Pertanyaan
Selamat pagi pak, kami ingin bertanya terkait dengan pengurusan Amdal
dari sisi hukum dan perizinan berbasis pada OSS dan pengurusannya hingga
timbul produk Amdal itu sendiri. Terima Kasih.
Jawaban
Pengantar
Kami ingin kembali mengingat bahwa dalam rezim OSS-RBA atau
Online Single Submission Risk-Based Approach (Perizinan Daring
Terpadu dengan Pendekatan Perizinan Berbasis Risiko) sebagaimana ketentuan
Pasal 6 jo. Pasal 13 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
sebagaimana yang telah disahkan menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
yang selanjutnya kita sebut dengan “UU tentang Cipta Kerja”, menyebutkan bahwa dalam melaksanakan peningkatan ekosistem investasi
dan kegiatan berusaha yang meliputi:
a. Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
b. Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha;
c. Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor; dan
d. Penyederhanaan Persyaratan Investasi.
Sebagaimana yang disebutkan di atas satu di antara pelaksanaan dalam
peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan usaha dilakukan dengan
Penyederhanaan Persyaratan Dasar suatu Perizinan Berusaha. Lantas menjadi
pertanyaan apa yang dimaksud dengan “Perizinan Berusaha” tersebut,
definisi dari Perizinan Berusaha itu sendiri disebutkan sebagaimana
ketentuan
Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang tentang Cipta Kerja menyatakan
bahwa:
“Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha
untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.”
Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa “Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha” adalah syarat yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha dan akan diberikan
kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau
kegiatannya.
Adapun dalam UU tentang Cipta Kerja menyebutkan dalam
melaksanakan Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha maka diperlukan adanya:
a. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR);
b. Persetujuan Lingkungan; dan
c. Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
Ketiga hal yang tersebut di atas adalah Persyaratan Dasar Perizinan
Berusaha sebelum setiap Pelaku Usaha memulai dan dapat menjalankan
kegiatan usahanya secara efektif dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Meski pun dalam berbagai kajian akademis dan pendapat maupun kritik dari
berbagai kalangan. UU tentang Cipta Kerja yang di buat
dengan tujuan untuk memberikan kemudahan berusaha, penyederhanaan dalam
memenuhi persyaratan perizinan berusaha berbasis risiko (secara birokrasi
dan pemenuhan administrasi) serta membuka keran investasi seluas-luasnya
ini dianggap telah mengabaikan prinsip- prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Kenapa demikian?
Hal ini dapat terlihat jelas dari
UU tentang Cipta Kerja yang langsung menjadi sorotan publik
terkhusus dalam hal ini dari para pengamat lingkungan. Hal ini bukan tanpa
dasar melainkan berawal dari adanya perubahan nomenklatur “Izin Lingkungan” yang diatur di dalam UU tentang Lingkungan Hidup menjadi
“Persetujuan Lingkungan” yang diatur di dalam UU tentang Cipta Kerja itu sendiri. “Izin
Lingkungan” itu sendiri dipahami sebagai suatu unsur penting dalam upaya
untuk mengendalikan kegiatan/usaha agar lingkungan hidup tidak mendapatkan
dampak kerugian.[1]
Anda dapat membaca tulisan kami mengenai “Begini Aturan Pengurusan KKPR yang Wajib Anda Pahami” yang membahas mengenai pengurusan KKPR secara umum, kemudian tulisan
kami juga yang mengulik mengenai “Aturan Pengurusan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang Wajib Anda
Ketahui” serta “Tata Cara Mengurus Sertifikat Laik Fungsi (SLF)” dalam tulisan kami yang lainnya sedikit tidaknya ada membahas
mengenai Persetujuan Lingkungan yang satu di antaranya mengenai Surat
Pernyataan Kesanggupan pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup yang
selanjutnya disebut SPPL Anda dapat baca di sini “Kenapa OSS Mewajibkan Adanya SPPL untuk PUMK?”
Tulisan kami kali ini akan membahas khusus mengenai Persetujuan
Lingkungan yang menjadi dasar dilakukan uji kelayakan lingkungan hidup
bagi kegiatan usaha yaitu dokumen yang disebut dengan Amdal atau Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Apa itu Persetujuan Lingkungan?
Sebagaimana yang kami jelaskan di atas bahwa adanya perubahan nomenklatur
atau istilah dalam UU tentang Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Izin
Lingkungan yang berubah menjadi Persetujuan Lingkungan. Mari kita lihat
secara definisi kedua istilah tersebut.
