layananhukum

Perbatasan Negara Bagaimana Pengaturannya?

 

Definisi Perbatasan Negara

Perbatasan negara merupakan elemen penting dalam sistem hukum internasional yang mendefinisikan batas-batas teritorial sebuah negara. Perbatasan ini sering kali berbentuk garis fisik, seperti pegunungan atau sungai, atau ditentukan secara geometris berdasarkan koordinat lintang dan bujur. Pemahaman dan penegakan perbatasan ini memiliki implikasi signifikan dalam konteks kedaulatan dan hubungan internasional.[1] Perbatasan negara juga sering kali merupakan garis imajiner yang dibentuk oleh kesepakatan politik atau melalui perjanjian internasional, yang memisahkan wilayah kekuasaan suatu negara dari negara lain. Garis-garis ini tidak selalu mencerminkan fitur geografis yang nyata seperti gunung atau sungai, melainkan sering kali ditetapkan berdasarkan koordinat bujur dan lintang yang diatur secara normative.[2]

Ketika kita membahas perbatasan negara dalam konteks hukum nasional, kita akan merujuk pada undang-undang yang mengaturnya. Secara umum, istilah yang sering digunakan adalah “Wilayah Negara.” Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan "Wilayah Negara"?

Pada dasarnya, perbatasan negara tidak dapat dipisahkan dari konsep wilayah negara itu sendiri. Artinya, pemahaman tentang perbatasan negara secara langsung berkaitan dengan pemahaman mengenai wilayah negara.

Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang selanjutnya disebut UU tentang Wilayah Negara menyatakan:

“Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara, adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.”

Kemudian dalam wilayah negara sebagaimana yang kami jelaskan di atas terdapat yang namanya “Kawasan Perbatasan” merujuk pada ketentuan Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Wilayah Negara, yaitu bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.

Sejarah Singkat Penetapan Batas

Pada zaman kuno, penetapan batas antar wilayah seringkali bersifat fleksibel dan ditentukan oleh kesepakatan antara penguasa lokal. Batas-batas ini sering kali mengikuti fitur geografis seperti sungai atau pegunungan, namun sering kali tidak ada peta yang menggambarkan batas-batas tersebut dengan jelas. Selain itu juga, suatu wilayah perbatasan ditentukan dan didefinisikan melalui suatu penaklukan, negosiasi, dan dekrit kekaisaran. Dari Mesopotamia kuno hingga era modern, demarkasi perbatasan telah membentuk dan mengubah lanskap politik suatu wilayah kekuasaan.[3]

Mesopotamia

Di wilayah Mesopotamia, yang merupakan satu di antara pusat peradaban kuno pertama, yang menetapkan batas tersebut dengan lanskap geografis dan perjanjian politik. Sungai seperti Tigris dan Efrat berfungsi sebagai penanda batas yang alami antara wilayah-wilayah yang berbeda. Namun, batas ini sering kali dipertentangkan dan berubah seiring dengan konflik atas perluasan kekuasaan. Contohnya, perjanjian antara kerajaan-kerajaan Mesopotamia, seperti antara Sumer dan Akkad, sering kali mencatat batas-batas yang ditetapkan dengan mengacu pada lanskap geografis atau titik referensi yang disepakati.[4]

Mesir Kuno

Di Mesir Kuno, perbatasan sering kali ditandai dengan monumen atau batas fisik. Mesir menggunakan sistem pengukuran yang terorganisir dengan baik dan mencatat perbatasan wilayah dalam catatan administratif. Batas-batas Mesir, terutama di wilayah delta Nil dan sepanjang tepi gurun, ditetapkan dengan menggunakan patok tanah dan garis-garis yang digambar secara fisik.[5] Pada masa dinasti-dinasti awal Mesir, batas-batas sering kali dicatat dalam teks-teks hieroglif dan didukung oleh penempatan patok dan monumen di lapangan.

