Ilustrasi KKPR |
Selamat malam pak, saya hendak bertanya terkait dengan pengurusan KKPR
yang diwajibkan melalui sistem OSS, pertama mengenai dasar hukumnya.
Apakah pengurusan ini juga mengubah signifikan Izin Lokasi yang diatur
sebelumnya? Kedua, mengenai KKPR ini berapa biaya yang dibutuhkan untuk
mengurusnya? Ketiga, dengan sudah terintegrasi dengan OSS, mekanismenya
seperti apa untuk usaha perkebunan dan pertambangan? Mohon pencerahannya,
terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Memastikan status kepemilikan tanah sebelum melaksanakan segala aktivitas
kegiatan usaha terlebih dalam aktivitas perkebunan dan pertambangan
merupakan hal esensial yang harus menjadi perhatian setiap pelaku usaha.
Namun, permasalahan terkait sengketa hak atas tanah seringkali menjadi isu
yang tidak terhindarkan, baik terhadap pemilik tanah maupun terhadap
perusahaan dan pihak lain.
Agar tanah dapat dipergunakan untuk usaha perkebunan dan pertambangan,
terdapat proses panjang yang harus dilakukan oleh setiap pelaku usaha.
Satu di antaranya adalah mengurus perizinan berusahanya yang kini semua
sudah terintegrasi menjadi satu pintu melalui sistem yang disebut dengan
OSS-RBA atau
Online Single Submission Risk-Based Approach (Perizinan Daring
Terpadu dengan Pendekatan Perizinan Berbasis Risiko).
Anda dapat membaca tulisan kami yang berjudul “Begini Aturan OSS yang Baru” sedikit pembahasan mengenai OSS yang wajib Anda ketahui.
Nah, terkait dengan pengurusan perizinan sebagaimana yang kami maksud itu
nantinya berkesinambungan dalam pengurusannya. Adapun contohnya adalah
perizinan yang harus diurus adalah Izin Lokasi yang kini telah berubah
menjadi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), yang merupakan
prasyarat utama untuk memperoleh hak tanah yang diperlukan untuk usaha.
Munculnya fenomena tumpang tindih hak atas tanah timbul saat adanya
pelanggaran berkaitan dengan izin usaha dan penyelewengan izin usaha
terhadap tanah. Sebagai contoh kasus, dalam pelanggaran pada usaha
perkebunan, setidaknya ada 3 (tiga) skema yang seringkali terjadi, yakni:
1. Perusahaan perkebunan belum memiliki hak atas tanah;
2. Perusahaan perkebunan atas kawasan hutan tidak dilengkapi perizinan, atau
terjadinya tumpang tindih dengan fungsi kawasan hutan; dan
3. Dijumpai adanya tumpang tindih perizinan antara izin perkebunan dengan
pertambangan.
Ketiga skema tersebut menimbulkan potensi terjadinya sengketa
kewilayahan, sengketa hak, maupun sengketa penguasaan atas tanah.
Apabila dilihat dari aturan peraturan perundang-undangan yang berlaku
terdapat irisan antara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2014 tentang
Perkebunan
yang selanjutnya disebut sebagai “UU Perkebunan” dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara
yang selanjutnya disebut sebagai “UU Minerba”.
Sebagai contoh, dalam UU Perkebunan, sebagian besar hasil akhir (produk)
yang ada korelasinya dengan perizinan merupakan diterbitkannya Setipikat
Hak atas Tanah. Sedangkan, dalam UU Minerba lebih menekankan bahwa tidak
semua wilayah pertambangan dapat diterbitkan sertipikatnya. Perbedaan
terkait terdaftar atau tidaknya pada BPN dan batasan wilayah penguasaan
berdasarkan 2 (dua) regulasi tersebut menimbulkan tumpang tindih terhadap
penguasaan tanah pertambangan.
Nah, guna meminimalkan terjadinya sengketa konflik tanah antara
perkebunan dan pertambangan, setidaknya ada 6 (enam) upaya yang dapat
dilakukan, antara lain:
1. Pemetaan lokasi usaha perkebunan dan pertambangan;
2. Penertiban usaha perkebunan/pertambangan dengan pemberian hak atas
tanah;
3. Membatasi jangka waktu maksimal pengusahaan perkebunan;
4. Sinkronisasi penerbitan perizinan;
5. Merumuskan tipologi konflik dan penyelesaiannya; dan
6. Sinkronisasi regulasi perizinan usaha melalui KKPR.
Dalam tulisan ini kami berfokus pada pembahasan mengenai KKPR sebagaimana
yang telah diatur dalam
Pasal 13 huruf a Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
sebagaimana yang telah disahkan menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
yang selanjutnya kita sebut dengan “UU Cipta Kerja”, yang menyebutkan bahwa pengurusan perizinan KKPR merupakan satu di
antara penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha dalam upaya
peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha.
