layananhukum

Begini Aturan Upah Proses Setelah Berlakunya UU Cipta Kerja

 

Pertanyaan

Selamat pagi bang, saya mau nanya apakah upah proses setelah dengan berlakunya UU Cipta Kerja masih berlaku? Karena setahu saya upah proses itu adalah hak yang diberikan kepada pekerja atau buruh yang tidak dapat menjalankan tugasnya selama proses pemutusan hubungan kerja (PHK) berlangsung. Meskipun tidak bekerja, saya sebagai pekerja atau buruh tetap berhak mendapatkan kompensasi berupa upah selama proses perselisihan PHK tersebut. Jadi, saya mau tanya apakah upah proses itu masih tetap ada dan masih bisa saya mintakan saat saya mengajukan itu nanti di Pengadilan Hubungan Industrial? Sekian dan terima kasih.

Jawaban

    Pendahuluan

    Upah proses merupakan bagian hak pekerja atau buruh yang mengalami perselisihan hubungan industrial dengan pengusaha atau perusahaan. Sederhananya, hak ini berupa pembayaran upah selama proses PHK berlangsung. Pertanyaan mengenai kelanjutan pemberian upah proses pasca berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang) menjadi penting mengingat adanya sejumlah perubahan dalam regulasi ketenagakerjaan.

    Sehingga, untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan analisis mendalam terhadap:

    1.        Apakah UU tentang Cipta Kerja secara eksplisit menghapus atau mengubah ketentuan mengenai upah proses?;

    2.       Apakah peraturan pelaksana dari UU tentang Cipta Kerja memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai upah proses?

    3.       Apakah ada contoh putusan pengadilan terkait permasalahan ini setelah adanya UU tentang Cipta Kerja?

      Prinsip No Work No Pay dan Pengecualiannya Berdasarkan UU Ketenagakerjaan

      Upah adalah hak pekerja atau buruh yang wajib dibayarkan oleh pengusaha sebagai imbalan atas pelaksanaan pekerjaan tertentu sesuai perjanjian kerja, kesepakatan atau yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Anda dapat melihat definisi dari “upah” itu sendiri dengan membaca ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU tentang Ketenagakerjaan”), yang menyatakan:

      “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”

      Menurut Soetikno, pemberian upah berfokus pada ‘penunaian kerja’ dan bukan ‘penyerahan hasil kerja’, sehingga yang menjadi prioritas dalam pemberian upah adalah pelaksanaan pekerjaan, bukan hasil kerja yang dicapai oleh pekerja/buruh.[1] Selama pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perjanjian kerja, mereka berhak mendapatkan upah. Sebaliknya, jika pekerja/buruh tidak melaksanakan pekerjaan, maka tidak ada hak untuk mendapatkan upah. Prinsip ini selaras dengan asas fundamental di hukum ketenagakerjaan yang dikenal sebagai asas no work no pay, seperti yang diatur dalam Pasal 93 ayat (1) UU tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan:

      “Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.”

      Namun, penerapan asas no work no pay tidak sepenuhnya kaku karena ada beberapa pengecualian yang diatur oleh undang-undang. Berdasarkan Pasal 93 ayat (2) UU tentang Ketenagakerjaan, pengusaha tetap diwajibkan membayar upah kepada pekerja/buruh yang tidak bekerja jika ketidakhadiran tersebut disebabkan oleh beberapa kondisi berikut:

      a.       pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

      b.      pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

      c.       pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;

      d.      pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;

      e.       pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

      f.        pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;

      g.      pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

      h.      pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan

      i.        pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

      Selain pengecualian yang telah disebutkan di atas, UU tentang Ketenagakerjaan juga memberikan hak atas upah bagi pekerja/buruh yang tidak bekerja karena sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja (PHK). Upah yang diberikan selama masa ini dikenal istilah “upah proses”.

