layananhukum

Hal yang Wajib Anda Ketahui tentang PHK Karena Alasan Pekerja Melakukan Kesalahan Berat

 

Pertanyaan

Selamat malam pak, perkenalkan nama saya Bahlil Kusuma Surya, saya salah seorang pekerja yang di-PHK oleh Perusahaan karena menurut pihak Perusahaan saya melakukan kesalahan berat melakukan penggelapan uang operasional. Akan tetapi, sampai saat ini tidak ada titik terang akan kejelasan mengenai status saya dan hak saya belum diberikan juga sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan. Pertanyaan saya, apakah Perusahaan dapat memutuskan hubungan kerja dengan saya hanya berdasarkan Peraturan Perusahaan (PP) yang mana yang saya ketahui PHK itu baru dapat dilakukan setelah adanya Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap mengenai perbuatan saya tersebut? Mohon Pencerahannya, terima kasih.

Jawaban

    Penjelasan

    Baik, terima kasih atas pertanyaannya.

    Perlu Anda ketahui terlebih dahulu bahwa sebelumnya Pengusaha atau Perusahaan tempat Anda bekerja dapat memutuskan hubungan kerja terhadap Anda sebagai pekerja/buruh dengan alasan Anda sebagai pekerja/buruh telah melakukan “kesalahan berat” yang mana hal tersebut diatur secara restriktif dalam ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut dengan “Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan”, antara lain:

    a.       melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;

    b.      memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;

    c.       mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

    d.      melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

    e.       menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

    f.        membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

    g.      dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

    h.      dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

    i.        membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

    j.        melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

    Apabila diperhatikan, memang kesemua kesalahan berat yang tersebut di atas merupakan tindak pidana. Hemat kami, berdasarkan pertanyaan Anda, Anda diduga melakukan tindak pidana penggelapan walau pun Anda tidak menjabarkan apakah dugaan tersebut sudah atau belum masuk proses hukum seperti Laporan Polisi atau sudah atau belum adanya surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan.

    Sebelum membahas lebih jauh mengenai permasalahan Anda secara komprehensif, kami akan menjabarkan terlebih dahulu bagaimana problematika yang timbul ketika pengusaha atau Perusahaan melakukan PHK terhadap Pekerja/Buruh dengan alasan “Kesalahan Berat”. Kami juga ingin menyampaikan di sini secara objektif bahwa tulisan ini ada untuk menjwab pertanyaan hukum saudara, jadi ini bukan tentang benar atau tidaknya para pihak baik Anda atau pihak Perusahaan/pengusaha tempat Anda bekerja.

    Kembali ke pertanyaannya, apakah dapat pengusaha melakukan PHK terhadap Buruh/Pekerja dengan alasan “Kesalahan Berat” tersebut tanpa memperhatikan asas praduga tak bersalah (onschuldpresumptie - Presumption of innocence)?

    Perlu diketahui untuk ketentuan Pasal 158 UU tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Sebagaimana Argumentasi dan Pertimbangan Mahkamah adalah sebagai berikut:

    “Menimbang bahwa Mahkamah dapat menyetujui dalil para Pemohon bahwa Pasal 158 undang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, karena Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Di lain pihak, Pasal 160 menentukan secara berbeda bahwa buruh/pekerja yang ditahan oleh pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana tetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlakukan sesuai dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang sampai bulan keenam masih memperoleh sebagian dari hak-haknya sebagai buruh, dan apabila pengadilan menyatakan buruh/pekerja yang bersangkutan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali buruh/pekerja tersebut. Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yang diskriminatif atau berbeda di dalam hukum yang bertentangan dengan UUD 1945, dan ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga oleh karena itu Pasal 158 harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

    Artinya, bersalah tidaknya seseorang seharusnya diputuskan lewat putusan pengadilan dengan telah melewati proses hukum pembuktian yang sudah ditentukan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

    Setelah itu pada tanggal 7 Januari 2005, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materil Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada poin 3 (tiga) dan poin 4 (empat) edaran tersebut menyatakan sebagai berikut:

    3.      Sehubungan dengan hal tersebut butir 1 dan 2 di atas, maka penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal - hal sebagai berikut:

    a.     Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

    b.     Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003.

