Pertanyaan
Mohon petunjuk karena kami baru pertama menangani perkara perwalian anak,
kami hendak mengajukan permohonan perwalian ke PA adalah kami selaku kuasa,
mohon diberikan contoh terima kasih
Jawaban
Pengantar
Hak Asasi Anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (Human Rights) yang termuat dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi
kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas
perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan
kebebasan.
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa
harus dijaga. Karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hakhak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Sedangkan hak wali diatur di
dalam peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana ketentuan
Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Pelindungan hukum terhadap Anak pun ditegaskan di dalam Konvensi Hak-Hak
Anak (Convention on the Rights of the Child) Tahun 1989 dan telah
diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang
HakHak Anak). Kedua aturan ini menjadi peta jalan (roadmap) dalam permohonan
peerwalian, karena terkait erat dengan hak-hak anak.
Prinsip Dasar Perlindungan Anak dan Regulasi Perlindungan Anak
Anak adalah “buah hati sibiran tulang”, demikian ungkapan masyarakat
melayu. Konvensi Hak Anak mendefinisikan anak adalah semua orang yang
berusia di bawah 18 tahun, kecuali ditentukan lain oleh hukum suatu negara.
Semua anak memiliki hak yang disebutkan di dalam Konvensi ini.[1]
Sedangkan, beberapa peraturan perundang-undangan mendefinisikan, anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Definisi trersebut memberikan arti bahwa ketika
seseorang sudah berumur 18 tahun atau lebih tidak lagi disebut sebagai anak.
Prinsip perlindungan anak tercantum dalam
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
sebagaimana telah dubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 yang menyatakan
penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
1.
Nondiskriminasi;
2.
Kepentingan yang terbaik bagi anak;
3.
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
4.
Penghargaan terhadap pendapat anak.
Prinsip-prinsip perlindungan anak yang terkandung dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak mengakomodir prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak
dan berasaskan Pancasila dan UUD NRI 1945. Regulasi terhadap perlindungan
anak sudah sangat lengkap.
Oleh karena itu, setiap perwalian yang dimohonkan di pengadilan wajib
mengacu kepada aturan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar perwalian yang
dimohonkan memberikan perlindungan kepada anak sebagaimana yang diatur
secara teknis pada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2019 tentang
Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali.
Pengertian Perwalian
Perwalian (Voogdij) adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur,
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Oleh sebab itu perwalian
dapat diartikan sebagai orang tua pengganti terhadap anak yang belum cakap
melakukan suatu perbuatan hukum.
Kata “wali” sendiri dalam bahasa arab berasal dari kata
wilayah (kata benda) kata kerjanya walia yang berarti
berkuasa.[2]
Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali
apabila seorang wali-ibu (moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana
suaminya menjadi medevoogd. Jika salah satu dari orang tua tersebut
meninggal, maka menurut undang-undang orang tua yang lainnya dengan
sendirinya menjadi wali bagi anak-anaknya.
Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undang-undang (Wettelijke Voogdij). Seorang anak yang lahir diluar perkawinan, berada dibawah perwalian
orang tua yang mengakuinya. Dan jika seorang anak tidak berada dibawah
kekuasaan orang tua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat
seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau
karena jabatanya (datieve voogdij). Namun ada kemungkinan, seorang
ayah atau ibu dalam surat wasiatnya (testamen) mengangkat seorang
wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut perwalian menurut Wasiat
(tertamentair voogdij).
Perwalian Dalam Kompilasi Hukum Islam
Perwalian dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab XV dari Pasal 107
sampai dengan Pasal 112. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB XV Pasal 107
ayat 1-4 dinyatakan bahwa:
a.
Perwalian hanya terhadap anak yang belum berumur 21 tahun dan atau belum
pernah melangsungkan perkawinan;
b.
Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan;
c.
Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya,
maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang tugas perwaliannya, maka
pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak
sebagai Wali atas permohonan kerabat tersebut;
d.
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau
badan hukum.
Sedangkan dalam Pasal 108 KHI menyatakan bahwa orang tua dapat mewasiatkan
kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan
kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pencabutan atau berakhirnya perwalian tersebut menurut Pasal 109 KHI
dinyatakan bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang
atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan
kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila atau
melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi
kepentingan orang yang berada dibawah perwaliannya.