Apa itu KKPR?
Sebelum berlakunya
Undang-Undang Republik Indonesia 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023, perizinan untuk perolehan tanah dalam rangka mendukung kegiatan usaha
yang sesuai dengan tata ruang disebut dengan Izin Pemanfaatan Ruang (IPR).
Penerbitan IPR tersebut biasanya akan diikuti dengan Permohonan Izin
Lokasi untuk memperoleh tanah demi mengembangkan lokasi/lahan oleh pelaku
usaha. Tanggung jawab pemberian Izin Lokasi tersebut dahulunya berada pada
pemerintah daerah kabupaten/kota. Seiring tidak adanya pedoman yang
seragam mengenai prosedur dan biaya penerbitan izin lokasi di setiap
daerah, maka menjadikan perolehan izin tersebut terkesan rumit dan kurang
terintegrasi.
Oleh karenanya, pemerintah mengeluarkan kebijakan KKPR melalui sistem OSS
untuk meningkatkan efisiensi pengurusan Izin Lokasi dan menumbuhkan
lingkungan investasi yang ramah bagi dunia usaha baik bagi badan usaha
maupun masyarakat. Izin Lokasi sejatinya telah menjadi instrumen
pengendalian pertanahan oleh pemerintah yang mengatur tentang Kesesuaian
Tata Ruang dan Pemanfaatan Ruang.
Dengan Izin Lokasi, para pelaku usaha akan diberikan izin untuk
mendapatkan tanah yang diperlukan bagi usaha dan/atau kegiatannya. Dengan
demikian, Izin Lokasi ini juga berfungsi sebagai kewenangan untuk
mengalihkan hak dan memanfaatkan tanah untuk usaha dan/atau
operasionalnya.
Selain itu, batas areal yang ditetapkan oleh Izin Lokasi akan menjadi
dasar bagi pelaku usaha untuk memperoleh tanah dan mengajukan hak atas
tanahnya. Selanjutnya, dengan telah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja,
maka Izin Pemanfaatan Ruang dan Izin Lokasi digabung menjadi Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR).
Tujuan utama KKPR ada 2 (dua) yaitu:
1. Sebagai acuan bagi pemanfaatan ruang secara efisien; dan
2. Sebagai acuan bagi administrasi pertanahan yang efektif.
KKPR berfungsi sebagai alternatif Izin Lokasi di bidang administrasi
pertanahan, sehingga memberikan jaminan yang lebih baik bagi pelaku
usaha.
Sebagaimana definisi dari KKPR itu sendiri adalah:
“Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah kesesuaian antara rencana
kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata Ruang.” (vide Pasal 17 Angka 1 UU Cipta Kerja sebagaimana mengubah
ketentuan
Pasal 1 Angka 32 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang
yang selanjutnya disebut dengan “UU Penataan Ruang”)
Tapi perlu juga Anda pahami di sini, bahwa adalah istilah “ruang” dalam
KKPR sebagaimana yang kami sebutkan di atas, ruang di sini memiliki
definisi juga berdasarkan UU Penataan Ruang. Sebagaimana disebutkan
bahwa:
“Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk hidup lain, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya.” (vide Pasal 17 Angka 1 UU Cipta Kerja sebagaimana mengubah
ketentuan Pasal 1 Angka 1 UU Penataan Ruang)
Jadi, poin penting yang harus diperhatikan dalam KKPR adalah ruang darat,
ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi tempat makhluk hidup
melangsungkan kehidupannya. Dari definisi KKPR di atas dan definisi
“ruang” berdasarkan UU Penataan Ruang, bisa dikatakan bahwa manusia yang
ingin memakai suatu ruang (baik darat, laut, udara, maupun lainnya), maka
harus menyesuaikan perencanaan tata ruang yang telah diatur dan ditetapkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pemberian KKPR
Sebagiamana yang sudah kami jelaskan di atas bahwa KKPR merupakan satu di
antara persyaratan dasar untuk memulai dan melakukan kegiatan usaha. Hal
tersebut dituangkan dalam
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis
Risiko
yang selanjutnya disebut dengan “PP/5/2021”. Selain itu, Nomor Induk Berusaha (NIB) juga memerlukan data lokasi
tempat kegiatan usaha dilakukan.