Tiongkok Kuno

Di Tiongkok Kuno, penetapan batas antar negara juga dipengaruhi oleh kondisi geografis seperti pegunungan dan sungai. Konsep “batas kekuasaan” ini dalam konteks dinasti-dinasti Tiongkok sering kali berubah seiring dengan adanya ekspansi atau kontraksi kekuasaan dari dinasti yang berbeda. Penetapan batas dilakukan melalui perjanjian dengan negara tetangga atau melalui penaklukan militer. Misalnya selama Dinasti Han, batas-batas sering kali digariskan berdasarkan penaklukan dan perjanjian dengan suku-suku nomaden di utara.[6]

Yunani dan Romawi Kuno

Di Yunani dan Romawi Kuno hampir mirip, dalam hal penetapan batas-batas wilayah mereka sering kali ditetapkan berdasarkan kota-kota negara (polis) dan provinsi. Sistem administrasi Romawi mengembangkan peta yang lebih terperinci dan formal dalam mendefinisikan batas-batas wilayah kekuasaan mereka. Batas-batas ini sering kali mengikuti garis-garis geografis yang signifikan dan disertai dengan dokumen resmi. Peta-peta Romawi menggambarkan wilayah kekuasaan mereka dengan detail yang lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, menggunakan sistem koordinat yang lebih kompleks.[7]

Dapat disimpulkan penetapan batas wilayah pada zaman kuno sangat bergantung pada kondisi geografis dan kesepakatan politik yang sering kali bersifat sementara. Perubahan dalam kekuasaan atau perjanjian dapat mempengaruhi batas-batas tersebut, dan metode untuk mendefinisikannya telah berkembang seiring dengan kemajuan dalam administrasi dan teknologi peta.

Penetapan Batas Antar Negara pada Abad Pertengahan

Kerajaan-Kerajaan Eropa

Pada abad pertengahan, penetapan batas antar kerajaan dan negara sering kali ditentukan oleh perjanjian politik dan konflik militer. Kekuasaan feodal yang terfragmentasi menyebabkan batas-batas wilayah yang sering kali tidak stabil dan bergantung pada kekuatan militer dan negosiasi diplomatik. Seperti dengan adanya, Perjanjian Verdun (843 M), Perjanjian ini membagi Kekaisaran Charlemagne menjadi 3 (tiga) kerajaan yang berbeda: Francia Occidental, Francia Media, dan Francia Orientalis. Ini adalah contoh penting dari penetapan batas wilayah yang didasarkan pada kesepakatan politik dan sering kali mempengaruhi peta politik Eropa selanjutnya.[8]

Kerajaan Inggris dan Skotlandia

Penetapan batas antara Inggris dan Skotlandia sering kali menjadi sumber konflik. Selama abad pertengahan, batas-batas ini tidak selalu didefinisikan dengan jelas dan sering kali bergantung pada kekuasaan militer dan perjanjian. Batas-batas ini sering kali dipertentangkan dalam berbagai perang dan perjanjian, seperti Perang Kemerdekaan Skotlandia. Kemudian timbul, Perjanjian York (1237 M) yang mana Perjanjian ini mengatur batas antara Inggris dan Skotlandia, namun perbatasan ini sering kali dipertentangkan dalam konflik-konflik berikutnya.[9]

Penetapan Batas di Wilayah Islam

Dalam dunia Islam abad pertengahan, batas-batas wilayah sering kali ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara khalifah dan penguasa lokal. Penetapan batas juga dipengaruhi oleh ekspansi militer dan perjanjian politik antara berbagai dinasti dan negara Islam. Perjanjian Hudaybiyyah (628 M) yaitu Perjanjian ini antara Nabi Muhammad dan suku Quraisy, meskipun lebih merupakan perjanjian damai, juga menyentuh aspek batas wilayah yang mempengaruhi hubungan antar kekuasaan.[10]

Yang mana kita ketahui bersama, Perjanjian Hudaibiyah tersebut dibuat untuk mendamaikan kedua belah pihak yang telah berkonflik cukup lama, mulai dari Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq.