Sebagaimana ketentuan
Pasal 1 Angka 35 UU tentang Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa:
“Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang
yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam
rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat
untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.”
Sedangkan definisi Persetujuan Lingkungan sebagaimana disebutkan dalam
ketentuan
Pasal 22 Angka 1 UU tentang Cipta Kerja sebagaimana telah
mengubah ketentuan
Pasal 1 Angka 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang selanjutnya disebut sebagai “UU tentang Lingkungan Hidup” jo. Pasal 1 Angka 35 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
yang selanjutnya disebut sebagai “PP tentang Penyelenggaraan Lingkungan Hidup
yang menyatakan bahwa:
“Persetujuan Lingkungan adalah keputusan kelayakan Lingkungan
Hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah
mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.”
Dari masing-masing definisi di atas terlihat bahwa perubahan yang terjadi
tak hanya pada nomenklatur saja melainkan adanya juga perubahan dari segi
konsep secara definisi. Hal ini terlihat jelas dari penegasan frasa
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebagai sebuah prasyarat di
dalam pemberian Izin lingkungan yang telah dihapus atau tidak digunakan di
dalam definisi dari Persetujuan Lingkungan.
Perubahan yang terjadi di dalam Persetujuan Lingkungan ini juga
berimplikasi terhadap perubahan prosedur dan implementasi perizinan itu
sendiri. Hal tersebut dikarenakan lantaran satu di antara yang terjadi
adalah adanya prosedur penyederhanaan mekanisme Amdal. Satu di antaranya
adalah keberadaan Komisi Penilai Amdal sebagaimana ketentuan
Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 UU tentang Lingkungan Hidup
yang masing-masing yang menyatakan bahwa:
Pasal 29
(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 30
(1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 terdiri atas wakil dari
unsur:
a. instansi lingkungan hidup;
b. instansi teknis terkait;
c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau
kegiatan yang sedang dikaji;
d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari
suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan
f. organisasi lingkungan hidup.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis
yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis dan
sekretariat yang dibentuk untuk itu.
(3) Pakar independen dan sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 31
Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan
lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya.
Nah, dalam UU tentang Cipta Kerja itu mengalami pergantian menjadi
Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup Pemerintah Pusat. Sebagaimana ketentuan
Pasal 22 Angka 3 UU tentang Cipta Kerja sebagaimana telah
mengubah ketentuan Pasal 24 UU tentang Lingkungan Hidup yang
menyatakan bahwa:
(1) Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan Lingkungan Hidup untuk
rencana usaha dan/atau kegiatan.
(2) Uji kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup yang
dibentuk oleh
Lembaga Uji Kelayakan Lingkungan Hidup Pemerintah Pusat.
(3) Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas unsur
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli bersertifikat.
(4) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan keputusan kelayakan
Lingkungan Hidup berdasarkan hasil uji kelayakan Lingkungan Hidup.
(5) Keputusan kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
digunakan sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha, atau
persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
(6) Ketentuan mengenai tata laksana uji kelayakan Lingkungan Hidup diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Dapat Anda lihat dari penjabaran kami ada perbedaan antara Komisi Penilai
Amdal dan Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup dalam Penyusunan Dokumen
Amdal.
Perlu diketahui juga bahwa Persetujuan Lingkungan wajib dimiliki oleh
setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang memiliki Dampak Penting atau tidak
penting terhadap lingkungan.[2]
Persetujuan Lingkungan sebagaimana dimaksud diberikan kepada Pelaku Usaha
atau Instansi Pemerintah.[3]
Persetujuan Lingkungan menjadi prasyarat penerbitan Perizinan Berusaha
atau Persetujuan Pemerintah.[4]
Persetujuan Lingkungan sebagaimana dimaksud dilakukan melalui:
a. Penyusunan Amdal dan Uji Kelayakan Amdal; atau
b. Penyusunan Formulir UKL-UPL dan Pemeriksaan Formulir UKL-UPL.[5]
Persetujuan Lingkungan sebagaimana dimaksud berakhir bersamaan dengan
berakhirnya Perizinan Berusaha atau Persetujuan Pemerintah.[6]
Dalam hal Perizinan Berusaha berakhir sebagaimana dimaksud dan tidak
terjadi perubahan Usaha dan/atau Kegiatan, perpanjangan Perizinan Berusaha
dapat menggunakan dasar Persetujuan Lingkungan yang eksisting (sudah
ada).[7]
Bentuk pengakhiran Persetujuan Lingkungan sebagaimana dimaksud dibuktikan
oleh penanggungjawab Usaha dan/atau Kegiatan dengan telah melakukan
pengelolaan Lingkungan Hidup di tahap pasca operasi.[8]
Persetujuan Lingkungan dengan Pendekatan Berbasis Risiko
Persetujuan Lingkungan sebagaimana yang dimaksud menggunakan Pendekatan
Berbasis Risiko memang tidak berarti menghapus Amdal, melainkan
memanfaatkan penilaian risiko untuk menjelaskan kebutuhan terhadap studi
amdal atau tidak.
