layananhukum

Kapan Putusan Pengadilan Dinyatakan Berkekuatan Hukum Tetap?

 

Pemahaman terhadap Konsep

Bagi praktisi hukum dan orang yang pernah belajar hukum pasti tidak asing dengan istilah “in Kracht van gewijsde” yang artinya “Berkekuatan Hukum Tetap”. Istilah yang merupakan istilah Bahasa Belanda tersebut dan saat kita bicara Belanda maka istilah ini sudah pasti digunakan di Negara tersebut.

Iedere rechterlijke beslissing krijgt kracht van gewijsde vanaf het moment dat deze beslissing niet meer met een rechtsmiddel kan worden bestreden dat de tenuitvoerlegging ervan schorst.

Artinya:

Setiap putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak putusan tersebut tidak dapat lagi diganggu gugat dengan upaya hukum untuk menunda pelaksanaannya.

Oleh karena itu, suatu putusan tersebut diberi peluang eksekusi secara penuh sekalipun terdapat perlawanan atau upaya hukum luar biasa (non-ordinary legal remedial) sehingga pelaksanaannya tidak dapat lagi diganggu gugat.

Hal tersebut dapat kita temui sebagaimana ketentuan Pasal 236  (1) Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) atau Code of Civil Procedur atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Belanda menyatakan bahwa:

(1)      Beslissingen die de rechtsbetrekking in geschil betreffen en zijn vervat in een in kracht van gewijsde gegaan vonnis, hebben in een ander geding tussen dezelfde partijen bindende kracht.

Yang apabila diterjemahkan sebagai berikut:

(1)      Putusan-putusan yang menyangkut hubungan hukum yang dipersengketakan dan dimuat dalam suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, mempunyai kekuatan mengikat dalam proses-proses lain terhadap para pihak yang bersengketa.

Sederhananya, Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) adalah putusan yang tidak tersedia lagi upaya hukum biasa (geen gewone rechtsmiddelen) dan oleh karena itu tidak dapat lagi dipengaruhi oleh salah satu upaya hukum tersebut (verzet, banding, atau kasasi). Kemudian, istilah ini juga sebagai penegas bahwa putusan tersebut sudah tidak dapat dibatalkan (een onherroepelijk vonnis). Karena Putusan itulah yang kemudian menentukan hubungan hukum para pihak sudah benar-benar selesai dan final.

Istilah ini berbeda dengan istilah gezag van gewijsde atau dalam Bahasa latinnya dikenal dengan auctoritas rei iudicatae yaitu menunjukkan sifat kekuatan yang mengikat suatu putusan tersebut. Artinya, putusan itu mengikat para pihak yang ada di dalamnya, dan terutama dalam perkara-perkara selanjutnya antara para pihak yang sama, tidak dapat disangkal lagi apa yang diputuskan oleh hakim dalam putusan mengenai hubungan hukum antara para pihak tersebut. Istilah ini juga yang dikenal dengan binding. Itulah sebabnya ada istilah yang tak asing yaitu putusan tersebut final and binding.

Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap Dalam Perkara Pidana

Pengertian dari putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana dapat kita temui sebagaimana Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang menyatakan:

Yang dimaksud dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah:

1.      putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;

2.     putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau

3.     putusan kasasi.

Yang dimaksud dengan pengadilan adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang memutus perkara pidana.

Bagaimana Putusan hanya di tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dapat disebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap? Jadi begini, Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan tersebut dijatuhkan (saat Majelis Hakim membaca putusan tersebut) atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana ketentuan Pasal 196 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut dengan KUHAP, (vide Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) KUHAP), maka putusan tersebut dapat dikatakan telah berkekuatan hukum tetap. Karena tidak ada Upaya yang dilakukan padahal sudah diberikan 7 (tujuh) hari tersebut.

Catatan: Terhadap putusan yang menyakut masalah kurang tepatnya penerapan hukum atau pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (vide Pasal 67 KUHAP) atau terhadap putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging).

Kemudian, terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (vide Pasal 245 ayat (1) jo. Pasal 246 ayat (1) KUHAP.

Selanjutnya, Putusan Kasasi. Kasasi adalah Upaya Hukum Biasa yang terakhir. Hanya saja masih ada yang bingung dan bertanya, lantas, kalau kasasi Upaya hukum terakhir dan setelah itu akan memperoleh kekuatan hukum tetap, alias tidak ada Upaya hukum lagi. Bagaimana jika putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (berupa kasasi) tersebut kemudian diajukan Peninjauan Kembali (PK)? Apakah putusan tersebut berarti belum mempunyai kekuatan hukum tetap?

Mengenai hal ini kita dapat menyimak pendapat M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali pada halaman 615, Yahya menyatakan:

“Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.”

Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan peninjauan kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Permintaan untuk dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (vide Pasal 268 ayat (1) KUHAP).

Pengaturan secara umum upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (vide Pasal 263 ayat (1) KUHAP). Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar antara lain (vide Pasal 263 ayat (2) KUHAP):

a.       Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b.      Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c.       Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Putusan Berkekuatan Hukum Tetap Dalam Perkara Perdata

Sebagaimana ketentuan Pasal 195 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB) sebagai ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:

“Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.”

Berdasarkan penjelasan Pasal 195 HIR tersebut, dapat dikatakan bahwa putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap adalah serupa dengan pengertian putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Grasi. Seperti halnya dengan perkara pidana, pengajuan peninjauan kembali pada putusan perkara perdata tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusinya (vide Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang tentang MA).

Baca Juga: Membedakan Putusan Pengadilan dan Penetapan Pengadilan dalam Perkara Perdata

Berapa Lama Jangka Waktu Penyelesaian Perkara di Pengadilan Sampai ia Berkekuatan Hukum Tetap?

Sebagaimana dengan adanya Surat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 486/DJU/HM.02.3/4/2021 tanggal 28 April 2021 tentang Pengawasan, Pengendalian, Penyelesaian Minutasi, dan Pemberkasan Perkara, disebutkan:

1.      Penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama paling lambat dalam waktu 5 (lima) bulan termasuk penyelesaian minutasi;

2.     Penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat banding paling lambat dalam waktu 3 (tiga) bulan termasuk penyelesaian minutasi;

3.     Minutasi perkara perdata diselesaikan maksimal 14 (empat belas) hari sebagaimana hasil kesepakatan Rapat Pimpinan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 5 April 2021;

4.     Minutasi yang dimaksud di atas adalah proses melengkapi berkas perkara sampai dengan penjilidan pada Kepaniteraan Muda Perdata.

Sedangkan, untuk penanganan dan penyelesaian perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung Republik Indonesia jangka waktu paling lama 250 (dua ratus lima puluh) hari sebagaimana Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 214/KMA/SK/XII/2014 tentang Jangka Waktu Penanganan Perkara Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia atau kurang lebih 8 (delapan) bulan 10 (sepuluh) hari. Apabila ditotalkan dan kapan suatu Perkara tersebut dinyatakan memperoleh kekuatan hukum tetap secara keseluruhan kurang lebih paling lambat selesai dari Tingkat Pertama (PN) sampai dengan Tingakt Kasasi (MA) yaitu 16 (enam belas) bulan 10 (sepuluh) hari apabila semua upaya hukum tersebut dilalui.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.

Formulir Isian