layananhukum

Ketentuan Pidana Negara Mana yang Berlaku pada Zona Netral Perbatasan Indonesia-Malaysia

 

Pertanyaan

Sekadar ingin tahu saja bang, tahu zona netral kan antara PLBN Indonesia dengan Pos Lintas Malaysia, yang mana di situ tidak berlakunya hukum baik Indonesia dan Malaysia, bagaimana di tempat itu terjadi tindak pidana pembunuhan misalnya? Apakah artinya hukum acara kita atau Malaysia tidak berlaku dan artinya tidak bisa dipidana sama sekali? Sekian terima kasih.

Jawaban

    Pendahuluan

    Pembentukan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia tidak lepas dari pengaruh kolonialisme, di mana kekuasaan kolonial Belanda dan Inggris memainkan peran kunci dalam menentukan batas wilayah yang kemudian menjadi garis batas negara setelah kedua negara merdeka. Pada masa kolonial, pengaturan perbatasan sering kali didasarkan pada perjanjian-perjanjian antar kekuatan kolonial, yang kurang memperhatikan kondisi lokal atau etnisitas penduduk asli.

    Seperti Menurut Tarling (2001), pembentukan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia pada masa kolonial banyak dipengaruhi oleh kebutuhan kolonial untuk menentukan wilayah kekuasaan mereka, sering kali tanpa mempertimbangkan faktor-faktor kearifan lokal yang sudah ada sebelum kedua negara tersebut terbentuk.[1]

    Selain itu, dalam Penentuan wilayah kita mengenal dalam hukum  asas Uti Possidetis juris  merupakan prinsip yang saat ini sudah menjadi hukum kebiasaan internasional (international customary lawdalam penentuan wilayah baru, baik yang lahir melalui proses kemerdekaan secara sepihak, maupun melalui penggunaan hak untuk menentukan nasib sendiri.

    Uti Possidetis Juris secara etimologi merupakan bahasa Latin yang berarti “sebagai milik anda” (as you possess). Terminologi ini secara historis berasal dari hukum Romawi yang berarti, bahwa wilayah dan kekayaan lainnya mengikuti pemilik asal pada akhir konflik antara negara baru dengan penguasa sebelumnya yang disajikan dalam sebuah perjanjian.

    Pembentukan Perbatasan pada Masa Kolonial

    Pada abad ke-19, kolonial Belanda dan Inggris mulai memperkuat penguasaan mereka di wilayah Asia Tenggara, termasuk di wilayah Kalimantan yang sekarang berbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Pengaturan perbatasan ini diresmikan melalui serangkaian perjanjian bilateral, seperti Konvensi 1824 antara Inggris dan Belanda, yang dikenal sebagai Anglo-Dutch Treaty of 1824. Perjanjian ini merupakan salah satu perjanjian penting yang mengatur batas kekuasaan kedua negara di kawasan ini, meskipun sebagian besar perjanjian ini lebih fokus pada pembagian pengaruh di Semenanjung Malaya dan Kepulauan Riau.[2]

    Selain itu, Perbatasan antara Indonesia dan Malaysia pada awalnya ditentukan oleh kesepakatan antara kolonial Belanda dan Inggris. Pada tahun 1891, adanya yang Namanya Perjanjian Watershed yang ditandatangani oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan Inggris untuk menetapkan batas wilayah di Pulau Kalimantan. Prinsip utama yang digunakan dalam perjanjian ini adalah penentuan batas berdasarkan “watershed” atau punggungan gunung, yang menjadi pembagi alami aliran air antara kedua wilayah yang kini menjadi bagian dari Indonesia dan Malaysia. Watershed ini mengikuti garis puncak gunung, yang dianggap sebagai pemisah alami antara dua negara, dengan aliran air yang mengalir ke arah yang berlawanan.

    Peluso dan Vandergeest (2001) pernah menekankan bahwa proses territorialization oleh kekuatan kolonial menciptakan perbatasan yang kadang tidak sesuai dengan realitas sosial di lapangan, yang kemudian menjadi sumber konflik setelah kemerdekaan.[3]

    Perjanjian Perbatasan Kalimantan

    Di Kalimantan, penentuan perbatasan lebih kompleks dan baru diselesaikan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Salah satu perjanjian penting adalah Perjanjian 1891 yang menandai garis batas antara wilayah yang dikuasai Belanda (sekarang Indonesia) dan wilayah yang dikuasai Inggris (sekarang Malaysia). Perjanjian ini kemudian ditindaklanjuti dengan survei dan penetapan garis batas yang lebih detail, yang dikenal sebagai Boundary Convention of 1915.

