layananhukum

Dasar Hukum Pelafalan Sumpah Saksi di Pengadilan

 

Pertanyaan

Selamat sore kak, mau nanya terkait dengan Pelafalan Sumpah terhadap Saksi yang biasanya diucapkan oleh satu di antara Majelis Hakim di Sidang di Pengadilan, baik Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Pengadilan Militer (Dilmil), itu dasarnya apa dari mana ya? Soalnya di KUHAP tidak ada lafal tersebut, mohon izin untuk dijawab. Terima Kasih.

Jawaban

    Pengantar

    Pertama-tama, mari kita lihat satu persatu aturan-aturan atau dasar hukum mengenai “Sumpah” yang harus diucapkan saksi di muka persidangan yang terhomat dan yang mulia sebagaimana ketentuan Pasal 1911 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau yang selanjutnya disebut dengan “KUHPerdata” atau Burgerlijk Wetboek (BW) yang menyatakan bahwa:

    “Tiap saksi wajib bersumpah menurut agamanya, atau berjanji akan menerangkan apa yang sebenarnya.”

    Kemudian, dalam ketentuan Pasal 177 Reglement op de Rechtsvordering atau yang selanjutnya disebut sebagai R.V, menyatakan bahwa:

    “Hakim menanyakan kepada saksi tentang nama depan, pekerjaan umur serta tempat tinggalnya, juga mengenai apakah ia mempunyai hubungan keluarga dengan para pihak karena keturunan atau karena perkawinan dan bila ada dalam derajat ke berapa dan juga apakah ia merupakan buruh atau pembantu rumah tangga salah satu pihak. Setelah itu mereka masing-masing akan bersumpah atau berjanji menurut agama masing-masing, bahwa mereka akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya.”

    Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 147 Herzien Inlandsch Reglement atau yang disebut dengan H.I.R, menyatakan bahwa:

    “Jika tidak diminta mengundurkan diri, atau jika penolakan ini dianggap tidak beralasan buat memberikan kesaksiannya, maka sebelum saksi itu memberi keterangannya, ia lebih dahulu disumpah menurut agamanya.”

    Juga terdapat dalam ketentuan Pasal 175 Rechtreglement voor de Buitengewesten atau yang selanjutnya disebut dengan RBg, yang menyatakan bahwa:

    “Bila tidak dimohon pembebasan diri untuk memberikan kesaksian atau jika ada permohonan tetapi dinyatakan tidak beralasan, maka saksi disumpah menurut agama yang dianutnya.”

    Dari ketentuan di atas, khusus dalam Hukum Acara Pidana artinya keberlakuannya ada pada Pengadilan Negeri (PN) khusus untuk penanganan perkara pidana baik umum maupun khusus, sebagaimana Sumpah atau janji tersebut diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut dengan “KUHAP” yang menyatakan:

    (1)      Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan perundang-undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun mengenai tatacaranya;

    (2)     Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah atau janji tersebut batal menurut hukum.

    Siapa yang Bersumpah dan Berjanji?

    Tentu saja dalam konteks ini adalah saksi yang kemudian saksi ini akan menciptakan yang disebut dengan “keterangan saksi” yang mana keterangan ini yang dalam hukum disebut sebagai alat bukti.

    Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 26 KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-VIII/2010 tanggal 2 Agustus 2011, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, juga setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

    Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan perkara pidana. Maka, saksi pada dasarnya adalah orang yang mengetahui kejadian awal tindak pidana hingga akhir tindak pidana tersebut terjadi atau dilakukan. Dengan pengetahuan yang disampaikan saksi, maka harapannya saksi dapat membantu kelancaran proses peradilan yang berlangsung.[1]

    Kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisi kunci dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.[2] Pasal tersebut mengatur bahwa keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti yang sah di pengadilan. Kemudian, Pasal 1 angka 27 KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor  65/PUU-VIII/2010 tanggal 2 Agustus 2011 menjelaskan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, juga keterangan setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

    Menurut The Longman Dictionary of Law, saksi/witness merupakan orang yang:

    1.        to give evidence or proof;

    2.        to attest by signature;

    3.        one who gives formal or sworn evidence at a hearing; and

    4.       in relation to criminal proceedings, any person called, or proposed to be called, to give evidence in the proceedings.[3]

    Apa Pentingnya Saksi Disumpah?

    Baik, patut Anda ketahui juga, kewajiban mengucapkan sumpah ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa:

    “Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”

    Ketentuan dari KUHAP di atas apabila dicermati tidaklah jauh berbeda dari penjelasan yang sudah dijabarkan dalam H.I.R, maupun RBg dan R.V.

    Yang dimaksud saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Namun kemudian, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-VIII/2010 tanggal 2 Agustus 2011 memperluas arti saksi adalah mencakup yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Adapun keterangan saksi termasuk salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP.