Jadi, KKPR yang berhubungan erat dengan lokasi usaha tentu
merupakan unsur penting dalam proses penerbitan NIB. Kemudian, melansir
keterangan dari situs resmi Sistem Online Single Submission (Sistem
OSS), khusus para Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) akan diberi kemudahan
dalam mengurus kesesuaian lokasi usaha tersebut. Caranya cukup mudah,
yaitu hanya dengan menyampaikan pernyataan mandiri saat mengurus
penerbitan NIB pada sistem OSS.
Inti muatan dari pernyataan mandiri tersebut adalah bahwa lokasi usaha telah sesuai dengan tata ruang. Selain itu juga ketersediaan untuk dikenai sanksi jika suatu hari ditemukan ketidaksesuaian. Berkat pernyataan mandiri tersebut, lokasi usaha para pelaku UMK akan terverifikasi sistem secara otomatis. NIB pun dapat terbit tanpa kendala berarti.
Pelaksanaan KKPR untuk Kegiatan Usaha
Pelaksanaan KKPR secara lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang.
Tata Cara Pelaksanaan KKPR bisa dilakukan dengan mengurus 2 (dua) dokumen
berikut (Permen ATR 13/2021):
1. Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
(KKKPR), yaitu dokumen yang menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan
pemanfaatan ruang dengan rencana detail tata ruang (RDTR); dan
2. Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
(PKKPR), yaitu dokumen yang menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan
pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang (RTR) selain RDTR.
Definisi Rencana Tata Ruang (RTR) adalah hasil perencanaan tata ruang.
Sementara Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) merupakan rencana secara
terperinci tentang tat,a ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi
dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.
Hal Mendasar terkait Perencanaan Tata Ruang Secara garis besar,
perencanaan tata ruang akan menghasilkan 2 (dua) hal berikut ini (vide Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
yang selanjutnya disebut dengan “PP/21/2021”:
1. Rencana Umum Tata Ruang; dan
2. Rencana Rinci Tata Ruang.
Perencanaan tata ruang, baik yang umum maupun yang rinci, dilakukan
dengan 2 (dua) cara (vide Pasal 6 PP 21/2021):
1. Penyusunan RTR, terdiri dari:
- Penyusunan rencana umum tata ruang; dan
- Penyusunan rencana rinci tata ruang.
2. Penetapan RTR, terdiri dari:
- Penetapan rencana umum tata ruang; dan
- Penetapan rencana rinci tata ruang.
Dalam proses penyusunan RTR, pemerintah menggandeng masyarakat dan
pemangku kepentingan lainnya (stake holder) melalui konsultasi
publik. Setelah melalui kedua proses tersebut, maka akan menghasilkan
beberapa turunan RTR, antara lain (vide Pasal 5 ayat (2) dan (3) PP 21/2021):
1. Rencana Umum Tata Ruang, meliputi:
- Rencana tata ruang wilayah nasional;
- Rencana tata ruang wilayah provinsi;
- Rencana tata ruang wilayah kabupaten;
- Rencana tata ruang wilayah kota.
2. Rencana rinci tata ruang, meliputi:
- RTR pulau/kepulauan, RTR kawasan strategis nasional (KSN), rencana zonasi
KSN Tertentu (RZ KSNT), RZ kawasan antar wilayah (RZ KAW), dan rencana
detail tata ruang kawasan perbatasan negara (RDTR KPN) sebagai rencana
rinci dari rencana tata ruang wilayah nasional;
- RDTR kabupaten sebagai rencana rinci dari rencana tata ruang wilayah
kabupaten;
- RDTR kota sebagai rencana rinci dari rencana tata ruang wilayah kota.
Nantinya, turunan dari perencanaan RTR di atas akan digunakan sebagai (vide Pasal 8 ayat (1) PP 21/2021):
1.
Penerbitan KKPR;
2. Pemanfaatan ruang untuk seluruh kegiatan pembangunan sektoral dan
pengembangan wilayah dan kawasan yang memerlukan ruang; dan
3. Penerbitan perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut serta pemberian
hak atas tanah dan hak pengelolaan.
Apabila ditinjauan dari Jenis Kegiatan yang dilakukan KKPR sebagaimana
ketentuan Pasal 3 Permen ATR BPN/ 13/2021 membagi KKPR
menjadi beberapa jenis antara lain:
1.
KKPR untuk Kegiatan Berusaha;
2.
KKPR untuk Kegiatan Non-Berusaha; dan
3.
KKPR untuk Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional.
Untuk Kegiatan Berusaha sendiri dibagi menjadi 2 (dua) yaitu UMK dan
Non-UMK.