    Singh (2005) pernah menyatakan bahwa perbatasan yang ditetapkan melalui Perjanjian 1891 dan Boundary Convention 1915 menjadi dasar bagi kedaulatan pasca-kolonial, meskipun sering kali menimbulkan sengketa, mengingat perbatasan ini sering kali ditentukan tanpa mempertimbangkan secara mendalam kondisi sosial, budaya, atau ekonomi masyarakat setempat, yang kemudian menimbulkan masalah di masa setelah kemerdekaan, ketika garis-garis batas tersebut dijadikan dasar bagi kedaulatan negara modern.[4]

    Perbatasan Pasca Kemerdekaan

    Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dan pembentukan Federasi Malaysia pada tahun 1963, garis-garis batas yang telah ditetapkan oleh kekuatan kolonial ini secara umum diterima oleh kedua negara, meskipun beberapa sengketa masih terus berlangsung, terutama di wilayah Kalimantan. Sifat garis batas yang sering kali kurang jelas dan tidak sesuai dengan kondisi geografis dan sosial setempat telah menimbulkan berbagai ketegangan, baik secara diplomatik maupun di lapangan, yang memerlukan penyelesaian melalui diplomasi atau arbitrase internasional.[5] Salah satu isu perbatasan yang paling terkenal adalah sengketa mengenai kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, yang diselesaikan melalui putusan Mahkamah Internasional (MI) atau International Court of Justice (ICJ).

    Kasus Sipadan dan Ligitan merupakan salah satu contoh signifikan bagaimana sengketa perbatasan pasca-kemerdekaan bisa menjadi permasalahan internasional yang kompleks. Dalam putusan MI, Malaysia berhasil membuktikan bahwa mereka telah menjalankan administrasi yang efektif di pulau-pulau tersebut. Administrasi efektif ini dianggap lebih relevan dibandingkan dengan klaim Indonesia yang mendasarkan argumen pada perjanjian-perjanjian kolonial.[6]

    Sengketa ini menggambarkan bagaimana isu perbatasan setelah kemerdekaan tidak hanya dipengaruhi oleh sejarah kolonial tetapi juga oleh perkembangan administrasi dan kepentingan nasional. Putusan MI menegaskan bahwa dalam kasus sengketa perbatasan, faktor-faktor seperti administrasi efektif dan kontinuitas penggunaan wilayah lebih diprioritaskan dibandingkan klaim sejarah yang tidak didukung oleh fakta-fakta kontemporer.[7]

    Dalam konteks perbatasan Indonesia-Malaysia, ini menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa perbatasan harus memperhitungkan realitas di lapangan, termasuk administrasi yang dijalankan oleh negara di wilayah yang disengketakan. Selain itu, putusan ini juga menyoroti pentingnya upaya diplomatik yang terus menerus untuk mengelola dan menyelesaikan sengketa perbatasan dengan damai, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional.

    Putusan MI atas Pulau Sipadan dan Ligitan menunjukkan bahwa sengketa perbatasan pasca kemerdekaan antara Indonesia dan Malaysia bukan hanya persoalan warisan kolonial, tetapi juga melibatkan dinamika administrasi negara modern dan kepentingan nasional. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa perbatasan harus mempertimbangkan tidak hanya aspek historis, tetapi juga praktik administrasi yang efektif dan kepentingan rakyat yang tinggal di wilayah perbatasan.

