Pertanyaan
Selamat pagi pak, saya mau bertanya terkait dengan Warga Negara Indonesia
yang melakukan tindak pidana di luar negeri misalnya Malaysia? Hukum Negara
mana yang berlaku Hukum Negara Malaysia atau tetap Hukum Negara Republik
Indonesia? Apakah akan dideportasi apabila terbukti melakukan pidana? Mohon
Pencerahannya.
Jawaban
Pendahuluan
Dalam era
globalisasi yang semakin tanpa batas, mobilitas manusia lintas negara mencapai
puncaknya. Konsekuensinya, interaksi hukum antar negara menjadi semakin
kompleks, terutama ketika Warga Negara Indonesia (WNI) terjerat dalam kasus
pidana di luar negeri.
Perbedaan
sistem hukum, prosedur peradilan, dan bahasa di berbagai negara menciptakan
labirin hukum yang membingungkan bagi WNI yang berurusan dengan penegak hukum
asing. Dalam konteks ini, prinsip yurisdiksi menjadi kunci dalam menentukan
hukum mana yang berlaku.
Asas
personalitas atau nasional aktif dan asas teritorialitas adalah dua prinsip
dasar dalam hukum pidana internasional yang relevan dalam perkara-perkara
seperti ini. Meskipun asas personalitas memberikan yurisdiksi kepada negara
asal pelaku, namun prinsip kemanusiaan dan keadilan dan juga kepastian hukum
harus dipertimbangkan dalam suatu penerapan hukum di suatu negara asal.
Dalam
konteks pertanyaan Anda, sebenarnya terdapat peluang untuk ditafsirkan dalam 2
(dua) kemungkinan:
1.
Suatu Perbuatan Pidana itu merupakan pidana
yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia di Malaysia akan tetapi pidana itu
merupakan pelanggaran pidana berdasarkan hukum Indonesia sehingga mensyaratkan
si pelaku dilakukan proses hukum di Indonesia; atau
2. Suatu
perbuatan pidana itu merupakan pidana dengan klasifikasi pidana umum seperti
pidana pembunuhan, pencurian, penipuan, penggelapan, dan lain sebagainya yang
dilakukan di Malaysia dan si pelaku tidak berstatus buronan di Indonesia untuk
perbuatan pidana yang bersangkutan.
Sampai di
sini Anda tidak menjelaskan dan merinci perbuatan pidana apakah yang dilakukan,
sehingga kami akan menjelaskan dalam tulisan ini secara umum.
Asas-Asas Hukum Pidana yang Wajib Anda Pahami
Asas-asas
dalam hukum pidana adalah prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan dalam
penerapan hukum pidana. Asas-asas ini berfungsi sebagai pedoman bagi penegak
hukum, hakim, dan masyarakat dalam memahami dan menerapkan hukum pidana secara
adil dan konsisten.
Mengapa
Asas-Asas Hukum Pidana Penting?
1. Menjamin
Keadilan: Asas-asas hukum pidana memastikan bahwa setiap orang
diperlakukan secara adil di hadapan hukum. Tidak ada seorang pun yang boleh
diperlakukan semena-mena atau dihukum tanpa alasan yang sah.
2. Menciptakan
Kepastian Hukum: Dengan adanya asas-asas yang jelas, masyarakat dapat
mengetahui batasan-batasan hukum dan konsekuensi dari perbuatan yang melanggar
hukum. Hal ini menciptakan kepastian hukum yang sangat penting bagi stabilitas
dan ketertiban masyarakat.
3. Mencegah
Penyalahgunaan Kekuasaan: Asas-asas hukum pidana membatasi kekuasaan
negara dalam menjatuhkan hukuman. Dengan demikian, dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.
4. Melindungi
Hak Asasi Manusia: Asas-asas hukum pidana juga berperan dalam melindungi
hak asasi manusia, seperti hak untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, hak
untuk diadili secara adil, dan hak untuk tidak dituntut atas perbuatan yang
sama dua kali.
Perlu
dipahami terlebih dahulu mengenai asas-asas berlakunya hukum pidana yang harus Anda
ketahui sebagai berikut:
Asas Legalitas
Kita yang belajar hukum pasti sangat familiar dengan
istilah nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali atau yang
dikenal dengan asas legalitas atau the principle of
legality merupakan asas yang menentukan bahwa tindak pidana
haruslah diatur terlebih dulu dalam undang-undang atau suatu aturan
hukum sebelum seseorang melakukan pelanggaran atau perbuatannya.
Prinsip dasar ini menurut Amir Ilyas dalam Asas-Asas
Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana sebagai
Syarat Pemidanaan, memiliki tiga pokok pengertian sebagai berikut.
1.
Tidak ada suatu
perbuatan yang dapat dipidana apabila perbuatan itu tidak diatur dalam suatu
peraturan terlebih dahulu;
2.
Untuk menentukan
adanya tindak pidana tidak boleh didasarkan pada analogi;
3.
Peraturan-peraturan
hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Lebih lanjut, Muladi (dalam Ilyas, 2012:13) asas
legalitas sebagai asas hukum pidana ini nyatanya bertujuan untuk hal-hal
berikut.