      Baik UU tentang Ketenagakerjaan dan UU tentang Cipta Kerja apabila kita telusuri setiap ketentuan pasalnya kita memang tidak akan menemukan nomenklatur dalam kedua UU tersebut “upah proses” yang ada di dalamnya. Istilah “upah proses” ini, memang populer dengan menunjukkan bahwa konteks hubungan industrial, khususnya dalam hal pemutusan hubungan kerja (PHK) istilah yang merujuk pada hak pekerja atau buruh untuk mendapatkan pembayaran upah selama proses PHK sedang berlangsung dari pengusaha atau Perusahaan tempat ia bekerja.

      Sebelumnya berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (2) dan (3) UU tentang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa:

      (2)     Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

      (3)    Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

      Kemudian, setelah adanya UU tentang Cipta Kerja ketentuan Pasal 155 UU Ketenagakerjaan tersebut dinyatakan dihapus. Wah, apakah artinya pasal tersebut mengenai upah proses sudah tidak ada dan tidak berlaku lagi? Tunggu dulu. Ternyata masih ada ketentuan Pasal 81 Angka 49 UU tentang Cipta Kerja sebagaimana ketentuan tersebut menambahkan ketentuan baru dalam UU tentang Ketenagakerjaan sebagaimana ketentuan Pasal 157A UU tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan:

      (1)      Selama penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Pengusaha dan Pekerja/Buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya.

      (2)     Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada Pekerja/Buruh yang sedang dalam piroses Pemutusan Hubungan Kerja dengan tetap membayar Upah beserta hak lainnya[2] yang biasa diterima Pekerja/ Buruh.

      (3)    Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai tingkatannya.

      Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terdapat 2 (dua) keadaan yang mungkin terjadi selama belum adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, antara lain:

      1.        pekerja/buruh tetap melaksanakan pekerjaan dan menerima upah dari pengusaha; atau

      2.       pekerja/buruh tidak melaksanakan pekerjaan sebagai akibat tindakan skorsing dari pengusaha, namun mereka tetap berhak untuk mendapatkan upah beserta hak-hak lainnya yang biasa mereka terima.

      Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas no work no pay juga, karena meskipun pekerja/buruh tidak melaksanakan pekerjaannya akibat skorsing yang diberlakukan oleh pengusaha, mereka tetap berhak menerima upah (lihat ayat (2) tersebut di atas). Hal ini menunjukkan bahwa selama proses penyelesaian perselisihan PHK, hak pekerja/buruh atas upah tetap dilindungi dan harus dipenuhi oleh pengusaha hingga ada putusan yang bersifat final dari lembaga terkait.

      Hanya saja, begini juga untuk pemberian upah dalam kaitannya upah proses ini kepada pekerja tau buruh yang terkena kasus hukum atau adanya dugaan tindak pidana, pihak perusahaan atau pengusaha tidak berkewajiban memberikan upah kepada pekerja atau buruh tersebut akan tetapi pihak perusahaan atau pengusaha memiliki kewajiban memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya sesuai dengan persentase yang telah ditetapkan dan PHKnya sesuai dengan ketentuan putusan pengadilan yang tertera dan bersifat tetap.

      Lantas, untuk menjawab pertanyaan pertama yang kami simulasikan di awal yaitu apakah UU tentang Cipta Kerja secara eksplisit menghapus atau mengubah ketentuan mengenai upah proses? Jawabannya, memang dinyatakan dihapus dan memang mengubah ketentuan upah proses tersebut hanya saja substansi serta inti dari ketentuan yang diubah sebagaimana penjelasan kami di atas tetap pada poin bahwa pengusaha/Perusahaan tetap wajib membayar upah proses tersebut.

      Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 terhadap Ketentuan Upah Proses setelah Cipta Kerja

      Pada 1 Juni 2011, drg. Ugan Gandar (Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu), Ir. Eko Wahyu (Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu), dan Ir. Rommel Antonius Ginting (mantan pekerja PT Total Indonesia) mengajukan permohonan uji materi (judicial review) terhadap ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Alasan utama permohonan ini adalah:

      1.        Pasal 155 ayat (2) UU tentang Ketenagakerjaan dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja/buruh akibat kurangnya penafsiran jelas mengenai klausula “belum ditetapkan”. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan apakah keputusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya berlaku pada tingkat pertama di Pengadilan Hubungan Industrial atau juga mencakup kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung Republik Indonesia;

      2.       Pasal 155 ayat (2) UU tentang Ketenagakerjaan dianggap melanggar Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 karena berpotensi melanggar hak pekerja/buruh untuk mendapat perlakuan adil dan layak. Ketidakjelasan penafsiran klausula “belum ditetapkan” bisa merugikan hak asasi manusia untuk hidup layak dan mendapatkan imbalan yang sesuai dengan kerja.