    Perjanjian Tahun 1967: Penetapan Awal Batas Darat dan Laut

    Perjanjian tahun 1967 antara Indonesia dan Malaysia merupakan salah satu tonggak penting dalam penetapan batas darat dan laut kedua negara. Perjanjian ini, sering kali disebut sebagai Basic Arrangement on Border Crossing (BAC). Perjanjian ini mengatur aktivitas lintas batas masyarakat di kawasan perbatasan. Kemudian, Indonesia dan Malaysia juga memiliki perjanjian batas landas kontinen di Selat Malaka dan Laut China Selatan yang ditandatangani pada 27 Oktober 1969 di Kuala Lumpur. Perjanjian ini disahkan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 89 tahun 1969. Selain itu, Indonesia dan Malaysia juga telah menyelesaikan Border Trade Agreement (BTA) pada tahun 2022. Kedua negara akan melanjutkan proses ratifikasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di masing-masing negara sebelum BTA diberlakukan.

    Kesemua Perjanjian tersebut penting karena menandai pengakuan resmi oleh kedua negara atas batas-batas yang sebelumnya ditetapkan oleh kekuatan kolonial, sekaligus menjadi dasar bagi penyelesaian sengketa yang mungkin muncul di kemudian hari.[8]

    Perjanjian Lanjutan dan Resolusi Sengketa

    Meskipun Perjanjian 1967 telah menetapkan beberapa batas, ada banyak wilayah yang masih diperdebatkan, terutama terkait dengan garis batas laut. Sengketa yang sudah kami jelaskan di atas yaitu Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, tetap tidak bisa dihindari dan harus berakhir di Mahkamah Internasional pada tahun 2002. Sebelum itu, kedua negara menandatangani beberapa perjanjian tambahan untuk menyelesaikan sengketa perbatasan.

    Salah satu perjanjian penting adalah Treaty between The Republic Indonesia and Malaysia on Determination of Boundry Line of Territorial Waters of the Two Nations at the Strait of Malacca yang ditandatangani pada tahun 1971, yang mencoba untuk lebih merinci batas-batas di beberapa wilayah yang belum sepenuhnya jelas.

    Joyner (2002) mencatat bahwa upaya penyelesaian sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia melalui perjanjian bilateral terus berlanjut, dengan fokus pada penyelesaian damai yang melibatkan negosiasi dan arbitrase internasional ketika diperlukan.[9]

    Zona Perbatasan Khusus: Kesepakatan tentang Area yang Memiliki Pengaturan Khusus

    Selain perjanjian tentang batas darat dan laut, Indonesia dan Malaysia juga menandatangani kesepakatan tentang pengaturan khusus di beberapa area perbatasan, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). ZEE adalah wilayah laut yang meluas hingga 200 mil laut dari garis dasar di mana negara memiliki hak khusus atas eksplorasi dan penggunaan sumber daya laut. Kedua negara sepakat untuk mengatur pengelolaan sumber daya di wilayah ini melalui perjanjian bilateral yang memastikan eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya dilakukan secara adil dan sesuai dengan hukum internasional.

    Kesepakatan mengenai ZEE dan zona perbatasan khusus lainnya sering kali melibatkan negosiasi yang rumit, mengingat pentingnya wilayah ini bagi ekonomi kedua negara, terutama dalam hal perikanan dan sumber daya bawah laut.

    Prescott dan Schofield menyatakan bahwa pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan Malaysia merupakan contoh dari negosiasi perbatasan maritim yang berhasil, di mana kedua negara mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan dalam eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya laut.[10]

    Sehingga, perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani antara Indonesia dan Malaysia, baik yang menetapkan batas darat dan laut maupun yang mengatur zona perbatasan khusus, menunjukkan pentingnya diplomasi dalam menyelesaikan sengketa perbatasan. Setiap perjanjian tidak hanya memperkuat kedaulatan kedua negara tetapi juga menciptakan kerangka kerja untuk kerjasama bilateral yang berkelanjutan.

    Peraturan Perundang-Undangan yang Mengatur Mengenai Pelanggaran Pidana di Perbatasan Negara

    Berbagai undang-undang di Indonesia mengatur ketentuan hukum yang berlaku di wilayah perbatasan negara. Mulai dari kedaulatan wilayah, pengawasan keluar-masuk orang dan barang, hingga penanganan tindak pidana seperti perdagangan orang dan narkotika, semuanya diatur secara ketat untuk menjaga keamanan dan kedaulatan negara. Penegakan hukum di wilayah perbatasan menjadi prioritas untuk memastikan bahwa setiap aktivitas yang berlangsung di sana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Berikut beberapa ketentuan yang berlaku di Indonesia yang saling terkait dan dapat merespon apabila terjadi suatu tindak pidana di wilayah perbatasan negara.

