Pertanyaan
Selamat sore pak, mau nanya terkait kekuatan hukum dari kesaksian dari
korban anak di pengadilan yang memberatkan anak saya, sehingga hakim
mengesampingkan saksi-saksi fakta yang lebih berfokus pada keterangan anak
sebagai korban di sini? Selain itu kenapa sidangnya saya selaku keluarga
terdakwa tidak diizinkan menonton sidang? Bukankah sidang itu terbuka
untuk umum? Menurut bapak apakah secara hukum dapat dibenarkan? Terima
Kasih.
Jawaban
Pengantar
Sebelumnya Anda dapat membaca tulisan kami berikut “Memahami Sederhana Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana” untuk mendapatkan Gambaran Umum mengenai “Pembuktian” dalam Hukum Acara
Pidana.
Menurut M. Yahya Harahap:[1]
“Pembuktian merupakan salah satu bagian penting dalam hukum acara pidana
karena putusan hakim didasarkan atas bukti (kebenaran materiel) dan
keyakinan hakim. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara- cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.”
Dapat dikatakan bahwa tujuan adanya pembuktian adalah untuk membuktikan
apakah terdakwa (orang yang dibawa ke muka sidang oleh Penuntut Umum)
benar bersalah atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya atau tidak.
Membuktikan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa kemudian dijatuhi
hukuman, maka haruslah melalui proses pemeriksaan di persidangan, yaitu
dengan memperhatikan dan mempertimbangkan tentang pembuktian.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan
kesalahan yang didakwakan.
Satu di antara Proses Pemeriksaan di Persidangan dengan suatu agenda
Pembuktian adalah Pemeriksaan terhadap Keterangan Saksi, dan tidak menutup
kemungkinan Keterangan Saksi itu berasal dari Anak baik Anak sebagai
Korban dari Suatu Tindak Pidana atau Anak Sebagai Pelaku atau Anak sebagai
Saksi.
Mengingat, bahwa sebagaimana penjelasan
Pasal 159 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana
yang selanjutnya disebut dengan “KUHAP” dijelaskan bahwa menjadi saksi adalah suatu kewajiban setiap orang.
Oleh karena itu sesuatu yang telah ditetapkan oleh hukum sebagai kewajiban
harus dipenuhi. Penolakan atas kewajiban tersebut dapat disebut sebagai
Tindak Pidana sebagimana diatur dalam
Pasal 224 ayat (1) KUHPidana yang menyebutkan bahwa:
“Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut
undangundang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan
undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.”
Jadi, setiap orang wajib menjadi saksi apabila ia melihat,
mendengar ataupun mengalami sendiri suatu tindak pidana yang sedang
diperiksa di depan sidang pengadilan.
Batasan yang diberikan oleh Undang-Undang mengenai kesaksian yang
diberikan oleh seorang anak tidak diatur secara rinci. Seorang anak
tentunya mempunyai jiwa yang sangat labil, sehingga hal-hal yang
dilakukan, diperbuat, maupun dialaminya kadang kurang mendapatrespon dari
orang-orang sekitarnya, karena status mereka maka anak belum diakui
kapasitas legalnya (legal capacity). Secara yuridis formal (hukum)
kesaksian anak sebagai korban atau saksi korban tidak cukup kuat untuk
dijadikan sebagai alat bukti.
Khusus terhadap seorang anak yang melihat, mendengar ataupun mengalami
sendiri suatu tindak pidana dengan menyebutkan alasan dari
pengetahuannyatentang tindak pidana yang sedang diperiksa, oleh
undang-undang sebenarnya tidak dilarang untuk menjadi saksi pada
pemeriksaan sidang pengadilan. Mereka boleh memberikan keterangan tanpa
sumpah, hal ini diatur di dalam Pasal 171 butir a KUHAP.
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah sebagaimana
diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP keterangan saksi juga
sebagai alat bukti yang utama dalam pembuktian perkara pidana pada suatu
persidangan sebagaimana yang sudah kami jelaskan di atas. Dalam sistem
peradilan pidana alat bukti memiliki kedudukan yang penting dalam
menentukan bersalah atau tidaknya seseorang yang sedang berhadapan dengan
hukum.
Kategori-Kategori Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Ada baiknya kita memahami terlebih dahulu mengenal 3 (tiga) kategori anak
yang berhadapan dengan hukum, lantas apa yang dimaksud dengan Anak yang
Berhadapan dengan Hukum, sebagaimana ketentuan
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
atau yang selanjutnya disebut dengan “Undang-Undang tentang SPPA”, yang menyebutkan bahwa:
“Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah
anak yang berkonflik dengan hukum,
anak yang menjadi korban tindak pidana, dan
anak yang menjadi saksi tindak pidana.”