1.
Memperkuat adanya
kepastian hukum;
2.
Menciptakan
keadilan dan kejujuran bagi terdakwa
3.
Mengefektifkan deterrent
function dari sanksi pidana;
4.
Mencegah
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan;
5.
Memperkokoh
penerapan the rule of law.
Dalam KUHP Baru atau Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
selanjutnya disebut dengan “UU/1/2023”, kehadiran asas legalitas dapat
ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU/1/2023 yang
menerangkan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Kemudian ada asas-asas lain yang mana asas-asas berikut ialah terkait dengan tempat terjadinya suatu tindak pidana yang ada kaitannya dengan pertanyaan Anda, antara lain:
Asas Teritorial
Pada
umumnya asas teritorial ini dianut oleh semua negara di dunia.[1] Asas
ini dilandasi oleh kedaulatan negara bahwa setiap negara yang berdaulat wajib
menjamin ketertiban hukum di wilayahnya dan barangsiapa yang melakukan tindak
pidana maka negara tersebut berhak untuk memidana setiap orang tanpa terkecuali.[2]
Di
Indonesia, asas teritorial terkandung di dalam Pasal 2 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan:
“Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang
melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.”
Asas teritorial ini kemudian diperluas
kembali oleh Pasal 3 KUHP:
“Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar
wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air
atau pesawat udara Indonesia.”
Dengan
demikian, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang
melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia, atau dalam
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia tunduk pada hukum pidana Indonesia.
Hal ini berdasarkan satu postulat interest reipublicae ne maleficia
remaneant impunita, yang artinya ialah terdapat kepentingan suatu negara
agar suatu tindak pidana yang terjadi di negaranya tidak dibiarkan begitu saja.[3]
Dapat dikatakan bahwa asas hukum pidana yang satu ini
dilandasi oleh kedaulatan negara. Negara yang berdaulat wajib menjamin
ketertiban hukum di wilayahnya dan oleh sebab itu, negara berhak menjatuhkan
pidana bagi siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayahnya.
Untuk ketentuan yang lebih barunya sebagaimana
ketentuan Pasal 4 UU/1/2023 yang menerangkan bahwa ketentuan
pidana dalam undang-undang berlaku bagi setiap orang yang melakukan:
1.
tindak pidana di
wilayah NKRI;
2.
tindak pidana di
kapal Indonesia atau di Pesawat Udara Indonesia; atau
3.
tindak pidana di
bidang teknologi informasi atau tindak pidana lainnya yang akibatnya dialami
atau terjadi di wilayah NKRI atau di kapal Indonesia dan di pesawat udara
Indonesia.
Asas Nasional Aktif atau Personalitas
Asas
nasional aktif disebut juga dengan asas personalitas yang berarti
perundang-undangan pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang
dilakukan oleh warga negara indonesia di mana pun berada termasuk juga
di luar wilayah negaranya. Tegasnya, asas ini dikaitkan dengan orangnya (warga
negara) tanpa mempersoalkan di manapun ia berada.[4]
Asas ini
hanya berlaku apabila perbuatan yang dilakukan di negara lain,
menurut hukum nasional negara tersebut juga merupakan tindak pidana.
Sebaliknya, asas nasional aktif ini tidak berlaku jika perbuatan
yang dilakukan menurut hukum negara asalnya adalah tindak pidana, sedangkan
menurut hukum negara tempat perbuatan tersebut (tempat tindak pidana dilakukan
– locus delicti) dilakukan bukan merupakan suatu tindak pidana.[5]
Asas ini
tercantum di dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 KUHP, dengan bunyi
sebagai berikut:
Pasal 5 KUHP
1.
Ketentuan pidana dalam undang-undang
Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia:
a. Salah satu
kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan dalam pasal-pasal
160, 161, 240, 279, 450 dan 451;
b. Suatu
perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut ketentuan pidana dalam
undang-undang negeri, tempat perbuatan itu dilakukan.
2. Penuntutan
terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada huruf b boleh juga dilakukan,
jika tersangka baru menjadi warga negara Indonesia setelah melakukan perbuatan
itu.
Pasal 6 KUHP
“Berlakunya Pasal 5 ayat (1) ke-2 dibatasi
sedemikian rupa hingga tidak dijatuhi pidana mati jika menurut
perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak
diancam dengan pidana mati.”
Selanjutnya,
asas nasional aktif diperluas dengan berlakunya perundang-undangan pidana
Indonesia bagi pegawai negeri Indonesia yang berada di luar negeri yang
melakukan kejahatan yakni sebagaimana disebutkan:
Pasal 7 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap pegawai negeri Indonesia yang di luar
Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan
dalam Bab XXVIII Buku Kedua.”
Secara sederhana, asas nasional aktif adalah asas yang
menitikberatkan subjek hukum sebagai warga negara indonesia tanpa
mempermasalahkan dimana pun lokasi keberadaannya.
Jika diartikan, dengan asas personalitas atau nasional
aktif, peraturan perundang-undangan pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana
yang dilakukan warga negara Indonesia di mana pun warga tersebut berada,
sekalipun ia berada di luar negeri.