    Aturan Hukum di Indonesia

    Dalam mengatur wilayah perbatasan negara, Indonesia memiliki berbagai undang-undang yang mengatur berbagai aspek hukum yang berlaku, termasuk wilayah kedaulatan, keimigrasian, bea cukai, perdagangan orang, narkotika, mata uang, bongkar muat, dan ketentuan pidana umum. Berikut adalah uraian tentang masing-masing undang-undang beserta ketentuan pasal yang mengaturnya:

    Undang-Undang tentang Wilayah Negara

    Undang-Undang ini mengatur kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia, termasuk wilayah darat, laut, dan udara. Sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang mana berikut beberapa ketentuan penting di dalamnya:

    -        Pasal 4: Menyatakan bahwa wilayah negara Indonesia terdiri dari wilayah darat, laut, dan udara, serta wilayah tertentu yang diatur berdasarkan hukum internasional;

    -        Pasal 6: Mengatur penetapan batas-batas wilayah negara Indonesia, baik di darat maupun di laut, termasuk garis batas dengan negara lain.

    Undang-Undang tentang Keimigrasian

    Mengatur keluar masuknya orang dari dan ke wilayah Indonesia, termasuk persyaratan, prosedur, dan pengawasan di wilayah perbatasan sebagaimana dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yang mana terdapat beberapa ketentuan penting di dalamnya antara lain:

    -        Pasal 8: Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku;

    -        Pasal 12: Menteri berwenang melarang Orang Asing berada di daerah tertentu di Wilayah Indonesia;

    -        Pasal 113: setiap orang yang dengan sengaja masuk atau keluar Wilayah Indonesia yang tidak melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi dapat dipidana.

    Undang-Undang tentang Bea Cukai

    Undang-Undang ini mengatur pengawasan terhadap barang-barang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia, terutama di perbatasan, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagiamana telah mengubah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang mengatur beberapa ketentuan penting, antara lain:

    -        Pasal 6: Menyatakan bahwa setiap barang yang dimasukkan ke dalam atau dikeluarkan dari wilayah Indonesia wajib memenuhi ketentuan kepabeanan;

    -        Pasal 10A: Mengatur kewajiban untuk melaporkan barang-barang yang masuk atau keluar dari wilayah Indonesia kepada pejabat bea cukai;

    -        Pasal 102: Memberikan kewenangan kepada petugas bea cukai untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran kepabeanan di wilayah perbatasan dan segala bentuk ketentuan pidana yang mengatur mengenai pelanggaran terhadap Kepabeanan.

    Undang-Undang tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

    Mengatur penanganan dan pencegahan kasus perdagangan manusia, yang sering terjadi di wilayah perbatasan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, berikut beberapa ketentuan penting yang mengatur mengenai perbuatan tersebut apabila dilakukan di perbatasan:

    -        Pasal 2: Menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan untuk tujuan eksploitasi dapat dipidana;

    -        Pasal 4: Mengatur hukuman bagi pelaku perdagangan orang, termasuk di wilayah perbatasan.

    Undang-Undang tentang Narkotika

    Regulasi ini mengatur pengendalian narkotika, yang sering menjadi masalah di wilayah perbatasan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika beberapa ketentuan penting, antara lain:

    -        Pasal 111: Mengatur larangan terhadap kepemilikan, penyimpanan, dan pengangkutan narkotika;

    -        Pasal 112: Menetapkan sanksi pidana bagi mereka yang kedapatan membawa atau mengedarkan narkotika di wilayah Indonesia, termasuk di perbatasan.

    Undang-Undang tentang Mata Uang

    Undang-Undang ini mengatur penggunaan dan pengawasan mata uang di wilayah perbatasan, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang berikut beberapa ketentuan penting yang ada di dalamnya:

    -        Pasal 21 ayat (1): Menyatakan bahwa setiap transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah;

    -        Pasal 33: Mengatur pelarangan terhadap transaksi menggunakan mata uang asing di wilayah perbatasan, kecuali dalam kondisi tertentu yang diizinkan oleh undang-undang.

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

    KUHP mengatur ketentuan pidana umum yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di wilayah perbatasan.