Usaha Mikro Kecil (UMK)
Jenis ini diurus ketika pelaku usaha memenuhi kriteria Usaha Mikro Kecil.
Kriteria tersebut yakni:
1. Usaha mikro dapat dikelompokkan dalam kriteria nominal modal usaha atau
hasil penjualan tahunan, yaitu:
- Usaha mikro memiliki modal usaha sampai dengan paling banyak Rp1 miliar.
Artinya, pelaku usaha dapat masuk dalam kategori usaha mikro jika memiliki
modal usaha ≤ Rp1 miliar. Nominal modal ini belum termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha.
- Usaha mikro memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan paling banyak
Rp2 miliar.
2. Usaha kecil dapat dikelompokkan dalam kriteria nominal modal usaha atau
hasil penjualan tahunan, yaitu:
- Usaha kecil memiliki modal usaha lebih dari Rp1 miliar sampai dengan
paling banyak Rp5 miliar. Artinya, pelaku usaha dapat masuk dalam kategori
usaha kecil jika memiliki modal usaha Rp1 miliar ≤ Rp5 miliar. Modal ini
belum termasuk tanah dan tempat usaha.
- Usaha kecil memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2 miliar sampai
dengan paling banyak Rp5 miliar.
Kegiatan Usaha Non-UMK
KKPR jenis ini diurus ketika pelaku usaha berada di kategori selain Usaha
Mikro Kecil. Kategori yang dimaksud tersebut diantaranya:
- Usaha Menengah
Usaha yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI), baik perorangan
maupun badan usaha, dengan modal usaha antara Rp5 miliar hingga Rp10
miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
- Usaha Besar
Badan usaha yang dimiliki oleh Penanaman Modal Asing (PMA) atau Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan modal usaha lebih dari Rp10 miliar, tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
- Kantor Perwakilan
Orang perseorangan Warga Negara Indonesia (WNI) atau Warga Negara Asing,
atau badan usaha yang mewakili pelaku usaha dari luar negeri, dengan
mendapatkan persetujuan untuk mendirikan kantor di Indonesia.
- PMA
Badan usaha asing yang didirikan di luar wilayah Indonesia dan melakukan
kegiatan usaha tertentu di dalam negeri.
Sedangkan KKPR Non-Berusaha adalah KKPR yang diurus ketika suatu pihak hendak mengurusnya bukan untuk kegiatan berusaha. Contoh dari tujuan pengurusan KKPR Non-Berusaha adalah:
1. Keperluan rumah tinggal pribadi;
2. Keperluan tempat peribadatan;
3. Keperluan yayasan sosial, yayasan keagamaan, yayasan pendidikan, atau
yayasan kemanusiaan;
4. Keperluan kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak bersifat strategis
nasional yang dibiayai oleh APBN atau APBD; atau
5. Keperluan kegiatan pemanfaatan ruang yang pelaksanaan tanggung jawab
sosial dan lingkungan yang dibiayai dari perseroan terbatas atau
Corporate Social Responsibility (CSR).
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) yang dulu bernama izin
lokasi merupakan salah satu persyaratan dasar yang wajib dipenuhi oleh
seluruh pelaku usaha. Namun untuk pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
diberikan kemudahan dengan hanya perlu menyampaikan Pernyataan Mandiri
atau mendapat fasilitas berupa self-declaration dari sistem
Online Single Submission (OSS), yang sudah tersedia dalam OSS
Berbasis Risiko, bahwa lokasi usaha telah sesuai dengan tata ruang dan
bersedia dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku jika di kemudian
hari ditemukan ketidaksesuaian. Jadi, Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (PUMK)
tidak memerlukan mengurus KKPR cukup Pernyataan Mandiri.
Bagi Pelaku Usaha yang sudah memiliki izin lokasi dan masih berlaku
sebelum Undang-Undang Cipta Kerja, maka izin lokasi tersebut tersebut
masih dapat digunakan. Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
(PKKPR) tanpa penilaian tidak dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) yang dikenakan PNBP hanyalah PKKPR dengan tahapan penilaian atau
verifikasi.
