layananhukum

Aturan Bebas Bersyarat dalam Hukum Pidana yang Wajib Kamu Tahu

 

Sejarah pembebasan bersyarat sangatlah kompleks dan telah berkembang seiring berjalannya waktu, dan berbagai negara memiliki pengalaman uniknya masing-masing mengenai pengaturan akan pembebasan bersyarat itu sendiri.

    Asal-usul

    Istilah “pembebasan bersyarat” atau dalam Bahasa Inggris “Parole” berasal dari kata Prancis parol, yang berarti “ucapan, kata-kata yang diucapkan” atau “janji”. Konsep pembebasan bersyarat berasal dari Inggris, Jerman, dan Spanyol sekitar waktu yang sama, dan dikaitkan dengan pembebasan para tahanan yang berjanji tidak akan mengulangi perbuatan mereka selama Abad Pertengahan (The Middle Ages).[1]

    Dalam catatan Sejarah, pengakuan oleh hukum pertama kalinya untuk memperpendek pidana penjara sebagai hadiah atas kelakuan baik (good behavior) dari Para Terpidana adalah dengan adanya Undang-Undang tentang Waktu Baik atau “good time law” yang berlaku pada tahun 1817.

    Kemudian, sistem pembebasan bersyarat pertama didirikan di Elmira Reformatory di New York, yang mana Zebulon Brockway selaku Kepala Penjara atau yang kini dikenal dengan Lembaga Pemasyarakatan, melakukan kebijakan yang berbeda dari banyak kebijakan tentang kepenjaraan pada masa itu karena ia berfokus pada reformasi narapidana menggunakan metode psikologis, bukan fisik.

    Sebelumnya, narapidana diharuskan untuk mematuhi “trinitas suci” atau “the holy trinity” yaitu diam (silence), patuh (obedience) dan bekerja keras (labor). Terkadang terdapat hukuman tidak dapat ditentukan. Barulah seorang Narapidana dibebaskan setelah sipir memutuskan bahwa mereka telah “membayar utang mereka kepada masyarakat” atau belum. Sebaliknya, Elmira berupaya melakukan reformasi dan rehabilitasi. Brockway membuat sistem insentif untuk mendorong disiplin diri pada setiap individu narapidana.

    Tidak heran ia disebut sebagai “Father of prison reform” – Bapak Reformasi Penjara dan “Father of American parole” – Bapak Pembebasan Bersyarat Amerika di Amerika Serikat.

    Dengan adanya Sistem ini maka konsep dalam Penologi yang kita kenal dengan adagiumnya dari zaman Hammurabi yaitu “Lex Talionis” – ius talionis atau eye for an eye atau mata ganti mata, yang kita kenal dengan teori retributif berubah menjadi suatu penghukuman yang lebih dekat dengan teori reformatif dalam pemidanaan. seperti kutipan dari Mahamat Gandhi, “Condemn the Sin, not the Sinner”.

    Sejarah Modern

    Pada tahun 1905, Texas mengesahkan undang-undang pembebasan bersyarat pertamanya, yang memberikan wewenang kepada Dewan Komisaris Penjara dan Dewan Penasihat Pengampunan untuk membuat aturan dan regulasi guna membebaskan narapidana tertentu.

    Pada tahun 1967, New York mengeluarkan undang-undang yang memberikan wewenang kepada Dewan Pembebasan Bersyarat untuk memberikan pembebasan bersyarat kepada orang-orang yang menjalani hukuman pasti dan mereka yang berada di lembaga pemasyarakatan setempat.

    Pembebasan bersyarat berbeda dari pengampunan, amnesti, atau pengurangan hukuman karena narapidana yang dibebaskan bersyarat masih dianggap menjalani hukumannya dan dapat dikembalikan ke penjara jika melanggar ketentuan pembebasan bersyarat. Ini juga mirip dengan masa percobaan, tetapi pembebasan bersyarat dilakukan setelah menjalani hukuman penjara, sementara masa percobaan dapat diberikan sebagai pengganti hukuman penjara.