    4.       Dalam hal terdapat “alasan mendesak” yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

    Pelan-Pelan begini kami jelaskan:

    1.        Pengusaha atau Perusahaan tempat Anda bekerja baru dapat melakukan PHK terhadap Anda selaku pekerja/buruh dengan alasan melakukan kesalahan berat baik berdasarkan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Peraturan Kerja Bersama (PKB) setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) tentang pidana penggelapan tersebut, di sini jelas bahwa disebutkan setelah adanya putusan pengadilan tentang pidana yang berkekuatan hukum tetap, bukan setelah adanya putusan pengadilan pidana saja, karena itu memiliki 2 (dua) pengertian yang berbeda; artinya tidak cukup hanya dengan sudah adanya putusan pidana pada pengadilan negeri kemudian pengusaha/Perusahaan tempat Anda bekerja melakukan PHK terhadap Anda dengan alasan “melakukan kesalahan berat” padahal diketahui masih terdapat lanjutan upaya hukum biasa tersebut, seperti Banding dan Kasasi, demikian pemaknaannya;

    2.       Kemudian, apabila Anda terhadap kesalahan berat tadi, setelah itu sudah ada Laporan Polisi dan saat ini status Anda telah dilakukan penahanan sehingga membuat Anda tidak dapat melaksanakan pekerjaan Anda maka Pengusaha atau Perusahaan tempat Anda bekerja dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap Anda yang setelah 6 (enam) bulan sejak Anda tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya tersebut oleh karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud. (vide Pasal 160 ayat(3) Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan) Tapi perlu diingat juga, apabila dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana tersebut sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali. Sedangkan, dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/ buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri. Jadi, sudah dapat mengeluarkan Surat PHK kepada Anda;

    3.      Kemudian disebutkan terdapat “alasan mendesak” yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, alasan mendesak di sini tidak disebutkan juga apa yang menjadi dasar pertimbangan dan kriteria “alasan mendesak” yang dimaksud. Hanya saja menariknya, Presiden Republik Indonesia pernah memberikan opening statement pada persidangan di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 28 Agustus 2013 dan dalam keterangan tertulis tersebut diterima Kepaniteraan MK RI yang menyatakan begini:

    “Dalam histori peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) pada Bagian Kelima Bab Ketujuh A mengenai Cara Berakhirnya Perhubungan Kerja dalam Pasal 1603n KUH-Perdata menyebutkan 3 (tiga) jenis alasan pemutusan hubungan kerja (selain pemutusan hubungan kerja karena putusan pengadilan), yakni:

    a.       pemutusan hubungan kerja karena alasan mendesak atau dringende reden (Pasal 1603n BW), meliputi:

    1)      alasan mendesak bagi “majikan” atau pengusaha (dringende redenen voor de werkgevers);

    2)     alasan mendesak oleh “buruh” atau pekerja (dringende redenen voor de werknemer).

    b.      pemutusan hubungan kerja karena alasan penting atau gewichtige reden (Pasal 1603v BW); dan

    c.       pemutusan hubungan kerja karena ingkar-janji (wanprestasi) (Pasal 1603w BW).

    Dengan demikian tiap-tiap alasan putusan hubungan kerja tersebut berbeda besaran nilai hak-hak pasca hubungan kerja yang diperolehnya.” (vide Halaman 33 – 34 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XI/2013 tanggal 3 Februari 2014)

    Menurut Pemerintah, secara Sejarah Hukum Ketenagakerjaan yang tertuang dalam KUHPerdata (sejatinya) memang terdapat alasan PHK di luar pengadilan yaitu alasan mendesak bagi “majikan” atau pengusaha (dringende redenen voor de werkgevers) untuk melakukan PHK terhadap Anda sebagai Pekerja/Buruh sebagaimana alasan yang kemudian harinya terdapat dan diatur dalam Pasal 158 UU tentang Ketenagakerjaan itu sendiri dan alasan tersebut merupakan melakukan PHK secara “Langsung” atau “Direct”. Akan tetapi, oleh Putusan MK dinyatakan ketentuan itu sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka alternatif dari Pemerintah Pengusaha dapat menggunakan alasan mendesak tersebut dengan cara dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial di samping proses peradilan pidana berjalan.