Syarat Pendaftaran KKPR
Syarat pendaftaran paling sedikit dilengkapi dengan (vide Pasal 7 ayat (1) Permen ATR BPN 13/2021):
1. Koordinat Lokasi;
2. Kebutuhan luas lahan kegiatan pemanfaatan ruang;
3. Informasi penguasaan tanah; Informasi jenis usaha;
4. Rencana jumlah lantai bangunan; dan
5. Rencana luas lantai bangunan.
Pengajuan KKPR Setelah menyiapkan dokumen-dokumen di atas langkah
selanjutnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pemohon melakukan pendaftaran dan pembuatan akun pada sistem OSS;
2. Dalam hal persyaratan permohonan telah diterima secara lengkap, sistem
OSS menerbitkan surat perintah setor kepada pemohon untuk pembayaran biaya
layanan;
3. Dalam hal persyaratan permohonan belum lengkap, sistem OSS mengembalikan
dokumen permohonan pendaftaran kepada pemohon;
4. Pemohon membayar biaya layanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
5. Setelah membayar biaya layanan pemohon menyampaikan bukti pembayaran
kepada sistem OSS.
Penting untuk para pelaku usaha untuk memastikan bahwa lokasi usaha yang
dimiliki memang betul diperuntukkan untuk kegiatan usaha, serta memiliki
dokumen yang lengkap atas lokasi usaha, baik berupa kantor atau fasilitas
lain, yang dikuasai dan digunakan untuk proses kegiatan usaha. Hal ini
dikarenakan ketidaksesuaian lokasi dan/atau ketidaklengkapan dokumen dapat
menghambat pelaku usaha mendapatkan KKPR, dan akibatnya pelaku usaha tidak
diperbolehkan mengurus NIB dan perizinan berusaha lainnya.
Persyaratan diajukan Melalui Pemerintah Daerah atau OPD Terkait
Adapun Anda dapat mengajukan melalui OPD atau Pemerintah Daerah terkait
sebagai berikut:
1. Surat Permohonan Surat pernyataan kebenaran dokumen bermetrai Rp.
10.000;
2. Surat Pernyataan tanggungjawab bermaterai Rp.10.000;
3. Fotocopy Surat Keterangan Tanah / SP2FBT / Sertifikat;
4. Fotocopy bukti bayar PBB 1 (satu) tahun terakhir;
5. Surat keterangan persetujuan tetangga diketahui RT, Kepala Desa/Kelurahan
dan Mengetahui Camat sesuai wilayah/tempat lokasi;
6. Fotocopy KTP penanggungjawab yang masih berlaku;
7. Foto copy Kartu NPWP Perorangan/Berbadan Hukum;
8. Koordinat lokasi atau peta;
9. Kebutuhan luas lahan;
10. Informasi jenis kegiatan pemanfaatan ruang;
11. Pertimbangan Teknis dari Kantor Pertanahan;
12. Pertimbangan Teknis dari Dinas PUPR.
Apa saja Dasar Hukum KKPR dan Diatur dalam UU apa Saja?
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
sebagaimana yang telah disahkan menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
yang selanjutnya kita sebut dengan “UU Cipta Kerja”;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang
yang selanjutnya disebut dengan “UU Penataan Ruang”;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil
yang selanjutnya disebut dengan “UU PWP dan PPK”;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan
yang selanjutnya disebut dengan “UU Kelautan”;
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
yang selanjutnya disebut dengan “PP OSS-RBA”;
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah
yang selanjutnya disebut dengan “PP Perizinan Daerah”;
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang
yang selanjutnya disebut dengan “PP Penyelengaraan Penataan Ruang”;
8. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan Sinkronisasi Program
Pemanfaatan Ruang
yang selanjutnya disebut dengan “Permen KKPR dan SPPR”; dan
9. Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor
4/SE-PF.01/III/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pemanfaatan Ruang di
Daerah.
Biaya KKPR?
Pelayanan penerbitan KKPR merupakan kewenangan tugas dan fungsi dari
Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Melalui
KKPR, pelaku usaha akan diberikan hak eksklusifitas untuk dapat
mengembangkan lokasi/lahan yang bukan merupakan miliknya.
KKPR berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang satu kali
selama 2 (dua) tahun. Selama masa pemberlakuan KKPR tersebut, pelaku usaha
juga mendapatkan prioritas apabila terdapat transaksi jual beli terhadap
lokasi/lahan tersebut oleh pemilik tanah. Sebagaimana ketentuan
Pasal 241 ayat (1) PP Penyelengaraan Penataan Ruang
menyebutkan bahwa:
“Terhadap, penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR)
dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).”
Sebelum adanya KKPR, pengurusan izin lokasi merupakan kewenangan dari
Pemerintah Kota/Kabupaten. Dalam pengenaan biaya pengurusan izin lokasi
belum ada standar baku dari masing-masing Pemerintah Kota/Kabupaten.