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang tentang SPPA menyebutkan bahwa:
“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”
Kemudian,
Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang tentang SPPA menyebutkan
bahwa:
“Anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum
berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Dan, sebagaimana ketentuan
Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang tentang SPPA menyebutkan
bahwa:
“Anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berumur
18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.”
Keabsahan Keterangan Anak Saksi
Sebelumnya perlu dipahami bahwa keterangan saksi memiliki peran penting
karena dapat menjadi satu di antara alat bukti dalam pembuktian suatu
tindak pidana. Untuk menentukan derajat nilai pembuktian dari keterangan
saksi, seorang saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji sebelum
memberikan keterangan.
Dalam perkara pidana yang melibatkan anak sebagai saksi tindak pidana, UU
SPPA menyebutnya dengan istilah anak saksi. Keterangan anak saksi sangat
diperlukan, baik dalam proses penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan
persidangan.
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 29 KUHAP menyebutkan keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam KUHAP.
Dengan demikian, KUHAP memberikan batasan yang lebih luas bahwa
keterangan anak dapat dimaknai sebagai keterangan dari anak pelaku, anak
korban, maupun anak saksi. Sedangkan UU SPPA mengatur lebih spesifik
mengenai anak yang menjadi saksi dalam perkara pidana, yaitu yang
mendengar, melihat, dan/atau mengalaminya sendiri.
Namun permasalahannya, bagaimana keabsahan keterangan anak saksi sebagai
alat bukti? Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa untuk
menentukan derajat nilai pembuktian keterangan saksi, maka saksi wajib
mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberikan keterangannya sebagaimana
diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP.
Akan tetapi, Pasal 171 huruf a KUHAP justru mengatur sebagai berikut:
“Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah anak
yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin.”
Dalam penjelasannya, keterangan anak di bawah umur dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, oleh sebab itu
mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji, dan keterangan mereka hanya
dipakai sebagai petunjuk saja.[2]
Hal ini bersesuaian dengan ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang
lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan
keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti sah yang lain.”
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keterangan yang
diberikan oleh anak saksi yang berusia kurang dari 15 (lima belas) tahun
dan belum pernah kawin, bukan merupakan alat bukti keterangan saksi yang
sah karena keterangan yang diberikan tersebut tidak disumpah, sehingga
hanya dapat dipergunakan sebagai petunjuk, atau apabila keterangan itu
memiliki kesesuaian dengan keterangan saksi yang disumpah dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah lainnya.
Patut diperhatikan, dengan dianutnya sistem pembuktian negatif
sebagaimana tercantum Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Sehingga, dalam suatu pembuktian di persidangan nantinya dibutuhkan
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah, dan tidak ada ketentuan
KUHAP yang menentukan bahwa salah satu alat bukti haruslah berupa
keterangan saksi, sehingga baik penyidik maupun penuntut umum dapat
melengkapi berkas perkara dengan dukungan alat bukti yang sah lainnya.
Akan tetapi yang ingin kami jelaskan juga begini; anak dapat menjadi
seorang saksi atau memberikan kesaksian sebagaimana yang diatur secara
khusus dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, pada dasarnya dalam memberikan kesaksian, seorang anak harus dilakukan
di muka peradilan untuk menjadikan keterangannya sebagai penilaian hakim
namun, dalam praktiknya keterangan saksi anak dapat diberikan tanpa
kehadiran anak tersebut secara langsung di muka persidangan. Hal ini
memandang batasan umur anak yang belum mencapai 15 (lima belas) tahun dan
keterangan saksi tersebut masih bisa dijadikan sebagai penilaian hakim
dalam memutuskan perkara.
Untuk seorang anak yang umurnya belum mencapai 15 (lima belas) tahun
pemberian keterangan saksinya tanpa disumpah dan untuk anak yang umurnya
di atas 15 (lima belas) tahun akan di sumpah terlebih dahulu sebelum
memberikan kesaksian. Kekuatan keterangan saksi anak baik yang berumur
dibawah atau diatas 15 (lima belas) tahun mempunyai nilai apabila terdapat
kesesuaian antara saksi satu dengan yang lain, dan bersesuaian pula dengan
alat bukti yang lain.
Selanjutnya untuk memenuhi ketentuan bahwa keterangan saksi anak dapat
dipakai sebagai tambahan alat bukti maupun untuk menguatkan keyakinan
hakim, maka sebelumnya harus terlebih dahulu ada alat bukti sah lainnya
sebagaimana telah ditentukan secara limitative di dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang dipersiapkan oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU) dan selanjutnya diajukan ke persidangan pengadilan
dalam pembuktian kesalahan terdakwa.
