Pertanyaan
Selamat pagi kak, ingin bertanya terkait dengan apa saja hak-hak yang
wajib dipenuhi sama suami saya setelah kami resmi bercerai di Pengadilan
Agama dan apa konsekuensinya kalau dia tidak memenuhi kewajibannya? Serta
apa saja Langkah-langkah hukum yang dapat saya tempuh agar hak-hak saya
terpenuhi, terima kasih atas perhatiannya.
Jawaban
Pengantar
Bahwa perlu Anda ketahui, sejumlah peraturan perundang-undangan di
Indonesia telah mengatur hak-hak perempuan setelah perceraian. Sebagaimana
ketentuan
Pasal 41 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
yang selanjutnya disebut sebagai “UU tentang Perkawinan” menyatakan bahwa:
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.”
Dari ketentuan Pasal tersebut di atas senyatanya sudah memberikan
kewajiban terhadap mantan suami yang mana mantan suami harus menjamin
keperluan hidup bagi mantan istrinya. Selain diatur dalam UU tentang
Perkawinan, hak-hak perempuan juga diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengingat Anda beragama Islam
sehingga tunduk pada ketentuan KHI.
Catatan menarik di sini juga adalah KHI tidak menyebutkan hak istri
(Anda) setelah menggugat cerai suami secara eksplisit. Namun, yang jelas,
KHI menyatakan hak istri setelah menceraikan suaminya adalah mendapat
nafkah idah dari bekas suaminya, kecuali ia nusyuz, ketentuan ini
ada pada Pasal 152 KHI.
Menurut KBBI, yang dimaksud dengan nusyuz adalah perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suami (tanpa alasan) yang tidak dibenarkan oleh hukum. Untuk lebih jelas penjelasan nusyuz ini dapat dilihat di sini. Lebih lanjut, KHI menerangkan bahwa istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban utama,[1] yakni berbakti lahir dan batin kepada suaminya di dalam batas-batas yang dibenarkan hukum Islam.[2] Kemudian, bilamana lian terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.[3] Arti lian menurut KBBI adalah sumpah seorang suami dengan tuduhan bahwa istrinya berzina, sebaliknya istrinya juga bersumpah dengan tuduhan bahwa suaminya bohong. Masing-masing mengucapkannya empat kali, sedangkan yang kelima mereka berikrar bersedia mendapat laknat Allah jika berdusta. Akibatnya, suami istri itu bercerai dan haram menikah kembali seumur hidup.
Hak-Hak Istri dan Anak Setelah Perceraian
Sebagaimana diatur dalam Pasal 149 KHI menyatakan
bahwa:
“Bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mu’tah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut Qabla al-dukhul;
b. Memberikan nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri
selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in
atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila
Qabla al-dukhul;
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.”
Sebagaimana ketentuan di atas dapat dikatakan bahwa kewajiban dari mantan
suami yaitu berupa mut’ah, nafkah iddah dan nafkah untuk
anak-anak. Dalam hal ini walau pun tidak adanya suatu tuntutan dari isteri
majelis hakim dapat menghukum mantan suami membayar kepada mantan isteri
berupa nafkah mut’ah, nafkah iddah dan nafkah anak
Hak-Hak Istri
Pasca terjadinya perceraian dari Mantan Suami, berhak mendapat:
a. Mut’ah (penghibur), pemberian dari mantan suami kepada mantan istrinya yang dijatuhi talak
baik berupa uang atau benda lainnya;
b. Nafkah Iddah (nafkah dalam masa tunggu), adalah nafkah yang wajib diberikan oleh mantan suami kepada mantan
istri yang dijatuhi talak selama mantan istri menjalani masa
iddah (masa tunggu), kecuali jika mantan istrinya melakukan
nusyuz (pembangkangan);
c. Nafkah Madhiyah (nafkah masa lampau), adalah nafkah terdahulu yang dilalaikan atau tidak dilaksanakan oleh
mantan suami kepada mantan istri sewaktu keduanya masih terikat perkawinan
yang sah;
d. Hadhanah (pemeliharaan anak), adalah hak pemeliharaan atas anak yang belum mumayyiz (terlihat fungsi akalnya) atau belum berumur 12 tahun, atau anak yang telah berumur 12 tahun atau lebih namun memilih dipelihara oleh ibunya.
Artinya, ada 4 (empat) hak yang wajib suami wajib penuhi bagi istri
mereka sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas. Karena sudah menjadi
tugas dan tanggung jawab suami untuk memenuhi kewajibannya terhadap bekas
istrinya.
Sedangkan, Hak-Hak Anak Pasca terjadinya perceraian, berhak mendapat:
a. Nafkah Madhiyah Anak (nafkah lampau anak), adalah nafkah terdahulu
yang dilalaikan atau tidak dilaksanakan oleh ayah (mantan suami) kepada
anaknya sewaktu anak tersebut belum dewasa dan mandiri (berusia 21
tahun).
b. Biaya Hadhanah (pemeliharaan) dan nafkah anak, adalah biaya
pemeliharaan dan nafkah untuk anak yang hak hadhanah (hak pemeliharaannya)
telah ditetapkan kepada salah satu dari orang tuanya atau keluarga lain yang
menggantikannya.[4]
Selain daripada anak, suami juga berhak memenuhi hak dari anak-anaknya sebagaimana itu memang kewajibannya disamping yang diberikannya kepada bekas istrinya.
Penahanan Akta Cerai Tergugat (Suami) oleh Pengadilan Agama sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Perempuan (Istri)
Kabar baiknya adalah dengan diterbitkannya
Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1669/DJA/HK.00/5/2021 tentang Jaminan Pemenuhan
Hak-Hak Perempuan Dan Anak Pasca Perceraian, dalam hal ini, baik ditinjau dari segi yuridis formil maupun materil,
tertulis jelas bahwa berdasarkan Sifat dari Surat Edaran itu sendiri
adalah “Penting” sebagaimana yang tercantum pada bagian sudut kiri surat
tersebut adalah demikian nyatanya dan seharusnya.
Bahwa substansi dan tujuan terbitnya surat tersebut memanglah penting dan
harus untuk segera dilaksanakan. Surat tersebut terdiri dari 21 (dua puluh
satu) halaman, melampirkan blanko atau format khusus pada perkara
perceraian, baik perkara cerai gugat (dari istri ke suami) maupun cerai
talak (dari suami ke istri), baik pada persidangan secara e-court maupun
format surat gugatan yang persidangannya hendak dilaksanakan secara
manual. Terdapat beberapa kolom posita dan petitum yang sudah tersedia,
mulai dari identitas, jumlah anak, posita tentang seberapa lama suami
isteri telah pisah rumah, seberapa lama suami telah melalaikan
kewajibannya, hingga kolom untuk menentukan jumlah rupiah yang akan
dituntut oleh si istri kepada suaminya.
Kemudian, di dalam terdapat jumlah rupiah atau barang berharga apa yang
akan dituangkan oleh para pihak, dalam surat tersebut tidak ada penjelasan
maksimum atau minimum nominal. Soal nominal tergantung kemauan para pihak,
pun yang akan menentukan adalah majelis hakim di persidangan, tak diisi
pun juga tak dipaksakan.
Secara tersirat, kolom kosong tersebut menurut kami merupakan sebuah
instrumen pengenal dan penawaran kepada para pihak yang berperkara tentang
sederetan nafkah yang dapat dituntut oleh istri kepada suami melalui
Pengadilan Agama, baik itu berupa nafkah iddah, mut’ah,
nafkah lampau, bahkan penentuan hak pengasuhan dan nafkah anak.
Sedikit informasi penting, perlu diketahui bahwa apabila terjadi cerai talak; suami tidak akan bisa menjatuhkan talak kepada istrinya sebelum semua kewajiban-kewajibannya ia tunaikan dan diberikan kepada si istri. Sedangkan, untuk cerai gugat, Panitera akan menahan Akta Cerai Tergugat (suami), sebagai upaya yang dilakukan Pengadilan Agama agar hak-hak yang sudah seharusnya diterima oleh istri dapat segera mantan suami tunaikan.
Artinya, bahwa tuntutan pembayaran atas nafkah-nafkah tersebut dapat
tereksekusi dengan baik, dengan cara Akta Cerai si suami ditahan oleh
Panitera Pengadilan sebagai jaminan. Akta cerai itulah yang merupakan
bukti otentik tentang status seseorang yang telah bercerai dan juga
dijadikan syarat oleh Kantor Urusan Agama (KUA) untuk dapat bagi seseorang
menikah lagi. Sekiranya untuk menghindari adanya pembatalan nikah yang
hendak dilangsungkan di kemudian hari, maka Akta Cerai harus diserahkan
terlebih dahulu oleh mantan suami yang kini berstatus duda kepada KUA
sebelum ia menikah lagi.
Akta cerai ini menjadi jaminan hingga sang mantan suami melunasi segala
nafkah yang diajukan oleh sang istri yang dikabulkan oleh Majelis Hakim.
Soal besar atau tidaknya jumlah nominalnya, berat atau tidaknya rasanya,
ikhlas atau tidaknya, intinya harus terbayarkan sebelum Akta Cerai
diberikan oleh Pengadilan Agama.
Kita ambil contoh, sebagaimana
Putusan Pengadilan Agama Pontianak Nomor 123/Pdt.G/2023/PA.Ptk
tanggal 14 Maret 2023, yang dalam amarnya menyatakan:
MENGADILI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menjatuhkan talak satu bain shughra Tergugat (TERGUGAT) terhadap
Penggugat (PENGGUGAT);
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat sebelum mengambil
akta cerai
berupa:
a. Nafkah selama masa iddah sejumlah Rp18.000.000 (delapan belas juta
rupiah);
b. Mut’ah berupa uang sejumlah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah);
4. Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah anak bernama ANAK II, Laki-laki
(Umur 14 Tahun), Lahir di Pontianak, tanggal 11 Juli 2008 sejumlah
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap bulan sampai anak tersebut dewasa
dan mandiri (21 tahun) dengan kenaikan sejumlah 20 % (dua puluh persen)
per tahun diluar biaya pendidikan dan kesehatan;
5. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sejumlah
Rp295.000,00 (dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah).
Kemudian, dalam satu di antara Pertimbangan Hukumnya Majelis Hakim
berpendapat bahwa:
“Berdasarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019
kewajiban membayar mut’ah dan nafkah selama masa iddah tersebut adalah
sebelum Tergugat mengambil akta cerai untuk memberi perlindungan hukum
terhadap hak-hak Penggugat pasca perceraian, sebagaimana ketentuan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017
tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum;”
Putusan di atas, adalah putusan pengadilan yang mana istri yang
mengajukan perceraian di muka sidang pengadilan agama, untuk contoh
lainnya yaitu dalam cerai talak yaitu suami sebagai Pemohon Cerai Talak,
kita ambil contoh Putusan Pengadilan pada
Putusan Pengadilan Agama Pontianak Nomor 491/Pdt.G/2023/PA.Ptk, tanggal 22 Juni 2023, yang mana dalam amar putusannya Majelis Hakim
mengadili sebagai berikut:
MENGADILI
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Memberi izin kepada Pemohon (PEMOHON) untuk menjatuhkan talak satu raj’i
terhadap Termohon (TERMOHON) di depan sidang Pengadilan Agama
Pontianak;
3.
Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon sebelum ikrar talak
diucapkan, yaitu:
3.1 Nafkah madhiyah selama 2 (dua) bulan sejumlah Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah);
3.2 Nafkah iddah selama 3 (tiga) bulan semjumlah Rp. 1.500.000,- (satu juta
lima ratus ribu rupiah);
3.3 Mut’ah berupa sehelai baju gamis.
4. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp 161.000.00 (seratus enam puluh satu ribu rupiah);
Sebagaimana sudah kami terangkan di atas bahwa Nafkah Iddah,
Mut’ah, Madliyah serta Nafkah anak wajib dibayarkan oleh
mantan suami sebelum pengucapan ikrar talak dilakukan dihadapan Pengadilan
Agama. Pihak mantan suami tidak dapat mengucapkan ikrar talak jika belum
membayar nafkah iddah, mut’ah, madliyah dan nafkah anak
selama 1 (satu) bulan pertama. Hal ini juga diatur dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 yang selanjutnya
disebut “SEMA 1/2017” yang menyatakan:
“ ………maka pembayaran kewajiban akibat perceraian, khususnya nafkah
iddah, mut’ah dan nafkah madliyah, dapat dicantumkan dalam amar
putusan dengan kalimat dibayar sebelum pengucapan ikrar talak. Ikrar talak
dapat dilaksanakan bila isteri tidak keberatan atas suami tidak membayar
kewajiban tersebut pada saat itu.”[5]
Selain itu dapat juga dilihat dari dalam Lampiran
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018
yang selanjutnya disebut “SEMA 3/2018”, di mana hak istri setelah menggugat cerai suami dapat berupa nafkah
madhiyah, nafkah idah, nafkah mutah, dan nafkah anak sepanjang tidak
nusyuz (lihat halaman 15). Namun, hakim dalam menetapkan nafkah
madhiyah, nafkah idah, nafkah mutah, dan nafkah anak, harus
mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta
kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup istri dan/atau
anak (lihat halaman 14).
Berdasarkan putusan dan edaran tersebut, tidak tertutup kemungkinan dalam
perkara cerai gugat, pihak penggugat (istri) dapat mengajukan hak istri
setelah menggugat cerai suami berupa nafkah madhiyah, nafkah idah, nafkah
mutah, dan nafkah anak sepanjang tidak nusyuz. Namun menurut hemat kami,
dikabulkannya permohonan hak istri setelah menggugat cerai suami ini
sifatnya kasuistik, tergantung alasan dan kondisi-kondisi yang terjadi.
Termasuk kemampuan ekonomi suami yang tentu saja terdampak oleh kondisinya
yang sakit.
Upaya Hukum yang Dapat Mantan Istri Tempuh Setelah Adanya Putusan Pengadilan
Upaya hukum yang bisa dilakukan istri agar hak-haknya pasca perceraian
itu diberikan oleh mantan suaminya adalah selain melakukan gugatan terkait
hak-hak istri seperti nafkah iddah, mu’tah, dan hak asuh
anak apabila dalam amar putusan tercantum nafkah-nafkah tersebut, istri
juga dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan
agar hak-haknya tersebut terpenuhi.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalaan Hukum anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1]
vide Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
[2] vide Pasal 83 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
[3] vide Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
[4]
Pengadilan Agama Cimahi, “Hak-Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian”, https://www.pa-cimahi.go.id/layanann-hukum/hak-hak-perempuan-dan-anak-pasca-perceraian, dikunjungi pada 07 Juni 2024, Jam 10.14 WIB.
[5] Lihat SEMA Nomor 1 Tahun 2017.