    Apabila dicermati secara seksama di sini, antara poin tersebut sejatinya terjadi kontradiktif (contradictie), mengapa demikian? Poin 3 (tiga) dalam Surat Edaran Menteri tersebut menyatakan baru dapat melakukan PHK setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan pada poin 4 (empat) Surat Edaran tersebut disebutkan apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003, yang mana ini sudah kami jelaskan di atas yaitu pemutusan hubungan kerja terhadap Anda yang setelah 6 (enam) bulan sejak Anda tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya. Sedangkan, sebagai praktisi hukum yang kami ketahui perjalanan perkara pidana mulai dari Sidang pada Tingkat Pertama di Pengadilan Negeri, Banding di Pengadilan Tinggi, hingga Kasasi di Mahkamah Agung yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam Upaya Hukum Biasa, merupakan serangkaian peristiwa hukum di lingkup pengadilan untuk sampai pada adanya putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

    Oleh karenanya, tidak heran menurut hemat kami, apabila Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 sebagaimana Surat Rumusan Kamar Nomor: PDT.SUS/2.e/SEMA 3 2015, Klasifikasi: Rumusan Kamar Perdata (Perdata Khusus)-Perselisihan Hubungan Industrial  mengenai Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial tentang PHK Karena Melakukan Kesalahan Berat-, yang dalam rumusannya menyatakan bahwa:

    “Dalam hal terjadi PHK terhadap pekerja/buruh karena alasan melakukan kesalahan berat ex Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasca Putusan MK No. 012/PUU-I/2003, tanggal 28 Oktober 2004), maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (BHT).”

    Dengan catatan, apabila mengikuti ketentuan Pasal 160 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan tersebut, yaitu setelah 6 (enam) bulan sejak Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya dan/atau terdapat putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

    Hanya saja begini, ini yang kemudian menimbulkan adanya interpretasi baru dan uniknya dalam dunia hukum, yang mana menurut beberapa pihak dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut justru cenderung mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004.

    Argumentasi ini pun dibangun dengan kerangka berpikir bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut merupakan aturan internal Mahkamah Agung dan tidak secara eksplisit berada dalam hierarki peraturan perundang-undangan, namun dalam praktiknya, hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan hubungan industrial (“PHI”) berpedoman pada SEMA 3/2015 bahwa PHK dengan Alasan Pekerja/Buruh telah melakukan Kesalahan Berat dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap (BHT). Dengan demikian, jika Anda sebagai pekerja/buruh melakukan kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, maka pengusaha dapat melakukan PHK tanpa harus menunggu sidang pidananya berkekuatan hukum terlebih dahulu. Tapi, bagaimana hal tersebut bisa terjadi?

    Penggunaan Kesalahan Berat di Luar Ketentuan Pasal 158 UU tentang Ketenagakerjaan

    Sebagaimana sudah kami jelaskan di atas, bahwa perbuatan yang tergolong “Kesalahan berat” diatur secara terbatas dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan dan ketentuan itu pun sudah dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat alias sudah tidak berlaku lagi. Hanya saja, ini menarik, setiap perusahaan mempunyai hak untuk mengatur kategori atau bentuk pelanggaran dalam internal perusahaan (kecuali isi Pasal 158 UU tentang Ketenagakerjaan) yang dapat dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau peraturan kerja Bersama antara mereka selaku pengusaha/Perusahaan dengan Anda sebagai Pekerja/Buruh.

    Dasarnya apa?