Kehadiran asas personalitas dalam peraturan
perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal 8 UU/1/2023 yang
menyatakan:
- Ketentuan pidana
dalam Undang-Undang berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang
melakukan tindak pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
- Ketentuan pidana
tersebut berlaku jika perbuatan tersebut juga merupakan tindak pidana di
negara tempat tindak pidana dilakukan.
- Ketentuan tersebut
tidak berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana denda paling
banyak kategori III.
- Penuntutan terhadap
Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dilakukan walaupun tersangka menjadi
warga negara Indonesia, setelah tindak pidana tersebut dilakukan sepanjang
perbuatan tersebut merupakan tindak pidana di negara tempat tindak pidana
dilakukan.
- Warga negara
Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud tidak dapat dijatuhi pidana
mati jika tindak pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana
tersebut dilakukan tidak diancam dengan pidana mati.
Asas Nasional Pasif
Menurut
asas ini, berlakunya perundang-undangan pidana didasarkan pada kepentingan
hukum suatu negara yang dilanggar oleh seseorang di luar wilayah negara
atau di luar negeri dengan tidak dipersoalkan kewarganegaraan pelaku tindak
pidana apakah warga negara indonesia atau orang asing.[6]
Asas nasional
pasif ini didasarkan pada prinsip interest reipublicae quod homines
conserventur yang artinya kepentingan suatu negara agar warga
negaranya dilindungi.[7] Tegasnya,
dengan asas ini ada unsur melindungi kepentingan nasional terhadap siapapun
juga dan di manapun juga.[8]
Adapun asas
nasional pasif ini terkandung di dalam Pasal 4 ke-1, ke-2, dan ke-3
KUHP yang menyatakan:
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:
1.
salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal
104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127 dan 131;
2. suatu
kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau
bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh
Pemerintah Indonesia;
3. pemalsuan
surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan
suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda
dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda
yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat
tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak
dipalsu.
Asas
nasional pasif ini diperluas oleh Pasal 8 KUHP yang
menyebutkan:
Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang perahu
Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah
satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab
IX Buku Ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut
dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan.
Sehingga jelas, menurut asas hukum pidana yang satu
ini, berlakunya perundang-undangan pidana didasarkan pada kepentingan hukum
suatu negara yang dilanggar oleh seseorang di luar negeri dengan tidak
dipersoalkan kewarganegaraannya; apakah pelaku adalah warga negara indonesia
atau orang asing.
Jika disederhanakan, pada intinya asas nasional pasif
yang juga disebut dengan asas perlindungan menitikberatkan pada perlindungan
unsur nasional terhadap siapapun dan di mana pun.
Dalam KUHP baru kehadiran asas ini diterangkan dalam
ketentuan Pasal 5 UU/1/2023 yang menerangkan bahwa ketentuan
pidana dalam undang-undang berlaku bagi setiap orang di luar wilayah NKRI yang
melakukan tindak pidana terhadap kepentingan NKRI yang berhubungan dengan:
1.
keamanan negara
atau proses kehidupan ketatanegaraan;
2.
martabat
Presiden, Wakil Presiden, dan/ atau Pejabat Indonesia di luar negeri;
3.
mata uang, segel,
cap negara, meterai, atau Surat berharga yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Indonesia, atau kartu kredit yang dikeluarkan oleh perbankan Indonesia;
4.
perekonomian,
perdagangan, dan perbankan Indonesia;
5.
keselamatan atau
keamanan pelayaran dan penerbangan;
6.
keselamatan atau
keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional atau negara Indonesia;
7.
keselamatan atau
keamanan sistem komunikasi elektronik;
Asas Universal
Asas ini
melihat pada suatu tata hukum internasional, di mana terlibat kepentingan
bersama dari semua negara di dunia. Maka jika ada suatu tindak pidana yang
merugikan kepentingan bersama dari semua negara itu, adalah layak bahwa tindak
pidana dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap negara, tanpa melihat
siapa yang melakukan dan di mana tindak pidana tersebut dilakukan.[9]
Arti
penting dari asas universal adalah jangan sampai ada pelaku kejahatan
internasional yang lolos dari hukuman. Oleh karena itu setiap negara berhak
untuk menangkap, mengadili dan menghukum pelaku kejahatan internasional. Namun,
bilamana pelaku kejahatan internasional telah diadili dan dihukum oleh
suatu negara, maka negara lain tidak boleh mengadili dan menghukum pelaku
kejahatan internasional atas kasus yang sama. Asas universal ini berlaku
bagi tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional
dan bukan kejahatan transnasional.[10]
Asas
universal terdapat dalam Pasal 4 ke-2 dan ke-4 KUHP yang
menyatakan:
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:
2. suatu
kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau
bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan
oleh Pemerintah Indonesia;
4. salah satu
kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang
pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada
kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara
secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang
mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Patut
dicatat, berkenaan dengan penerapan keempat asas sebagaimana telah dijelaskan
di atas, KUHP memberikan pembatasan berdasarkan bunyi Pasal
9 KUHP:
Diterapkannya pasal-pasal 2 - 5, 7 dan 8
dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam
hukum internasional.[11]
Wirjono
Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia menyebutkan
pengecualian-pengecualian yang dimaksud ialah antara lain:
1.
Bahwa rumah dan pekarangan dari para duta
besar dan duta dari negara asing dianggap wilayah dari negara asing yang
bersangkutan;
2. Bahwa para
diplomat asing tidak dapat dituntut di muka pengadilan dari negara tempat
mereka ditugaskan;
3. Bahwa
kapal-kapal perang dari negara asing yang berlabuh di pelabuhan negara awak,
dianggap pula sebagai wilayah negara asing yang bersangkutan.
Dalam hal
ini diperlakukan prinsip “ex-teritorialitas”, yang berarti bahwa
orang-orang dianggap ada di luar suatu wilayah tempat mereka sebenarnya ada.[12]
Singkatnya, asas persamaan atau yang dikenal
juga dengan asas universal adalah asas yang menitikberatkan pada kepentingan
hukum internasional secara luas. Makna luas berarti hukum pidana tidak dibatasi
oleh tempat, wilayah, atau bagi orang tertentu saja, melainkan berlaku di mana
pun dan bagi siapa pun.
Kehadiran asas universal dalam UU/1/2023 dapat
ditemukan dalam:
-
Pasal 6 UU/1/2023 yang menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam
undang-undang berlaku bagi setiap orang yang berada di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana menurut hukum
internasional yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang;
-
Pasal 7 UU/1/2023 yang menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam
undang-undang berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang penuntutannya diambil alih oleh
Pemerintah Indonesia atas dasar suatu perjanjian internasional yang memberikan
kewenangan kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan penuntutan pidana.
Kerangka Hukum Internasional dalam Penerapan Asas Teritorialitas dan Personalitas
Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB (Charter
of the United Nations 1945) menyatakan:
Organisasi
bersendikan pada prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dari semua Anggota.
Artinya:
-
Persamaan
Kedaulatan: Setiap negara anggota PBB
memiliki status yang sama dalam organisasi ini, terlepas dari ukuran, kekuatan,
atau sistem pemerintahannya. Tidak ada negara yang lebih tinggi derajatnya dari
negara lain;
-
Kedaulatan: Setiap negara memiliki hak untuk mengatur urusan
dalam negerinya sendiri tanpa campur tangan dari negara lain dan tentu saja
satu di antaranya adalah dalam ranah penegakan hukum (law enforcement)
Implikasi dari Pasal ini:
-
Larangan
Intervensi: Negara-negara tidak boleh
melakukan intervensi dalam urusan dalam negeri negara lain, baik secara
langsung maupun tidak langsung;
-
Penyelesaian
Damai Sengketa: Negara-negara
didorong untuk menyelesaikan sengketa secara damai, tanpa menggunakan kekerasan;
-
Kerjasama
Internasional: Meskipun setiap negara
memiliki kedaulatan, negara-negara anggota PBB diharapkan bekerja sama dalam
mencapai tujuan bersama, seperti menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
Kemudian dalam Konteks UNCLOS, yaitu perjanjian
internasional yang komprehensif mengenai hukum laut. Konvensi ini mengatur
berbagai aspek hukum laut, mulai dari batas wilayah laut, eksploitasi sumber
daya laut, hingga penyelesaian sengketa maritim.
Mari kita lihat beberapa ketentuan Pasal yang
mengatur mengenai asas territorial ini antara lain:
-
Pasal 27(1)
UNCLOS secara umum mengatur mengenai hak
berlayar damai di laut lepas. Hak ini merupakan salah satu kebebasan dasar
di laut lepas. Artinya, setiap kapal berhak untuk berlayar melalui laut lepas
sepanjang tidak mengganggu kepentingan negara pantai atau kegiatan lain yang
sah di laut lepas.
Hak Berlayar Damai, Hak ini mencakup berbagai aktivitas seperti navigasi, penerbangan di atas laut lepas, pemasangan kabel dan pipa bawah laut, serta penelitian ilmiah. Meskipun demikian, hak berlayar damai ini bukan tanpa batasan. Negara pantai tetap memiliki hak untuk mengatur lalu lintas kapal di perairan teritorialnya dan zona ekonomi eksklusifnya.
Kemudian, Pasal 92(1) UNCLOS:
-
Pasal 92(1)
UNCLOS berkaitan dengan zona
ekonomi eksklusif (ZEE). Zona ini merupakan suatu wilayah laut yang berada
di luar laut teritorial, di mana negara pantai memiliki hak-hak khusus,
termasuk hak untuk mengeksploitasi sumber daya alam.
Hak-hak Negara Pantai, dalam ZEE, negara pantai
memiliki hak-hak eksklusif untuk:
-
Mengeksploitasi,
melestarikan, dan mengelola sumber daya alam hayati dan non-hayati;
-
Membangun pulau
buatan, instalasi, dan bangunan;
-
Melakukan
penelitian ilmiah;
-
Melindungi dan
melestarikan lingkungan laut.
Meskipun negara pantai memiliki hak-hak eksklusif di
ZEE, hak dan kebebasan lain yang dijamin oleh UNCLOS, seperti hak berlayar
damai, tetap diakui dan harus dihormati.
Hubungan Antara Pasal 27(1) dan Pasal 92(1)
Kedua pasal ini saling berkaitan. Hak berlayar damai
yang diatur dalam Pasal 27(1) tetap berlaku di ZEE, namun harus dilakukan
dengan cara yang tidak mengganggu hak-hak eksklusif negara pantai sebagaimana
diatur dalam Pasal 92(1).
Contoh, sebuah kapal niaga dari negara asing memiliki
hak untuk melintasi ZEE suatu negara. Namun, kapal tersebut tidak boleh
melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di ZEE tersebut, karena
kegiatan tersebut merupakan hak eksklusif negara pantai.
Pasal 27(1) dan Pasal 92(1) UNCLOS adalah dua pasal
penting yang mengatur keseimbangan antara kepentingan negara pantai dan
kebebasan di laut lepas. Pasal 27(1) menjamin kebebasan navigasi, sementara
Pasal 92(1) memberikan hak-hak khusus kepada negara pantai dalam ZEE. Pemahaman
yang baik terhadap kedua pasal ini sangat penting untuk memahami hukum laut
internasional.
Prinsip Teritorialitas dan Personalitas dalam Hukum Pidana Internasional
Sebagaimana ketentuan Pasal 12 dan Pasal 17
Statuta Roma memang menjadi landasan penting dalam menentukan yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional (The International Criminal Court - ICC). Kedua
pasal ini secara eksplisit menggarisbawahi prinsip-prinsip teritorialitas dan
personalitas.
Pasal 12 Statuta Roma tentang Prinsip Teritorialitas
Pasal 12 secara umum menyatakan bahwa ICC memiliki
yurisdiksi atas kejahatan yang paling serius menurut hukum internasional
(the most serious crime ) yang
telah dilakukan di wilayah negara anggota atau oleh warga negara negara
anggota. Prinsip teritorialitas dalam pasal ini berarti bahwa ICC dapat
mengadili individu yang telah melakukan kejahatan di wilayah negara yang telah
meratifikasi Statuta Roma. Ini menunjukkan bahwa kejahatan tersebut harus
memiliki kaitan langsung dengan wilayah negara anggota. Biasanya,
kejahatan-kejahatan ini terkait dengan Kejahatan Pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM).
Pasal 17 Statuta Roma: Kriteria Penerimaan Perkara
Pasal 17 mengatur kriteria penerimaan suatu perkara
oleh ICC. Salah satu kriterianya adalah kejahatan tersebut harus memiliki
kepentingan internasional. Prinsip personalitas dalam konteks Pasal 17 ini
berkaitan dengan kewarganegaraan pelaku. Jika pelaku merupakan warga negara
dari negara anggota, maka ICC berpotensi memiliki yurisdiksi atas kejahatan
yang dilakukan, terlepas dari tempat terjadinya kejahatan.
Kedua pasal ini saling melengkapi. Pasal 12 memberikan
dasar yurisdiksi berdasarkan tempat kejahatan terjadi, sementara Pasal 17
memperluas yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan pelaku. Tujuan utama dari
kedua pasal ini adalah untuk memastikan bahwa pelaku kejahatan internasional
yang paling serius dapat diadili, terlepas dari tempat terjadinya kejahatan
atau kewarganegaraan pelaku.
Penerapan prinsip-prinsip teritorialitas dan
personalitas ini menuntut kerja sama yang erat antara ICC dan negara-negara
anggota. Meskipun Statuta Roma memberikan kerangka hukum yang kuat, penegakan
hukum internasional tetap menghadapi tantangan, seperti perbedaan kepentingan
politik antar negara dan kendala sumber daya. Prinsip-prinsip yang tercantum
dalam Pasal 12 dan 17 terus berkembang seiring dengan perubahan dinamika
geopolitik dan munculnya kejahatan-kejahatan baru yang bersifat internasional.
Pasal 12 dan 17 Statuta Roma merupakan landasan
penting dalam menentukan yurisdiksi ICC. Kedua pasal ini menggarisbawahi
pentingnya kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan internasional
yang paling serius. Meskipun demikian, penerapan prinsip-prinsip ini masih
menghadapi berbagai tantangan.
The Principle of Non-Intervention
Prinsip non-intervensi atau the principle of
non-intervention sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal
2(7) Piagam PBB merupakan salah satu prinsip dasar dalam hukum
internasional yang mengatur hubungan antar negara. Prinsip ini sangat krusial
dalam menjaga kedaulatan negara dan mencegah konflik internasional.
Adapun ketentuannya sebagia berikut:
“Organisasi
tidak akan mencampuri urusan dalam negeri suatu negara, dan tidak akan memaksa
suatu anggota untuk menyelesaikan suatu sengketa dengan cara tertentu kecuali
apabila hal itu merupakan ancaman terhadap perdamaian internasional, atau
melanggar perdamaian, atau merupakan tindakan agresi.”
