oleh negara-negara anggota untuk memastikan bahwa sistem peradilan pidana lebih adil, manusiawi, dan sensitif terhadap kebutuhan anak-anak.

    Konvensi Hak Anak (CRC) menetapkan bahwa setiap orang di bawah 18 (delapan belas) tahun adalah anak, tanpa memandang status perkawinannya. Beijing Rules sejalan dengan CRC dalam menghormati hak anak dan mempromosikan kesejahteraan anak tanpa membedakan berdasarkan status perkawinan.

    Meskipun sudah melangsungkan perkawinan, mereka yang di bawah 18 (delapan belas) tahun masih memiliki hak-hak perlindungan khusus sebagai anak. Hal ini termasuk perlindungan dari eksploitasi, akses ke pendidikan, dan hak untuk bebas dari kekerasan.

    Status perkawinan tidak menghilangkan kerentanan mereka sebagai anak, khususnya dalam sistem peradilan pidana atau dalam situasi di mana mereka membutuhkan perlindungan khusus.

    Dalam konteks peradilan pidana, seseorang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, meskipun sudah melangsungkan perkawinan, umumnya masih diperlakukan sesuai dengan ketentuan peradilan pidana anak, kecuali hukum nasional secara eksplisit menentukan sebaliknya akan tetapi sejauh ini kami melihat dalam hukum nasional kita yang masih ada dualisme dalam mendefinisikan anak yang membuat permasalahan menarik dalam ranah praktik.

    Secara keseluruhan, hukum internasional dan banyak sistem hukum nasional, termasuk Indonesia, menganggap individu di bawah 18 (delapan belas) tahun sebagai anak, terlepas dari status perkawinan mereka. Penanganan dan perlindungan mereka dalam konteks hukum harus tetap didasarkan pada prinsip kepentingan terbaik anak (the best interests of the child), dan status perkawinan tidak boleh mengurangi hak-hak dan perlindungan yang seharusnya mereka terima sebagai anak

    Di Indonesia Sendiri Umur atau Usia Berapa sih yang Disebut dengan Anak?

    Di Indonesia, definisi usia anak bervariasi tergantung pada konteks hukum yang berlaku, menciptakan keragaman interpretasi mengenai kapan seseorang dapat dikategorikan sebagai anak atau dewasa.

    Hal ini disebabkan oleh perbedaan batas usia yang ditetapkan dalam berbagai undang-undang yang ada. Misalnya, dalam ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), menyebutkan:

    “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.

    Mereka yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara seperti yang diatur dalam Bagian 3, 4, 5 dan 6 dalam bab ini.

    Penentuan tentang arti istilah “belum dewasa” yang dipergunakan dalam beberapa peraturan undang-undang terhadap penduduk Indonesia. Untuk menghilangkan keraguan-raguan yang disebabkan oleh adanya Ordonansi tanggal 21 Desember 1971 dalam S. 1917-738, maka Ordonansi ini dicabut kembali, dan ditentukan sebagai berikut:

    1.      Bila peraturan-peraturan menggunakan istilah "belum dewasa", maka sejauh mengenai penduduk Indonesia, dengan istilah ini dimaksudkan semua orang yang belum genap 21 tahun dan yang sebelumnya tidak pernah kawin.

    2.     Bila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka berumur 21 tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.

    3.     Dalam pengertian perkawinan tidak termasuk perkawinan anak-anak.”

    Sederhananya begini, aturan hukum perdata di atas lebih kepada mendefinisikan apa yang disebut dengan “Belum Dewasa” yang didefinisikan dalam 2 (dua) keadaan yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain yaitu:

    1.        Kondisi belum mencapai usia 21 tahun; dan

    2.       Kondisi belum pernah melangsungkan perkawinan.

    Untuk frasa “belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun”, menurut hukum perdata Indonesia -peninggalan kolonial- dapat dikatakan benar-benar jelas ya, bahwa ini memang sudah spesifik menjelaskan “batas umur atau usia” yang menjadi penentunya bahwa seseorang akan disebut “belum dewasa” apabila belum terpenuhi usia mereka.

    Lantas, bagaimana dengan “Kondisi belum pernah melangsungkan perkawinan”?

    Alam berpikir dalam ketentuan di atas adalah apabila seseorang yang belum dewasa tersebut tadi (yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan ia belum melangsungkan perkawinan), kemudian melangsungkan perkawinan padahal belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, mereka akan dianggap dewasa. Kalau pun perkawinan tersebut dibubarkan (cerai) sebelum yang bersangkutan mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun, statusnya tidak kembali menjadi “belum dewasa”. Ya, dia tetap dianggap dewasa.

    Kemudian, ketentuan tersebut dipertegas dalam aturan tentang Perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Perkawinan” menyatakan bahwa:

    “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.”

    Dalam Hukum Perdata Islam juga diatur dalam ketentuan Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan:

    “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.”