    Mungkin menurut beberapa orang, ketentuan Pasal 161 UU tentang Ketenagakerjaan sudah dihapus, mengingat memang ketentuan itu sudah tidak ada dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagaimana telah ditetapkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang atau yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Cipta Kerja”.

    Tapi tunggu dulu, hal tersebut memang tidak diatur dalam UU tentang Cipta Kerja, akan tetapi diatur melalui turunan peraturannya dan yap, benar sekali itu diatur dalam ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja yang selanjutnya disebut dengan “PP/35/2021” yang menyatakan begini:

    “Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan:

    a.       Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Perusahaan dan Pekerja/Buruh tidak bersedia melanjutkan Hubungan Kerja atau Pengusaha tidak bersedia menerima Pekerja/Buruh;

    b.      Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan Perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan Perusahaan yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian;

    c.       Perusahaan tutup yang disebabkan karena Perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;

    d.      Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure);

    e.       Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;

    f.        Perusahaan pailit;

    g.      Adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

    1.      menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam Pekerja/ Buruh;

    2.     membujuk danlatau menyuruh Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

    3.     tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut- turut atau lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu sesudah itu;

    4.     tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada Pekerja/Buruh;

    5.     memerintahkan Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau

    6.     memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan Pekerja/Buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada Perjanjian Kerja;

    h.      adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan Pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dan Pengusaha memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja;

    i.        Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:

    1.      mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;

    2.     tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

    3.     tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;

    j.       Pekerja/Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;

    k.     Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;

    l.       Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;

    m.   Pekerja/Buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;

    n.     Pekerja/Buruh memasuki usia pensiun; atau

    o.     Pekerja/ Buruh meninggal dunia.

    Apabila dicermati ketentuan Pasal 36 huruf K PP/35/2021 hampir sama secara umum dengan ketentuan Pasal 161 UU tentang Ketenagakerjaan (yang sudah dihapus) yang menyatakan:

    (1)     Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

    (2)     Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

    (3)    Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

    Sudah dapat poinnya dan cukup jelas bukan? Ketika Anda sebagai pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran berdasarkan Peraturan Perusahaan (PP) tempat Anda bekerja, pengusaha/perusahaan tempat Anda bekerja dapat melakukan PHK setelah kepada Anda sebagai pekerja/buruh diberikan (terlebih dahulu) surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berurutan.

    Ini menariknya, mengingat perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama juga dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama sekaligus peringatan terakhir yang dapat diatur sedemikian rupa dengan ketentuan masing-masing surat peringatan tersebut paling lama 6 (enam) bulan, artinya apakah dapat apabila diatur kurang dari 6 (enam) bulan? Jawabannya tentu saja.

    Sehingga apabila Anda sebagai pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya peringatan pertama sekaligus terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan PHK.

    Hanya saja, begini lagi, kalau pun perusahaan secara khusus mengatur daftar “kesalahan berat” di luar ketentuan Pasal 158 UU tentang Ketenagakerjaan tersebut dan terdapat pekerja yang melakukan pelanggaran tersebut, maka pengusaha seharusnya mengeluarkan surat peringatan pertama sekaligus terakhir, bukan PHK. Sebagaimana konteks permasalahan Anda, karena apabila PHK itu dilakukan padahal diketahui kategori kesalahan Anda tersebut merupakan “kesalahan berat” seharusnya harus didahului dengan alasan “sudah adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap” atau setidak-tidaknya alasan “Anda tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana.”

    Hanya saja, dalam pertanyaan Anda, Anda juga tidak memberikan informasi kepada kami apakah pengusaha/Perusahaan tempat Anda bekerja sudah membuat Laporan atau belum.Kemudian, jika dalam masa berlakunya surat peringatan Anda sebagai pekerja/buruh tetap melakukan kesalahan, barulah Anda dapat di-PHK.

    Pemutusan Hubungan Kerja Tanpa Putusan Pidana Berkekuatan Hukum Tetap

    Dalam praktiknya, Hakim pernah membenarkan PHK yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja yang melakukan pelanggaran berat yang diatur di peraturan perusahaan.