Peta dan Dokumen Administratif

Pada abad pertengahan, penggunaan peta mulai berkembang, meskipun masih dalam bentuk yang sangat sederhana dibandingkan dengan standar modern. Peta ini sering digunakan untuk mendokumentasikan dan mengelola batas-batas wilayah kekuasaan, serta untuk perencanaan administratif dan militer. Seperti dengan adanya Peta Hereford (circa 1300). Meskipun lebih terkenal karena representasi simbolis daripada akurasi geografis, peta ini mencerminkan bagaimana penetapan batas dan pembuatan peta mulai mempengaruhi pemahaman tentang wilayah.[11]

Jadi dapat dikatakan pada abad pertengahan, penetapan batas antar negara dipengaruhi oleh perjanjian politik, konflik militer, dan perkembangan administrasi. Meskipun batas-batas ini sering kali tidak stabil dan bergantung pada kekuatan dominan, mereka memainkan peran penting dalam membentuk peta politik yang berkembang menuju era modern.

Penetapan Batas Antar Negara pada Era Kolonial

Penetapan batas negara pada era kolonial sering kali dilakukan oleh kekuatan kolonial tanpa memperhatikan batas-batas etnis atau geografis yang ada. Peta-peta yang dibuat selama periode ini sering kali membagi wilayah secara sembarangan, seringkali menyebabkan konflik yang masih berlanjut hingga saat ini.[12]

Selama abad ke-19, “Scramble for Africa” atau perebutan Afrika oleh kekuatan kolonial Eropa menyebabkan penetapan batas-batas yang sering kali dibuat tanpa memperhatikan etnis atau kelompok sosial lokal. Konferensi Berlin 1884-1885 merupakan titik balik penting dalam penetapan batas-batas kolonial di Afrika. Konferensi Berlin (1884-1885) Konferensi ini diadakan untuk membagi benua Afrika di antara kekuatan kolonial Eropa, tanpa mempertimbangkan batas-batas etnis atau sosial yang ada. Keputusan ini menyebabkan pembentukan batas-batas negara yang sering kali memotong komunitas-komunitas etnis dan menyebabkan konflik yang berlanjut hingga era pasca-kolonial.[13]

Di Asia, kekuatan kolonial seperti Inggris, Prancis, dan Belanda menetapkan batas-batas melalui perjanjian dengan kekuatan lokal dan ekspansi militer. Batas-batas ini sering kali dipengaruhi oleh pertimbangan strategis dan perdagangan. Perjanjian Inggris-Siam (1909) Perjanjian ini menetapkan batas antara wilayah kolonial Inggris di Malaya dan Siam (sekarang Thailand), memperjelas batas wilayah yang sering kali menjadi sumber ketegangan dan sengketa.[14] Catatan penting di sini, pada era kolonial, penetapan batas antar negara dilakukan dengan mengabaikan struktur sosial dan geografis yang ada sebelumnya. Kekuatan kolonial Eropa sering kali membuat keputusan sepihak tentang batas-batas wilayah, yang menyebabkan dampak jangka panjang terhadap konflik dan administrasi wilayah-wilayah yang dikuasai. Proses ini berkontribusi pada kompleksitas peta politik global yang kita kenal saat ini.

Penetapan Batas Antar Negara pada Era Modern

Setelah Perang Dunia I dan II, banyak negara mengalami perubahan besar dalam batas-batas mereka sebagai hasil dari perjanjian damai dan pergeseran kekuasaan politik. Penetapan batas-batas ini sering kali mencerminkan hasil dari negosiasi internasional dan intervensi oleh kekuatan besar. Konferensi Versailles (1919), Konferensi Versailles mengakhiri Perang Dunia I dan menghasilkan perjanjian-perjanjian yang merombak batas-batas di Eropa dan di luar Eropa. Misalnya, Perjanjian Versailles memaksa Jerman untuk menyerahkan wilayah-wilayah seperti Alsace-Lorraine ke Prancis dan menciptakan negara-negara baru seperti Cekoslovakia dan Yugoslavia.[15]