    Masih tetap dapat dikatakan sama dan tentu saja ketentuan KHI ini tentunya mengadopsi ketentuan dalam KUHPerdata Kolonial dan selaras dengan aturan perkawinan Indonesia.

    Bagaimana dengan pengaturan hukum pidananya? Sebagaimana ketentuan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHPidana Lama”) disebutkan:

    “Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 (enam belas) tahun, hakim dapat menentukan: ...”

    R. Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” (vide halaman 61) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan “belum dewasa” ialah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 (dua puluh satu) tahun, ia tetap dipandang dengan dewasa.

    Kemudian, dalam Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang selanjutnya disebut dengan “KUHPidana Baru disebutkan masing-masing ketentuan sebagai berikut:

    Pasal 40

    Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada waktu melakukan tindak pidana belum berumur 12 (dua belas) tahun.

    Penjelasan Pasal 40

    Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi anak yang melakukan Tindak Pidana. Penentuan batas umur 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual, dan mental anak. Anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penanganan perkaranya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sistem peradilan pidana anak.

    Pasal 150

    Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun.

    Ada perubahan cukup signifikan dengan melihat definisi “anak” dalam KUHPidana Lama dan KUHPidana Baru, karena KUHPidana baru sama sekali tidak ada menambahkan apabila anak tersebut belum melangsungkan perkawinan.

    Dari kedua aturan tersebut mari kita lihat lagi ketentuan Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut dengan “Undang-Undang tentang HAM”, menyebutkan:

    “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”

    Definisi dari Undang-Undang tentang HAM hampir mirip dan sama dengan KUHPerdata dan Undang-Undang tentang Perkawinan dalam memberikan definisi mengenai “anak” yang masih dalam konstruksi “belum kawin” atau “belum menikah”.

    Selanjutnya, masih ada lingkup Hukum Pidana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau yang selanjutnya disebut dengan “Undang-Undang tentang TPPO” menyebutkan:

    “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

    Definisi ini hampir sama dengan definisi yang ada pada ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang selanjutnya disebut dengan “Undang-Undang tentang Perlindungan Anak”.

    Aturan khusus yang mengatur mengenai apa yang disebut dengan “anak” sendiri dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (“SPPA”) antara lain:

    1.        Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.[4]

    2.       Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.[5]

    3.      Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.[6]

    Penjelasan Pasal 20 UU SPPA

    Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) itu pada intinya menjelaskan bahwa:

    “dalam hal suatu tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum ia genap berumur 18 tahun dan dalam prosesnya diajukan ke sidang pengadilan, akan tetapi anak tersebut tidak lagi berumur 18 tahun hanya saja belum mencapai umur 21 tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak.”

    Contohnya, bahwa pada tanggal 5 September 2024 telah terjadi dugaan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak berinisial AS (umur 17 tahun - tanggal lahir 10 September 2024) di Pontianak. Terhadap yang bersangkutan telah dilakukan penangkapan 1 x 24 jam (vide Pasal 30 ayat (1) UU SPPA) dan sejak tanggal 6 September 2024, keluar surat perintah penahanan kepada yang bersangkutan di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) (jika tidak ada LPAS). Mengingat, tindak pidana yang didugakan dengan ancaman penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

    Kemudian, penahanan yang dilakukan selama 7 (tujuh) hari yaitu sampai dengan tanggal 13 September 2024 dan berkas dinyatakan telah lengkap dalam tahap 2 penyerahan ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan, dengan tambahan penahanan  5 (lima) hari yaitu sampai dengan tanggal 18 September 2024, kemudian segera berkas tersebut segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri setempat untuk dilakukan sidang sampailah pada tanggal 19 September 2024 dilakukan sidang pertama.

    Dari contoh di atas hal ini menggambarkan bahwa ketika suatu tindak pidana dilakukan oleh anak yang belum genap berumur 18 tahun (contoh di atas dilakukan pada tanggal 5 September 2024 – anak baru genap berumur 18 tahun pada tanggal 10 September 2024) meskipun anak telah melewati umur 18 tahun, namun ia belum mencapai umur 21 tahun, proses peradilan pidana anak tetap dilakukan dengan mengikuti ketentuan UU SPPA tersebut yaitu tetap diajukan ke sidang Anak.

    Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 20 UU SPPA menyebutkan:

    “Sesuai dengan asas praduga tidak bersalah, seorang Anak yang sedang dalam proses peradilan tetap dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Anak yang sudah kawin dan belum berumur 18 (delapan belas) tahun tetap diberikan hak dan kewajiban keperdataan sebagai orang dewasa.”

    Apakah artinya anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun akan tetapi sudah menikah sudah tidak dikategorikan sebagai anak lagi? Apakah begitu?