      Pemerintah Republik Indonesia dalam statement-nya dalam Putusan tersebut menjelaskan bahwa UU tentang Ketenagakerjaan sudah memberikan kepastian hukum, sehingga masalah ketidakpastian hukum yang dialami pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas UU tersebut, melainkan dengan pelaksanaan penyelesaian di lembaga peradilan, mulai dari Pengadilan Hubungan Industrial hingga Mahkamah Agung RI.

      Hanya saja, Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H., M.H., menyatakan bahwa:

      “Penafsiran gramatikal atas frasa belum di tetapkan pada ayat (2), saat ini dalam praktik, paling tidak ada 3 penafsiran yang berkembang yaitu:

      1.      Upah proses hanya 6 bulan; [Para pencari keadilan dapat menggunakan Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 sebagai dasar hukum yang menyatakan pembayaran upah proses atau upah yang biasa diterima dan upah skorsing maksimal 6 bulan] apabila:

      a)     UU Ketenagakerjaan tidak mengatur tentang pembayaran upah proses atau upah yang biasa diterima dan upah skorsing;

      b)    UU Ketenagakerjaan dengan tegas mengatur batas pembayaran upah skorsing dan upah proses merujuk pada Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000;

      c)     UU Ketenagakerjaan memberi mandat kepada pemerintah untuk mengatur batas upah proses atau upah yang biasa diterima dan upah skorsing, akan tetapi pemerintah melalaikan kewajiban hukumnya.

      Dalam praktik peradilan yang memutus upah proses Iebih dari 6 bulan, membuktikan bahwa UU Ketenagakerjaan tidak mengatur batas maksimal pembayaran upah proses];

      2.     Upah proses hanya sampai tahap pengadilan hubungan industrial tahap pertama;

      3.     Upah proses sampai putusan hukum berkekuatan hukum tetap.”[3]

      Selain itu, Prof. Anna juga berpendapat:

      “Istilah upah proses tidak disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Undang-Undang Ketenagakerjaan mengenal istilah upah beserta hak-hak lain yang biasa diterima. Dalam praktik ada yang menggunakan istilah upah proses (Putusan MA Nomor 848 K/Pdt.Sus/2009 tanggal 6 Mei 2010 juncto Nomor 112/PHI.G/2009/PN.JKT.PST tanggal 14 Juli 2009 antara PT Carrefour Indonesia vs Riska Oktariana. Judex juris menguatkan judex factie dengan menghukum PT Carrefour Indonesia membayar upah proses tmt Oktober 2008 sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap dilaksanakan. Jumlahnya 10 bulan, upah yang biasa diterima (Putusan MA Nomor 051 PK/Pdt.Sus/2009 tanggal 11 November 2009 menghukum PT Bank Commonwealth membayar upah yang biasa diterima pekerja (Theresia Adiwijaya) tmt April 2007 sampai dengan Juli 2008. Juli 2008 saat Majelis Hakim di tingkat Kasasi memutus permohonan kasasi yang diajukan oleh PT Bank Commonwealth. Putusan Peninjauan Kembali menghitung upah sampai putusan berkekuatan hukum tetap, dan kalau dihitung maka berjumlah 16 bulan. Putusan Peninjauan Kembali ini membatalkan putusan MA Nomor 328 K/Pdt.Sus/2008 tanggal 28 Juli 2008 dan putusan PHI PN Jakarta Pusat Nomor 347/PHI. G/2007/PN Jkt. Pst tanggal 28 Februari 2008. Vide Putusan MA Nomor 543 K/Pdt.Sus/2009 tanggal 17 November 2009 yang menguatkan Putusan PN Nomor 128/PHI.G/PN.JKT.PST tanggal 22 Agustus 2008 yang menghukum pengusaha untuk membayar upah yang biasa diterima (upah proses) buruh selama 22 bulan. Vide Putusan MA Nomor 127 K/PHI/2006 tanggal 22 Februari 2007 yang menguatkan Putusan Nomor O1/PHI.G/2006/PN.JKT.PST tanggal 27 Juli 2006 yang menghukum PT Garuda Indonesia untuk membayar upah yang biasa diterima oleh penggugat (Firdaus) sejak Februari 2004 sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap. Total selama 37 bulan, namun demikian kedua istilah tersebut memiliki makna yang sama. Intinya adalah kewajiban pengusaha untuk membayarkan upah kepada pekerja/buruh yang sedang menjalani proses PHK; Kewajiban tersebut paralel dengan ketentuan:

      -       Pasal 151 ayat (3) menyatakan, “Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.

      -       Pasal 152 (1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. (2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah diundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2). (3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.”  

      -       Pasal 155 ayat (1) “Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.”;

      Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka perlu diperoleh suatu penafsiran yang pasti dan berkekuatan hukum dari Mahkamah Konstitusi terhadap pemberlakuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, sehingga para pekerja yang memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap perolehan hak-hak mereka dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial mengenai perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja;

      Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah konstitusional bersyarat dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang frasa belum ditetapkan ditafsirkan sampai berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).”[4]

      Kemudian, Majelis Hakim Konstitusi RI juga memberikan amar putusan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 sebagai berikut:

      1.        Mengabulkan permohonan para Pemohon;

      2.       Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;

      3.      Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;

      4.       Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

      Putusan MK tersebut memang bukanlah yang pertama menyatakan bahwa Pasal 155 ayat (2) UU tentang Ketenagakerjaan yang mewajibkan pengusaha membayar upah proses hingga putusan memiliki kekuatan hukum tetap. Sebelum putusan MK ini, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) juga pernah memutuskan bahwa upah proses PHK harus dibayarkan sampai berkekuatan hukum tetap, seperti terlihat dalam putusan kasasi Nomor 127 K/PHI/2006 tanggal 22 Februari 2007 jo putusan Nomor 01/PHI.G/2006/PN.JKT.PST tanggal 27 Juli 2006. Bahkan, ada beberapa putusan PHI memerintahkan pengusaha untuk membayar upah proses lebih dari enam bulan.

      Secara faktual, putusan MK tersebut menegaskan bahwa Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 bukan merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 155 ayat (2) UU tentang Ketenagakerjaan. Dengan demikian, Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 tidak lagi berlaku sebagai hukum positif, sehingga putusan MK ini memberikan kepastian bahwa Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 bukan landasan yuridis yang tepat untuk menetapkan bahwa upah proses PHK paling lama enam bulan.

      Hanya saja mengenai hal tersebut kemudian Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 yang selanjutnya disebut dengan “SEMA 3 Tahun 2015” mengenai pengaturan pemberian upah proses tersebut, yang mana berdasarkan hasil rapat kamar perdata Mahkamah Agung RI Tahun 2015 menyepakati bahwa terkait dengan upah proses, maka isi amar putusan adalah MENGHUKUM PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH PROSES SELAMA 6 BULAN. Lengkapnya berikut bunyinya:

      “Pasca Putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011, tertanggal 19 September 2011 terkait dengan upah proses maka isi amar putusan adalah MENGHUKUM PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH PROSES SELAMA 6 BULAN. Kelebihan waktu dalam proses PHI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bukan lagi menjadi tanggung jawab para pihak.”

      Inilah hebatnya kedua Lembaga peradilan ini selalu ada saja beda soal suatu tafsir.

      Kembali ke topik, kemudian, sesuai konteks pertanyaan yang telah kami simulasikan di atas di atas yaitu apakah peraturan pelaksana dari UU tentang Cipta Kerja memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai upah proses?