    Hal ini dapat kita temui dalam Putusan Pengadilan Surabaya Nomor 25/G/2015/PHI.Sby tanggal 6 Juli 2015 jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 684 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 14 Januari 2016 antara Robert Immanuel Marpaung sebagai Penggugat/Pemohon Kasasi melawan PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Cinde Wilis Jember sebagai Tergugat/Termohon Kasasi, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:

    -        Menimbang, bahwa apabila dalam pengelolaan perbankan terdapat tindakan-tindakan meminta atau menerima imbalan atau hadiah (komisi), berprilaku kasar dan mengancam Nasabahnya, seperti tindakan yang dilakukan Penggugat maka akan mengurangi kepercayaan masyarakat pada bank dan nama baik bank tersebut menjadi buruk;

    -        Menimbang, bahwa Peraturan Perusahaan Pasal 3 ayat (2) huruf I yaitu tidak meminta atau menerima hadiah atau imbalan dalam bentuk apapun dari nasabah, yang dapat mempengaruhi pertimbangan / penilaian maupun yang dapat menimbulkan perasaan berhutang budi pada si pemberi;

    -        Menimbang, bahwa Peraturan Perusahaan Pasal 35 ayat (6) yaitu setiap karyawan dilarang menerima uang atau hadiah dari siapapun juga yang diketahui atau patut diduga bahwa pemberian itu dapat mempengaruhi baik sebelum maupun sesudah mengambil keputusan yang berkaitan dengan jabatan dan wewenang pekerjaan yang bersangkutan;

    -        Menimbang, bahwa lampiran II angka 2 Peraturan Perusahaan yaitu contoh pelanggaran dan sanksi kegiatan perbankan bidang kegiatan kredit menerima komisi dari debitur dengan sanksi diberhentikan;

    Akhirnya, Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dalam menjatuhkan amar sebagai berikut:

    MENGADILI

    DALAM PROVISI

    Permohonan Provisi tidak dapat diterima;

    DALAM POKOK PERKARA

    1.        Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

    2.       Membebankan seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Negara.

    Robert Immanuel Marpaung sebagai Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya telah mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012/PUU/I/2003 tertanggal 28 Oktober 2004, yang mana Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka terhadap Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak dapat dipergunakan lagi sebagai dasar/acuan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

    Sehingga pihak pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat, maka PHK bisa dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

    Dimana terhadap dalih Penggugat, selanjutnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

    -        Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama Memori Kasasi tanggal 26 Juli 2015 dan Kontra Memori Kasasi tanggal 3 September 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

    -        Bahwa Pemohon Kasasi telah melakukan kesalahan berat dengan meminta uang kepada nasabah yang mengajukan kredit, hal tersebut dikuatkan dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang bernama Sunarwati dan Rini Prami Astutik juga surat pernyataan dari saudara Sadili;

    -        Bahwa Pemohon Kasasi dahulu Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya maka demikian Pemohon Kasasi telah melanggar peraturan perusahaan Pasal 3 ayat (2) huruf I dan Pasal 35 ayat (6) jo. Lampiran 2 angka 2 peraturan perusahaan, maka Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Termohon Kasasi adalah sah dan tanpa dapat uang pesangon;

    -        Menimbang, bahwa terlepas dari pertimbangan tersebut di atas menurut pendapat Mahkamah Agung amar putusan Pengadilan Negeri Surabaya harus diperbaiki sepanjang mengenai uang pisah;

    -        Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi ROBERT IMMANUEL MARPAUNG tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 25/G/2015/PHI.Sby. tanggal 6 Juli 2015 sehingga amarnya seperti yang akan disebutkan dibawah ini:

    MENGADILI

    1.        Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ROBERT IMMANUEL MARPAUNG tersebut;

    2.       Memperbaiki amar putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 25/G/2015/PHI.Sby. tanggal 6 Juli 2015 sekedar mengenai uang pisah sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:

    DALAM POKOK PERKARA

    1.        Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

    2.       Menyatakan PHK yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat adalah sah;

    3.      Memerintahkan Tergugat untuk membayar Uang Pisah mengacu Pasal 26 huruf d Kepmenaker Nomor 78 Tahun 2001 senilai 15% x masa kerja x upah terakhir = 15% x 2 x Rp4.750.000,00 = Rp 1.425.000,00;

    4.       Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”

    Bagaimana Pengaturan Kesalahan Berat ini Dalam Aturan Baru Cipta Kerja?