    Dalam penyusunan dan perumusan baik dalam UU KUHPidana yang baru, UU tentang TPPO, UU tentang Perlindungan Anak, UU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa “anak didefinisikan adalah mereka yang belum kawin dan belum berumur 18 (delapan belas) tahun, kesemua aturan terserbut tegas menyatakan anak adalah mereka yang pada intinya belum berumur 18 (delapan belas) tahun tanpa melihat apakah mereka belum atau sudah melangsungkan perkawinan, karena sudah atau belum kawin untuk mereka yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun adalah masuk dalam ranah keperdataan karena berbicara mengenai hak dan kewajibannya, tapi tidak dengan hukum pidana walau pun ketentuan ini dapat bergantung interpretasi lagi karena dalam UU tentang HAM mengikuti definisi Hukum Perdata dan Hukum Perkawinan.

    Namun yang jelas menurut kami, dalam proses peradilan pidana, anak yang sudah melangsungkan perkawinan sekali pun tetap dikategorikan sebagai anak sepanjang mereka belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Hal ini karena psikis mereka masih relatif sama dengan anak-anak pada umumnya.

    Kerangka Praktis Anak yang Sudah Kawin Tetapi Belum 18 (Delapan Belas) Tahun

    Definisi anak dalam konteks hukum pidana umumnya mengacu pada mereka di bawah usia 18 (delapan belas) tahun. Namun, status perkawinan anak seringkali memunculkan pertanyaan mengenai kelayakan penerapan perlindungan khusus bagi anak. Perdebatan hukum ini berpusat pada dilema antara usia kronologis dan kematangan mereka secara individu, terutama dalam kasus anak yang telah melangsungkan perkawinan. Karena secara fisik, psikis, dan sosial, mereka yang sudah melangsungkan perkawinan sekali pun di bawah 18 (delapan belas) tahun dianggap telah mencapai kesempurnaan pribadi. Oleh karena itu, mereka tidak lagi dapat dikategorikan sebagai anak yang belum memiliki kematangan fisik, psikis, dan sosial.

    Sebagaimana pertimbangan Majelis Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 26 K/Pid/2016 tanggal 16 Februari 2016 menyebutkan:

    -        Bahwa alasan kasasi Pemohon Kasasi/Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex Facti/Pengadilan Negeri yang membebaskan Terdakwa dari dakwaan Kedua, telah tepat dan tidak salah menerapkan peraturan hukum. Putusan Judex Facti telah mempertimbangkan fakta hukum yang relevan secara yuridis dengan tepat dan benar sesuai fakta hukum yang terungkap di muka sidang. Tidak ternyata Terdakwa melakukan kekerasan pada anak, karena walaupun pada saat Terdakwa melakukan pemukulan terhadap Saksi Korban Ernawati mantan isteri siri Terdakwa, Saksi Korban masih berumur 17 tahun, namun sebelum Terdakwa menikah siri dengan Saksi Korban, ternyata Saksi Korban sebelumnya telah menikah dengan Hasanuddin sesuai Kutipan Akta Nikah Nomor 0536/116/VI/2013. Sehingga dengan demikian Saksi Korban telah dewasa pada saat terjadinya perkara a quo.

    -        Bahwa sedangkan putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Judex Facti/Pengadilan Negeri yang menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian serta menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama 1 (satu) tahun dan 10 (sepuluh) bulan, telah tepat dan tidak salah menerapkan peraturan hukum.

    Setelah mengetahui mulai dari sejarah kelam hak-hak anak hingga putusan secara praktik di lapangan melihat persoalan yang ada, jelas bahwa anak-anak yang telah melangsungkan perkawinan namun masih berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun menghadapi kerentanan yang signifikan ketika mereka dianggap sudah dewasa.

    Hal ini menciptakan celah dalam sistem hukum yang dapat mengabaikan realitas psikologis, perkembangan emosional, dan faktor-faktor lainnya seperti ketidakmatangan mental dan ketidakpahaman akan konsekuensi hukum serta sosial yang mereka hadapi. Menganggap anak yang telah melangsungkan perkawinan sebagai orang dewasa dalam konteks hukum dapat melemahkan perlindungan hukum yang seharusnya mereka terima, khususnya sebagai korban tindak pidana.

    Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan sensitif terhadap usia dan kondisi psikis anak-anak ini, terutama dalam hukum pidana. Pengakuan atas status mereka sebagai anak, terlepas dari status perkawinan, penting untuk memastikan perlindungan penuh di bawah hukum pidana, khususnya dalam konteks sebagai korban tindak pidana.

    Dengan mempertimbangkan faktor psikologis, sosial, dan perkembangan mereka, penegakan hukum harus lebih bijaksana dan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan anak.

    Disarankan agar interpretasi hukum yang menganggap anak di bawah umur yang menikah sebagai dewasa direvisi, dan sistem peradilan pidana lebih difokuskan pada rehabilitasi dan perlindungan, bukan sekadar penghukuman, demi mencapai keadilan yang lebih manusiawi dan adil bagi anak-anak.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] Harriet Isecke, “Child Labor and the Industrial Revolution: The 20th Century”, (New York: Scholastic Inc, 2004), 16.

    [2] Ibid, 59-60.

    [3] vide Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak.

    [4] vide Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

    [5] vide Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

    [6] vide Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

    Formulir Isian