layananhukum

Begini Aturan Perlindungan Data Pribadi yang Wajib Anda Ketahui

 

Apa itu Kejahatan Siber (cyber crime)?

Ada banyak istilah untuk menggambarkan kejahatan dunia maya (cybercrime) sebelumnya, istilah-istilah awal yang digunakan untuk menggambarkan kejahatan dunia maya antara lain adalah kejahatan komputer (computer crimer), kejahatan yang berhubungan dengan komputer (computer-related crime) atau kejahatan melalui computer (crime by computer).[1]

2 (dua) Peneliti dari The Australian Institute of Criminology (AIC) atau Institut Kriminologi Australia yaitu Gregor Urbas dan Kim-Kwang Raymond Choo menggunakan istilah “Kejahatan yang Dimungkinkan melalui Teknologi” (the technology-enabled crime) pada tahun 2008 sebagai fenomena serangan siber yang pernah terjadi pada tahun 2005 di Australia, mereka menyebutkan:

“Jangkauan kejahatan yang dimungkinkan melalui teknologi selalu berkembang, baik sebagai fungsinya dalam perubahan teknologi itu sendiri maupun dalam hal interaksi sosial dengan menggunakan suatu teknologi baru.”[2]

Ketika teknologi digital menjadi lebih luas, muncul lagi istilah-istilah seperti kejahatan teknologi tinggi atau kejahatan zaman informasi (high-technology or information-age crime) ditambahkan ke dalam leksikon.[3] Munculnya Internet membawa kita pada kejahatan dunia maya (cyber crime) dan kejahatan dalam jaringan (net-crime).[4] Varian lainnya termasuk kejahatan digital (digital crime), virtual (virtual crime), kejahatan elektronik (e-crime) dan informasi teknologi (IT-Crime) dan kejahatan yang dimungkinkan melalui teknologi (technology-enabled crime).

Jika diartikan secara harfiah, setiap istilah tersebut memiliki satu atau lebih kekurangan. Sehingga istilah-istilah tersebut tidak dapat didefinisikan secara harfiah saja, melainkan istilah-istilah tersebut sebagai istilah deskriptif yang luas yang menekankan peran teknologi dalam terjadinya suatu kejahatan. Meskipun masih ada istilah yang benar-benar tersebar luas, dengan banyak istilah yang digunakan secara bergantian, ‘cyber crime’ adalah istilah yang akan dibahas di sini.

-      Pertama, istilah ini umum digunakan dalam literatur;

-      Kedua, istilah ini telah menemukan jalannya ke dalam penggunaan secara umum dan hampir setiap orang saat mendengarkan istilah ini tidak akan asing bagi mereka;

-      Ketiga, istilah ini menekankan pada jaringan dalam computer;

-      Keempat, dan yang terpenting, istilah ini diadopsi dalam Konvensi Dewan Eropa tentang Kejahatan Dunia Maya (the Council of Europe Convention on cybercrime)

Kejahatan dunia maya adalah kegiatan kriminal yang menargetkan atau menggunakan komputer, jaringan komputer, atau perangkat yang terhubung jaringan. Sebagian besar kejahatan dunia maya dilakukan oleh penjahat dunia maya atau peretas yang ingin menghasilkan uang. Namun, terkadang kejahatan dunia maya bertujuan untuk merusak komputer atau jaringan demi alasan selain keuntungan. Alasan ini bisa bersifat politis atau pribadi. Kejahatan dunia maya dapat dilakukan oleh individu atau organisasi. Beberapa pelaku kejahatan dunia maya terorganisasi, menggunakan teknik canggih, dan memiliki keterampilan teknis yang tinggi. Sementara yang lainnya adalah peretas pemula (novice hackers).

Bentuk-Bentuk Cyber Crime

Adapun bentuk-bentuk dari Cyber Crime, antara lain:

1.    Penipuan melalui surat elektronik dan internet (e-mail and internet fraud);

2.    Penipuan identitas (Identity fraud): pencurian dan penggunaan informasi dan data pribadi;

3.    Pencurian data keuangan atau pembayaran kartu (Theft of financial or card payment data);

4.    Pencurian dan penjualan data Perusahaan (Theft and sale of corporate data);

5.    Pemerasan siber (Cyberextortion) seperti menuntut uang untuk mencegah data atau informasi yang didapatkan penyerang tidak disebarluaskan;

6.    Serangan ransomware (salah satu jenis pemerasan siber);

7.    Pencurian mata uang kripto atau dikenal dengan istilah cryptojacking (peretas menyalahgunakan dan mengambil keuntungan dari mata uang kripto yang bukan miliknya);

8.    Spionase siber atau cyberespionage (peretas mengakses data pemerintah atau perusahaan);

9.    Mengganggu sistem dengan cara yang membahayakan jaringan;

10. Pelanggaran terhadap Hak Cipta (Infringing copyright);

11. Judi Online (Illegal Gambling);

12. Menjual barang ilegal secara daring; dan

13. Meminta, memproduksi, atau memiliki pornografi anak.

Definisi Pencurian Data

Pencurian data (Data Theft) adalah pengambilan data digital yang tidak sah dari suatu entitas, yang sering kali didorong oleh motif keuntungan finansial atau untuk mengganggu kegiatan bisnis atau alasan lainnya baik yang bersifat politis bahkan pribadi. Pencurian data mencakup akses, transfer, atau penyimpanan data sensitif secara ilegal, mulai dari kredensial pribadi dan catatan keuangan hingga teknologi, algoritma, dan proses yang bersifat hak milik orang lain.

Pencurian data merupakan pelanggaran keamanan dan privasi yang serius dengan konsekuensi yang berpotensi menghancurkan, termasuk berdampak serius pada kepatuhan hukum (crippling compliance penalties) dalam melaksanakan kewajibannya, reputasi yang ternoda, serta kerugian finansial dan operasional.

Tidak terbatas pada serangan pihak luar, pencurian data dapat disebabkan oleh administrator sistem, pekerja kantor, lawan bisnis, atau bahkan karyawan di Perusahaan itu sendiri yang mencuri data perusahaan dari server file yang aman, server basis data, aplikasi cloud, atau perangkat pribadi.

Perbedaan antara Pelanggaran Data dan Kebocoran Data

Pelanggaran Data (Data Breaches), biasanya merujuk pada insiden saat individu yang tidak berwenang memperoleh akses ke informasi yang aman atau rahasia, sering kali melalui niat atau aktivitas jahat. Ini mungkin melibatkan taktik (teknikal) seperti peretasan, penggunaan malware, atau eksploitasi kerentanan sistem. Motivasi di balik pelanggaran ini dapat berkisar dari keuntungan finansial, seperti yang terlihat pada informasi kartu kredit yang dicuri, hingga keuntungan strategis, seperti rahasia dagang atau intelijen pemerintah yang dicuri.

Sedangkan, Kebocoran Data (Data Leaks) biasanya ditandai dengan pelepasan atau pemaparan data pribadi yang tidak disengaja kepada publik atau individu yang seharusnya tidak memiliki akses ke data tersebut. Penyebabnya dapat berupa kesalahan manusia (human error), kesalahan konfigurasi, atau bahkan kelalaian pengelola data tersebut, seperti ketika informasi sensitif secara keliru diunggah di situs web publik atau dikirim ke penerima email yang salah. Meskipun mungkin tidak ada pelaku jahat atau penyusupan langsung seperti halnya pelanggaran, konsekuensi dari kebocoran dapat sama parahnya dengan pelanggaran data, yang berpotensi menyebabkan kerusakan reputasi, kerugian finansial, atau bahkan implikasi hukum.

Bagaimana Pencurian Data Terjadi?