    Sejarah Pembebasan Bersyarat di Indonesia

    Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah pelepasan bersyarat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri.[2]

    Kemudian, pada Pasal 15 KUHP yang diubah dengan Stb 1926-251 jo. 486, yang merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku hingga sekarang, disebutkan, pelepasan bersyarat dapat diberikan kepada terpidana yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari lama pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang kurangnya harus 9 (sembilan) bulan, dimana ketentuan ini juga berlaku pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan sebagaimana ketentuan Penjelasan Pasal 14 huruf k Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang telah dicabut dengan adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

    Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelepasan bersyarat, yaitu KUHP dan Ordonansi Pelepasan Bersyarat (Voorwaardelijke Invrijheidsteeling) S. 1917-749, tidak terdapat ketentuan mengenai bimbingan dan pembinaan terhadap terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat. Hal tersebut berbeda pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan, yakni terdapat pengaturan mengenai bimbingan dan pembinaan dalam ketentuan pembebasan bersyarat, yaitu dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat wajib mengikuti bimbingan yang diberikan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS). (vide Pasal 6 ayat (3) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan)

    Pengertian Pembebasan Bersyarat

    Sebagaimana Penjelasan Pasal 10 huruf f Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Pemasyarakatan” menyatakan bahwa:

    “Yang dimaksud dengan “pembebasan bersyarat” adalah proses Pembinaan Narapidana di luar Lapas untuk mengintegrasikan dengan keluarga dan masyarakat.”

    Sedangkan, menurut ketentuan Pasal 1 Angka 6 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat yang selanjutnya disebut dengan “Permenkumham tentang Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat” yang menyatakan:

    “Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat adalah program pembinaan untuk mengintegrasikan Narapidana dan Anak ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.”

    Pengertian Narapidana

    Apa maksudnya “Pembinaan Narapidana”? Siapa yang dimaksud Narapidana di sini? Begini, sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 6 UU tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa:

    “Narapidana adalah terpidana yang sedang menjalani pidana penjara untuk waktu tertentu dan seumur hidup atau terpidana mati yang sedang menunggu pelaksanaan putusan, yang sedang menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan.”

    Sebagaimana disebutkan di atas, yang dimaksud dengan Narapidana itu ada beberapa macam antara lain:

    1.        Narapidana adalah terpidana yang sedang menjalani pidana penjara untuk waktu tertentu;

    2.       Narapidana adalah terpidana seumur hidup;

    3.      Narapidana adalah terpidana mati yang sedang menunggu pelaksanaan putusan.

    Dan kesemua yang tersebut di atas mereka sedang menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Sampai di sini sedikit pahami bukan, ternyata narapidana itu ada perbedaan dalam hal pidana apa yang mereka jalani.

    Kemudian, mereka yang disebut dengan “Narapidana” tadi, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan mereka memiliki hak yang jamin oleh hukum, antara lain:

    “Narapidana berhak:

    a.     menjalankan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

    b.     mendapatkan perawatan, baik jasmani maupun rohani;

    c.     mendapatkan pendidikan, pengajaran, dan kegiatan rekreasional serta kesempatan mengembangkan potensi;

    d.     mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak sesuai dengan kebutuhan gizi;

    e.     mendapatkan layanan informasi;

    f.      mendapatkan penyuluhan hukum dan bantuan hukum;

    g.     menyampaikan pengaduan dan/atau keluhan;

    h.     mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak dilarang;

    i.      mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dilindungi dari tindakan penyiksaan, eksploitasi, pembiaran, kekerasan, dan segala tindakan yang membahayakan fisik dan mental;

    j.       mendapatkan jaminan keselamatan kerja, upah, atau premi hasil bekerja;

    k.     mendapatkan pelayanan sosial; dan

    l.       menerima atau menolak kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat.”