Kewajiban wali terhadap diri dan harta anak dalam perwalian terdapat dalam
Pasal 110-111 KHI.
Dari akibat munculnya perwalian dikarenakan terjadinya perceraian antara
suami istri yang telah dijelaskan di atas maka penulis dengan menggunakan
teori struktur hukum Lawrence M. Friedman menganalisa sebagai berikut:
a.
Bahwa terciptanya hak perwalian harus melalui putusan pengadilan yang
kemudian memberikan wewenang kepada para wali sebagaimana ketentuan dalam
Pasal 51 dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
sebagaimana telah di ubah dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2019, yang
menyatakan terhadap Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini,
yaitu larangan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya;
b.
Kekuasaan wali dapat di cabut jika terdapat hal-hal dalam ketentuan Pasal
49 Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagaimana telah di ubah
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019;
c.
Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud oleh
Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali (Pasal 53). Wali yang telah
menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya,
atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan
yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.[3]
Hak Anak Dan Hak Wali Dalam Penetapan Perwalian
Penetapan perwalian bagi masyarakat yang beragama Islam menurut hukum harus
diselesaikan melalui Peradilan Agama.[4]
Namun dari segi beracara harus mengacu pada hukum acara yang berlaku pada
Peradilan Umum.[5]
Perwalian menurut ketentuan Pasal 330 ayat (3) KUHPerdata menyatakan:
“Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua,
berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam
bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”.
Perwalian menurut ketentuan
Pasal 50 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
yang selanjutnya disebut dengan “Undang-Undang tentang Perkawinan”
sebagaimana telah di ubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 yang
menyatakan:
1.
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali;
2.
Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya;
3.
Syarat-syarat Perwalian.
Sedangkan, dalam
Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 yang selanjutnya
disebut dengan “Undang-Undang tentang Perlindungan Anak” menyatakan:
“Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan
asuh sebagai orang tua terhadap anak”.
Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dapat dipahami bahwa
berpindahnya hak perwalian terhadap anak dapat terjadi jika salah satu orang
tua dan atau kedua orang tua si anak telah meninggal dunia. Bertujuan agar
anak-anak yang berpindah perwaliannya dapat menjalani hidupnya sebagaimana
anak-anak pada umumnya. Yakni tumbuh dan berkembang dari kecil hingga
dewasa.
Bahkan bisa mandiri. Dapat berguna bagi bangsa dan Negara. Serta menjadi
generasi penerus bangsa. Selain itu berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak, di tegaskan jika orang tua dan saudara yang
masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan anak tersebut tidak mampu
menjamin masa depan anak, maka Negara atau badan lainnya dapat menjadi wali
bagi anak tersebut.
Hal ini menurut penulis semata-mata untuk menjamin masa depan anak. Lebih
dari pada itu memiliki konsekuensi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang
mengajarkan adanya tenggang rasa antara yang mampu dan yang mebutuhkan. Dari
pendapat penulis tersebut dapat di konstatiring antara norma hukum
dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.
Oleh karena itu untuk menjawab hal tersebut, penulis menggunakan teori
struktur hokum yang dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedman, sebagai alat
analisis yang bertujuan untuk memperjelas proses penyelesaian hal-hal yang
berkaitan dengan perwalian.
Sebagaimana ketentuan
Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan menyebutkan bahwa
syarat-syarat untuk anak yang memperoleh perwalian adalah:
1.
Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun;
2.
Anak-anak yang belum kawin;
3.
Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua;
4.
Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali;
5.
Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Permohonan penetapan perwalian dapat diajukan oleh salah satu orang tua
anak dan saudara anak. Penetapan perwalian merupakan perkara voluntair atau
permohonan. Permohonan merupakan permintaan yang diajukan oleh pemohon
kepada pengadilan agar pengadilan membuat penetapan karena adanya ketentuan
perundang-undangan atau karena kebutuhan.[6]
Pada dasarnya perwalian menurut Kompilasi Hukum Islam adalah kekuasaan yang
diberikan kepada seseorang untuk mewakili anak yang belum dewasa dalam
melakukan tindakan hukum demi kepentingan terbaik bagi anak, yang meliputi
perwalian terhadap diri juga harta kekayaanya. Adapun anak belum dewasa
menurut Kompilasi Hukum Islam adalah anak yang belum mencapai usia 21 tahun
dan atau belum pernah menikah.[7]
Setiap permohonan penetapan perwalian, harus diperiksa terlebih dahulu di
pengadilan. Guna memberikan perlindungan hak anak yang berkaitan dengan
harta. Oleh sebab itu wali memiliki kewajiban untuk mengurus anak yang di
bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya. Wali bertanggung
jawab atas harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian
yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaian wali.[8]
Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya
pada waktu memulai perannya sebagai wali. Mencatat semua perubahan-perubahan
harta benda anak. Perlindungan terhadap hak-hak anak telah dijamin oleh
undang-undang. Adanya permohonan penetapan perwalian ditujukan untuk
menjamin hak tersebut. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang
wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.[9]
Perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur mengharuskan orang tua atau
saudara anak yang akan mengurus harta anak menjadi wali berdasarkan
penetapan pengadilan. Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan
dapat mewakili anak di bawah umur untuk melakukan perbuatan hukum baik di
dalam maupun di luar pengadilan demi kepentingan anak di bawah umur.[10]
Dalam hal ini diatur dalam Pasal 33 dan
Pasal 34 Undang Undang tentang Perlindungan Anak. Ayat (2) dan ayat
(3) mengatur bahwa
wali memiliki kewajiban mengelola harta benda anak tersebut untuk
kepentingan anak di bawah umur.[11]
Bila wali ingin
memanfaatkan harta anak dibawah perwaliannya, wali tidak bisa serta merta
menjual harta anak di bawah perwaliannya.
Untuk itu pasal 307 KUH Perdata sangat penting untuk anak yang masih di
bawah umur dalam pengurusan harta benda anak tersebut. Dalam penjualan harta
anak di bawah perwaliannya yang dimiliki anak di bawah umur tidak dapat
bebas dijual oleh orang tuanya. Orang tua atau wali harus tunduk dan
mematuhi peraturan hukum yang berlaku dalam penjualan harta anak yang masih
di bawah umur.
Harta yang dimiliki anak di bawah umur apabila dijual harus ada motif demi
kepentingan terbaik bagi anak. Dapat memberikan manfaat bagi kehidupan anak.
Namun demikian memiliki hak untuk turut menikmati harta anak dengan alasan
yang dibenarkan oleh undang-undang. Pasal 307 KUH Perdata cukup memberikan
perlindungan kepada anak di bawah umur dalam hal terkait harta yang dimiliki
oleh anak. Baik harta warisan atau harta lainnya.
Berdasarkan pasal di atas, harta yang dimiliki anak di bawah umur tidak
dapat dijual oleh orang tuanya. Untuk menjualnya harus tunduk dan mematuhi
peraturan hukum yang berlaku. Diantaranya yaitu, harus dimintakan permohonan
kepada pengadilan. Permohonan tersebut adalah permohonan penetapan
perwalian.
Dalam hukum Islam, syarat diangkat menjadi wali untuk anak dapat disamakan
dapat disamakan dengan wali nikah. Para ulama sepakat bahwa wali dari
orang-orang yang menerima wasiat untuk menjadi wali, sedangkan syarat-syarat
yang akan menjadi wali di antaranya yaitu: Mukallaf[12]
, Baligh dan berakal, Adil, jujur, tidak boros, bukan pemabuk dan penjudi.[13]
Syarat-syarat di atas, harus melekat dalam diri wali. Agar mampu menjaga
hakhak anak. Wali yang ditetapkan oleh pengadilan dapat amanah. Memiliki
berorientasi kepentingan terbaik bagi anak. Pemohon yang ingin menjadi wali
harus melaksanakan segala kewajiban. Sebagaimana yang diamanahkan oleh
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2019.
Tidak melakukan hal yang dilarang. Akan bertanggung jawab sebagai wali.
Sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu ketentuan
Pasal 51 sampai dengan Pasal 54 Undang-Undang tentang Perkawinan,
Pasal 107 sampai dengan Pasal 111 Kompilasi Hukum Islam (KHI).[14]
Selain harus melakukan kewajiban, Pasal 112 KHI, Wali diberikan hak untuk
mempergunakan harta anak dibawah umur dengan syarat tertentu.
Pasal 112 KHI menyebutkan bahwa:
“Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya,
sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau
bil ma`ruf kalau wali fakir.”