    -        Pasal 211: Mengatur tindak pidana terkait perlawanan terhadap pejabat yang menjalankan tugasnya di wilayah perbatasan;

    -        Pasal 310: Mengatur tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik yang dapat terjadi di wilayah perbatasan;

    -        Pasal 368: Mengatur tindak pidana pemerasan yang sering terjadi di daerah-daerah terpencil, termasuk di perbatasan.

    Kesemua aturan tersebut di atas berlaku hukum pidana Indonesia sebagaimana kita mengenal asas-asas yang ada dalam hukum pidana dalam keberlakuannya, dapat dibaca ditulisa kami berikut: WNI Melakukan Tindak Pidana di Luar Negeri: Hukum Mana yang Berlaku?

    Aturan Hukum di Malaysia

    Malaysia memiliki kerangka hukum yang komprehensif untuk mengatur berbagai aspek hukum di wilayah perbatasan. Mulai dari pengaturan wilayah kedaulatan, pengawasan keluar-masuk orang dan barang, hingga penanganan tindak pidana seperti perdagangan manusia dan narkotika, semuanya diatur untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah perbatasan negara. Ketentuan hukum ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap aktivitas yang berlangsung di perbatasan sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku, serta melindungi kedaulatan Malaysia dari ancaman internal dan eksternal dalam negeri. Berikut adalah uraian mengenai ketentuan undang-undang yang relevan di Malaysia:

    Federal Constitution (Perlembagaan Persekutuan)

    Konstitusi Malaysia mengatur dasar-dasar hukum tentang kedaulatan dan batas wilayah negara, serta hak dan kewajiban pemerintah dalam menjaga integritas wilayah perbatasan.

    -        Article 2: Menyatakan bahwa Parlemen memiliki wewenang untuk menerima wilayah baru dan menetapkan batas-batas negara bagian;

    -        Article 74: Memberikan wewenang kepada Parlemen untuk membuat undang-undang tentang hal-hal yang terkait dengan keamanan, termasuk urusan perbatasan.

    Immigration Act 1959/63 (Akta Imigresen 1959/63)

    Undang-Undang Imigrasi Malaysia mengatur tentang masuk dan keluarnya orang dari wilayah Malaysia, termasuk pengawasan di perbatasan, berikut garis besar ketentuannya:

    -        Section 5: Mengatur bahwa setiap orang yang masuk atau keluar dari Malaysia wajib memiliki izin yang sah dari otoritas imigrasi;

    -        Section 6: Menetapkan kewajiban bagi pendatang asing untuk mendapatkan visa, pas, atau izin masuk yang sah sebelum masuk ke wilayah Malaysia;

    -        Section 26: Mengatur sanksi pidana bagi orang yang melanggar ketentuan imigrasi, termasuk penyelundupan manusia dan masuk tanpa izin melalui perbatasan.

    Customs Act 1967 (Akta Kastam 1967)

    Undang-Undang Bea Cukai mengatur pengawasan terhadap barang-barang yang masuk dan keluar dari wilayah Malaysia melalui perbatasan, berikut ketentuan pentingnya:

    -        Section 10: Menetapkan bahwa semua barang yang diimpor atau diekspor dari Malaysia harus melalui pemeriksaan oleh otoritas bea cukai;

    -        Section 11: Mengatur kewajiban melaporkan barang yang dibawa masuk atau keluar dari Malaysia kepada petugas bea cukai;

    -        Section 135: Memberikan sanksi pidana terhadap penyelundupan barang dan pelanggaran lainnya terkait bea cukai di perbatasan.

    Anti-Trafficking in Persons and Anti-Smuggling of Migrants Act 2007 (Akta Antipemerdagangan Orang dan Antipenyeludupan Migran 2007)

    Undang-Undang ini mengatur penanganan dan pencegahan perdagangan manusia dan penyelundupan migran, yang sering terjadi di wilayah perbatasan, berikut ketentuan pentingnya:

    -        Section 12: Menetapkan bahwa setiap orang yang terlibat dalam perdagangan orang atau penyelundupan migran di wilayah perbatasan dapat dikenakan sanksi pidana;

    -        Section 13: Mengatur hukuman bagi pelaku perdagangan manusia, termasuk penjara dan denda berat;

    -        Section 15: Memberikan wewenang kepada otoritas untuk melakukan penangkapan dan penyelidikan atas tindak pidana perdagangan manusia di wilayah perbatasan.