Kemudian, Proses dekolonisasi pasca-Perang Dunia II membawa perubahan besar dalam penetapan batas-batas negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Negara-negara baru yang merdeka sering kali mewarisi batas-batas kolonial yang ditetapkan oleh kekuatan kolonial, yang sering kali tidak sesuai dengan pembagian etnis dan budaya lokal. Ambil contoh, dengan adanya Konferensi Bandung (1955) yang merupakan pertemuan penting bagi negara-negara Asia dan Afrika yang baru merdeka. Konferensi ini mendukung hak-hak untuk menentukan batas-batas nasional dan menggarisbawahi pentingnya penyelesaian damai untuk sengketa perbatasan.[16]

Di era modern, penetapan batas sering kali melibatkan penyelesaian sengketa melalui perjanjian internasional atau keputusan pengadilan internasional. Konflik perbatasan yang kompleks sering kali memerlukan intervensi oleh badan-badan internasional untuk mencapai resolusi damai. Seperti Perjanjian Oslo (1993) yaitu langkah penting dalam proses perdamaian Israel-Palestina, dengan mengatur batas-batas administratif di Tepi Barat dan Jalur Gaza serta mengakui hak-hak politik dan keamanan dari kedua belah pihak.[17]

The Oslo Accords marked a significant moment in the Israeli-Palestinian conflict, establishing frameworks for border management and political cooperation amidst a complex landscape of historical grievances.

Instrumen Hukum Internasional yang Mengatur Mengenai Batas antar Negara

Perkembangan hukum internasional di era modern telah memperkenalkan berbagai instrumen untuk mengatur penetapan dan penyelesaian sengketa batas antar negara. Instrumen-instrumen ini mencakup konvensi dan perjanjian internasional yang mengatur berbagai aspek batas-batas, baik darat maupun maritim.

Untuk di Laut atau Maritim kita memiliki Konvensi tentang Hukum Laut Internasional - United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang diadopsi pada tahun 1982, mengatur hak-hak negara di lautan, termasuk batas-batas maritim dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Konvensi ini merupakan alat penting dalam menyelesaikan sengketa maritim dan menetapkan batas-batas yang adil dan sah.[18]

Pengaturan Hukum Perbatasan Negara dalam Perspektif Nasional

Sebagaimana yang sudah kami uraikan di atas bahwa dalam perspektif nasional dalam perbatasan negara kita memiliki instrument hukum yang mengatur yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang selanjutnya disebut UU tentang Wilayah Negara.

Yang mana dalam Pengaturan Wilayah Negara bertujuan:

a.       menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan negara, dan ketertiban di Kawasan Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa;

b.      menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan c. mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, termasuk pengawasan batas-batasnya. (vide Pasal 3 UU tentang Wilayah Negara)

Wilayah Negara meliputi wilayah darat, wilayah perairan, dasar laut, dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. (vide Pasal 4 UU tentang Wilayah Negara)

Kemudian, disebutkan juga Batas Wilayah Negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan/atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. (vide Pasal 5 UU tentang Wilayah Negara)

Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud tersebut di atas meliputi:

a.       di darat berbatas dengan Wilayah Negara Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste;

b.      di laut berbatas dengan Wilayah Negara Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan Timor Leste; dan

c.       di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional.[19]

Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud juga termasuk titik-titik koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral.[20] Dalam hal Wilayah Negara tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia menetapkan Batas Wilayah Negara secara unilateral berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.[21]

Perlu diketahui juga, Negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain di Wilayah Yurisdiksi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.[22] Wilayah Yurisdiksi Indonesia berbatas dengan wilayah yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam.[23] Batas Wilayah Yurisdiksi sebagaimana dimaksud termasuk titik-titik koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral.[24] Dalam hal Wilayah Yurisdiksi tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia menetapkan Batas Wilayah Yurisdiksinya secara unilateral berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.[25]

Latas, apa itu Wilayah Yuridiksi? Wilayah Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.[26]

Untuk mengelola Batas Wilayah Negara dan mengelola Kawasan Perbatasan pada tingkat pusat dan daerah, Pemerintah dan pemerintah daerah membentuk Badan Pengelola nasional dan Badan Pengelola daerah.[27] Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Republik Indonesia yang mana diketuai oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Mendagri RI) dan Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD) di tingkat Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Robert Jackson, “Quasi-States: Sovereignty, International Relations and the Third World”, (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 25-27.

[2] Matthew Longo, “The Politics of Border Control”, (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 46.

[3] Robert D. Kaplan, “The Revenge of Geography: What the Map Tells Us About Coming Conflicts and the Battle Against Fate”, (New York: Random House, 2016), 14.

[4] Marc Van De Mieroop, “A History of the Ancient Near East, Ca. 3000-323 BC”, (Malden: Blackwell Publishing, 2004), 67.

[5] Alan Gardiner, “Egyptian Grammar: Being an Introduction to the Study of Hieroglyphs”, (Oxford: Griffith Institute, 1957), 142.

[6] Mark Edward Lewis, “The Early Chinese Empires: Qin and Han”, (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 210.

[7] R. J. A. Talbert, “Atlas of Classical History” (Oxford: Oxford University Press, 1985), 45.

[8] Jean-Pierre Poly & Eric Bournazel, “The Feudal Transformation, 900-1200 (Europe Past and Present Series)” (Holmes & Meier Pub, 1991), 92.

The Treaty of Verdun established boundaries that would influence the political landscape of medieval Europe, as the empire was divided into distinct territories based on the agreements between the Carolingian heirs.

[9] Fiona Watson, “Under the Hammer: Edward I and the Forging of Scotland” (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998), 108.

[10] M. A. Shaban, “Islamic History: A New Interpretation, Vol. 1: A.D. 600-750”, (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 198. (Medieval Islamic boundaries were often defined through treaties and agreements between different powers, reflecting both military conquests and diplomatic negotiations.)

[11] David Woodward, “The History of Cartography, Volume 1: Cartography in Prehistoric, Ancient, and Medieval Europe and the Mediterranean” (Chicago: University of Chicago Press, 1987), 303. (Medieval maps, such as the Hereford Mappa Mundi, illustrate the conceptualization of geographical boundaries and territorial divisions, although their accuracy was limited by the cartographic knowledge of the time)

[12] James C. Scott, “The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia”, (New Haven: Yale University Press, 2009), 47.

[13] Richard Gott, “Britain’s Empire: Resistance, Repression and Revolt”, (London: Grove Press, 2007), 24.

[14] Chulalongkorn, “The Documents of Siam”, (Bangkok: Siam Society, 1917), 56.

[15] Margaret MacMillan, “Paris 1919: Six Months That Changed the World”, (New York: Random House, 2001), 65.

[16] R. J. C. Young, “The Post-Colonial State in Africa: Fifty Years of Independence”, (Oxford: Oxford University Press, 2018), 108.

[17] Mark Tessler, “A History of Israeli-Palestinian Conflict” (Bloomington: Indiana University Press, 1994), 345. (The Oslo Accords marked a significant moment in the Israeli-Palestinian conflict, establishing frameworks for border management and political cooperation amidst a complex landscape of historical grievances.)

[18] Donald R. Rothwell & Tim Stephens, “The International Law of the Sea” (Oxford: Oxford University Press, 2016), 101. (The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) provides a comprehensive legal framework for defining and managing maritime boundaries, reflecting the importance of international law in contemporary border issues)

[19] vide Pasal 6 ayat (1) UU tentang Wilayah Negara

[20] vide Pasal 6 ayat (2) UU tentang Wilayah Negara

[21] vide Pasal 6 ayat (3) UU tentang Wilayah Negara

[22] vide Pasal 7 UU tentang Wilayah Negara

[23] vide Pasal 8 ayat (1) UU tentang Wilayah Negara

[24] vide Pasal 8 ayat (1) UU tentang Wilayah Negara

[25] vide Pasal 8 ayat (1) UU tentang Wilayah Negara

[26] vide Pasal 1 Angka 3 tentang Wilayah Negara

[27] vide Pasal 14 ayat (1) tentang Wilayah Negara

Formulir Isian