      Jangankan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang selanjutnya disebut “PP Pengupahan Pelaksana Cipta Kerja”, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia  Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang selanjutnya disebut PP Pengupahan yang Lama” saja, hanya mengatur bahwa upah tetap dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak bekerja karena:

      1.        Berhalangan bukan karena kesalahannya.

      2.       Melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya.

      3.      Menjalankan hak istirahat kerja.

      4.       Pengusaha tidak mempekerjakan karena kesalahan pengusaha atau kendala yang dapat dihindari.

      Kedua peraturan pemerintah (PP) di atas sama sekali tidak mengatur mekanisme pemberian upah proses, ada ketidakpastian hukum terkait legalitas pemberian upah proses kepada pekerja/buruh selama belum ada putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

      Sejatinya pengaturan ini juga penting ada untuk mencegah kerugian bagi pengusaha karena Putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011 yang mengharuskan pengusaha membayar upah proses hingga waktu yang tidak pasti, di sisi lain buruh atau pekerja merasa dirugikan juga mengingat bahwa belum ada batasan waktu penyelesaian perselisihan hingga putusan berkekuatan hukum tetap walau akhirnya itu ditafsirkan oleh SEMA 3 Tahun 2015 yaitu 6 (enam) bulan.

      Kemudian ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU tentang Ketenagakerjaan yang kita kira sudah dinyatakan dihapus ternyata masih ada dalam UU Cipta Kerja sebagaimana Pasal 157A ayat (2) yang sudah kami jelaskan di atas. Jadi, dapat kami simpulkan sementara belum ada pengaturan di level peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang secara tegas mengatur mengenai upah proses ini sehingga terkadang Lembaga peradilan lah yang diminta untuk menafsirkan bahkan menaksirkan upah proses tersebut apakah dibayarkan atau tidak atau dibayarkan akan tetapi besarannya ditentukan oleh Majelis Hakim.

      Putusan Pengadilan tentang Upah Proses Setelah Berlakunya UU Cipta Kerja

      Simulasi pertanyaan terakhir diatas yaitu apakah ada contoh putusan pengadilan terkait permasalahan ini setelah adanya UU tentang Cipta Kerja?

      Kami mengambil contoh Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor 1/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Jap tanggal 16 April 2021 yang dalam petitumnya sebagai berikut:

      PETITUM

      1.        Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

      2.       Menyatakan, perjanjian kerja bersama PT Freeport Indonesia Edisi XIX Periode 2015-2017 (PKB PTFI 2015-2017) dan Pedoman Hubungan Industrial PT Freeport Indonesia Edisi IX Periode 2015-2017 (PHI PTFI 2015-2017), serta Perjanjian Kerja Bersama PT Freeport Indonesia Edisi XX Periode 2017-2019 (PKB PTFI 2017- 2019) dan Pedoman Hubungan Industrial PT Freeport Indonesia Edisi X Periode 2017-2019 (PHI PTFI 2017-2019) adalah sah dan mengikat bagi Penggugat dan Tergugat serta seluruh pekerja Penggugat;

      3.      Menyatakan, Tergugat telah melakukan pelanggaran kerja serius yang sanksinya pemutusan hubungan kerja (PHK), yakni mangkir/tidak masuk kerja selama 5 (lima) hari atau lebih berturut-turut tanpa suatu alasan yang sah atau dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh perusahaan, dan melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (9) huruf e dan ayat (10) PHI PTFI 2015-2017, serta Pasal 26 ayat (10) PHI PTFI 2017- 2019 dan Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

      4.       Menyatakan, hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus terhitung sejak tanggal putusan ini diucapkan;

      5.       Menyatakan, oleh karena nilai Dana Pensiun Freeport Indonesia (DPFI) Tergugat yang iurannya dibayarkan penuh oleh Penggugat sebesar Rp507.183.390,00 (lima ratus tujuh juta seratus delapan puluh tiga ribu tiga ratus sembilan puluh rupiah) sebelum dipotong pajak lebih besar dari pesangon Tergugat sebesar Rp302.276.628,00 (tiga ratus dua juta dua ratus tujuh puluh enam ribu enam ratus dua puluh delapan rupiah) sebelum dipotong pajak, sehingga Penggugat tidak lagi berkewajiban untuk membayar pesangon kepada Tergugat;

      6.      Menyatakan, upah proses Tergugat adalah sebesar upah pokok dikali 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal gugatan Penggugat terdaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura (PHI Jayapura), yakni Rp12.607.900,00 x 6 = Rp75.647.400,00 (tujuh puluh lima juta enam ratus empat puluh tujuh ribu empat ratus rupiah) sebelum dipotong pajak;

      7.       Menyatakan, oleh karena upah proses Tergugat tidak ditangguhkan pembayarannya oleh Penggugat melainkan selalu dibayarkan setiap bulan selama 6 (enam) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal gugatan Penggugat terdaftar di PHI Jayapura melalui rekening Tergugat yang tercatat dalam data perusahaan, maka upah proses atas kelebihan waktu dalam proses perselisihan hubungan industrial (PHI) setelah 6 (enam) bulan, baik di tingkat PHI Jayapura maupun Mahkamah Agung RI, tidak lagi menjadi tanggung jawab Penggugat;

      8.      Menyatakan, Penggugat tidak lagi berkewajiban membayar upah kepada Tergugat selain upah proses 6 (enam) bulan berturut-turut;

      9.      Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini; Atau apabila pengadilan berpendapat lain, Penggugat mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);

      Kemudian dalam amar putusannya Majelis Hakim mengadili sebagi berikut:

      MENGADILI

      DALAM KONVENSI DALAM EKSEPSI:

      -        Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;

      DALAM POKOK PERKARA:

      1.        Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

      2.       Menyatakan bahwa Perjanjian Kerja Bersama PT Freeport Indonesia dan Pedoman Hubungan Industrial PT Freeport Indonesia periode 2015-2017 serta Perjanjian Kerja Bersama PT Freeport Indonesia dan Pedoman Hubungan Industrial PT Freeport Indonesia periode 2017-2019 adalah sah berlaku mengikat bagi Penggugat dan Tergugat serta seluruh pekerja Penggugat;

      3.      Menyatakan Tergugat telah melakukan pelanggaran kerja mangkir sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (9) huruf e, Pasal 27 ayat (10) PHI PT Freeport Indonesia 2015-2017 dan Pasal 26 ayat (10) PHI PT Freeport Indonesia 2017-2019;

      4.       Menetapkan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus sejak putusan ini diucapkan;

      5.       Menghukum Penggugat untuk membayar secara tunai hak-hak Tergugat sebagai akibat dari pemutusan hubungan kerja yaitu sejumlah Rp302.276.628,00 (tiga ratus dua juta dua ratus tujuh puluh enam ribu enam ratus dua puluh delapan rupiah);

      6.      Menyatakan Penggugat untuk membayar kepada Tergugat pembayaran pesangon dengan dipotong dan diperhitungkan saldo dana pensiun PT Freeport Indonesia sebagai berikut:

       

      Nama Tergugat

      Total perhitungan sesuai Pasal 161 (3) Gugatan Penggugat (Rp)

      Saldo per 31 Oktober 2020 dana pension (Rp)

      Selisih yang dibayar Penggugat (Rp)

      Tri Puspital

      Rp302.276.628,00

      Rp507.276.628,00

      Rp204.906.762,00

      7.       Menghukum Penggugat membayar upah proses berupa upah pokok yang dibayarkan oleh Penggugat kepada Tergugat setiap bulan selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal gugatan ini terdaftar di Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jayapura, yakni sejumlah Rp75.647.400,00 (tujuh puluh lima juta enam ratus empat puluh tujuh ribu empat ratus rupiah);

      DALAM REKONVENSI DALAM PROVISI:

      -        Menolak tuntutan provisi Tergugat untuk seluruhnya; 

      DALAM POKOK PERKARA:

      -        Menolak gugatan Rekonvensi Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya;

      DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI

      -        Membebankan biaya perkara kepada Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi sejumlah Rp836.000,00 (delapan ratus tiga puluh enam ribu rupiah)

      Adapun yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim adalah sebagai berikut: (vide Halaman 68 -69)

      -        Menimbang, bahwa terkait dengan upah proses maka Majelis Hakim merujuk pada SEMA Nomor 3 Tahun 2015 yang pada pokoknya pemberian upah proses selama 6 (enam) bulan wajib dibayarkan Penggugat terhadap Tergugat, dengan perincian upah pokok Rp12.607.900,00 x 6 (enam) sama dengan Rp75.647.400,00 (tujuh puluh lima juta enam ratus empat puluh tujuh ribu empat ratus rupiah) maka dari itu terhadap petitum angka 6 (enam), angka 7 (tujuh), angka 8 (delapan) gugatan Penggugat beralasan hukum dan dapat dikabulkan;

      -        Menimbang, bahwa berdasarkan segala sesuatu yang telah dipertimbangkan di atas dan tanpa perlu lagi mempertimbangkan bukti-bukti dan alasan hukum lainnya telah cukup alasan bagi Majelis Hakim untuk mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

      Kemudian, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1116K/Pdt.Sus-PHI/2021 tanggal 14 September 2021, Majelis Kasasi menyatakan dalam amar putusan kasasi sebagai berikut:

      MENGADILI:

      1.        Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: TRI PUSPITAL tersebut;

      2.       Memperbaiki amar Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jayapura Nomor 1/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Jap, tanggal 16 April 2021, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:

      Dalam Konvensi:

      Dalam Eksepsi:

      -       Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;

      Dalam Pokok Perkara:

      1.      Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

      2.     Menyatakan Penggugat telah melakukan pelanggaran Undang- Undang;

      3.     Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus sejak putusan ini diucapkan;

      4.     Menghukum Penggugat untuk membayar secara tunai hak-hak Tergugat sebagai akibat dari pemutusan hubungan kerja yaitu sejumlah Rp508.415.793,00 (lima ratus delapan juta empat ratus lima las ribu tujuh ratus sembilan puluh tiga rupiah);

      5.     Menghukum Penggugat untuk membayarkan saldo Dana Pensiun tergugat sebesar Rp507.276.628,00 (lima ratus tujuh juta dua ratus puluh enam ribu enam ratus dua puluh delapan rupiah);

      6.     Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;

      Dalam Rekonvensi:

      Dalam Provisi:

      -       Menolak tuntutan Provisi untuk seluruhnya:

      Dalam Pokok Perkara:

      -       Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya;

      Dalam Konvensi dan Rekonvensi:

      -       Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

      Dari putusan di atas memang sebelumnya di tingkat pertama disebutkan bahwa Penggugat (PT Freeport Indonesia) dinyatakan wajib membayar upah proses yang ada, akan tetapi MARI mengubah ketentuan amar putusan menjadi dua poin yaitu:

      -        Menghukum Penggugat untuk membayar secara tunai hak-hak Tergugat sebagai akibat dari pemutusan hubungan kerja yaitu sejumlah Rp508.415.793,00 (lima ratus delapan juta empat ratus lima las ribu tujuh ratus sembilan puluh tiga rupiah);

      -        Menghukum Penggugat untuk membayarkan saldo Dana Pensiun tergugat sebesar Rp507.276.628,00 (lima ratus tujuh juta dua ratus puluh enam ribu enam ratus dua puluh delapan rupiah);

      Nomenklatur yang dipakai adalah membayar secara tunai hak-hak Tergugat sebagai akibat dari pemutusan hubungan kerja.

      Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


      [1] Soetikno, “Hukum Perburuhan”, (Jakarta, 1979), 13.

      [2] Yang dimaksud dengan “hak lainnya” yaitu hak-hak lain yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan

      Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Contoh: hak cuti yang belum diambil dan belum gugur. (vide Penjelasan Pasal 81 Angka 49 UU Cipta Kerja sebagaimana telah menambahkan dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 157A UU Ketenagakerjaan)

      [3] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 6 September 2011 halaman 20.

      [4] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 6 September 2011 halaman 21-23.

      Formulir Isian