    Dangerous Drugs Act 1952 (Akta Dadah Berbahaya 1952 - Akta 846)

    Undang-Undang ini mengatur pengendalian dan pengawasan terhadap narkotika di Malaysia, termasuk di wilayah perbatasan, berikut ketentuan pentingnya:

    -        Section 3: Menyatakan bahwa semua jenis narkotika yang diimpor, diekspor, atau diperdagangkan di Malaysia tanpa izin yang sah adalah tindakan illegal;

    -        Section 6: Mengatur sanksi pidana bagi mereka yang terlibat dalam produksi, distribusi, atau perdagangan narkotika di Malaysia, termasuk wilayah perbatasan;

    -        Section 39B: Menetapkan hukuman mati bagi pelanggaran serius terkait perdagangan narkotika.

    Currency Act 2020 (Akta Mata Wang 2020 – Akta 827)

    Undang-Undang ini mengatur penggunaan dan pengawasan mata uang di Malaysia, termasuk pengawasan di wilayah perbatasan.

    -        Section 12: Menetapkan bahwa semua transaksi di wilayah Malaysia wajib menggunakan Ringgit Malaysia, kecuali dalam kondisi yang diizinkan;

    -        Section 13: Mengatur pengawasan terhadap kegiatan tukar menukar mata uang di wilayah perbatasan, termasuk transaksi yang dilakukan di luar negeri;

    -        Section 15: Memberikan sanksi pidana bagi pelanggaran ketentuan terkait mata uang di perbatasan.

    Penal Code (Akta 574 - Kanun Keseksaan)

    Penal Code Malaysia atau KUHP Malaysia mengatur ketentuan pidana umum yang berlaku di seluruh wilayah Malaysia, termasuk di wilayah perbatasan, berikut beberapa contoh ketentuannya:

    -        Section 186: Mengatur sanksi pidana bagi mereka yang menghalang-halangi pejabat yang sedang menjalankan tugasnya, termasuk di perbatasan;

    -        Section 302: Mengatur hukuman bagi tindak pidana pembunuhan, yang juga berlaku di wilayah perbatasan;

    -        Section 384: Menetapkan sanksi pidana bagi tindak pidana pemerasan, yang sering terjadi di wilayah-wilayah perbatasan.

    Ketentuan Hukum Bilateral dalam Zona Netral Indonesia-Malaysia

    Definisi Zona Netral

    Zona netral adalah wilayah perbatasan antara dua atau lebih negara yang secara khusus dinetralkan, didemiliterisasi, dan bebas dari pengaruh politik atau militer dari negara-negara yang berbatasan. Wilayah ini dirancang berfungsi sebagai buffer zone (zona penyangga), dengan tujuan utama mencegah terjadinya konflik dan menjaga perdamaian di daerah yang rawan ketegangan. Dengan mengeliminasi kehadiran kekuatan militer dan pengaruh politik di zona tersebut, negara-negara yang berbatasan dapat memitigasi risiko bentrokan langsung dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi stabilitas kawasan.[11]

    Definisi di atas hampir sama dengan apa yang dikatakan Marko Milanovic dalam International Law and Armed Conflict: Exploring the Faultlines, mendefinisikan zona netral merupakan area di perbatasan antara negara-negara yang telah disepakati secara resmi untuk tidak menempatkan kehadiran militer maupun pengaruh politik dari negara-negara yang berbatasan. Zona ini dirancang untuk mengurangi potensi konflik dengan menyediakan ruang yang tidak terpengaruh oleh aktivitas militer atau politik. Penetapan zona netral sering kali diatur melalui perjanjian internasional, yang bertujuan untuk memastikan keamanan dan stabilitas wilayah tersebut.[12]

    Kemudian, menurut Christian Tams dalam Enforcing Obligations Erga Omnes in International Law, Tams menjelaskan bahwa zona netral adalah wilayah sepanjang perbatasan internasional yang dirancang untuk menghindari sengketa dan bentrokan langsung antara negara-negara yang saling berbatasan. Biasanya, zona ini merupakan area demiliterisasi yang diatur melalui kesepakatan internasional untuk menghindari pengaruh politik dan militer.[13]