Tidak sedikit perkara permohonan perwalian yang diajukan oleh para pemohon
dengan alasan untuk biaya hidup. Hal demikian sangat dibolehkan oleh
peraturang perundang-undangan. Tinggal Majelis Hakim yang memeriksa
kebenaran alasan yang diajukan tersebut. Kebolehan wali memanfaatkan harta
anak dibawah umur untuk biaya hidup sehari-hari wali dan anak juga dikuatkan
oleh agama.
Hal ini sesuai dengan teori maslahah Imam al-Ghazali, yang terdiri dari
lima hal, yakni pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap
sesuatu yang dapat menjamin pemeliharaan lima prinsip itu merupakan maslahah
dan begitu pula setiap sesuatu melalaikan lima prinsip itu merupakan
mafsadah dan menolaknya merupakan maslahah.[15]
Teori maslahah juga dikemukakan oleh Imam al-Syatibi. Beliau mengemukakan
adanya kesepakatan dari para ulama usul fikih tentang ruang lingkup maslahat
dalam pemberlakuan syariat, bahwa syariat Islam bertujuan untuk memelihara
lima unsur pokok yang disebut dengan al-Kuliyyat al-Khams.
Sekalipun dalam penetapannya tidak terdapat nas khusus yang menyatakan hal
ini, akan tetapi adanya indikasi makna yang terkandung dalam nas-nas syara’
yang ada. Lima unsur pokok tersebut adalah:[16]
1.
Memelihara dan menjaga eksistensi agama (hifzal-din);
2.
Memelihara dan menjaga eksistensi jiwa (hifz al-nafs);
3.
Memelihara dan menjaga eksistensi keturunan (hifz al-nasl);
4.
Memelihara dan menjaga eksistensi harta (hifz al-mal) dan
5.
Memelihara dan menjaga eksistensi akal (hifz al-‘aql).
Lima unsur pokok kehidupan manusia yang telah disebutkan di atas (alKuliyyat al-Khams), masing-masing memiliki urgensi yang bervariasi. Setiap unsur dapat
dibedakan urgensinya dalam tiga tingkatan, yaitu:
Maqasid alDaruriyyat (tujuan kemaslahatan primer).
Maqasid al-Hajiyyat (tujuan kemaslahatan sekunder) dan
Maqasid al-Tahsinat (tujuan kemaslahatan tersier). Bila teori
maslahat dikaitkan dengan permohonan perwalian dengan alasan untuk biaya
kehidupan sehari-hari wali dan anak, maka dapat diterima dan diperbolehkan.
Karena memelihara kehidupan merupakan kondisi yang dibenarkan oleh
agama.
Petunjuk Pengajuan Permohonan Perwalian Anak di Pengadilan Agama
Perlu Anda ingat ada beberapa hal pokok yang harus Anda ingat, antara lain
berikut:
-
Pihak yang Mengajukan Permohonan, Pemohon biasanya adalah pihak yang
memiliki hubungan darah atau yang berkepentingan atas anak yang masih di
bawah umur, seperti ibu, ayah, atau wali lainnya. Sebagai kuasa hukum, Anda
bertindak atas nama pemohon sesuai dengan surat kuasa;
-
Alasan Pengajuan Perwalian, permohonan perwalian diajukan jika
terdapat situasi di mana orang tua kandung sudah meninggal, tidak cakap,
atau tidak ada, dan ada kebutuhan untuk menetapkan seseorang sebagai wali
yang sah bagi anak tersebut;
-
Permohonan ini biasanya dilakukan agar ada kepastian hukum terkait
pengurusan keperluan anak, seperti keperluan pendidikan, kesehatan, dan
pengelolaan harta.
Dokumen yang Diperlukan atau Perlu Dipersiapkan
-
Surat permohonan perwalian yang ditujukan ke Ketua Pengadilan Agama
setempat;
-
Fotokopi KTP pemohon;
-
Akta kelahiran anak;
-
Fotokopi Kartu Keluarga (KK);
-
Surat keterangan kematian orang tua (jika orang tua sudah meninggal);
-
Surat kuasa (jika diajukan oleh kuasa hukum);
-
Bukti pendukung lainnya disesuaikan dengan perkara yang ada.