Makna Prinsip
Bahwa Setiap negara memiliki hak untuk mengatur
urusan dalam negerinya sendiri tanpa campur tangan dari negara lain. PBB secara
umum dilarang untuk campur tangan dalam urusan dalam negeri negara anggota. Terdapat
pengecualian jika tindakan suatu negara mengancam perdamaian internasional,
melanggar perdamaian, atau merupakan tindakan agresi.
Selain itu, Prinsip ini bertujuan untuk
mencegah konflik antar negara dengan menghormati kedaulatan masing-masing
negara. Dengan menghindari campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain,
prinsip ini membantu menjaga stabilitas dan keamanan internasional khususnya
juga dalam rangka penegakan hukum dalam negara tersebut. Dalam praktiknya,
penerapan prinsip non-intervensi seringkali menimbulkan tantangan, terutama
dalam menentukan kapan suatu situasi merupakan ancaman terhadap perdamaian
internasional.
Konsep “ancaman terhadap perdamaian internasional” ini
bersifat relatif dan seringkali menjadi subjek interpretasi yang berbeda-beda. Dalam
beberapa kasus, tindakan kemanusiaan yang dilakukan oleh komunitas
internasional dapat dianggap sebagai pengecualian terhadap prinsip
non-intervensi, terutama dalam situasi darurat kemanusiaan yang serius seperti
kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Palestina.
Perkembangan Konsep Non-Intervensi
Tanggung Jawab untuk Melindungi (Responsibility to
Protect), konsep ini muncul sebagai respons terhadap kegagalan komunitas
internasional dalam mencegah genosida dan kejahatan kemanusiaan. Konsep ini
menggarisbawahi kewajiban negara untuk melindungi penduduknya dari genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan pembersihan etnis. Jika
negara gagal memenuhi kewajibannya, komunitas internasional memiliki tanggung
jawab untuk mengambil tindakan.
Kemudian, Intervensi Militer, meskipun prinsip
non-intervensi secara umum melarang intervensi militer, namun dalam beberapa
kasus, Dewan Keamanan PBB dapat mengeluarkan resolusi yang mengizinkan
penggunaan kekuatan militer untuk menegakkan perdamaian internasional.
Sehingga prinsip non-intervensi adalah pilar
penting dalam hukum internasional. Namun, seperti banyak prinsip hukum lainnya,
penerapannya dalam praktik seringkali kompleks dan menimbulkan tantangan.
Konsep tanggung jawab untuk melindungi dan perkembangan hukum internasional
lainnya telah memperkaya pemahaman kita tentang batasan-batasan prinsip
non-intervensi.
Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang
Hubungan Persahabatan dan Kerja Sama antar Negara (Declaration on Principles
of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States) yang diresolusikan oleh Majelis Umum PBB pada tahun
1970 (Resolusi 2625), deklarasi ini menegaskan prinsip non-intervensi
dan kedaulatan negara dalam hubungannya dengan hukum internasional.
Meskipun fokus utama Deklarasi adalah pada hubungan
antar negara, namun prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya memiliki
implikasi yang signifikan terhadap penegakan hukum pidana domestik di negara
tempat terjadinya pidana.
Konvensi Internasional yang Relevan untuk Tindak Pidana Lintas Negara
Konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional
Terorganisasi (United Nations Convention against Transnational Organized
Crime)
Konvensi ini merupakan instrumen hukum internasional
yang komprehensif dalam memerangi kejahatan transnasional terorganisasi.
Beberapa ketentuan penting terkait prinsip teritorialitas dan personalitas yang
diatur dalam konvensi ini antara lain:
-
Pasal 5: Mendefinisikan berbagai bentuk kejahatan
transnasional terorganisir, termasuk perdagangan manusia, penyelundupan migran,
dan perdagangan narkoba;
-
Pasal 6: Mengatur tentang partisipasi dalam suatu kelompok
kriminal terorganisir;
-
Pasal 7: Mengenai pencucian uang;
-
Pasal 8: Tentang korupsi;
-
Pasal 11: Mengenai perampasan hasil kejahatan.
Hampir rata-rata kejahatan yang dimaksud di atas adalah kejahatan yang bersifat lex specialis atau kejahatan dalam hukum pidana khusus.
Prinsip Teritorialitas dan Personalitas dalam Konteks
Konvensi tersebut
Konvensi mengakui yurisdiksi negara atas kejahatan
yang dilakukan di wilayah yurisdiksinya, meskipun pelaku atau korban berasal
dari negara lain. Kemudian, Konvensi ini juga mengakui yurisdiksi negara atas
kejahatan yang dilakukan oleh warganya, meskipun kejahatan tersebut terjadi di
luar wilayah yurisdiksinya. Dalam beberapa kasus tertentu, konvensi juga
mengakui yurisdiksi universal, yaitu yurisdiksi negara untuk mengadili pelaku
kejahatan internasional yang paling serius, terlepas dari tempat terjadinya
kejahatan atau kewarganegaraan pelaku.
Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations
Convention against Corruption)
Konvensi ini secara khusus fokus pada pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Prinsip teritorialitas dan personalitas
juga menjadi dasar dalam konvensi ini, terutama dalam hal:
-
Ekstradisi: Konvensi mengatur prosedur ekstradisi pelaku tindak
pidana korupsi;
-
Bantuan Hukum
Timbal Balik: Konvensi mengatur
bentuk-bentuk bantuan hukum timbal balik dalam perkara pidana korupsi
masing-masing dari negara yang bersangkutan yang mana warga negaranya terjerat
berdasarkan perjanjian bilateral yang berlaku;
-
Perampasan
Aset: juga mengatur tentang
perampasan aset hasil tindak pidana korupsi.
Konvensi mengakui yurisdiksi negara atas tindak pidana
korupsi yang dilakukan di wilayah yurisdiksinya, termasuk korupsi yang
melibatkan pejabat publik atau pegawai perusahaan negara. Dan konvensi ini juga
mengakui yurisdiksi negara atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
warganya, meskipun kejahatan tersebut terjadi di luar wilayah yurisdiksinya.
Kedua konvensi ini telah memberikan kerangka hukum
yang kuat bagi negara-negara dalam memerangi kejahatan lintas batas. Prinsip
teritorialitas dan personalitas menjadi dasar bagi kerja sama internasional
dalam penegakan hukum. Namun, penerapan prinsip-prinsip ini dalam praktik
seringkali menghadapi tantangan, seperti perbedaan sistem hukum, perbedaan
kepentingan politik, dan kendala sumber daya.
Apa Itu Ekstradisi dan Bagaimana Bedanya dengan Deportasi?
Ketika mendengar istilah “ekstradisi,” apa yang
langsung terlintas di benak Anda? Apakah Anda berpikir tentang proses
pemindahan seseorang dari satu negara ke negara lain? Lalu, apa bedanya
ekstradisi dengan “deportasi”? Meskipun kedua istilah ini melibatkan
perpindahan orang antar negara, ekstradisi dan deportasi sebenarnya berbeda.
Perbedaan utama terletak pada adanya proses peradilan dalam ekstradisi,
sedangkan deportasi tidak memerlukan hal tersebut. Untuk memahami lebih dalam,
penting bagi kita untuk melihat dasar hukum yang mengatur kedua hal ini.
Dasar Hukum Deportasi di Indonesia
Deportasi diatur dalam Pasal 1 Angka 36
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“UU
tentang Keimigrasian”), yang mendefinisikannya sebagai “tindakan paksa
mengeluarkan orang asing dari wilayah Indonesia.” Deportasi adalah bentuk
tindakan administratif keimigrasian, yang ditetapkan oleh pejabat imigrasi
tanpa melalui proses peradilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 31 UU
tentang Keimigrasian. Salah satu alasan utama seseorang dapat dideportasi
adalah jika izin tinggalnya telah berakhir lebih dari 60 hari (vide Pasal
78 ayat (3) UU tentang Keimigrasian).
Dasar Hukum Ekstradisi di Indonesia
Sementara itu, ekstradisi diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (UU tentang Ekstradisi).
Menurut Pasal 1 UU tentang Ekstradisi, ekstradisi adalah:
“penyerahan
oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka
atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang
menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan
tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.”
Beberapa aspek penting dalam ekstradisi meliputi
yurisdiksi, status tersangka atau terpidana, dan kewenangan negara peminta
untuk mengadili dan memidana.
Yurisdiksi dan Prinsip Double Criminality
Yurisdiksi adalah wilayah hukum suatu negara yang
harus dihormati oleh negara lain. Jika seseorang melanggar hukum di suatu
negara dan melarikan diri ke negara lain, negara yang dirugikan dapat meminta
ekstradisi. Namun, ekstradisi hanya dapat dilakukan jika kejahatan tersebut
juga diakui sebagai tindak pidana di negara peminta dan negara yang diminta
(asas double criminality).
Contoh Kejahatan yang Dapat Diekstradisikan
Menurut UU Ekstradisi, beberapa kejahatan yang dapat
menyebabkan pelaku diekstradisikan antara lain pembunuhan, korupsi,
dan perdagangan narkotika. Ekstradisi dapat ditolak jika permintaan
didasarkan pada kejahatan politik atau jika hukuman yang dijatuhkan
bertentangan dengan hukum di negara yang diminta.
Proses Ekstradisi Maria Pauline Lumowa
Salah satu kasus ekstradisi yang terkenal adalah
pemulangan buronan Bank Negara Indonesia, Maria Pauline Lumowa, dari Serbia ke
Indonesia. Pemerintah Indonesia mengajukan permintaan ekstradisi berdasarkan Pasal
44 UU tentang Ekstradisi. Kasus ini menunjukkan bagaimana ekstradisi
melibatkan kerjasama diplomatik dan proses hukum yang kompleks.
Syarat-Syarat Ekstradisi
Untuk mengajukan ekstradisi, negara peminta harus
menyertakan surat permintaan resmi yang diajukan melalui saluran diplomatik,
dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung seperti surat perintah penahanan.