    Ketentuan tentang Pembebasan Bersyarat

    Di samping hak-hak yang tersebut di atas, disebutkan juga sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang tentang Pemasyarakatan menyatakan:

    (1)      Selain hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali juga berhak atas:

    a.     remisi;

    b.     asimilasi;

    c.     cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga;

    d.     cuti bersyarat;

    e.     cuti menjelang bebas;

    f.      pembebasan bersyarat; dan

    g.     hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pembebasan bersyarat sebagaimana disebutkan di atas merupakan hak dari narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali. Persyaratan tertentu sebagaimana yang dimaksud, antara lain:

    a.       berkelakuan baik;

    b.      aktif mengikuti program Pembinaan; dan

    c.       telah menunjukkan penurunan tingkat risiko. (vide Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang tentang Pemasyarakatan)

    Kemudian disebutkan juga, selain memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi Narapidana yang akan diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f juga harus telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua pertiga) dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan.

    Dan perlu dicatat ya, pembebasan bersyarat ini hanya berlaku bagi Narapidana yang sudah kami jelaskan di atas yaitu Narapidana yang merupakan terpidana yang sedang menjalani pidana penjara untuk waktu tertentu, sedangkan pemberian pembebasan bersyarat tidak berlaku bagi Narapidana yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup dan terpidana mati. (vide Pasal 10 ayat (4) UU tentang Pemasyarakatan)

    Persyaratan Pemberian Pembebasan Bersyarat

    Lebih lengkap mengenai pembebasan bersyarat ini dapat kita lihat dari persyaratan yang ada dalam ketentuan Pasal 82 Permenkumham tentang Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat yang menyatakan:

    Pembebasan Bersyarat dapat diberikan kepada Narapidana yang telah memenuhi syarat:

    a.     telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;

    b.     berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana;

    c.     telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat; dan

    d.     masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana.

    Kemudian, Syarat pemberian Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dibuktikan dengan kelengkapan dokumen:

    a.       salinan kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan;

    b.      laporan perkembangan pembinaan sesuai dengan sistem penilaian pembinaan Narapidana yang ditandatangani oleh Kepala Lapas;

    c.       laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Bapas;

    d.      surat pemberitahuan ke kejaksaan negeri tentang rencana pengusulan pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana pemasyarakatan yang bersangkutan;

    e.       salinan register F dari Kepala Lapas;

    f.        salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas;

    g.      surat pernyataan dari Narapidana tidak akan melakukan perbuatan melanggar hukum; dan

    h.      surat jaminan kesanggupan dari pihak Keluarga, wali, Lembaga Sosial, instansi pemerintah, instansi swasta, atau yayasan yang diketahui oleh lurah, kepala desa, atau nama lain yang menyatakan bahwa:

    1.      Narapidana tidak akan melarikan diri dan/atau tidak melakukan perbuatan melanggar hukum; dan

    2.     membantu dalam membimbing dan mengawasi Narapidana selama mengikuti program Pembebasan Bersyarat. (vide Pasal 83 ayat (1) Permenkumham tentang Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat)

    Dalam hal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud tidak mendapatkan balasan dari Kejaksaan Negeri paling lama 12 (dua belas) Hari terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan dikirim, Pembebasan Bersyarat tetap diberikan.[3]

    Sedangkan, bagi Narapidana warga negara asing selain memenuhi syarat sebagaimana dimaksud juga harus melengkapi dokumen:

    a.       surat jaminan tidak melarikan diri dan akan menaati persyaratan yang telah ditentukan dari:

    1.      kedutaan besar/konsuler; dan

    2.     Keluarga, orang, atau korporasi yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Narapidana, selama berada di wilayah Indonesia;

    b.      surat keterangan dari Direktur Jenderal Imigrasi atau pejabat imigrasi yang ditunjuk yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban memiliki izin tinggal; dan

    c.       surat keterangan tidak terdaftar dalam red notice dan jaringan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya dari Sekretariat National Central Bureau-Interpol Indonesia.[4]

     Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diajukan oleh Direktur Jenderal kepada Direktur Jenderal Imigrasi.[5] Kemudian, Direktur Jenderal Imigrasi menyampaikan surat keterangan sebagaimana dimaksud paling lama 12 (dua belas) Hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima.[6]

    Tata Cara Pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana

    Bahwadalam Pemberian Pembebasan Bersyarat dilaksanakan melalui sistem informasi pemasyarakatan.[7] Sistem informasi pemasyarakatan sebagaimana dimaksud merupakan sistem informasi pemasyarakatan yang terintegrasi antara Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, Kantor Wilayah, dengan Direktorat Jenderal.[8]

    Untuk tata cara pemberian pembebasan bersyarat secara teknis, disebutkan bahwa petugas pemasyarakatan mendata Narapidana yang akan diusulkan Pembebasan Bersyarat tersebut.[9] Pendataan sebagaimana dimaksud dilakukan terhadap syarat pemberian Pembebasan Bersyarat dan kelengkapan dokumen dari si Narapidana.[10] Kelengkapan dokumen tersebut wajib dimintakan setelah 7 (tujuh) Hari Narapidana berada di Lapas.[11] Kemudian, Kelengkapan dokumen tersebut wajib terpenuhi sebagaimana ketentuan paling lama 1/2 (satu per dua) masa pidana Narapidana berada di Lapas.[12]

    Kemudian, Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas akan merekomendasikan usul pemberian Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana kepada Kepala Lapas berdasarkan data Narapidana yang telah memenuhi persyaratan tersebut.[13] Dalam hal Kepala Lapas  menyetujui usul pemberian Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud Kepala Lapas akan menyampaikan usul pemberian Pembebasan Bersyarat kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah.[14]

    Kemudian, Kepala Kantor Wilayah akan melakukan verifikasi tembusan usul pemberian Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak tanggal usul Pembebasan Bersyarat diterima dari Kepala Lapas.[15] Hasil verifikasi usul Pembebasan Bersyarat tersebut, disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Direktur Jenderal.[16]

    Selanjutnya, Direktur Jenderal Pemasyarakatan akan melakukan verifikasi usul pemberian Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak tanggal usul pemberian Pembebasan Bersyarat diterima dari Kepala Lapas.[17] Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi tersebut terdapat perbaikan, Direktur Jenderal akan mengembalikan usul pemberian Pembebasan Bersyarat tersebut kepada Kepala Lapas untuk dilakukan perbaikan dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah.[18] Kepala Lapas wajib melakukan perbaikan usul pemberian Pembebasan Bersyarat tersebut paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak tanggal pengembalian usul pemberian Pembebasan Bersyarat diterima.[19]

    Hasil perbaikan usul pemberian Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud disampaikan kembali oleh Kepala Lapas kepada Direktur Jenderal untuk mendapatkan persetujuan dengan tembusan Kepala Kantor Wilayah.[20]

    Dalam hal Direktur Jenderal menyetujui usul pemberian Pembebasan Bersyarat tersebut, Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan keputusan pemberian Pembebasan Bersyarat.[21] Keputusan pemberian Pembebasan Bersyarat sebagaimana dimaksud disampaikan kepada Kepala Lapas untuk diberitahukan kepada Narapidana dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah.[22] Kemudian, Keputusan pemberian Pembebasan Bersyarat tersebut akan dicetak di Lapas dengan tanda tangan elektronik Direktur Jenderal atas nama Menteri.[23]

    Cara Menghitung Pembebasan Bersyarat

    Perlu diingat bahwa penghitungan menjalani masa pidana yang dilakukan terhitung sejak Narapidana dan Anak ditangkap atau ditahan.[24] Hanya saja, untuk menentukan masa penahanan adalah sejak ditangkap atau ditahan, terdapat 4 kemungkinan, antara lain:

    1.        Apabila hakim memutuskan masa penangkapan sebagai masa penahanan, maka masa pidana dihitung sejak narapidana ditangkap;

    2.       Apabila narapidana tidak pernah ditahan, maka masa menjalani pidana dihitung sejak tanggal menjalani putusan;

    3.      Apabila masa penahanan terputus, penetapan lamanya masa pidana dihitung sejak penangkapan atau penahanan terakhir dengan tetap memperhitungkan masa penahanan yang pernah dijalani; atau

    4.       Apabila ada penahanan rumah dan/atau kota, maka masa penahanan tersebut dihitung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[25]

    Mengingat pada hari ini, sebagaimana pemberitaan bahwa Terpidana Kasus Kopi Sianida, Jessica Kumala alias Jessica Kumala Wongso alias Jess diberikan pembebasan bersyarat jadi, kami akan mengambil contoh dalam perkara ini sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST., tanggal 24 Oktober 2016, yang dalam amar putusannya menyatakan:

    MENGADILI

    1.        MenyatakanTerdakwa Jessica Kumala alias Jessica Kumala Wongso alias Jess telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “Pembunuhan Berencana”;

    2.       Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 20 (dua puluh) Tahun;

    3.      Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah di jalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang telah di jatuhkan;

    Dapat dilihat di sini mari kita lihat bahwa Majelis Hakim dalam putusan tersebut di atas menetapkan masa penangkapan dihitung sebagai masa penahanan, maka perhitungan menjalani masa pidana tersebut terhitung sejak Jessica ditangkap yaitu sejak tanggal 30 Januari 2016. Berdasarkan penjelasan di atas artinya Jessica sudah menjalani masa pidananya sebanyak 8 (delapan) tahun 6 (enam) bulan.

    Kemudian, untuk mengitung pembebasan bersyarat Jessica, maka terlebih dahulu kita mencari tahu terlebih dahulu berapa 2/3 (dua pertiga) dari masa pidana yang sudah Jessica jalani dari 20 (dua puluh) tahun pidana penjara yang divonis hakim dan 2/3 (dua pertiga) dari 20 (dua puluh) tahun adalah 13 (tiga belas) tahun.

    Lalu, kenapa Jessica sudah mendapatkan Pembebasan Bersyarat padahal belum 13 (tiga belas) tahun menjalani pidana penjara?

    Penting untuk Anda perhatikan bahwa perhitungan 2/3 masa pidana sebagai syarat pembebasan bersyarat merupakan 2/3 dari masa pidana dikurangi dengan remisi dan dihitung sebagaimana ketentuan yang disebutkan di atas.[26] Berdasarkan informasi yang kami himpun, Jessica mendapatkan remisi sebanyak 58 (lima puluh delapan) bulan 30 (tiga puluh) hari atau 4 (empat) tahun 11 (sebelas) bulan, atau bisa dibilang hampir 5 (lima) tahun.

    Apabila berdasarkan rumus sebagai berikut:

    Bebas Bersyarat = 2/3  x (masa pidana - remisi)

    2/3 x (20 tahun – 58 bulan 30 hari) = 13 (tiga belas) Tahun 5 (Lima) Bulan.

    Artinya, pada tanggal 18 Agustus 2024 ini, sudah sesuai ketentuan bahwa Jessica mendapatkan Pembebasan Bersyarat Mengingat 8 (delapan) tahun 6 (enam) bulan + 58 bulan 30 hari (remisi) = 13 (tiga belas) Tahun 5 (Lima) Bulan.

    Kemudian disebutkan juga, selama menjalani PB, yang bersangkutan wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Timur-Utara dan akan menjalani pembimbingan hingga 27 Maret 2032.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] Franklin E. Zimring dan David T. Johnson, “The Oxford Companion to Crime and Punishment in America”, (Oxford University Press: England, 2009), 642.

    [2] R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, “Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia”, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1979), 17.

    [3] vide Pasal 83 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [4] vide Pasal 83 ayat (3) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [5] vide Pasal 83 ayat (4) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [6] vide Pasal 83 ayat (5) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [7] vide Pasal 94 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [8] vide Pasal 94 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [9] vide Pasal 95 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [10] vide Pasal 95 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [11] vide Pasal 95 ayat (3) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [12] vide Pasal 95 ayat (3) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [13] vide Pasal 96 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [14] vide Pasal 96 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [15] vide Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [16] vide Pasal 97 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [17] vide Pasal 98 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [18] vide Pasal 98 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [19] vide Pasal 98 ayat (3) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [20] vide Pasal 98 ayat (4) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [21] vide Pasal 99 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [22] vide Pasal 99 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [23] vide Pasal 99 ayat (3) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [24] vide Pasal 148 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [25] vide Pasal 148 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    [26] vide Pasal 149 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

    Formulir Isian