    Seperti yang kami sudah jelaskan di atas, bahwa benar ketentuan Pasal 158 UU tentang Ketenagakerjaan sudah dihapus, mengingat memang ketentuan itu selain bertentangan dengan undang-undang dasar sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004, ketentuan ini juga sudah tidak akan Anda temui dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagaimana telah ditetapkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang atau yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Cipta Kerja”.

    Sebagaimana yang kita ketahui Bersama ketentuan Pasal 80 Angka 50 UU tentang Cipta Kerja sudah menghapus ketentuan tersebut.

    Hanya saja menariknya, walau pun ketentuan itu tidak ada di level Undang-Undang akan tetapi itu ternyata diatur atau dihidupkan kembali melalui peraturan turunan Cipta Kerja yaitu dalam ketentuan Penjelasan Pasal 52 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja yang menyatakan bahwa:

    “Pelanggaran bersifat mendesak yang dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sehingga Pengusaha dapat langsung memutuskan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh, misalnya dalam hal:

    a.     melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik Perusahaan;

    b.     memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan Perusahaan;

    c.     mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

    d.     melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

    e.     menyerang, menganiaya, mengancam, ataumengintimidasi teman sekerja atau Pengusaha di lingkungan kerja;

    f.      membujuk teman sekerja atau Pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

    g.     dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik Perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi Perusahaan;

    h.     dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau Pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

    i.      membongkar atau membocorkan rahasia Perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

    j.       melakukan perbuatan lainnya di lingkungan Perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”

    Secara singkat dapat disimpulkan negara membolehkan pengusaha/Perusahaan tempat Anda bekerja melakukan PHK tanpa pemberitahuan jika buruh diduga melakukan tindakan yang masuk kategori alasan mendesak sebagai mana diatur dalam perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan (PP)/Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dicatat ya, bahwa hal tersebut misalnya penggelapan yang dilarang tersebut harus tertuang dalam perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan (PP)/Perjanjian Kerja Bersama (PKB), jadi pengusaha/Perusahaan sudah dapat melakukan PHK, ada atau tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau setelah atau sebelum proses pidana itu berjalan. Karena kembali lagi Pasal 52 ayat (2) PP/35/2021 menghidupkan kembali Marwah Pasal 158 UU tentang Ketenagakerjaan.

    Jadi, apabila Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan atas dasar Pelanggaran yang dilakukan Pekerja dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut berdasarkan ketentuan yang berlaku, perusahaan wajib memberikan pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.

    Sedangkan, apabila Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan atas dasar pelanggaran yang dilakukan Pekerja yang bersifat mendesak maka Perusahaan tidak wajib membayar pesangon, namun memiliki kewajiban membayar uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak kepada pekerja sesuai Pasal 40 ayat 1 PP 35 tahun 2021 jo. Pasal 52 ayat (2) PP 35 tahun 2021.

    Pemutusan Hubungan Kerja harus dilakukan secara hati-hati dan tepat serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini untuk menghindari sengketa di kemudian hari. Apabila terjadi sengketa proses yang dijalani berjalan mulai mediasi di Disnaker, dan berujung ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) bahkan tingkat Mahkamah Agung.

    Tentunya hal ini dapat merugikan salah satu pihak baik dalam segi waktu dan biaya. Maka daripada itu perlu strategi hukum yang matang supaya tidak terjadi sengketa yang dapat menimbulkan kerugian.

    Fenomena di Lapangan Mengenai Kasus/Perkara yang Ada

    Dari pengalaman dan hasil pengamatan kami beberapa tahun terakhir sejak terbitnya Cipta Kerja dan peraturan turunannya khususnya PP/35/2021, dapat diidentifikasi bagaimana para pihak dalam lingkaran perselisihan hubungan industrial menerapkan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat, sebagai berikut:

    Dari Sisi Pengusaha/Perusahaan

    1.        Masih ada yang melakukan PHK Sepihak tanpa membayarkan pesangon, penghargaan masa kerja dan perggantian hak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 ayat (1) PP/35/2021 tentang Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut atau membayar perggantian hak dan upah pisah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 ayat (2) PP/35/2021 tentang Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama, tidak ada bedanya setelah adanya Putusan MK atau setelah berlaku UU tentang Cipta Kerja;

    2.       Hanya melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan pekerja ke Polisi sedangkan proses ketenagakerjaanya dibiarkan atau menunggu putusan pidana yang ada;

    3.       Melaporkan pekerja terlebih dahulu ke polisi dan apabila di lakukan penahanan setelah 6 (enam) bulan tidak dapat menjalankan pekerjaan atau belum 6 (enam) bulan tetapi telah ada putusan dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah dari pengadilan pidana maka pengusaha menerbitkan Surat Keputusan PHK sepihak sesuai ketentuan Pasal 160 UU Ketenagakerjaan;

    4.       Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja ke polisi akan tetapi langsung melakukan proses PHK sesuai sesuai ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;

    5.       Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja ke polisi asalkan pekerja bersedia mengundurkan diri atau diakhiri hubungan kerjanya tanpa pesangon dan penghargaan masa kerja;

    6.       Membuat pengakhiran hubungan kerja terlebih dahulu dengan pekerja setelah itu melakukan proses pidana dengan melaporkan kesalahan berat pekerja.

    Dari keenam hal tersebut berdasarkan catatan kami, kami yakin Anda pasti akan mengalami salah satunya dan tinggal dilihat saja.

    Kemudian dari sisi Mediator pada Dinas Tenaga Kerja, sebagai berikut:

    1.        Menolak melakukan mediasi tanpa memberikan anjuran apabila belum ada putusan pidana;

    2.       Melakukan Mediasi dan menerbitkan anjura, apabila dalam proses mediasi pengusaha tidak hadir dan hanya dihadiri oleh pekerja/buruh, sehingga biasanya diminta untuk membayar pesangon, penghargaan masa kerja, dan pergantian hak; atau

    3.      Melakukan mediasi dan menerbitkan anjuran, apabila dalam proses mediasi pengusaha hadir dan menyatakan bersedia melaksanakan hak sesuai dengan ketentuan Pasal 52 ayat (2) PP/35/2021.

    Dari sisi Pengadilan Hubungan Industrial, sebagai berikut:

    1.        Menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat belum memiliki putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap;

    2.       Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat apabila kesalahan berat diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dan pengusaha dapat membuktikanya dalam persidangan.

    Dalam hal ini pengadilan akan memberikan hukuman kepada pengusaha untuk membayarkan sebesar 1 x ketentuan pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU Ketenagakerjaan. Namun sebagian pengadilan ada yang memutuskan tanpa memberikan hak pesangon dan penghargaan masa kerja.

    3.      Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat meskipun dianggap tidak terbukti. Pada beberapa kasus hakim justru mendasarkan alasan pemutusan hubungan kerja karena efisiensi Perusahaan dan apabila pengusaha dinilai telah kehilangan kepercayaan dan hubungan kerja menjadi disharmonis maka pengusaha akan dihukum untuk membayarkan pesangon sebesar 1 x ketentuan pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

    Mendasarkan pada praktik penerapan pemutusan hubungan kerja di atas, diketahui bahwa pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat dapat diselesaikan melalui proses hukum acara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam UU tentang PPHI. Melihat kenyataan tersebut karena perubahan peraturan juga mediator tidak lagi menolak untuk melakukan mediasi dan hakim beberapa sudah bersedia memeriksa dan mengadili gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.

    Formulir Isian