Setelah itu, proses penahanan, pemeriksaan pengadilan, dan keputusan Presiden
menentukan apakah ekstradisi akan dilakukan.
Apakah Dalam Perkara Anda dapat Dilakukan Ekstradisi atau Deportasi?
Begini, dalam konteks kasus atau perkara yang Anda tanyakan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kedua hal tersebut. Karena pertanyaan Anda terkait dengan “seorang warga negara Indonesia yang melakukan perbuatan pidana di wilayah negara lain yaitu Malaysia yang mana Malaysia memiliki asas pidananya sendiri dan kedaulatan sendiri dalam mengatur penegakan hukum di wilayahnya”
Dalam konteks pertanyaan Anda, memang benar bahwa
Indonesia-Malaysia memiliki perjanjian ekstradisi sebagaimana itu diatur di
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974 tentang Pengesahan
Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Malaysia
mengenai Ekstradisi, sebagaimana lampiran perjanjian disebutkan bahwa tujuan
utama dari perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Malaysia adalah untuk
memfasilitasi penyerahan tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan Tindak
Pidana di salah satu negara dan kemudian melarikan diri ke negara lain.
Perjanjian ini bertujuan untuk memastikan bahwa pelaku tindak pidana tidak
dapat menghindari proses hukum dengan berpindah ke negara lain, serta untuk
meningkatkan kerjasama dalam penegakan hukum antar kedua negara.
Sebagaimana ketentuan Pasal 5 Perjanjian Ekstradisi
antara Indonesia-Malaysia, ada menyebutkan bahwa:
“Pihak
yang diminta (untuk menyerahkan tersangka dan/atau terdakwa) dapat menolak
penyerahan orang yang diminta karena kejahatan yang menurut hukum pihak yang
diminta dilakukan seluruhnya atau sebagaian dalam wilayahnya atau di tempat
yang diperlakukan sebagai wilayahnya.”
Dalam
perjanjian ini jelas bahwa baik Indonesia maupun Malaysia “dapat menolak
melakukan penyerahan terhadap tersangka atau terdakwa tersebut”
Proses seperti ini tentu memerlukan proses diplomatic
dari pihak Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana itu memang diamanat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-4
menyebutkan bahwa:
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa.”
Ada kewajiban dari Pemerintah Republik Indonesia untuk
melindungi dan menjamin kepentingan hukum warga negaranya yang sedang terkena
permasalahan hukum di luar negeri termasuk karena melakukan dugaan tindak
pidana di Malaysia.
Sebagaimana ketentuan Pasal 19 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri menyatakan
perwakilan Republik Indonesia, berkewajiban:
1.
Memupuk persatuan
dan kerukunan antara sesama warga negara Indonesia di luar negeri;
2.
Memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi
warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan nasiona serta hukum kebiasaan internasional.
Perlindungan hukum terhadap warga negara Indonesia di
luar negeri dilakukan oleh pemerintah Indonesia termasuk melindungi kepentingan
warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum
dengan perwakilan asing di Indonesia.
Sebagaimana yang kami ketahui sejauh ini pemerintah
melalui Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, senyatanya sudah memiliki
instrument hukum untuk melindungi WNI yang ada di luar negeri satu di antaranya
dengan adanya Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2018 tentang Pelindungan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri yang
selanjutnya disebut dengan “Permenlu/5/2018”.
Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat
(2) Permenlu/5/2018 menyatakan:
“Pelindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan prinsip:
a.
mengedepankan
keterlibatan pihak yang bertanggung jawab dan/atau berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
tidak
mengambil alih tanggung jawab pidana
dan/atau perdata WNI; dan
c.
sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan, hukum Negara Setempat, serta hukum dan
kebiasaan internasional.”
Selain itu, contoh kasus, Pemerintah Indonesia pernah berhasil
membebaskan Siti Aisyah, seorang WNI yang diduga terlibat dalam pembunuhan KimJong-nam di Malaysia. Pembebasan ini dilakukan setelah berbagai upaya
diplomatik yang melibatkan Menkumham, Menlu, dan pejabat tinggi Indonesia
lainnya. Alasan utama pembebasan termasuk keyakinan bahwa Siti Aisyah tidak
berniat membunuh dan hanya terlibat karena dikelabui. Kasus ini menunjukkan
komitmen pemerintah dalam melindungi WNI di luar negeri, sejalan dengan Nawa
Cita Presiden Joko Widodo.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1] Eddy O.S.
Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016),
301.
[2] Andi Sofyan
dan Nur Azisa, Hukum Pidana, (Makassar: Pustaka Pena Press, 2016), 42.
[3] Eddy O.S.
Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, op.cit., 301-302.
[4] Andi Sofyan
dan Nur Azisa, op.cit., 44.
[5] Eddy O.S.
Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, op.cit., 306-307
[6] Andi Sofyan
dan Nur Azisa, op.cit., 47.
[7] Eddy O.S.
Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, loc.cit.
[8] Wirjono
Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1986), 51.
[9] Ibid, 53.
[10] Eddy O.S.
Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, op.cit., 313.
[11] vide Pasal
9 KUHP.
[12] Wirjono
Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, op.cit., 54.