Pencurian data dapat terjadi melalui berbagai cara, terutama karena kelemahan teknologi, kesalahan manusia, atau niat jahat (malicious intent) – mens rea. Cara yang paling umum bagaimana pencurian data terjadi, antara lain:

1.    Serangan Phishing: Penjahat dunia maya mengirimkan pesan penipuan (e-mail phishing), sering kali melalui email, yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah untuk mengelabui penerima agar mengungkapkan data sensitif, seperti kredensial login atau nomor kartu kredit;

2.    Malware: Perangkat lunak berbahaya, juga dikenal sebagai malware, termasuk virus, worm, ransomware, dan trojan, dapat dipasang secara diam-diam di komputer atau jaringan pengguna untuk mencuri data atau memberikan penyerang akses tidak sah;

3.    Serangan Man-in-the-Middle (MitM): Penyerang secara diam-diam menyadap dan mungkin mengubah komunikasi antara dua pihak untuk mencuri data. Ini dikenal sebagai serangan MitM

4.    Kata Sandi yang Lemah: Menggunakan kata sandi yang lemah atau gagal mengubah detail login default dapat membuat sistem menjadi sasaran empuk. Selain itu, kredensial dapat dicuri melalui berbagai cara, yang memungkinkan akses tidak sah.

5.    Perangkat Lunak yang Belum Di-patch (dimodifikasi): Kerentanan perangkat lunak yang tidak segera Di-patch (dimodifikasi) dapat dimanfaatkan oleh penyerang untuk mendapatkan akses tidak sah atau menyuntikkan kode berbahaya.

6.    Ancaman Orang Dalam (Insider Threats): Karyawan yang tidak puas atau mereka yang memiliki niat jahat dapat menyalahgunakan hak akses mereka untuk mencuri atau membocorkan data.

7.    Unduhan Langsung (drive-by downloads threats): Sekadar mengunjungi situs web yang disusupi tanpa mengunduh atau mengeklik apa pun dapat mengakibatkan pengunduhan otomatis perangkat lunak berbahaya.

8.    Jaringan yang Tidak Aman (Unsecured Networks): Menggunakan jaringan yang tidak terenkripsi atau tidak aman, terutama Wi-Fi publik, dapat membuat data rentan terhadap penyadap.

9.    Basis Data atau Penyimpanan Cloud yang Salah Konfigurasi: Data yang disimpan daring dapat terekspos jika tidak dikonfigurasi dengan benar, sehingga memungkinkan akses tidak sah.

10. Rekayasa Sosial (Social Engineering): Rekayasa sosial adalah taktik yang digunakan untuk memanipulasi individu agar membocorkan informasi rahasia atau melakukan tindakan tertentu yang membahayakan keamanan data.

11. Skimming: Metode yang sering digunakan pada pencurian kartu kredit, di mana perangkat kecil menangkap informasi kartu selama transaksi yang sah, seperti di ATM atau pompa bensin.

12. Pencurian Fisik: Perangkat seperti laptop, ponsel pintar, atau hard drive eksternal dapat dicuri, sehingga pencuri dapat mengakses data yang tersimpan. Ini termasuk mencari-cari di tempat sampah: pencuri secara fisik mencari dokumen atau perangkat yang dibuang yang berisi data sensitif di tempat sampah.

Tindakan efektif terhadap pencurian data memerlukan pendekatan multi-segi, termasuk pelatihan kesadaran keamanan rutin bagi karyawan, penerapan solusi keamanan siber yang tangguh, pemeliharaan perangkat lunak terkini, dan penerapan kontrol akses yang ketat, dan masih banyak lagi.

Jenis Data yang Dicuri Jenis-jenis pencuri data dan pelaku ancaman yang menjadi target dapat bervariasi tergantung pada motif mereka.

Data Apa yang Dicuri?

Berikut adalah beberapa contoh umum data yang dapat dicuri:

1.    Informasi Identitas Pribadi (Personally Identifiable Information (PII)): mencakup informasi yang digunakan untuk mengidentifikasi seseorang, seperti nama, alamat, nomor jaminan sosial, atau tanggal lahir. Penyerang sering kali menargetkan PII untuk pencurian identitas atau penipuan finansial.

2.    Informasi Keuangan (Financial Information): Data keuangan meliputi detail kartu kredit dan kartu debit, detail bank, dan informasi keuangan lainnya. Penyerang dapat menggunakan informasi ini untuk mendapatkan keuntungan finansial, seperti melakukan pembelian yang tidak sah atau mengakses rekening bank.

3.    Informasi Kesehatan Pribadi (Personal Health Information (PHI)): PHI mencakup catatan medis, informasi asuransi, dan data terkait kesehatan lainnya. Penyerang biasanya menargetkan PHI untuk penipuan asuransi atau pemerasan.

4.    Rahasia Dagang dan Kekayaan Intelektual (Trade Secrets and Intellectual Property): Rahasia dagang dan kekayaan intelektual mencakup teknologi hak milik, kode perangkat lunak, algoritma, dan informasi sensitif lainnya. Penyerang dapat menggunakan informasi ini untuk mendapatkan keuntungan kompetitif atau menjualnya kepada pelaku kejahatan lainnya.

5.    Kredensial Login (Login Credentials): Nama pengguna dan kata sandi untuk berbagai layanan daring, termasuk akun email, jejaring sosial, dan perbankan daring, dapat menjadi pintu gerbang bagi pencurian lebih lanjut atau aktivitas tidak sah.

6.    Catatan Pelanggan (Customer Records): Catatan pelanggan mencakup informasi pribadi, riwayat pembelian, dan data pelanggan lainnya. Penyerang dapat menggunakan informasi ini untuk melakukan serangan phishing atau pencurian identitas yang tertarget.

7.    Kode Sumber dan Algoritma: Kode sumber dan algoritma berharga bagi penyerang untuk membuat produk palsu atau mengakses sistem aman.

8.    Data Komunikasi (Communication Data): Email, pesan teks, panggilan suara, dan bentuk komunikasi pribadi atau perusahaan lainnya dapat disadap dan digunakan untuk berbagai motif, mulai dari pemerasan pribadi hingga spionase perusahaan. Berikut ini adalah beberapa aset yang paling sering menjadi target pencurian data. Penyerang terkadang akan mengincar data pendidikan, data pemerintah dan militer, data biometrik, data perilaku konsumen, dan aset digital lainnya, tergantung pada entitas target.

Dampak Pencurian Data

Pencurian data memiliki dampak yang sangat buruk baik bagi badan usaha dan orang perorangan dalam berbagai sektor, dampak tersebut dilihat dari:

1)    Dampak jangka pendek dan jangka panjang bagi badan usaha; dan

2)    Dampak jangka pendek dan jangka panjang bagi orang perorangan.

Dampak Jangka Pendek Pencurian Data bagi Badan Usaha

Dampak jangka pendek dari pencurian data biasanya langsung terlihat segera setelah insiden terjadi. Beberapa dampak jangka pendek ini meliputi:

1.    Gangguan Operasional:

Segera setelah terjadi pelanggaran data dan kebocoran data, badan usaha berpotensi harus menutup sebagian atau seluruh operasinya untuk menyelidiki insiden tersebut dan melakukan upaya pemulihan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan produktivitas dan efisiensi operasional, dan tentu hal ini akan mempengaruhi beberapa faktor, antara lain:

2.    Reaksi Pelanggan atau Konsumen:

Pelanggan yang mengetahui bahwa data mereka telah dicuri mungkin akan segera merespons dengan rasa marah dan kekhawatiran. Hal ini bisa menyebabkan peningkatan jumlah keluhan dan pertanyaan yang harus ditangani oleh layanan pelanggan.

3.    Penurunan Kepercayaan:

Kepercayaan publik dan pelanggan terhadap perusahaan dapat menurun secara drastis dalam waktu singkat. Ini bisa berdampak pada hilangnya pelanggan dan reputasi perusahaan.

4.    Biaya Investigasi Awal:

Perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk melakukan investigasi awal, baik melalui tim internal maupun dengan melibatkan ahli forensik digital eksternal.

Dampak Jangka Panjang Pencurian Data bagi Badan Usaha

Dampak jangka panjang dari pencurian data bisa lebih signifikan dan berkelanjutan, meliputi berbagai aspek seperti finansial, hukum, reputasi, dan operasional:

1)    Dampak Finansial:

(a)   Biaya Penipuan Daring: Menurut Laporan Biaya Pelanggaran Data IBM pada tahun 2023, biaya pelanggaran data rata-rata global adalah $4,45 juta, meningkat 15% (lima belas persen) dalam 3 (tiga) tahun terakhir. Biaya ini mencakup respons insiden, pemulihan data, dan perbaikan sistem.

(b)   Hilangnya Penjualan: Pelanggan yang kehilangan kepercayaan pada perusahaan mungkin akan beralih ke pesaing, menyebabkan penurunan pendapatan jangka panjang.

(c)   Potensi Waktu Henti: Dalam kasus serangan ransomware, waktu henti bisa berlangsung lama sampai tebusan dibayar atau sistem pulih, yang dapat menyebabkan kerugian pendapatan yang signifikan.

(d)   Biaya Perbaikan Jangka Panjang: Termasuk peningkatan sistem dan menerapkan langkah-langkah keamanan yang lebih ketat untuk mencegah insiden serupa di masa depan.

(e)   Konsekuensi Hukum dan Denda: Bergantung pada ukuran pelanggaran dan jenis data yang dicuri, perusahaan mungkin menghadapi denda signifikan dari pemerintah.

2)    Dampak Hukum dan Sanksi Administrasi: Kita ambil contoh di Amerika Serikat, terdapat beberapa instrument hukum yang berdampak bagi pelaku usaha atau Perusahaan atau badan usaha dari penyedia layanan Kesehatan yang tidak dapat menjaga data pribadi dari pasien dengan baik, antara lain:

(a)   HIPPA atau Undang-Undang Portabilitas dan Akuntabilitas Asuransi Kesehatan Tahun 1996 (Health Insurance Portability and Accountability Act) melindungi data pasien yang sensitif. Pelanggaran terhadap standar ini dapat dikenakan denda perdata antara $100 hingga $50.000 per pelanggaran bagi layanan Kesehatan atau badan usaha baik pemerintah dan swasta yang tidak bisa menjaga data dari pasien dari serangan siber.

(b)   FTC atau Federal Trade Commission Act of 1914 atau Undang-Undang Komisi Perdagangan Federal Tahun 1914, setiap orang dan/atau badan dapat dikenakan denda hukuman perdata hingga $40.000 per-pelanggaran.

(c)   COPPA (The Children's Online Privacy Protection Act) dan CCPA (The California Consumer Privacy Act): Hukum Privasi seperti COPPA dan CCPA di AS menetapkan denda dan kompensasi bagi konsumen yang terkena dampak pelanggaran data.

(d)   Konsekuensi Reputasi:

       Kepercayaan publik terhadap perusahaan yang mengalami pelanggaran data dapat terkikis drastis. Pelanggan bisa memutuskan hubungan dengan perusahaan dan beralih ke pesaing yang dianggap lebih aman. Dalam jangka panjang, perusahaan harus bekerja lebih keras untuk memulihkan kredibilitas dan menarik pelanggan baru.

(e)   Gangguan Operasional: Setelah insiden, perusahaan mungkin mengalami gangguan operasional jangka panjang, termasuk:

1.    Kehilangan penjualan;

2.    Kesulitan menangani pertanyaan pelanggan;

3.    Penurunan efisiensi operasional;

4.    Kerusakan pada hubungan dan loyalitas pelanggan, yang memerlukan upaya ekstra untuk memulihkan kepercayaan dan keyakinan pelanggan.

Dampak Jangka Pendek Pencurian Data bagi Orang Perorangan

Pelanggaran data dan kebocoran data dapat memiliki dampak yang sangat menghancurkan bagi orang perorangan. Berikut adalah penjabaran detail dari berbagai dampak yang mungkin dihadapi:

1)    Kerugian Finansial: Individu mungkin menghadapi kerugian finansial langsung, seperti:

-      Penarikan atau Tagihan Tidak Sah: Pelaku dapat melakukan penarikan uang atau transaksi tidak sah menggunakan informasi pribadi yang dicuri, yang langsung menguras sumber daya keuangan korban.

-      Waktu dan Upaya untuk Pemulihan: Korban harus menghabiskan waktu berjam-jam atau bahkan berhari-hari untuk membatalkan kartu kredit, mengubah kata sandi, dan menghubungi lembaga keuangan untuk memastikan keamanan informasi pribadi mereka.

2)   Tekanan Emosional: Insiden pelanggaran data bisa menyebabkan stres dan kecemasan yang signifikan, seperti:

-      Kecemasan tentang Pencurian Identitas: Ketakutan bahwa data pribadi akan terus dieksploitasi oleh pelaku kriminal, yang mengakibatkan stres emosional yang berkelanjutan.

-      Kebingungan dan Kekhawatiran: Ketidakpastian mengenai dampak jangka panjang dari pelanggaran data dapat menambah tekanan emosional.

Dampak Jangka Panjang Pencurian Data bagi Orang Perorangan

Untuk dampak jangka panjang pencurian data bagi orang perorangan akan sangat terasa ketika dampak dari pencurian itu mempengaruhi beberapa hal sebagai berikut dalam kehidupan kita secara konkret:

1)   Pencurian Identitas: Pencuri dapat mengeksploitasi data pribadi setiap saat dan kapan pun ia inginkan untuk:

-    Membuka Akun Palsu: Data pribadi yang dicuri dapat digunakan untuk membuka akun bank, kartu kredit, atau layanan lain atas nama korban.

-   Melakukan Transaksi Tidak Sah: Pelaku dapat melakukan pembelian, mengambil pinjaman, atau melakukan transaksi lainnya yang merugikan korban.

2)   Kerugian Moneter: Dampak finansial jangka panjang dapat meliputi:

-      Biaya Pemulihan Identitas: Korban mungkin perlu mengeluarkan biaya untuk mengatasi dan memulihkan identitas mereka, termasuk biaya pengacara dan layanan pemantauan kredit.

-      Penurunan Skor Kredit: Aktivitas tidak sah yang dilakukan atas nama korban dapat merusak skor kredit mereka atau kolektibilitas kredit sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.

3)   Pelanggaran Privasi: Pelanggaran data dapat mengungkap informasi sensitif seperti:

-      Data Pribadi dan Intim: Informasi pribadi seperti alamat, nomor telepon, atau komunikasi pribadi dapat bocor, menghilangkan privasi individu.

-      Data Keuangan: Informasi keuangan yang bocor dapat digunakan untuk penipuan dan pencurian identitas lebih lanjut.

4)    Kerusakan Reputasi: Pelanggaran data dapat menyebabkan kerusakan reputasi pribadi atau profesional:

-     Ketidakpercayaan: Reputasi korban di mata rekan kerja, teman, atau masyarakat dapat ternoda, yang mengakibatkan ketidakpercayaan dan isolasi sosial.

-     Rasa Malu dan Implikasi Sosial: Rasa malu dan tekanan sosial akibat informasi pribadi yang bocor dapat mempengaruhi hubungan interpersonal dan lingkungan kerja.

5)    Paparan Informasi Kesehatan: Kebocoran data kesehatan dapat memiliki dampak serius seperti:

-      Pelanggaran Privasi: Informasi kesehatan pribadi yang bocor dapat digunakan untuk diskriminasi atau penyalahgunaan.

-      Potensi Penyalahgunaan Data Kesehatan: Data kesehatan yang sensitif dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, yang dapat mengakibatkan kerugian lebih lanjut bagi korban.

Baik organisasi maupun orang perorangan harus menerapkan langkah-langkah keamanan yang ketat untuk secara efektif mencegah kejahatan dunia maya yang menargetkan data mereka. Hal ini sering kali melibatkan pemanfaatan kombinasi solusi teknologi (misalnya, produk enkripsi dan keamanan dunia maya) dan praktik perilaku (misalnya, pelatihan kesadaran keamanan) untuk memerangi pelaku kejahatan yang mencuri data penting.

Langkah-Langkah Hukum Apabila Terkena Dampak Pencurian Data

Jika data pribadi dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan Anda sebagai badan usaha atau perorangan mengalami dampak seperti yang telah dijelaskan, berikut adalah langkah-langkah hukum yang dapat ditempuh:

Langkah-Langkah Hukum bagi Badan Usaha dalam Menghadapi Pencurian Data

1.    Langkah-Langkah Internal

1.1    Melakukan Identifikasi:

A.      Jenis Serangan Siber:

Langkah awal yang kritis adalah mengidentifikasi jenis serangan siber yang terjadi. Apakah ini adalah serangan malware, phishing, ransomware, atau jenis serangan lainnya. Identifikasi jenis serangan membantu dalam menentukan langkah penanganan yang tepat.

B.      Penyebabnya apakah Pelanggaran Data atau Kebocoran Data:

a.      Pelanggaran Data (Data Breaches): Ini terjadi ketika data diakses atau dicuri oleh individu yang tidak berwenang. Pelanggaran data sering kali berkaitan dengan serangan yang disengaja dan terorganisir;

b.      Kebocoran Data (Data Leaks): Ini terjadi ketika data bocor karena kelalaian atau kesalahan manusia (human error), seperti pengaturan keamanan yang kurang atau pegawai yang tidak mematuhi protokol keamanan.

C.      Apabila terjadi Pelanggaran Data (Data Breaches) apa yang harus dilakukan:

a.      Segera identifikasi sumber dan metode pelanggaran;

b.      Isolasi sistem yang terkena dampak untuk mencegah penyebaran lebih lanjut;

c.      Informasikan kepada semua pihak yang terdampak dan otoritas pelindungan data sesuai dengan hukum yang berlaku;

d.     Lakukan investigasi menyeluruh untuk memahami skala dan dampak pelanggaran.

D.      Apabila yang terjadi Kebocoran Data (Data Leaks) apa yang harus dilakukan:

a.    Segera identifikasi data yang bocor dan sumber kebocoran;

b.    Perbarui atau perbaiki protokol keamanan untuk mencegah kebocoran lebih lanjut;

c.     Informasikan kepada pihak yang terdampak dan, jika diperlukan, otoritas terkait;

d.    Lakukan pelatihan ulang untuk pegawai mengenai pentingnya keamanan data.

1.2    Membentuk Tim Tanggap Insiden (Incident Response Team): Ketika insiden pelanggaran dan kebocoran data terjadi, Langkah cepat dan efektif adalah kunci formulasi mitigasi permasalahan. Membentuk Tim Tanggap Insiden yang terdiri dari berbagai ahli dari berbagai bidang adalah langkah yang strategis. Tim ini setidaknya terdiri dari:

1)   Customer Care: Hal terpenting yang harus dilakukan oleh customer care adalah untuk selalu paham dan mengetahui insiden yang tengah terjadi serta perkembangan kasusnya karena mereka akan menjadi garda terdepan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pelanggan. Tugas mereka antara lain:

a.    Menyusun dan mengembangkan draft untuk menjawab telepon, frequently asked questions (FAQ), dll;

b.    Mencatat volume panggilan dan pertanyaan atas kekhawatiran yang disampaikan oleh pelanggan;

c.     Bertanggung jawab untuk berkomunikasi dengan pelanggan, memberikan informasi tentang apa yang terjadi, dan bagaimana mereka bisa melindungi diri mereka sendiri setelah insiden.

2)    Executive Leader: Executive Leader sebagai pembuat keputusan utama harus memiliki kepemimpinan dalam memberi dukungan dan sumber daya yang dibutuhkan dalam mengembangkan perencanaan, dan penanganan insiden. Executive Leader bertugas untuk:

a.    Memastikan keputusan yang dibuat oleh tim dapat disetujui oleh manajemen eksekutif;

b.    Memiliki jalur komunikasi yang baik dengan dewan direksi dan pemangku kepentingan lainnya seperti investor, dll;

c.     Memiliki otoritas untuk membuat keputusan cepat dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan untuk menangani insiden.

3)    Human Relations: Pelanggaran dan Kebocoran data dapat juga mempengaruhi karyawan internal, untuk itu institusi perlu menunjuk perwakilan karyawan yang bertugas:

a.    Menangani komunikasi internal dan memberikan dukungan kepada karyawan yang mungkin khawatir tentang implikasi insiden;

b.    Mengatur rapat internal atau siaran web untuk karyawan untuk mengumpulkan informasi dari karyawan mengenai dampak dari kebocoran.

4)    Incident Lead: Biasanya yang bertugas sebagai incident leader adalah Chief Privacy Officer dari internal atau departemen hukum eksternal yang akan memimpin dalam penanganan insiden dan bertugas untuk:

a.    Menentukan kapan Tim Tanggap Insiden akan diaktifkan secara penuh untuk menangani suatu insiden;

b.    Mengelola dan mengkoordinasikan aksi tanggap keseluruhan di Perusahaan;

c.     Bertindak sebagai perantara antara executive lead dan anggota tim lain untuk melaporkan kemajuan serta permasalahan yang terjadi;

d.    Bertindak sebagai penghubung mitra eksternal;

e.     Memastikam dokumentasi yang tepat mengenai aksi cepat tanggap baik dalam hal proses maupun prosedur.

5)    Legal: Terdiri dari pakar hukum, privasi, dan kepatuhan internal yang dapat membantu tim untuk meminimalkan resiko dan denda setelah terjadinya kebocoran data. Tim legal bertugas untuk:

a.    Menentukan strategi dan cara memberi tahu individu yan terpengaruh, media, penegak hukum, Lembaga pemerintah, dan pihak ketiga lainnya;

b.    Membangun hubungan dengan hukumeksternal yang diperlukan. Memberi nasihat atau masukan sebelum terjadi pelanggaran dan kebocoran data;

c.     Memeriksa semua dokumen atau materi tertulis yang terkait dengan insiden.

6)    Information Technology (IT): Tim IT dan Tim Keamanan IT akan memimpin dalam menghentikan kebocoran data, selain itu juga bertugas untuk memimpin investigasi teknis, memperbaiki sistem yang terkena dampak, dan memperkuat keamanan jaringan untuk mencegah insiden lebih lanjut.

7)    Public Relations (PR): Jika pelanggaran dan kebocoran data perlu dilaporkan ke media atau harus dipublikasikan dengan tujuan memberitahu individu yang terkena dampak, perwakilan PR bertugas untuk:

a.    Mengidentifikasi dan menyusun notifikasi atau pemberitahuan terbaik, serta menyusun strategi manajemen krisis sebelum insiden terjadi;

b.    Melacak dan menganalisis liputan media dengan cepat untuk setiap pemberitaan negative selama insiden terjadi;

c.     Membuat materi publikasi untuk konsumen/pelanggan mengenai insiden yang terjadi (melalui website, media statement, media sosial, dan lain-lain);

d.    Mengelola komunikasi eksternal untuk menjaga reputasi perusahaan, mengendalikan narasi publik, dan menangani pertanyaan media.

2.    Langkah Eksternal

2.1    Komunikasi: Mengendalikan publikasi isu secara efektif adalah penting. Bekerja sama dengan ahli komunikasi eksternal dapat membantu dalam menavigasi reaksi publik dan mengatasi pertanyaan dari media, publik, dan konsumen. Transparansi dan kejujuran adalah kunci dalam menjaga kepercayaan pemangku kepentingan.

2.2    Menghubungi Ahli Forensik Digital: Ahli forensik digital dapat membantu dalam menelusuri penyebab kebocoran data, merekomendasikan langkah-langkah untuk menghentikan kebocoran, dan mengamankan sistem untuk mencegah insiden serupa di masa depan. Mereka juga dapat menyediakan bukti teknis yang mungkin diperlukan dalam proses hukum.

2.3    Layanan Penyedia Resolusi Pelanggaran Data dan Kebocoran Data: Partner eksternal ini dapat menangani berbagai aspek dari tanggapan insiden, termasuk pemberitahuan kepada pihak yang terdampak, penyusunan dokumen yang diperlukan, dan pengiriman email pemberitahuan. Mereka juga dapat memberikan nasihat mengenai produk pelindungan yang dapat membantu mencegah pencurian data di masa depan.

2.4    Pengacara: Melibatkan penasihat hukum yang berpengalaman adalah penting untuk meminimalkan risiko hukum, memastikan kepatuhan dengan peraturan, dan mendokumentasikan semua langkah yang diambil selama penanganan insiden. Pengacara juga dapat membantu dalam menghadapi tuntutan hukum yang mungkin timbul.

2.5    Aparat Penegak Hukum dan Lembaga Pemerintah di Bidang Keamanan Siber: Koordinasi dengan aparat penegak hukum dan lembaga pemerintah tidak hanya menunjukkan komitmen terhadap hukum dan transparansi, tetapi juga dapat membantu dalam investigasi dan pengusutan pelaku pembocoran data. Lembaga ini juga dapat memberikan dukungan teknis dan nasihat mengenai langkah-langkah keamanan yang lebih kuat.

3.    Mengajukan Laporan Polisi dan Gugatan

Jika identitas pihak yang bertanggung jawab atas pencurian data sudah diketahui atau dicurigai, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan bukti yang kuat dan mengajukan laporan polisi dan gugatan. Laporan Polisi ini berupa tuntutan pidana untuk menghukum pelaku, dan gugatan melalui gugatan perdata untuk meminta ganti rugi atas kerugian yang diderita. Pastikan untuk mendokumentasikan semua rangkaian proses yang ada, langkah penanganan, dan kerugian yang timbul untuk mendukung perkara Anda di pengadilan.

4.    Kompensasi Kerugian

Perusahaan dapat mengajukan tuntutan kompensasi untuk mengembalikan kerugian finansial yang dialami akibat pencurian data. Ini bisa mencakup:

4.1 Biaya Investigasi: Biaya untuk melakukan investigasi internal dan eksternal, termasuk biaya ahli forensik digital;

4.2 Perbaikan Sistem: Biaya untuk memperbaiki dan memperkuat sistem keamanan setelah insiden;

4.3 Kerugian Finansial Langsung: Kerugian yang disebabkan oleh pencurian data, seperti hilangnya pendapatan, biaya litigasi, dan denda regulasi.

5.    Melaksanakan Kepatuhan dan Audit

Setelah insiden diatasi, penting untuk memastikan bahwa semua praktik keamanan data sesuai dengan standar nasional dan internasional. Ini meliputi:

5.1    Audit Keamanan Data: Melakukan audit keamanan data secara berkala untuk mengidentifikasi dan menutup celah keamanan.

5.2    Kepatuhan dengan Regulasi: Memastikan kepatuhan dengan undang-undang pelindungan data yang berlaku, seperti Peraturan Pelindungan Data Pribadi (PPDP) di Indonesia atau GDPR di Uni Eropa.

5.3    Pelatihan Karyawan: Memberikan pelatihan keamanan data secara berkala kepada karyawan untuk meningkatkan kesadaran dan keterampilan dalam menjaga keamanan data.

Langkah-Langkah Hukum bagi Perorangan

1.   Mengumpulkan Bukti yang Cukup dan Membuat Laporan Polisi

Kumpulkan semua bukti yang ada terkait pencurian data kamu dan segera laporkan pencurian data ke polisi dan, jika tersedia, ke lembaga terkait yang bisa membantumu dalam hal ini.

2.   Blokir dan Ubah Informasi Akun

Blokir kartu kredit, debit, dan akun bank yang terkena dampak. Ubah semua kata sandi yang terhubung dengan akun online Anda untuk mencegah akses tidak sah lebih lanjut.

3.   Mengajukan Gugatan

Anda dapat mengajukan gugatan terhadap para pihak atau setiap yang dicurigai mengambil data Anda dan turut serta bertanggung jawab hal tersebut kepada Anda. Pastikan untuk mengumpulkan bukti sebanyak mungkin, termasuk laporan polisi dan catatan komunikasi, korespondensi, konsolidasi, audiensi, dan data lainnya. Salah satu hak subjek data pribadi dalam UU PDP adalah menggugat pengendali data pribadi dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan data pribadi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.[5] Mengatur hal serupa, berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU 19/2016 berbunyi:

“Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. Maka, setiap orang yang dilanggar haknya tersebut dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan.”

Untuk mengajukan gugatan atas penyalahgunaan data pribadi, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

4.     Pemberitahuan kepada Penyedia Layanan

Beritahukan penyedia layanan atau perusahaan yang menyimpan data Anda tentang pencurian tersebut. Mereka mungkin memiliki prosedur untuk menangani insiden keamanan data.

5.     Mengajukan Pelindungan Kredit

Penyelenggara fintech yang menggunakan atau memproses data pribadi tanpa persetujuan pemiliknya dapat dikenai sanksi administratif berdasarkan UU PDP dan POJK 10/2022. Anda dapat melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) jika tidak ada persetujuan pemrosesan data pribadi atau penyelenggara fintech tidak mematuhi prinsip-prinsip sebagaimana diatur di dalam Pasal 44 ayat (1) POJK 10/2022. Adapun sanksi administratif bagi penyelenggara fintech tersebut dapat berupa peringatan tertulis yang dapat disertai dengan pemblokiran sistem elektronik penyelenggara, pembatasan kegiatan usaha dan/atau pencabutan izin yang akan dilakukan oleh OJK. (vide Pasal 41 ayat (1), (2), (4), (7), (8) dan (9) POJK 10/2022) Sedangkan dalam UU PDP, Anda dapat melaporkan ke lembaga penyelenggaraan pelindungan data pribadi yang akan ditetapkan oleh presiden.[6] Adapun sanksi administratif yang ditetapkan UU PDP adalah:[7]

a.     peringatan tertulis;

b.    penghentian sementara semua kegiatan pemrosesan data pribadi;

c.     penghapusan atau pemusnahan data pribadi; dan/atau

d.    denda administratif dikenakan paling tinggi 2% dari pendapatan tahunan atau penerimaan tahunan terhadap variabel pelanggaran.

6.     Konsultasi dengan Pengacara

Pertimbangkan untuk berkonsultasi dengan pengacara yang memiliki pengalaman dalam kasus privasi dan keamanan data. Mereka dapat memberikan nasihat hukum yang lebih spesifik dan membantu Anda dalam proses hukum. Anda juga dapat menghubungi Eka Kurnia Chrislianto Law Office - Advocate & Legal Consultant di 089666226186 untuk informasi lebih lanjut.

Contoh Pencurian Data di Dunia Nyata

Insiden pencurian data yang banyak dibicarakan menunjukkan dampak buruk dari pelanggaran data, termasuk kerugian finansial, konsekuensi hukum, kerusakan reputasi, dan hilangnya kepercayaan pelanggan.

Berikut ini beberapa contoh nyata terkini:

Amerika Serikat

-        Pelanggaran Data Yahoo (2013-2014): Yahoo mengalami dua pelanggaran data besar yang memengaruhi lebih dari 3 miliar akun pengguna, yang membahayakan nama, alamat email, nomor telepon, dan kata sandi yang di-hash;

-        Pelanggaran Data Target (2013): Pelanggaran data Target membahayakan informasi pribadi dan keuangan sekitar 110 juta pelanggan, termasuk informasi kartu kredit dan debit, nama, alamat, dan nomor telepon;

-        Pelanggaran Data Marriott (2014-2018): Pelanggaran data Marriott mengekspos informasi pribadi sekitar 500 juta tamu, termasuk nama, alamat, nomor paspor, dan informasi kartu pembayaran;

-        Pelanggaran Data Equifax (2017): Pelanggaran data Equifax mengungkap informasi pribadi sekitar 147 juta orang, termasuk nama, nomor Jaminan Sosial, tanggal lahir, alamat, dan nomor SIM. Penyelesaiannya mencakup $425 juta yang didistribusikan kepada orang-orang yang terdampak.

-        Pelanggaran Data Capital One (2019): Pelanggaran data Capital One mengekspos informasi pribadi lebih dari 100 juta pelanggan, termasuk nama, alamat, skor kredit, dan nomor jaminan sosial;

-        Pelanggaran Data Maximus: Maximus, kontraktor pemerintah AS, mengalami kebocoran data besar yang mengungkapkan informasi sensitif warga negara. Pelanggaran ini disebabkan oleh kerentanan dalam perangkat lunak transfer data MOVEit.

Jepang

-      Pada September 2022, Japan Post Holdings melaporkan kebocoran data yang mengakibatkan akses tidak sah ke informasi pribadi sekitar 7 juta pelanggan. Data yang bocor mencakup nama, alamat, dan nomor telepon;

-      Tahun 2023 kasus phishing telah melampaui total tahunan sebelumnya, mendekati rekor tahun 2015 sebesar 3,07 miliar yen (sekitar $21,4 juta);

-     Pada tahun 2020, Universitas Kyoto mengalami pelanggaran data yang mengakibatkan bocornya data pribadi dari mahasiswa dan staf. Kasus ini melibatkan akses tidak sah ke sistem universitas dan pencurian data sensitive;

-     Rakuten melaporkan kebocoran data pada tahun 2022 yang mempengaruhi akun pengguna dari platform e-commerce mereka. Data yang bocor mencakup nama, alamat email, dan rincian transaksi.

Australia

-      Pada September 2022, Optus, salah satu penyedia layanan telekomunikasi terbesar di Australia, mengalami kebocoran data yang memengaruhi sekitar 10 juta pelanggan. Data yang bocor termasuk nama, alamat, tanggal lahir, dan nomor identifikasi seperti nomor SIM;

-      Pada Oktober 2022, Medibank, salah satu penyedia layanan kesehatan terbesar di Australia, mengalami serangan ransomware yang menyebabkan kebocoran data pribadi pasien. Serangan ini mencakup data medis dan informasi identitas pribadi;

-      Pada Maret 2023, Australian Broadcasting Corporation (ABC) mengalami pelanggaran data yang melibatkan akses tidak sah ke data internal dan informasi pribadi karyawan. Kebocoran ini mengancam keamanan informasi internal ABC;

-      Pada Januari 2024, Kogan, salah satu platform e-commerce besar di Australia, mengalami kebocoran data yang mengakibatkan informasi pribadi pelanggan, termasuk nama, alamat email, dan data transaksi, terekspos.

Jerman

-      Pada Februari 2022, Deutsche Telekom melaporkan kebocoran data yang mengakibatkan akses tidak sah ke data pelanggan. Data yang bocor mencakup informasi pribadi seperti alamat dan nomor telepon, meskipun tidak ada indikasi bahwa data keuangan atau pembayaran terpengaruh;

-     Pada September 2022, Universitas Berlin mengalami pelanggaran data yang menyebabkan kebocoran informasi pribadi mahasiswa dan staf. Data yang bocor termasuk identitas pribadi, alamat email, dan catatan akademis;

-      Pada Maret 2023, Klinik Universitas Heidelberg terkena serangan ransomware yang menyebabkan akses tidak sah ke data medis pasien. Data yang terkompromi mencakup informasi medis pribadi dan identitas pasien;

-      Pada Januari 2024, Universitas Teknik Munich mengalami pelanggaran data yang melibatkan akses tidak sah ke informasi akademis dan pribadi mahasiswa dan staf. Data yang bocor termasuk identitas pribadi dan catatan akademis.

China

-      Pada Januari 2022, Alibaba Cloud mengalami kebocoran data yang mengakibatkan informasi pribadi pelanggan, termasuk data bisnis dan keuangan, terekspos. Kebocoran ini menargetkan banyak perusahaan yang menggunakan layanan cloud Alibaba;

-      Pada Juli 2022, Beijing Tech Firm, sebuah perusahaan teknologi besar di Beijing mengalami serangan ransomware yang mengakibatkan kebocoran data pribadi karyawan dan pelanggan. Data yang terkompromi termasuk identitas pribadi, email, dan data kontak;

-      Pada Maret 2023, China Telecom mengalami pelanggaran data yang mengakibatkan kebocoran informasi pribadi pelanggan, termasuk nama, alamat, dan nomor telepon. Kebocoran ini mengakibatkan kekhawatiran tentang privasi data pengguna;

-      Pada Februari 2024, Universitas Tsinghua mengalami pelanggaran data yang melibatkan akses tidak sah ke informasi pribadi mahasiswa dan staf. Data yang bocor termasuk identitas pribadi, catatan akademis, dan data penelitian.

India

-      Pada Oktober 2022, Tata Power, salah satu perusahaan energi terbesar di India, mengalami serangan ransomware yang menyebabkan kebocoran data pribadi pelanggan. Data yang terkompromi termasuk informasi identitas dan rincian akun;

-      Pada Januari 2023, All India Institute of Medical Sciences (AIIMS) Delhi mengalami serangan ransomware yang mengakibatkan kebocoran data medis pribadi pasien, termasuk catatan kesehatan dan informasi identitas;

-      Pada Mei 2023, Bank Nasional India (Bank of India) mengalami serangan phishing yang mengakibatkan akses tidak sah ke data pribadi nasabah, termasuk informasi akun dan data keuangan. Serangan ini menyebabkan kekhawatiran tentang keamanan transaksi perbankan;

-      Pada Februari 2024, Paytm, salah satu platform pembayaran digital terbesar di India, mengalami kebocoran data yang memengaruhi informasi pribadi pengguna, termasuk nomor telepon, email, dan data transaksi.

Indonesia

-      Pada September 2022, terjadi kebocoran data di BPJS Kesehatan, lembaga pemerintah yang menangani asuransi kesehatan di Indonesia. Data yang bocor termasuk informasi pribadi peserta seperti nama, alamat, dan nomor identitas;

-      Pada Maret 2023, beberapa klinik dan rumah sakit di Jakarta terkena serangan ransomware yang menyebabkan kebocoran data medis pribadi pasien. Data yang terkompromi termasuk riwayat kesehatan, informasi medis, dan identitas pasien;

-      Pada tanggal 8 Mei, layanan mobile banking dan ATM BSI (Bank Syariah Indonesia) terganggu selama sepekan. Namun, pada tanggal 14 Mei 2023, fakta baru terungkap bahwa gangguan layanan BSI sebenarnya disebabkan oleh serangan ransomware dari sekelompok hacker. Ransomware adalah jenis perangkat lunak berbahaya yang mengunci akses ke sistem komputer korban dengan mengenkripsi data untuk meminta uang tebusan;

-      Awal Juli 2024, data milik Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak yang diduga dibobol dan dijual secara online ramai di media sosial. Salah satu perusahaan keamanan siber menyebutkan sebanyak 52.000 data yang mencakup ID, email, nama pengguna, kata sandi, dan nomor telepon berhasil diretas.

Kasus-kasus ini hanyalah beberapa contoh pencurian data yang melibatkan pelanggaran data yang meluas dan kerugian finansial. Insiden ini jauh lebih sering terjadi pada tingkat pribadi atau mikro. Faktanya, statistik pelanggaran data terkini menunjukkan bahwa pelanggaran data atau serangan siber baru terjadi setiap 11 detik.

Dasar Hukum yang Melindungi Pelindungan Data

1.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan;

2.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan;

3.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen;

4.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;

5.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;

6.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;

7.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;

8.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan;

9.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik);

11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;

12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik;

14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan;

15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;

16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara;

17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;

18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

19. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta;

20. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana sebagian telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagaimana terakhir telah ditetapkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang;

21. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten sebagaimana sebagian telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagaimana terakhir telah ditetapkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang;

22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis sebagaimana sebagian telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagaimana terakhir telah ditetapkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang;

23. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi Undang-Undang;

24. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi;

25. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan;

26. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik;

27. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2019 Satu Data Indonesia;

28. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Pelindungan Data Pribadi;

29. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan;

30. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen Bank Indonesia;

31. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/SEOJK.07/2014 tentang Kerahasiaan dan Keamanan Data dan/atau Informasi Pribadi Konsumen.

Penegakan Hukum Pelindungan Data Pribadi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (“UU tentang PDP”) merupakan regulasi yang diterapkan di Indonesia untuk melindungi hak asasi manusia terkait data pribadi. UU ini bertujuan untuk memberikan jaminan pelindungan diri pribadi atas hak warga negara dan menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelindungan data pribadi.

Jenis Data Pribadi yang Dilindungi

UU tentang PDP mengklasifikasikan data pribadi menjadi 2 (dua) kategori utama:

a.    Data Pribadi yang Bersifat Umum: meliputi nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, status perkawinan, dan/atau data lainnya yang bila dikombinasikan dapat mengidentifikasi seseorang; (vide Pasal 4 ayat (3) UU tentang PDP)

b.    Data Pribadi yang Bersifat Spesifik: mencakup data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi dan/atau data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (vide Pasal 4 ayat (2) UU tentang PDP)

Kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik

UU PDP mengatur kewajiban bagi Pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi dalam pengelolaan data pribadi. Mereka diwajibkan untuk melindungi data pribadi yang mereka proses dan memastikan keamanan data dari kebocoran atau penyalahgunaan.

Siapa Pengendali Data Pribadi?

Pengendali Data Pribadi adalah setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional yang bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam menentukan tujuan dan melakukan kendali pemrosesan Data Pribadi. (vide Pasal 1 Angka 4 UU tentang PDP)

Prosesor Data Pribadi

Prosesor Data Pribadi adalah setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional yang bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam melakukan pemrosesan Data Pribadi atas nama Pengendali Data Pribadi. (vide Pasal 1 Angka 5 UU tentang PDP)

Pengendali Data Pribadi wajib memiliki dasar pemrosesan Data Pribadi. Dasar pemrosesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud meliputi:

a.    persetujuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi untuk 1 (satu) atau beberapa tujuan tertentu yang telah disampaikan oleh Pengendali Data Pribadi kepada Subjek Data Pribadi;

b.    pemenuhan kewajiban perjanjian dalam hal Subjek Data Pribadi merupakan salah satu pihak atau untuk memenuhi permintaan Subjek Data Pribadi pada saat akan melakukan perjanjian;

c.     pemenuhan kewajiban hukum dari Pengendali Data Pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d.    pemenuhan pelindungan kepentingan vital Subjek Data Pribadi;

e.     pelaksanaan tugas dalam rangka kepentingan umum, pelayanan publik, atau pelaksanaan kewenangan Pengendali Data Pribadi berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan/atau

f.      pemenuhan kepentingan yang sah lainnya dengan memperhatikan tujuan, kebutuhan, dan keseimbangan kepentingan Pengendali Data Pribadi dan hak Subjek Data Pribadi. (vide Pasal 20 ayat (2) UU tentang PDP)

Sanksi Administratif

UU tentang PDP menetapkan beberapa sanksi administratif bagi Penyelenggara Sistem Elektronik yang melakukan pelanggaran data dan kebocoran data, antara lain:

1)     Peringatan tertulis;

2)     Penghentian sementara kegiatan pemrosesan data pribadi;

3)     Penghapusan atau pemusnahan data pribadi;

4)     Denda administratif. (vide Pasal 57 ayat (2) UU PDP)

Sanksi Pidana

Selain sanksi administratif, UU PDP juga mengatur sanksi pidana bagi pelanggaran yang lebih serius, antara lain:

1.    Tindak Pidana dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). (vide Pasal 67 ayat (1) UU tentang PDP);

2.    Tindak Pidana dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) (vide Pasal 67 ayat (2) UU tentang PDP);

3.    Tindak Pidana dengan dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi yang bukan miliknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) (vide Pasal 67 ayat (3) UU tentang PDP);

4.    Tindak Pidana membuat Data Pribadi palsu atau memalsukan Data Pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6.000. 000.000,- (enam miliar rupiah) (vide Pasal 68 UU tentang PDP);

5.    Selain dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan Pasal 68 juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil dari tindak pidana dan pembayaran ganti kerugian (vide Pasal 69 UU tentang PDP);

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan Pasal 68 dilakukan oleh Korporasi, pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus, pemegang kendali, pemberi perintah, pemilik manfaat, dan/ atau Korporasi. Pidana yang dapat djatuhkan terhadap Korporasi hanya pidana denda. Kemudian untuk Pidana denda yang dijatuhkan kepada Korporasi paling banyak 10 (sepuluh) kali dari maksimal pidana denda yang diancamkan. Selain dijatuhi pidana denda sebagaimana dimaksud Korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

a.    perampasan keuntungan dan/ atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil dari tindak pidana;

b.    pembekuan seluruh atau sebagian usaha Korporasi;

c.     pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;

d.    penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/ atau kegiatan Korporasi;

e.     melaksanakan kewajiban yang telah dilalaikan;

f.      pembayaran ganti kerugian;

g.     pencabutan izin; dan/atau

h.    pembubaranKorporasi. (vide Pasal 70 UU tentang PDP)

Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan pidana denda, terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk membayar denda tersebut. Kemudian Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana dimaksud dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 1 (satu) bulan. Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud maka harta kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar. (vide Pasal 71 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU tentang PDP)

Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling lama sebagaimana diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan. Lamanya pidana penjara sebagaimana dimaksud ditentukan oleh hakim, dicantumkan dalam putusan pengadilan. (vide Pasal 71 ayat (4) dan ayat (5) UU tentang PDP)

Kemudian dalam hal penyitaan dan pelelangan harta kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dilakukan terhadap terpidana Korporasi dan tidak cukup untuk melunasi pidana denda, Korporasi dikenakan pidana pengganti berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun. (vide Pasal 72 ayat (1) UU tentang PDP) lamanya pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi sebagaimana dimaksud yang ditentukan oleh hakim, dicantumkan dalam putusan pengadilan. (vide Pasal 72 ayat (1) UU tentang PDP)

Implikasi dan Tujuan UU tentang PDP

Dengan diberlakukannya UU tentang PDP, diharapkan pelindungan data pribadi masyarakat dapat terjamin dan dilindungi. Sanksi yang tegas diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang dengan sengaja melanggar ketentuan UU ini untuk keuntungan pribadi, sehingga masyarakat dapat lebih merasa aman dalam penggunaan data pribadi mereka.