Permohonan diajukan dalam bentuk tertulis kepada Pengadilan Agama sesuai
domisili anak. Pastikan semua informasi lengkap dan akurat. Berikut kami
berikan contohnya di bawah:
Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Agama Pontianak di [Tempat]
Perihal:
Permohonan Penetapan Perwalian Anak
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: [Nama Pemohon]
Tempat, tanggal lahir : [Tempat, Tanggal Lahir]
Jenis kelamin : [Laki-laki/Perempuan]
Agama : [Agama Pemohon]
Pekerjaan : [Pekerjaan Pemohon]
Alamat : [Alamat Pemohon]
Dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya berdasarkan Surat Kuasa Khusus
[tanggal surat kuasa khusus], bertindak untuk dan atas nama Pemohon
sebagaimana disebutkan di atas.
Dengan ini mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama [Nama Kota] agar
memberikan penetapan perwalian atas seorang anak bernama:
Nama anak
: [Nama Anak]
Tempat, tanggal lahir : [Tempat, Tanggal Lahir]
Jenis kelamin : [Laki-laki/Perempuan]
Agama : [Agama Anak]
Alamat : [Alamat Anak]
Bahwa anak tersebut adalah anak kandung dari:
1.
Ayah
: [Nama Ayah, jika sudah meninggal, tambahkan keterangan "Telah Meninggal
pada Tanggal ..." beserta surat keterangan kematian].
2.
Ibu
: [Nama Ibu, jika sudah meninggal, tambahkan keterangan yang sama].
Adapun alasan pengajuan perwalian ini adalah karena:
1.
[Jelaskan kondisi yang menyebabkan anak membutuhkan wali, misalnya orang
tua kandung sudah meninggal dunia atau tidak cakap secara hukum].
2.
[Tambahkan kebutuhan perwalian, seperti pengurusan harta anak, pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya].
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini Pemohon memohon kepada
Pengadilan Agama [Nama Kota] untuk:
1.
Menetapkan [Nama Pemohon] sebagai wali atas anak bernama [Nama Anak].
2.
Menyatakan bahwa [Nama Pemohon] berwenang untuk mengurus segala hal yang
berkaitan dengan kepentingan anak tersebut, termasuk namun tidak terbatas
pada kepentingan pendidikan, kesehatan, serta pengelolaan harta anak.
Demikian permohonan ini kami ajukan, besar harapan kami agar permohonan ini
dapat dikabulkan. Atas perhatian dan pertimbangannya, kami ucapkan terima
kasih.
Hormat kami,
Kuasa Pemohon
[Nama Kuasa Hukum]
Advokat/Pengacara di [Nama Firma Hukum, jika ada]
[Alamat Kantor]
Catatan
-
Pastikan data yang dimasukkan dalam surat permohonan sesuai dengan kondisi
dan dokumen asli.
-
Setelah permohonan ini diajukan, Pengadilan Agama akan melakukan
pemeriksaan, baik terhadap pemohon, bukti-bukti, maupun saksi-saksi yang
dihadirkan.
Contoh Penetapan Pengadilan Agama tentang Perwalian
Kami mengambil contoh dengan
Penetapan Pengadilan Agama Pontianak Nomor 208/Pdt.P/2024/PA.Ptk, tanggal
22 Agustus 2024
yang dalam amar penetapannya menyatakan sebagai berikut:
M E N E T A P K A N
1.
Mengabulkan permohonan Pemohon;
2.
Menetapkan Pemohon sebagai wali dari saudara seibu Pemohon yang bernama,
xxxx, lahir di Pontianak, pada tanggal xx Juli xxx untuk mengurus pencairan
Asuransi PT. xxxxxxx dengan nomor Polis xxxxx, xxxxxxx CLM xxxxxx atas nama
xxxx ke rekening Bank Syariah Indonesia Nomor xxxxxxx atas nama xxxx,
serta untuk mengurus keperluan hukum lainnya;
3.
Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp
135.000,00 (seratus tiga puluh lima ribu rupiah);
Kemudian dalam pertimbangan hukumnya dari Hakim Tunggal yang memeriksa
perkara sebagai berikut:
-
Menimbang, bahwa petitum angka 2 (dua) tentang perwalian Hakim memberi
pertimbangan sebagai berikut:
-
Bahwa dengan adanya fakta fakta hukum tersebut di atas sesuai dengan
ketentuan pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 107
ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, maka saudara seibu Pemohon yang bernama
Raden Muhammad Arkan Sabillah, lahir di Pontianak, pada tanggal 17 Juli
2016, terbukti saudara seibu Pemohon tersebut masih di bawah umur sehingga
untuk melakukan tindakan hukum harus ditetapkan seorang wali atas
dirinya;
-
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 107 ayat (4) Kompilasi Hukum
Islam yang menyatakan “Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak
tersebut, atau orang lain yang sudah dewasa berfikiran sehat, adil, jujur
dan berkelakuan baik, atau badan hukum, maka Pemohon sebagai orang paling
dekat dan pemegang hadlanah atas saudara seibu tersebut, maka secara
otomatis Pemohon juga merupakan Wali dari saudara seibu tersebut, disamping
itu Pemohon dipandang mampu untuk melakukan tugas sebagai wali dari saudara
seibu tersebut;
- Menimbang, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas Hakim berkesimpulan bahwa Pemohon adalah seorang yang mampu dan cakap untuk dibebani tanggung jawab sebagai seorang wali, baik terhadap diri saudara tersebut maupun terhadap harta-harta yang menjadi hak saudara tersebut sesuai ketentuan Pasal 50. 51, 52 dan 53 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 107, 108, 109, 110, 111 dan 112 Kompilasi Hukum Islam sehingga permohonan Pemohon telah beralasan hukum dan patut untuk dikabulkan
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1]
Pasal 1 Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah
diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990.
Lihat juga
https://www.unicef.org/indonesia/id/konvensi-hakanak-versi-anak-anak.
[2]
Alhabsyi Husen, “Kamus Alkausar”, (Surabaya: Darussagaf, 1997),
591.
[3]
Hilman Hadikusuma, “Hukum Perkawinan Indonesian Menurut : Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama”, (Bandung: Mandar Maju, 2007), 141.
[4]
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009.
[5]
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua dengan UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009.
[6]
Sarmin Syukur, “Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama Edisi Revisi”,
(Semarang, 2019), 115.
[7]
Sayuti, Perwalian, Bahan Diskusi Pengadilan Agama Pekanbaru, tt, hlm. 6.
Lihat juga Kompilasi Hukum Islam Pasal 107 (1) Perwalian hanya terhadap
anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah
melangsungkan perkawinan. (2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri
dan harta kekayaanya.
[8]
Lihat pasal 110 Kompilasi Hukum Islam. Lihat juga Pasal 308 Kitab
Undang-Undang Hukum perdata.Lihat juga Pasal 14 Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali.
[9]
Pasal 1 poin (12) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak.
[10]
Zulfa Salsabila Alfarobi, Mujiono Hafidh Prasetyo, Penetapan Perwalian
Anak Terkait Pertanggung Jawaban Orang Tua Menjual Harta Anak Di Bawah
Umur Karena Pewarisan, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, Jurnal Notarius Vol 12, 2019, hlm.
301.
[11]
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 33 ayat:
(1) Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau
tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau
badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari
anak yang bersangkutan. (2) Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
[12]
Mukallaf, yaitu orang yang dibebani hukum dan mampu mempertanggung
jawabkannya.
[13]
Lebih mengedepankan kepentingan keluarga daripada untuk hidup
berfoya-foya dengan mabuk-mabukan atau bermain judi.
[14]
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 51 (1) Wali
dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,
sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2
(dua) orang saksi. (2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak
tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil,
jujurdan berkelakuan baik. (3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah
penguasaannya dan harta bendanya sebaikbaiknya dengan menghormati agama
dan kepercayaan itu. (4) Wali wajib membuat daftar harta benda yang
berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat
semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu. (5) Wali
bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau
kelalaiannya. Pasal 52 Terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-undang
ini. Pasal 53 (1) Wali dapat di cabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal
yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini. (2) Dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut, sebagaimna dimaksud pada ayat (1) pasal ini oleh
Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali. Pasal 54 Wali yang telah
menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya,
atas tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan keputisan Pengadilan,
yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian
tersebut.
[15]
Al-Ghazali, al-Mustasf min Ilm Usul al-Fiqh, Darul Kutubul Ilmiyyah:
Beirut, 2010, 281, dijadikan rujukan oleh Hakim Pengadilan Agama dalam
menetapkan permohonan perwalian dan perkara lainnya.
[16]
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari‘ah, Juz. 2, (Dar al-Hadith:
Kaherah, 2006), 20.