Sebagaimana disebutkan dalam
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU tentang Cipta Kerja
menyatakan bahwa:
“Yang dimaksud dengan “Perizinan Berusaha Berbasis Risiko”Adalah
pemberian Perizinan Berusaha dan pelaksanaan pengawasan berdasarkan
tingkat risiko usaha dan/atau kegiatan. Yang dimaksud dengan “tingkat
risiko” adalah potensi terjadinya suatu bahaya terhadap kesehatan,
keselamatan, lingkungan, pemanfaatan sumber daya alam danlatau bahaya lainnya yang masuk ke
dalam kategori rendah, menengah, atau tinggi.”
Dapat dikatakan dari definisi di atas bahwa pendekatan berbasis risiko
merupakan pendekatan untuk melihat tingkat risiko dan mengklasifikasi
risiko untuk menjadi pertimbangan atas tindakan atau usaha yang akan
dilakukan.
Secara sederhana, semakin tinggi potensi risik yang ditimbulkan oleh
aktivitas kegiatan usaha, semakin ketat kontrol dan pengawasan dari
Pemerintah, juga semakin banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Semakin
rendah potensi risiko dari suatu kegiatan usaha semakin sedikit (atau
tidak diperlukan) syarat-syarat yang diperlukan. Tingkat dan klasifikasi
risiko akan ditentukan oleh Pemerintah melalui Klasifikasi Baku Lapangan
Indonesia (KBLI).
Dalam melaksanakan Pendekatan Berbasis Risiko, terdapat tahapan-tahapan
yang akan dilakukan dalam memenuhi persyaratan. Tahapan tersebut terdiri
dari:
1. Mengidentifikasi Cakupan Risiko dan Mendefinisikan Risiko
Pemerintah harus mampu mengidentifikasi risiko kegiatan usaha baik secara
historis atau saat kegiatan usaha berlangsung menggunakan data dan
analisis. Identifikasi dapat dilihat melalui:
a. Pemindaian data yang berkesinambungan dan terkoordinasi dengan
Kementerian/Lembaga lain;
b. Bersifat kualitatif dan kuantitatif melihat keterbatasan data dan
pengalaman;
c. Mengadakan diskusi dengan para ahli terkait; dan d. Membuat forum diskusi
publik.
2. Menilai Risiko Menurut Potensi dan Probabilitas Kerusakan Kegiatan
(Damage)
Penilaian risiko bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko dengan
estimasi dan memperhatikan ketidakpatuhan seperti kemungkinan terjadi dan
konsekuensi yang ditentukan oleh pemerintah.
3. Mengurutkan Rangking/Tingkat Kegiatan sesuai dengan Level Risiko
Level Risiko yang dimaksud terdiri dari dampak dan kemungkinan yang
diukur melihat dampak besar, dampak menengah dan dampak kecil, sedangkan
kemungkinan dilihat dari frekuensi dengan mengukur sering, mungkin, dan
jarang terjadinya kerusakan. Level risiko tersebut penting untuk
menerapkan pertanggungjawaban, konsistensi dalam prosedur, serta
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
4. Mengalokasikan dan Menentukan Sumber Daya untuk Penegakan dan
Inspeksi sesuai dengan Urutan Kegiatan Berdasarkan Level Risiko
Prinsip dasar dari pendekatan berbasis risiko adalah kepatuhan dan
penegakan hukum, bahwa Pemerintah harus fokus dan memperhatikan proporsi
dari sumber daya yang ada terhadap entitas yang memiliki risiko tinggi dan
pendekatan yang terstruktur. Alokasi sumber daya alam harus disesuaikan
berdasarkan prioritas.[9]
Dalam penjelasan mengenai definisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup yang selanjutnya disebut Amdal dan Upaya Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut
UKL-UPL sebagaimana ketentuan
Pasal 1 Angka 5 dan Angka 6 PP tentang Penyelenggaraan Lingkungan
Hidup
terdapat kalimat “sebagai prasyarat pengambilan keputusan serta termuat dalam Perizinan
Berusaha atau Persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah”, yang berarti dalam Persetujuan Lingkungan, Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah merupakan pihak yang akan memberikan persetujuan
terhadap kelayakan kegiatan usaha.
Para pelaku usaha tetap diwajibkan untuk memenuhi persyaratan dengan
melakukan studi terhadap lingkungan. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
mengklasifikasikan risiko sehingga dampak dari kegiatan tersebut dapat
diminimalisasi serta menjadi perhitungan. Aspek-aspek yang menjadi
pertimbangan untuk memperhitungkan risiko antara lain:
a. Jenis Kegiatan;
b. Ukuran Pendirian;
c. Lokasi Pendirian; dan
d. Sejarah kepatuhan.[10]
Klasifikasi tersebut akan dilakukan oleh lembaga pemerintah
non-kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
statistik dan disusun dalam bentuk Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia (KBLI). (vide Peraturan Badan Pusat Statistik Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020
tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).
Klasifikasi risiko dalam kegiatan usaha terbagi menjadi 3 (tiga) tingkat,
yaitu risiko rendah, risiko menengah dan risiko tinggi.[11]
Ketiga tingkat risiko tersebut memiliki syarat yang berbeda serta
menyesuaikan kegiatan usaha yang akan dilaksanakan.
Untuk Kegiatan Usaha dengan Risiko Menengah saja dibagi lagi menjadi 2
(dua) antara lain:
1. Tingkat Risiko Menengah Rendah; dan
2. Tingkat Risiko Menengah Tinggi.[12]
Persyaratan Dasar yang harus dipenuhi dalam setiap klasifikasi risiko
rendah, risiko menengah dan risiko tinggi adalah kewajiban untuk memiliki
Nomor Induk Berusaha (NIB) yang juga digunakan untuk memenuhi persyaratan
lainnya.
Penerbitan NIB dilakukan melalui Lembaga OSS berdasarkan:
a. Tingkat Risiko;
b. Pemeriksaan ketentuan bidang usaha;
c. Ketentuan minimum investasi; dan
d. Ketentuan permodalan.[13]
Nomor Induk Berusaha (NIB) juga berperan sebagai penilaian Standar
Nasional Indonesia (SNI), Pernyataan Jaminan Halal, serta berfungsi
sebagai Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) dengan kegiatan
risiko rendah dan menengah rendah.[14]
Secara sederhana, seluruh kegiatan usaha memerlukan Nomor Induk Berusaha,
tetapi fungsi sebagai SPPL tidak dapat diterapkan dalam kegiatan usaha
dengan risiko menengah tinggi dan risiko tinggi, sebab kegiatan usaha
tersebut membutuhkan studi lebih lanjut mengenai dampak lingkungan.
Dalam memenuhi persyaratan Persetujuan Lingkungan, kegiatan risiko rendah
hanya memerlukan NIB yang juga berfungsi sebagai SPPL, apabila kegiatan
usaha wajib UKL-UPL maka, NIB harus disertai UKL-UPL, bukan SPPL. Hal
tersebut juga berlaku untuk kegiatan risiko menengah tinggi, akan tetapi,
kegiatan risiko menengah tinggi harus memenuhi Sertifikat
Standar/Sertifikat Produk yang akan diverifikasi baik dari pemerintah
pusat ataupun pemerintah daerah. Untuk kegiatan dengan risiko tinggi,
wajib memenuhi NIB juga studi lingkungan berupa Amdal.
Sertifikat Standar/Sertifikat Produk juga diperlukan dan harus
diverifikasi oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Perizinan
Berusaha untuk Kegiatan Berisiko Rendah membutuhkan NIB yang merupakan
identitas dan legalitas pelaku usaha.[15]
Setelah pelaku usaha mendaftarkan kegiatan usaha ke dalam Sistem Perizinan
Berusaha Terintegrasi secara Elektronik atau dikenal dengan
Online Single Submission (OSS). Nomor Induk Berusaha akan
diterbitkan dan menjadi standar sesuai dengan penilaian Standar Nasional
Indonesia (SNI). Fungsi NIB juga sebagai pernyataan jaminan halal sesuai
dalam peraturan perundang-undangan.
Anda dapat melihat bagan di bawah ini untuk dapat memahaminya secara sederhana:
Pengertian Amdal
Definisi dari Amdal dapat kita lihat melalui
Pasal 22 Angka 1 UU tentang Cipta Kerja sebagaimana telah
mengubah ketentuan
Pasal 1 Angka 11 UU tentang Lingkungan Hidup jo. Pasal 1 Angka 5 PP tentang Penyelenggaraan Lingkungan Hidup
yang menyatakan bahwa:
“Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut Amdal
adalah kajian mengenai dampak penting pada Lingkungan Hidup dari suatu
usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk digunakan sebagai
prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan serta termuat dalam Perizinan Berusaha atau persetujuan
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.”
Sebagaimana ketentuan
Pasal 4 PP tentang Penyelenggaraan Lingkungan Hidup
menyebutkan bahwa:
“Setiap rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak terhadap
Lingkungan Hidup wajib memiliki:
a. Amdal;
b. UKL-UPL; atau
c. SPPL.”
Amdal wajib dimiliki bagi setiap rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang
memiliki Dampak Penting terhadap Lingkungan Hidup.[16]
Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal sebagaimana
dimaksud meliputi:
a. Jenis rencana usaha dan/atau Kegiatan yang besaran/ skalanya wajib Amdal
dan/atau
b. Jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang lokasi Usaha dan/atau Kegiatan
dilakukan di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan lindung.[17]
Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang lokasinya berada di dalam kawasan
lindung sebagaimana dimaksud meliputi jenis rencana Usaha dan/atau
Kegiatan yang dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.[18]
Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang lokasinya berbatasan langsung dengan
kawasan lindung meliputi jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang:
a. batas tapak proyeknya bersinggungan langsung dengan batas kawasan
lindung; dan/atau
b. berdasarkan pertimbangan ilmiah memiliki potensi dampak yang mempengaruhi
fungsi kawasan lindung tersebut.[19]
Dalam hal rencana Usaha dan/atau Kegiatan memenuhi ketentuan penanggung
jawab Usaha dan/atau Kegiatan meminta arahan instansi Lingkungan Hidup
sesuai dengan kewenangannya dengan melampirkan ringkasan pertimbangan
ilmiah.[20]
Berdasarkan ringkasan pertimbangan ilmiah yang disampaikan Tim Uji
Kelayakan Lingkungan Hidup melakukan telaahan dan memberikan arahan kepada
penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan berupa:
a. rencana Usaha dan/atau Kegiatan mempengaruhi fungsi kawasan lindung;
atau
b. rencana Usaha dan/atau Kegiatan tidak mempengaruhi fungsi kawasan
lindung.[21]
Terkait dengan Kawasan lindung sebagaimana dimaksud tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 yang dapat Anda cari.[22]
Dapat dikatakan bahwa Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan
Lingkungan Hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan.[23] Uji kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dilakukan oleh
Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup yang dibentuk oleh Lembaga Uji
Kelayakan Lingkungan Hidup Pemerintah Pusat.[24]
Oleh karena berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Dokumen
Amdal memuat:
a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;
c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang
relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi
jika rencana usaha dan/ atau kegiatan tersebut dilaksanakan;
e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan
kelayakan atau ketidaklayakan Lingkungan Hidup; dan
f. rencana pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup.[25]
Kriteria Usaha yang Wajib Amdal
Sebagaimana yang sudah kami jelaskan di atas bahwa Amdal hanya dilakukan
oleh setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang memiliki dampak penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal (vide Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021 tentang Daftar Usaha Dan/Atau
Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis mengenai Dampak Lingkungan
Hidup, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup
yang selanjutnya disebut dengan “Permen LHK Nomor 4 Tahun 2021”
Dampak penting ini diartikan sebagai perubahan lingkungan hidup yang
sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan, yaitu
segala bentuk aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona
lingkungan hidup serta menyebabkan dampak terhadap lingkungan hidup.
Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal antara
lain:
a. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. Eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak
terbarukan;
c. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan
sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam,
lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan
konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan
nonhayati;
h. Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan
negara; dan/atau
i. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup. (vide Pasal 3 ayat (2) Permen LHK Nomor 4 Tahun 2021)
Tata Cara Pengajuan Persetujuan Lingkungan
Adapun kami susun mengenai Tata Cara Pengajuan Persetujuan Lingkungan di
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia atau Dinas
Lingkungan Hidup (DLH) baik di tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota ada
beberapa yang wajib Anda ketahui antara lain:
1. Kategori Pengajuan Persetujuan Lingkungan Baru;
2. Kategori Pengajuan Perubahan Persetujuan Lingkungan;
3. Kategori Pengajuan Persetujuan Lingkungan yang Sudah Berjalan Tanpa
Dokumen Lingkungan (DELH/DPLH); dan
4. Kategori Penapisan.
Kami akan menjelaskan satu-satu secara singkat mengenai hal-hal tersebut
di atas terutama dalam melakukan pengurusan Persetujuan Lingkungan yang
nantinyanya disetujui oleh Pemerintah.
Pengajuan Persetujuan Lingkungan Baru
Pengajuan Persetujuan Lingkungan Baru ini maksudnya ialah Persetujuan
Lingkungan sebagaimana ketentuan
Pasal 3 ayat (3) PP tentang Penyelenggaraan Lingkungan Hidup
yang menyatakan bahwa Persetujuan Lingkungan sebagaimana dimaksud menjadi
prasyarat penerbitan Perizinan Berusaha atau Persetujuan Pemerintah yang
mana Setiap rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak terhadap
Lingkungan Hidup wajib memiliki:
a. Amdal;
b. UKL-UPL; atau
c. SPPL. (vide Pasal 4 PP tentang Penyelenggaraan Lingkungan Hidup)
Overview Proses Penilaian Amdal
Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) penting untuk
memastikan bahwa setiap kegiatan yang dilakukan memperhitungkan dan
mengelola dampak-dampak lingkungan yang mungkin timbul terhadap lingkungan
sekitar. Proses sistematis yang dilakukan pada proses penilaian ini juga
bertujuan untuk mengidentifikasi, mengukur, mengevaluasi, memahami serta
mengelola mengelola dampak-dampak tersebut guna meminimalkan risiko
terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat terkait kegiatan tersebut.
Proses Penilaian AMDAL secara garis besar dimulai dengan mengisi Formulir
Kerangka Acuan (KA) dan berikutnya masuk ke dalam proses penilaian AMDAL
& RKL-RPL.
Proses Formulir Kerangka Acuan (KA) dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengisian di Amdalnet[26], dilanjutkan Pengajuan permohonan pemeriksaan KA oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan di PTSP;
2. Notifikasi penerimaan dan berkas kelengkapan format formulir KA;
3. Pembuatan Undangan dan identifikasi daftar ahli;
4. Pengiriman undangan (paling lambat 5 hari kerja sebelum rapat
pemeriksaan;
5. Pelaksanaan rapat (paling lambat 10 hari kerja setelah notifikasi
kelengkapan format;
6. Penerbitan berita acara kesepakatan.
Proses Penilaian ANDAL & RKL-RPL dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengisian di Amdalnet, dilanjutkan Pengajuan permohonan penilaian Andal
& RKL-RPL oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan di PTSP;
2. Penilaian Administrasi;
3. Penyampaian pernyataan kelengkapan tertulis lengkap;
4. Pembuatan undangan dan identifikasi daftar ahli;
5. Penyampaian Undangan;
6. Penilaian Mandiri oleh TUK (penilaian dan perbaikan dokumen paling lambat
50 hari kerja);
7. Penyelenggaraan rapat;
8. Perbaikan oleh pemrakarsa;
9. Penyelenggaraan rapat hasil perbaikan;
10. Perumusan hasil penilaian akhir substansif;
11. Penyampaian hasil uji kelayakan dan draft SKKL ke Menteri;
12. Penerbitan SKKL.
Pengajuan AMDAL Pemrakarsa Pelaku Usaha
Pengajuan AMDAL oleh Pemrakarsa Pelaku Usaha mengacu pada serangkaian
langkah atau proses yang harus diikuti oleh pelaku usaha atau pihak yang
ingin memulai suatu proyek atau kegiatan yang berpotensi memiliki dampak
signifikan terhadap lingkungan sekitarnya.
Alur/proses dari pengajuan Amdal Pemrakarsa Pelaku Usaha terdiri dari 2
logic (Ya dan Tidak) terkait Pemrakarsa yang sudah memiliki Persetujuan
Lingkungan (PL). Jika “Ya”, yang artinya Pemrakarsa sudah memiliki
Persetujuan Lingkungan maka alur atau prosesnya dijelaskan sebagai
berikut:
1. Pelaku Usaha mengajukan permohonan di OSS;
2. Pelaku Usaha meng-upload PL di OSS;
3. Pelaku Usaha menerima Perizinan Berusaha (PB).
Sedangkan jika “Tidak”, yang artinya Pemrakarsa tidak memiliki
Persetujuan Lingkungan maka alur atau prosesnya secara garis besar
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pelaku Usaha mengajukan Permohonan di OSS;
2. Melakukan penapisan di OSS;
3. Memproses PL melalui amdalnet dan PTSP KLHK/Prov/Kab/Kota/sesuai
Kewenangan;
4. Penerbitan PL oleh Instansi Lingkungan Hidup;
5. Upload PL;
6. Pelaku Usaha menerima Perizinan Berusaha (PB).
Pengajuan AMDAL Pemrakarsa Pemerintah
Pengajuan AMDAL oleh Pemrakarsa Pemerintah mengacu pada serangkaian
langkah atau proses yang harus diikuti oleh pelaku usaha atau pihak yang
ingin memulai suatu proyek atau kegiatan yang berpotensi memiliki dampak
signifikan terhadap lingkungan sekitarnya.
Alur atau proses dari Pengajuan AMDAL Pemrakarsa Pemerintah dijelaskan
sebagai berikut:
1. Pengajuan Rencana Kegiatan;
2. Penentuan Kewenangan;
3. Penapisan berbasis dampak;
4. Cetak Hasil Penapisan.
Pengajuan Pemrakarsa Melalui PTSP KLHK dan Amdalnet
Pengajuan Pemrakarsa Melalui PTSP KLHK dan Amdalnet adalah proses
pengajuan AMDAL yang dilakukan oleh pemrakarsa proyek atau kegiatan
melalui layanan PTSP Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan
platform Amdalnet.
Apa itu Penapisan?
Proses penapisan pada AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) merujuk
pada langkah-langkah sistematis untuk menentukan apakah suatu proyek atau
kegiatan memerlukan kajian AMDAL atau tidak. Ini adalah langkah awal dalam
evaluasi dampak lingkungan. Secara garis besar dijelaskan proses Penapisan
yang dijelaskan sebagai berikut:
1.
Menambah Rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
2.
Mengisi Tapak proyek;
3.
Mengisi Pendekatan Studi;
4.
Penetapan Kewenangan;
5.
Menentukan Status Kegiatan;
6.
Menentukan Jenis Kegiatan;
7.
Mengisi Persetujuan Awal;
8.
Mengisi Persetujuan Teknis;
9.
Hasil Penapisan Keluar.
Sektor-Sektor Usaha yang Memerlukan Amdal
Sektor-Sektor Usaha yang wajib mengurus AMDAL, yaitu (sebagaimana
Lampiran I Permen LHK 4/2021):
1. Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan
Wajib, namun tidak terbatas pada KBLI terkait dengan Konstruksi
Bangunan, Pembangunan Rumah Khusus, Pembangunan dan/atau Peningkatan
Jalan Tol, Pembangunan Jembatan, Jalan Layang, Fly Over, dan Underpass,
dan pembangunan-pembangunan lainnya yang memiliki skala dan/atau besaran
AMDAL.
2. Sektor Perhubungan
Wajib, namun tidak terbatas pada KBLI terkait dengan Aktivitas Terminal
dan Penunjang Angkutan di Darat, Pembangunan Pelabuhan, Pengerukan dan
Reklamasi, Aktivitas Stasiun Kereta Api, Aktivitas Kebandarudaraan, dan
aktivitas lainnya yang memiliki skala dan/atau besaran AMDAL.
3. Sektor Perindustrian
Wajib, namun tidak terbatas pada KBLI terkait dengan Industri Besi dan
Baja Dasar, Penggilingan Baja, Pembuatan Logam Dasar Mulia, Industri
Peralatan Umum, Industri Peralatan Dapur dan Peralatan Meja, Industri
Komputer dan/atau Perakitan Komputer, Kawasan Industri, dan aktivitas
Industri lainnya yang memiliki skala dan/atau besaran AMDAL.
4. Sektor Pariwisata
Wajib, namun tidak terbatas pada KBLI terkait dengan Hotel Bintang,
Restoran, Kawasan Pariwisata, Museum, Peninggalan Sejarah/Cagar Budaya,
Lapangan, Fasilitas Olahraga, Taman Rekreasi, Wisata Air, dan aktivitas
Pariwisata lainnya yang memiliki skala dan/atau besaran AMDAL.
5. Sektor Ketenaganukliran
Wajib, namun tidak terbatas pada KBLI terkait dengan Industri Produksi
Radioisotop dan Radiofarmaka, Industri Peralatan Radiasi/Sinar X,
Irradiator, Pertambangan dan Pengolahan Bijih Uranium dan Thorium dan
aktivitas Ketenaganukliran lainnya yang memiliki skala dan/atau besaran
AMDAL.
6. Sektor Kesehatan
Wajib, namun tidak terbatas pada KBLI terkait dengan Industri Obat
Tradisional, Rumah Sakit, Industri Kosmetika, Industri Farmasi Bahan
Obat, Industri Farmasi, Produksi Alat Kesehatan dan PKRT, dan aktivitas
sektor Kesehatan lainnya yang memiliki skala dan/atau besaran AMDAL.
7. Sektor Pertanian
Wajib, namun tidak terbatas pada KBLI terkait dengan Pertanian Jagung,
Gandum, Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Padi Hibrida, Padi Inbrida,
Penggilingan, Pertanian Budi Daya, Budi Daya, Produksi Pakan Ternak, dan
aktivitas Pertanian lainnya yang memiliki skala dan/atau besaran
AMDAL.
8. Sektor Perikanan dan Kelautan
Wajib, namun tidak terbatas pada KBLI terkait dengan Penampungan,
Penjernihan dan Penyaluran Air Minum, Pembesaran Ikan Bersirip Laut,
Pembenihan Ikan Laut, Budidaya Ikan Hias Air Laut, Ekstraksi
Garam/Produksi Garam, Konstruksi Bangunan Pelabuhan Perikanan, dan
aktivitas lainnya yang memiliki skala dan/atau besaran AMDAL.
9. Sektor Ketenagalistrikan
Wajib, namun tidak terbatas pada KBLI terkait dengan Pembangunan
Jaringan Transmisi, Pembangunan Jaringan Distribusi, Pembangunan
Pembangkit Listrik dan aktivitas lainnya yang memiliki skala dan/atau
besaran AMDAL.
10. Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Wajib, namun tidak terbatas pada KBLI terkait dengan Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu, Industri Penggergajian Kayu, Industri Produk Masak Lainnya,
Instalasi Pengolahan Air Limbah, Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja,
Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi Tahap Eksploitasi
dan Pemanfaatan pada Kawasan Konservasi, dan aktivitas lainnya yang
memiliki skala dan/atau besaran Amdal.
11. Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral
Wajib, namun tidak terbatas pada KBLI terkait dengan Pengusahaan Panas
Bumi, Pembangkitan Tenaga Listrik, Penambangan Pembangunan Kilang,
Penimbunan Limbah B3, dan aktivitas lainnya yang memiliki skala dan/atau
besaran Amdal.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalaan Hukum anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1]
Andri Gunawan Wibisana, “Pengelolaan Lingkungan Melalui Izin
Terintegrasi dan Berantai: Sebuah Perbandingan Atas Perizinan Lingkungan
Di Berbagai Negara”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-48 No. 2,
April-Juni 2018, 24.
[2]
vide Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[3]
vide Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[4]
vide Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[5]
vide Pasal 3 ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[6]
vide Pasal 3 ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[7]
vide Pasal 3 ayat (6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[8]
vide Pasal 3 ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[9]
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Februari 2020.,
88.
[10]
Ibid, 87.
[11]
vide Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis
Risiko.
[12]
vide Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis
Risiko.
[13]
vide Pasal 193 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis
Risiko.
[14]
vide Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis
Risiko.
[15]
vide Pasal 176 ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis
Risiko.
[16]
vide Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[17]
vide Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[18]
vide Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[19]
vide Pasal 5 ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[20]
vide Pasal 5 ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[21]
vide Pasal 5 ayat (6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[22]
vide Pasal 5 ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
[23]
vide Pasal 22 Angka 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagaimana
yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja menjadi Undang-Undang sebagaimana telah mengubah ketentuan Pasal
24 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[24]
vide Pasal 22 Angka 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagaimana
yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja menjadi Undang-Undang sebagaimana telah mengubah ketentuan Pasal
24 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[25]
vide Pasal 22 Angka 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagaimana
yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja menjadi Undang-Undang sebagaimana telah mengubah ketentuan Pasal
25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[26]
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)
Republik Indonesia, Siti Nurbaya Guna mempercepat proses layanan Persetujuan Lingkungan,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada hari Selasa
(7/2/2023), meluncurkan Sistem Informasi Dokumen Lingkungan Hidup
Amdalnet. Penggunaan Amdalnet sebagai ‘tools’ pendukung dalam proses
persetujuan lingkungan secara digital menjadikan proses persetujuan
lingkungan akan menjadi lebih mudah, lebih cepat, transparan dan
akuntabel. Pengembangan Sistem Informasi Dokumen Lingkungan Hidup
Amdalnet dengan berbasis geospasial akan terus dilakukan dengan
mengedepankan transparansi/keterbukaan publik dalam proses
penilaian/pemeriksaan dokumen lingkungan.