Tantangan dan Hambatan dalam Penanganan Pencurian Data

Pada bulan Oktober 2022, Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), yang bertujuan untuk memperkuat kerangka privasi dan keamanan data. Meskipun undang-undang ini merupakan kemajuan signifikan, pelaksanaannya menghadapi berbagai tantangan. Analisis ini menelaah tantangan tersebut, terutama dalam konteks pencurian data, dan membahas peran Kebijakan Regulatory Sandbox dalam mengatasi masalah-masalah ini.

Tantangan Teknis

A.    Infrastruktur Keamanan Siber

Banyak organisasi di Indonesia belum memiliki infrastruktur keamanan siber yang canggih, membuat mereka rentan terhadap pelanggaran data. UU ini mengharuskan langkah-langkah keamanan yang kuat, tetapi penerapannya bisa bermasalah tanpa sumber daya teknis yang memadai.

B.    Perubahan Teknologi yang Cepat

Kecepatan inovasi teknologi seringkali melampaui kerangka regulasi, menciptakan celah yang dapat dieksploitasi oleh penjahat siber. Pembaruan berkelanjutan terhadap protokol dan sistem keamanan sangat penting tetapi sulit dipertahankan.

C.    Praktik Manajemen Data

Praktik manajemen data yang kurang memadai, seperti enkripsi data yang tidak memadai dan kurangnya audit keamanan secara berkala, meningkatkan risiko pencurian data. Banyak organisasi perlu mengembangkan dan menerapkan kerangka tata kelola data yang komprehensif.

Tantangan Regulasi dan Hukum

a.    Kemampuan Penegakan Hukum

Penegakan UU PDP yang efektif membutuhkan badan regulasi yang memiliki sumber daya dan pengetahuan yang memadai. Saat ini, ada kekhawatiran apakah badan-badan ini memiliki kapabilitas yang diperlukan untuk memastikan kepatuhan dan menangani pelanggaran dengan efektif.

b.    Kerjasama Internasional

Pencurian data seringkali melibatkan tindakan lintas negara. Indonesia menghadapi tantangan dalam kerjasama internasional karena beragamnya kerangka hukum dan tingkat komitmen terhadap pelindungan data di antara negara-negara.

c.    Pelaporan dan Kepatuhan

Ketakutan terhadap kerugian reputasi dan sanksi regulasi bisa menahan organisasi untuk melaporkan pelanggaran data. Kurangnya transparansi ini menghambat kemampuan untuk mengambil tindakan korektif dan meningkatkan langkah-langkah keamanan.

Faktor Manusia

a.    Kesadaran dan Pendidikan

Ada kurangnya kesadaran dan pendidikan mengenai pelindungan data di kalangan karyawan dan masyarakat umum. Kesenjangan ini membuat individu lebih rentan terhadap serangan rekayasa sosial (social engineering) dan phishing.

b.    Ancaman dari Orang Dalam

Karyawan yang memiliki akses ke informasi sensitif dapat menimbulkan risiko signifikan, baik melalui kelalaian ataupun tindakan jahat. Ancaman dari orang dalam tetap menjadi area kekhawatiran kritis untuk keamanan data.

c.    Kesenjangan Keterampilan

Permintaan akan profesional keamanan siber yang terampil melebihi pasokan di Indonesia, membuat organisasi sulit untuk membangun tim keamanan yang kuat yang mampu mengurangi risiko pencurian data.

Tantangan Ekonomi dan Sosial

a.    Biaya Kepatuhan

Kepatuhan terhadap UU PDP memerlukan investasi finansial yang signifikan, yang bisa menjadi beban, terutama bagi UKM. Biaya yang terkait dengan penerapan langkah-langkah keamanan dan menjalani audit berkala cukup besar.

b.    Kesenjangan Digital

Perbedaan dalam akses dan literasi digital antara daerah perkotaan dan pedesaan mempersulit penerapan dan penegakan langkah-langkah pelindungan data secara merata di seluruh negeri.

c.    Ekonomi Kejahatan Siber

Sifat menguntungkan dari kejahatan siber terus menarik individu dan kelompok terorganisir. Risiko penangkapan yang rendah dan imbalan yang tinggi terus memelihara ancaman pencurian data.

Kebijakan Regulatory Sandbox

Kebijakan Regulatory Sandbox dapat memainkan peran penting dalam mengatasi beberapa tantangan ini:

a.    Inovasi dan Kepatuhan

Regulatory sandbox memungkinkan lingkungan yang terkontrol di mana teknologi dan praktik baru dapat diuji. Pendekatan ini dapat membantu mengidentifikasi langkah-langkah pelindungan data yang efektif dan memastikan bahwa inovasi mematuhi persyaratan UU tentang PDP.

b.    Kolaborasi dan Berbagi Pengetahuan

Regulatory sandbox mendorong kolaborasi antara regulator, industri, dan akademisi. Kolaborasi semacam ini dapat menghasilkan pengembangan praktik terbaik dan pedoman yang meningkatkan pelindungan data di berbagai sektor.

c.    Mitigasi Risiko

Dengan memungkinkan pengujian terkontrol, regulatory sandbox dapat membantu mengidentifikasi potensi risiko dan kerentanan dalam teknologi baru sebelum diterapkan secara luas, sehingga mengurangi kemungkinan pelanggaran data.

d.    Peningkatan Kapasitas

Partisipasi dalam inisiatif sandbox dapat membantu meningkatkan kapasitas badan regulasi dan organisasi. Dengan berpartisipasi dalam lingkungan terkontrol ini, para pemangku kepentingan dapat memperoleh wawasan dan keahlian dalam keamanan siber dan pelindungan data.

Kesimpulan

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi juga merupakan langkah penting dalam melindungi hak asasi manusia terkait data pribadi di Indonesia. Dengan adanya regulasi ini, diharapkan penegakan hukum terhadap pelanggaran data pribadi dapat dilakukan dengan lebih efektif, memberikan jaminan kepada masyarakat, dan meningkatkan kesadaran serta kepatuhan terhadap pelindungan data pribadi. Implementasi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia menghadapi tantangan yang cukup besar, termasuk kekurangan teknis, hambatan regulasi dan hukum, faktor manusia, serta hambatan ekonomi dan sosial. Kebijakan Regulatory Sandbox menghadirkan pendekatan yang menjanjikan untuk mengatasi tantangan ini dengan mendorong inovasi, kolaborasi, dan mitigasi risiko. Dengan memanfaatkan kerangka kebijakan regulatory sandbox, Indonesia dapat meningkatkan strategi pelindungan data dan secara efektif melawan pencurian data, memastikan lingkungan digital yang aman bagi warganya.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalaan Hukum anda melalui: Link di sini.  atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.



[1] House Of Commons Standing Committee on Justice and Legal Affairs, Computer Crime, Final Report (1983), p. 12 and Sieber, Legal Aspects of Computer-Related Crime, (1998), p. 38.

[2] G. Urbas and K. R. Choo, Resource Materials on Technology-Enabled Crime, Technical and Background Paper No. 28 (AIC, 2008), p. 5.

[3] S. W. Brenner, ‘Cybercrime metrics: Old wine, new bottles?’ (2004) 9 Virginia Journal of Law and Technology 1, p. 4.

[4] Morris, The Future of Netcrime, p. vi.

[5] vide Pasal 12 UU PDP.

[6] Lihat Pasal 58 ayat (1), (2) dan (3) UU PDP

[7] Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU PDP

Formulir Isian