Bahkan dari sisi Pemerintah Kota/Kabupaten merasa pengurusan izin lokasi
sebelum adanya KKPR masih berbelit-belit dan tidak terintegrasi. Sedangkan
dari sisi pelaku usaha menganggap bahwa pengurusan izin lokasi sebelum
KKPR memakan biaya yang cukup tinggi dan waktu yang lama.
Oleh karena itu, untuk memperbaiki pengurusan izin lokasi dan menciptakan
iklim investasi yang mengedepankan kemudahan berusaha bagi pelaku
usaha/masyarakat, ditetapkan pengurusan izin lokasi digantikan oleh KKPR
yang terintegrasi melalui satu pintu yaitu sistem
Online Sistem Submission (OSS).
Pada tanggal 22 Oktober 2021 sebagai tindak lanjut atas
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021, ditetapkan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 143/PMK.02/2021
tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Kebutuhan Mendesak atas Pelayanan Penerbitan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang yang Berlaku Pada Kementerian Agraria Dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional
yang selanjutnya disebut sebagau “PMK tentang Jenis dan Tarif PNBP KKPR”).
PMK Jenis dan Tarif PNBP KKPR itu menjadi dasar hukum pemungutan PNBP
layanan penerbitan KKPR dan mulai berlaku 15 (lima belas) hari terhitung
sejak tanggal diundangkan (8 November 2021).
Jenis PNBP KKPR dalam PMK Jenis dan Tarif PNBP KKPR diatur bahwa jenis
PNBP Pelayanan Penerbitan KKPR yang berlaku pada Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia meliputi
penerimaan dari:
1. Pelayanan Penerbitan KKPR untuk kegiatan berusaha; dan
2. Pelayanan Penerbitan KKPR untuk Kegiatan yang Bersifat Strategis
Nasional.[1]
Jenis PNBP yang berasal dari Pelayanan Penerbitan KKPR untuk Kegiatan
Berusaha meliputi:
1. Pelayanan Penerbitan Konfirmasi KKPR; dan
2. Pelayanan Penerbitan Persetujuan KKPR.[2]
Sedangkan, jenis PNBP yang berasal dari Pelayanan Penerbitan KKPR untuk
Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional meliputi:
1. Pelayanan Penerbitan Konfirmasi KKPR;
2. Pelayanan Penerbitan Persetujuan KKPR; dan
3. Pelayanan Penerbitan Rekomendasi KKPR.[3]
Jenis PNBP Pelayanan Penerbitan KKPR untuk kegiatan berusaha hanya
dikenakan bagi Pelaku Usaha Non-UMK (Usaha Mikro dan Kecil).[4]
Apa itu Kegiatan Berusaha dan Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional?
Kegiatan Berusaha adalah kegiatan pemanfaatan ruang yang memerlukan
Perizinan Berusaha.[5]
Sedangkan, Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional adalah kegiatan
pemanfaatan ruang yang rnemiliki sifat strategis untuk peningkatan
pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah, serta mempunyai pengaruh
sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan
keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/ atau lingkungan, termasuk
wilayah yang ditetapkan sebagai warisan negara yang ditetapkan sebagai
kebijakan Pemerintah Pusat melalui peraturan perundang-undangan.[6]
Apa perbedaan KKKPR dengan PKKPR dan RKKPR?
Adapun beda Konfirmasi KKPR (KKKPR), Persetujuan KKPR (PKKPR), dan
Rekomendasi KKPR (RKKPR) terletak pada ada/tidaknya Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR). RDTR merupakan rencana secara terperinci tentang tata ruang
wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi
kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.[7]
Disebutkan bahwa Pelaksanaan KKPR untuk kegiatan berusaha dilakukan melalui KKKPR dan PKKPR.[8] Untuk PKKPR untuk kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud diberikan dalam hal di rencana lokasi kegiatan Pemanfaatan Ruang:
a. belum tersedia RDTR; atau
b. RDTR yang tersedia belum terintegrasi dalam Sistem OSS.[9]
Dapat dikatakan bahwa lokasi sudah memiliki RDTR maka dinamakan
Konfirmasi KKPR (KKKPR). Sedangkan, jika lokasi belum memiliki RDTR namun
telah ada Rencana Tata Ruang (RTR) yang dikeluarkan Pemerintah Pusat maka
dinamakan Persetujuan KKPR (PKKPR).
Kemudian, adapun dinamakan Rekomendasi KKPR (RKKPR) apabila lokasi belum ada RDTR maupun RTR-nya. Tarif PNBP KKPR Tarif atas jenis PNBP pelayanan penerbitan KKPR ditetapkan berdasarkan rumus sebagai berikut:
1.