Kekuatan keterangan saksi anak sebagai alat bukti dalam pembuktian
perkara pidana dapat diterima sebagai alat bukti yang sah dalan
persidangan. Namun untuk dapat diterimanya keterangan saksi anak dalam
pembuktian perkara pidana, hakim juga harus memperhatikan hal-hal lain
seperti melihat latar belakang keseharian, dan tata kesusilaan saksi serta
segala sesuatu yang pada umumnya mempengaruhi dapat tidaknya keterangan
tersebut untuk dinilai oleh hakim. Meskipun kekuatan keterangan saksi anak
dapat digunakan sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana masih
terdapat kendala dalam penggunaan saksi anak di Pengadilan, antara lain
sebagai berikut:
1. Memberikan keterangan secara bertele-tele (terbata-bata);
2.
Susah menjawab pertanyaan yang diajukan oleh hakim;
3. Dalam proses persidangan saksi anak tersebut mengalami ketakutan;
4. Karena saksi masih dibawah umur maka dalam kesaksiannya saksi anak
tersebut sulit untuk mengutarakan sesuatu.
Hal ini dapat berpengaruh mengurangi penilaian hakim untuk menentukan
kebenaran dari keterangan saksi tersebut.
Selain itu berdasarkan pengalaman kami juga di lapangan penyidik
kepolisian dalam rangka membantu anak untuk dapat memberikan kesaksian
yang baik, mereka akan mengandeng Tenaga Profesional seperti dari instansi
terkait yang membidang Perlindungan Anak, Psikolog, dan juga Pekerja
Sosial, hal itu juga diatur dalam ketentuan
Pasal 27 ayat (3)
Undang-Undang tentang SPPA
yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi,
Penyidik wajib meminta laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau
Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau
diadukan.”
Kedudukan Kesaksian Anak Korban
Dalam suatu peristiwa pidana yang melibatkan seorang anak sebagai
korbannya, ia dapat menjadi saksi untuk memberikan keterangan sesuai
dengan apa yang dilihat, didengar, atau dialaminya. Selanjutnya dalam
menjalani proses pemeriksaan, anak saksi tidaklah sendiri
melainkan wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang
dipercaya anak saksi. Demikian bunyi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang SPPA.
Selain itu, anak saksi berhak atas perlindungan dan hak antara lain upaya
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun
di luar lembaga, jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial,
dan kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
(vide Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang tentang SPPA)
Ketentuan Persidangan Pidana yang Melibatkan Anak
Betul, yang Anda katakan sebagaimana ketentuan
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menyatakan bahwa:
“Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali
undang-undang menentukan lain.”
Ada frasa “kecuali undang-undang menentukan lain,” ini yang menjadi
alasan kenapa sidang terhadap anak itu tertutup untuk umum karena berlaku
aturan hukum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Mari kita lihat beberapa ketetuan hukum sebagai berikut:
Ketentuan
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
yang menyatakan bahwa:
“Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
1. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari
orang dewasa;
2. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
3. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif
dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.”
Kemudian, ketentuan
Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
yang menyebutkan bahwa:
“Perlindungan Khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui:
a. perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya;
b. pemisahan dari orang dewasa;
c. pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. pemberlakuan kegiatan rekreasional;
e. pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya;
f. penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup;
g. penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai
upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. pemberian keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. penghindaran dari publikasi atas identitasnya;
j. pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh
Anak;
k. pemberian advokasi sosial;
l. pemberian kehidupan pribadi;
m. pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak Penyandang Disabilitas;
n. pemberian pendidikan;
o. pemberian pelayanan kesehatan; dan
p. pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Serta ketentuan
Pasal 54 Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang menyebutkan bahwa:
“Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk
umum, kecuali pembacaan putusan.”
Pada dasarnya penyelesaian suatu perkara pidana berdasarkan KUHAP dibagi
kedalam empat tahap yaitu tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan dimuka sidang pengadilan. Pada prinsipnya persidangan
dilakukan dengan asas terbuka untuk umum tetapi ada sidang
tertentu yang mengenyampingkan asas terbuka untuk umum, yaitu persidangan
anak dan tindak pidana asusila.[3]
Pada persidangan anak dilakukan secara tertutup untuk melindungi anak
tersebut sehingga pada persidangan diberlakukan hal-hal yang berbeda pula
dari persidangan orang dewasa.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalaan Hukum anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1]
M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali”, Sinar Grafika: Jakarta, 2000, 252.
[2]
Waluyadi, “Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana”, Bandung: CV Mandar
Maju, 1999, 103.
[3]
vide Pasal Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)