    Sedangkan, David Armstrong dalam International Law and International Relations, Armstrong mendefinisikan zona netral merujuk pada area di sepanjang perbatasan antara dua atau lebih negara yang secara eksplisit dinyatakan bebas dari aktivitas militer dan pengaruh politik.[14]

    Jadi, dari setiap definisi-definisi mengenai zona netral yang tersebut di atas, dapat dikatakan zona netral adalah area perbatasan antara negara-negara yang secara khusus didefinisikan untuk menghindari kehadiran militer dan intervensi politik. Fungsi utamanya adalah sebagai zona penyangga, dirancang untuk mengurangi kemungkinan konflik dan menjaga kestabilan dengan mengatur wilayah ini melalui kesepakatan internasional, sehingga menciptakan ruang yang aman untuk dialog dan penyelesaian damai.

    Bukankah secara definisi di atas, zona perbatasan lebih dilekatkan pada definisi dengan pendekatan “keamanan negara dari ancaman kekuatan militer tertentu” dan/atau “politik proksi (pengaruh) di negara yang saling berbatasan”, lantas bagaimana dengan pendekatan penegakan hukum dan keamanan nasional dari negara yang saling bertetangga?

    Perjanjian Bilateral antar Negara yang Mengatur mengenai Penegakan Hukum di Zona Netral

    Penegakan hukum di zona netral pada perbatasan darat Indonesia-Malaysia merupakan isu yang rumit karena melibatkan hukum nasional kedua negara dan hukum internasional. Zona netral di perbatasan sering kali merupakan area di mana tidak ada satu negara pun yang memiliki yurisdiksi eksklusif. Dalam konteks ini, perjanjian bilateral, protokol, dan kesepahaman antara kedua negara sangat penting dalam mengatur bagaimana hukum diterapkan dan pelanggaran ditangani.

    Perjanjian Bilateral Indonesia-Malaysia Terkait Zona Perbatasan

    Sejauh yang kami ketahui bahwa perjanjian bilateral yang relevan antara Indonesia dan Malaysia mencakup perjanjian perbatasan, nota kesepahaman (MoU), dan protokol kerja sama. Beberapa di antaranya adalah:

    1.       Treaty Between the Republic of Indonesia and Malaysia Relating to the Delimitation of the Continental Shelf (1969) - mengatur batas landas kontinen kedua negara;

    2.       Border Trade Agreement (BTA)  (1970) - mengatur izin lintas batas warga di area perbatasan dalam hal perdagangan yang berdasarkan informasi yang dihimpun akan diperbarui oleh masing-masing pemerintahan;

    3.       General Border Committee Republik Indonesia-Malaysia- kerja sama bilateral yang mengatur prosedur dan mekanisme pengelolaan perbatasan termasuk masalah keamanan, lintas batas, dan pelanggaran hukum.

    Pada dasarnya, perjanjian-perjanjian ini menjadi dasar hukum bagi kedua negara untuk menyelesaikan sengketa atau pelanggaran di wilayah perbatasan, termasuk zona netral.

    Penerapan Hukum di Zona Netral

    Zona netral di perbatasan darat adalah area di mana baik Indonesia maupun Malaysia sepakat untuk tidak mengklaim yurisdiksi secara penuh. Dalam konteks ini, penerapan hukum tergantung pada kesepakatan bersama kedua negara. Biasanya, penegakan hukum hanya dapat dilakukan jika ada persetujuan dari kedua belah pihak melalui mekanisme tertentu, seperti dalam forum General Border Committee atau komite gabungan perbatasan.

    Ketika terjadi pelanggaran hukum di zona netral, tindakan hukum yang dapat diambil bergantung pada sifat pelanggaran dan apakah pelaku merupakan warga negara Indonesia atau Malaysia. Apabila ingin menerapkan hukum pidana nasional masing-masing negara, maka negara asal pelaku memiliki yurisdiksi untuk menanganinya berdasarkan asas nasional aktif atau personalitas. Namun, jika pelanggaran tersebut melibatkan pelanggaran lintas negara atau situasi yang lebih kompleks, hukum internasional dapat digunakan sebagai acuan.