Untuk Tarif Pelayanan Penerbitan Konfirmasi KKPR (KKKPR) baik kegiatan
berusaha maupun Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional berupa:
Indeks Jenis Usaha x [Rp 600.000,- + (Luas Lahan x Indeks Daerah x
Rp1.475.000,-)];
2. Tarif pelayanan penerbitan Persetujuan KKPR (PKKPR) baik kegiatan
berusaha maupun Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional berupa:
Indeks Jenis Usaha x [Rp1.500.000,00 + (Luas Lahan x Indeks Daerah x
Rp1.350.000,00)]; dan
3. Tarif pelayanan Penerbitan RKKPR berupa:
Indeks Jenis Usaha x [Rp7.250.000,00 + (Luas Lahan x Indeks Daerah x
Rpl.350.000,00)].
Indeks Jenis Usaha ditetapkan karena Pelaku Usaha/Masyarakat dengan
masing-masing Jenis Usaha memiliki kemampuan membayar yang bervariasi.
Indeks Jenis Usaha ini ditetapkan dengan mempertimbangkan intensitas
pemanfaatan ruang dari setiap jenis usaha, pemberlakuan
insentif/disinsentif dari setiap jenis usaha, dan profitabilitas dari
setiap jenis usaha.
Sedangkan, Indeks Daerah ditetapkan berdasarkan zona nilai tanah
kabupaten/kota lokasi Permohonan KKPR. Dengan adanya Indeks Jenis Usaha
dan Indeks Daerah itu merupakan bentuk pengenaan tarif yang berkeadilan
dan memperhatikan kemampuan membayar bagi masyarakat. Indeks Jenis Usaha
dan Indeks Daerah itu dilampirkan dalam PMK Jenis dan Tarif PNBP KKPR.
Besaran Indeks Jenis Usaha dan Indeks Daerah itu dilakukan peninjauan
ulang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun oleh Menteri
Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional. Selain itu,
untuk mengakomodiasi pengenaan tarif sampai dengan Rp 0,- (nol Rupiah)
atau 0% (nol persen) bagi pihak tertentu/pertimbangan tertentu, telah
diatur
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 tentang
Besaran, Persyaratan, dan Tata Cara Pengenaan Tarif PNBP terhadap
Pelayanan Penerbitan KKPR dengan Pertimbangan Tertentu
yang selanjutnya disebut dengan “Permen ATR/BPN/ 35/2021”.
Dalam Permen ATR/BPN itu ditetapkan pengenaan tarif Rp0,- (nol Rupiah)
atau 0% (nol persen) bagi untuk jenis PNBP penerbitan konfirmasi KKPR,
persetujuan KKPR tanpa tahapan penilaian dokumen usulan kegiatan
pemanfaatan ruang, dan kegiatan yang bersifat strategis nasional yang
sumber investasinya murni dari dana APBN dan/atau APBD yang mengacu pada
data dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
bidang koordinasi perekonomian.
Dikenakan tarif sebesar 25% (dua puluh lima persen) bagi tanah
yang dikuasai oleh pemohon KKPR, dan kegiatan yang bersifat strategis
nasional yang sumber pembiayaannya berasal dari kerjasama pemerintah dan
badan usaha.
Perlu diingat bahwa PNBP di Kantor Pertanahan untuk penerbitan
Pertimbangan Teknis Pertanahan.
Waktu Penyelesaian Pengurusan KKPR
Waktu atau estimasi penyelesaian KKPR adalah 20 (dua puluh) hari maksimal
sejak berkas dan persyaratan dinyatakan lengkap.
Mekanisme Pengurusan PKKPR Berusaha
Permohonan PKKPR di sistem OSS akan langsung diteruskan ke Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
(ATR/BPN), Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait Tata Ruang, Kantor
Pertanahan, dan/atau Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(DPMPTSP) sesuai dengan kewenangannya.
Penghitungan waktu pemrosesan PKKPR dimulai setelah pembayaran PNBP.
Jangka waktu paling lama untuk pemrosesan PKKPR adalah 20 (dua puluh) hari
setelah pembayaran PNBP, termasuk juga penerbitan Pertimbangan Teknis
(Pertek) pertanahan.