    Bahkan jika saksi tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji, maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedangkan ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama 14 (empat belas) hari.[4]

    Dalam tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lewat, dan saksi tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan saksi yang tidak disumpah atau mengucapkan janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, melainkan hanya keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.[5]

    Pentingnya sumpah yang dilafalkan oleh saksi di pengadilan diatur dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP, yaitu keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

    Contoh Tata Cara Pelaksanaan Sumpah Saksi di Pengadilan Negeri

    Berikut adalah tata cara pelaksanaan sumpah di Pengadilan Negeri:

    1.        Saksi dipersilahkan untuk berdiri ke depan Majelis Hakim;

    2.       Saksi yang beragama Islam berdiri tegak pada saat melafalkan sumpah yang diucapkan satu di antara Majelis Hakim;

    3.      Petugas Juru Sumpah Pengadilan berdiri di belakang saksi dan mengangkat Kitab Suci;

    a.       Untuk saksi yang beragama Islam maka Al-Quran di angkat di atas kepala saksi.

    b.       Untuk saksi yang beragama Kristen/Katolik, Petugas Juru Sumpah Pengadilan membawakan Injil/Alkitab di sebelah kiri saksi;

    c.       Pada saat saksi melafalkan sumpah, tangan kiri saksi diletakkan di atas Injil dan tangan kanan saksi diangkat dan jari tengah dan jari telunjuk membentuk huruf “V”.

    d.       Untuk saksi yang menganut agama lainnya menyesuaikan dengan tata cara penyumpahan pada agama yang bersangkutan;

    4.       Hakim meminta agar saksi mengikuti kata-kata (lafal sumpah) yang diucapkan oleh hakim atau saksi mengucapkan sendiri lafal sumpahnya atas persetujuan hakim;

    5.       Bunyi sumpah saksi di pengadilan pada intinya adalah sebagai berikut: “saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain dari yang sebenarnya”;

    6.      Setelah selesai, hakim ketua mempersilahkan duduk kembali dan mengingatkan saksi harus memberi keterangan yang sebenarnya sesuai dengan apa yang dialaminya, apa yang dilihatnya, atau apa yang didengarnya sendiri;

    7.       Jika perlu, hakim dapat mengingatkan bahwa apabila saksi tidak mengatakan yang sebenarnya ia dapat dituntut karena sumpah palsu.

    Kesimpulannya, saksi adalah salah satu unsur penting dalam pembuktian dan pengungkapan fakta yang akan dijadikan acuan dalam menemukan bukti lainnya guna menguatkan sebuah penyelidikan, penyidikan dan bahkan pembuktian di persidangan.

    Jadi, Saksi wajib untuk melafalkan sumpah sebelum ia memberikan keterangan. Sumpah saksi di pengadilan dilaksanakan untuk memenuhi syarat formil saksi, yang diatur dalam Pasal 160 KUHAP. Jika saksi tidak disumpah maka keterangan dari saksi tidak dapat dijadikan alat bukti. Namun, jika keterangan saksi tersebut sesuai dengan keterangan saksi lain yang disumpah, maka dapat digunakan sebagai tambahan alat bukti sah.

    Bunyi Sumpah Saksi di Pengadilan

    Sebelum membahas lebih jauh mengenai lafal sumpah di pengadilan, berdasarkan Buku Pedoman yang dibuat Mahkamah Agung berjudul “Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan”, untuk menyeragamkan cara-cara dan lafal sumpah di muka persidangan, maka yang menuntun lafal sumpah adalah hakim yang memimpin sidang (vide Halaman 236).

    Adapun teks sumpah saksi di pengadilan disesuaikan dengan cara agama masing-masing, yaitu (hal. 237-238):

    1.        Saksi yang beragama Islam mengucapkan sumpah dengan cara berdiri dan mengucapkan lafaz sumpah agama Islam di pengadilan sebagai berikut:

    “WALLAHI” atau (DEMI ALLAH) “SAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARI PADA YANG SEBENARNYA.”

    2.       Saksi yang beragama Kristen Protestan berdiri sambil mengangkat tangan sebelah kanan sampai setinggi telinga dan merentangkan jari telunjuk dan jari tengah sehingga merupakan bentuk huruf “V”, sedangkan untuk yang beragama Katolik dengan merentangkan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis, dengan mengucapkan sumpah agama Kristen di pengadilan ataupun Katolik yang bunyinya sebagai berikut:

    “SAYA BERSUMPAH/BERJANJI BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARI PADA YANG SEBENARNYA,” “SEMOGA TUHAN MENOLONG SAYA.”

    3.      Saksi yang beragama Hindu berdiri sambil mengucapkan sumpah agama Hindu di pengadilan yang bunyinya sebagai berikut:

    “OM ATAH PARAMA WISESA,” “SAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARI YANG SEBENARNYA.”

    4.       Saksi yang beragama Budha berdiri/berlutut sambil mengucapkan bunyi sumpah saksi di pengadilan yang berbunyi sebagai berikut:

    “DAMI SANG HYANG ADI BUDHA,” SAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARI YANG SEBENARNYA.”

    5.       Dalam hal ada saksi yang karena kepercayaannya tidak bersedia mengucapkan sumpah, maka yang bersangkutan cukup mengucapkan janji sebagai berikut:

    “SAYA BERJANJI BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARI YANG SEBENARNYA.”

    Ancaman Pidana Bagi Sumpah Keterangan atau Sumpah Palsu di Pengadilan

    Penting untuk diketahui bahwa memberikan keterangan palsu adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang selanjutnya disebut sebagai “KUHPidana” dengan ancaman penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Sedangkan jika keterangan palsunya merugikan terdakwa/tersangka diancam pidana penjara maksimal 9 (Sembilan) tahun.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] Prasetyo Margono, Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Serta Hak Hak Saksi Ditinjau Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jurnal Independent, Vol. 5, No. 1, 2017, hal. 46.

    [2] Ibid, hal. 44.

    [3] Agus Suharsono, Analisis Asas Kejelasan Rumusan Saksi Ahli dalam Peraturan Perpajakan di Indonesia, Jurnal Inspirasi, Vol. 12, No. 1, 2021, hal. 45.

    [4] vide Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

    [5] vide Pasal 161 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana beserta Penjelasannya.

    Formulir Isian