    Hukum Internasional dan Prinsip Non-Intervensi

    Dalam konteks hukum internasional, zona netral perbatasan ini dianggap sebagai wilayah yang berada di bawah rezim terra nullius (tanah tanpa pemilik), di mana yurisdiksi kedaulatan suatu negara menjadi sangat terbatas. Prinsip non-intervensi dalam hukum internasional menyatakan bahwa satu negara tidak boleh campur tangan dalam urusan internal negara lain, kecuali atas persetujuan bersama atau alasan yang sah, seperti dalam kasus pelanggaran serius terhadap keamanan internasional.

    Namun, jika hukum internasional diterapkan, peran Indonesia dan Malaysia tetap diperlukan untuk berpartisipasi dalam penyelidikan dan penegakan hukum bersama. Sebagai contoh, UN Charter dan Vienna Convention on the Law of Treaties (1969) memberikan pedoman bagi negara-negara dalam menegakkan kedaulatan dan menyelesaikan sengketa perbatasan secara damai hal ini juga mengenai penyelesaian kewenangan yuridiksi mana apabila terjadi perbuatan pidana di zona netral.

    Solusi

    Dari perspektif yuridis, penting untuk memperkuat mekanisme kerja sama bilateral melalui instrumen hukum yang lebih rinci. Perjanjian bilateral yang sudah ada perlu diperbarui dengan mengakomodasi protokol khusus penegakan hukum di zona netral, termasuk prosedur investigasi bersama dan mekanisme penuntutan. Salah satu solusinya adalah membentuk Tim Penegakan Hukum Bersama (Joint Law Enforcement Task Force) yang memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum di zona netral, dengan keterlibatan personel dari kedua negara.

    Dasar hukum yang dapat dijadikan acuan meliputi:

    1.        UN Charter (1945), khususnya Pasal 2 tentang kedaulatan dan non-intervensi;

    2.       Vienna Convention on the Law of Treaties (1969), Pasal 26 sampai dengan Pasal 27 tentang kewajiban negara dalam perjanjian internasional;

    3.      International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagai panduan dalam penegakan hukum yang menghormati hak asasi manusia.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] Nicholas Tarling, Imperialism in Southeast Asia: 'A Fleeting, Passing Phase', (London: Routledge, 2001), 125.

    [2] James Robert Rush, Southeast Asia: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2018), 58.

    [3] Peter Vandergeest and Nancy Lee Peluso, Territorialization and State Power in Thailand, (Ithaca: Cornell University Press, 2001), 200.

    [4] D.S. Ranjit Singh, The Indonesia-Malaysia Dispute Concerning Sovereignty Over Sipadan, (Singapore: ISEAS – Yusof Ishak Institute,2019), 240.

    [5] Agus Salim, Sengketa Perbatasan Indonesia-Malaysia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: Pustaka Indonesia, 2005), 112-114.

    [6] Mahkamah Internasional, Kasus Sipadan dan Ligitan, No. 2002/8, Putusan Sengketa Teritorial antara Indonesia dan Malaysia (2002).

    [7] Hasjim Djalal, Perbatasan Laut dan Wilayah antara Indonesia dan Malaysia: Tantangan dan Solusi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), 76-79.

    [8] Baljit Singh, Indonesia-Malaysia Relations: The Context of Economic and Security Interdependence, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1976), 54..

    [9] Christopher C. Joyner, International Law in the World Community: The World Court and Sovereignty Disputes, (Boston: Kluwer Law International, 2002)m 137.

    [10] J.R.V., Prescott, dan Clive H, Schofield, The Maritime Political Boundaries of the World. (London: Martinus Nijhoff Publishers, 2005), 289.

    [11] Alexander C. Diener and Joshua Hagen, Borderlines and Borderlands: Political Oddities at the Edge of the Nation-State (Lanham: Rowman & Littlefield, 2010), 85.

    [12] Michael N. Schmitt and Jelena Pejic, International Law and Armed Conflict: Exploring the Faultlines (Oxford: Oxford University Press, 2017), 60.

    [13] Christian Tams, Enforcing Obligations Erga Omnes in International Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 45.

    [14] David Armstrong, International Law and International Relations (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 95.

    Formulir Isian