1. Pemohon dapat langsung mengajukan secara online melalui OSS RBA (oss.go.id) untuk mendapatkan NIB dan permohonan PKKPR dengan mengupload
berkas;
2. Sistem OSS RBA akan meneruskan permohonan dan menotifikasi Kantor
Pertanahan, Dinas PUPR, dan DPMPTSP;
3. OSS RBA akan menghitung dan menerbitkan tagihan PNBP;
4. Pemohon membayar PNBP;
5. Tim dari Kantor Pertanahan dan Dinas PUPR akan melakukan verifikasi
lapangan;
6. Tim dari Kantor Pertanahan dan Dinas PUPR akan melakukan verifikasi
lapangan menerbitkan Pertimbangan Teknis;
7. OSS RBA akan menerbitkan PKKPR apabila disetujui atau disetujui
sebagian;
8. Pemohon dapat mengunduh (download) PKKPR dari aplikasi
OSS RBA.
Pelaku usaha yang menyewa lahan atau bangunan tetap memerlukan KKPR
dengan mekanisme PKKPR tanpa penilaian selama dapat dibuktikan bahwa
kegiatan pemanfaatan ruang yang direncanakan sesuai dengan izin lokasi
atau KKPR yang telah diterbitkan.
Unggah bukti izin lokasi atau KKPR atau hak atas tanah yang dimiliki oleh
pemilik lahan atau bangunan. Jika terdapat cacat hukum, kekeliruan,
ketidakbenaran dan pemalsuan data, dokumen dan informasi maka dapat
dilakukan pembatalan KKPR. Usulan pembatalan dapat disampaikan oleh
Kementerian ATR/BPN maupun pemerintah daerah melalui Lembaga OSS.
Pengurusan KKPR untuk Kegiatan Usaha Perkebunan dan Pertambangan
Dalam rezim KKPR ini, kita mengenal istilah “Single Reference”
yaitu KKPR merupakan menjadi “Yang Menjadi Acuan Untuk”:
1. Pemanfaatan Ruang;
2. Perolehan Tanah;
3. Pemindahan Hak Atas Tanah; dan
4. Penerbitan Hak Atas Tanah.
KKPR untuk Kegiatan Berusaha sebagaimana yang sudah kami jelaskan di atas
itu melalui Sistem OSS. Sedangkan, KKPR Untuk Kegiatan Non-Berusaha yang
tidak memerlukan perizinan usaha dan KKPR Untuk Kegiatan Yang Bersifat
Strategis Nasional Melalui Sistem Kementerian ATR/BPN dan Melalui
Kementerian ATR/BPN.
Sebagaimana yang sudah kami jelaskan bahwa Pelaksanaan KKPR Untuk
Kegiatan Berusaha Dilakukan Melalui Sistem OSS antara lain:
1. Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKKPR) yang diberikan
berdasarkan:
- Kesesuaian Rencana Lokasi Kegiatan Pemanfaatan Ruang Dengan RDTR Yang
Telah Terintegrasi Dengan Sistem OSS;
- Tidak Diwajibkan Membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP); dan
- Berlaku Selama 3 (Tiga) Tahun Sejak Diterbitkan.
2. Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR). PKKPR untuk
Kegiatan Berusaha Diberikan dalam hal di Rencana Lokasi Kegiatan
Pemanfaatan Ruang:
- Belum Tersedia RDTR; Atau
- RDTR Yang Tersedia Belum Terintegrasi Dalam Sistem OSS.
Pelaksanaan Pengurusan KKPR untuk Perizinan di Daerah mengacu pada
Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor
4/SE-PF.01/III/2021. Saat ini, untuk mengurus perizinan berusaha maupun non-berusaha di
setiap Kabupaten/Kota harus melalui KKPR.
Selain itu, KKPR juga digunakan untuk pengajuan Persetujuan Bangunan
Gedung (PBG). Hal ini bertujuan agar seluruh pembangunan yang melibatkan
ruang di setiap Kabupaten/Kota sesuai dengan peruntukannya dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota yang sudah diatur melalui Perda.
[1]
vide Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
143/PMK.02/2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Kebutuhan Mendesak atas Pelayanan Penerbitan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
[2]
vide Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
143/PMK.02/2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Kebutuhan Mendesak atas Pelayanan Penerbitan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional..
[3]
vide Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
143/PMK.02/2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Kebutuhan Mendesak atas Pelayanan Penerbitan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
[4]
vide Pasal 2 Ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
143/PMK.02/2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Kebutuhan Mendesak atas Pelayanan Penerbitan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
[5]
vide Pasal 1 Angka 27 Peraturan Menteri Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang.
[6]
vide Pasal 1 Angka 10 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
143/PMK.02/2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak Kebutuhan Mendesak atas Pelayanan Penerbitan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
[7]
vide Pasal 1 Angka 14 Peraturan Menteri Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang.
[8]
vide Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang.
[9]
vide Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang.