layananhukum

Apakah Tetap Dapat Melakukan Perceraian kepada Suami Tanpa Kutipan Akta Perkawinan atau Buku Nikah?

Ilustrasi Bercerai Tanpa Melampirkan Akta Perkawinan
 

Pertanyaan

Selamat pak pak, saya ingin bertanya terkait saya ingin mengajukan perceraian di Pengadilan Negeri kepada suami saya akan tetapi Kutipan Akta Perkawinan saya dipegang sama suami saya dan hubungan saya dengan suami tidak baik, sehingga mustahil bagi kami untuk bertemu dengan meminta kepadanya Kutipan Akta Perkawinan kami. Pertanyaan saya apakah saya tetap bisa mengajukan perceraian pada suami saya? Kami sudah beberapa tahun ini sudah pisah rumah dan apabila nanti sidang dilakukan wajibkah saya bersama suami hadir di sidang pengadilan? Demikian terima kasih.

Jawaban

    Pengantar

    Sebelum kami menjelaskan lebih jauh mengenai permasalahan Anda, Anda dapat juga membaca terlebih dahulu tulisan kami yang berjudul “Pentingnya Pencatatan Perkawinan” yang pada intinya menjelaskan bahwa pentingnya dilakukan percatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Indonesia (WNI-WNI) dan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing (WNI-WNA) yang kemudian disebut dengan Perkawinan Campuran. Anda dapat juga membaca tulisa kami yang berjudul “Seberapa Penting Pencatatan Perkawinan Campuran: Perkawinan antara WNI-WNA

    Pencatatan Perkawinan melalui Akta Perkawinan

    Dalam suatu Perkawinan khususnya di Indonesia, yang namanya perceraian tersebut sudah sangat sering terjadi. Perceraian dalam hal ini adalah sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang kemudian hidup terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku.

    Perceraian juga merupakan suatu peristiwa yang kadang tidak dapat dihindarkan oleh pasangan yang sudah melangsungkan perkawinan, baik mereka yang baru saja melangsungkan perkawinan atau mereka yang sudah lama menjalani perkawinan tersebut. Dalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia, perceraian dinyatakan sah jika dilakukan di depan majelis hakim Pengadilan baik itu pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri.

    Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagiamana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Perkawinan” menyatakan bahwa:

    “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

    Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditangani oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum. Perlu diingat bahwa perbuatan pencatatan perkawinan, bukanlah menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.

    Pencatatan Perkawinan bersifat administratif, yang menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi. Dengan pencatatan itu perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun pihak-pihak lainnya.  Suatu perkawinan yang tidak tercatat dalam Akta Perkawinan dianggap tidak ada oleh negara dan tidak mendapat kepastian hukum.

    Kemudian saat kita berbicara mengenai Akta Perkawinan, sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa:

    “Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.”

    Kemudian apa yang dimaksud dengan Akta Perkawinan? UU tentang Perkawinan dan PP tentang Peraturan Pelaksana UU tentang Perkawinan bahkan dalam UU tentang Administrasi Kependudukan tidak ada menyebut apa definisi dari Akta Perkawinan.

    Apabila mengutip pendapat Sudikno Mertokusumo, mengenai apa itu Akta:

    “Akta merupakan surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.”[1]

    Sebagaimana disebutkan di atas Sudikno menyebutkan peristiwa-peristiwa yang menjad dasar suatu hak atau perikatan apabila kita korelasikan dengan definisi “Peristiwa Penting” sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang selanjutnya disebut dengan “UU tentang Administrasi Kependudukan” menyatakan bahwa:

    “Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.”

    Dapat dikatakan dari penjelasan di atas bahwa terdapat beberapa macam jenis Akta sebagaimana yang dikenal dalam UU tentang Administrasi Kependudukan diantaranya adalah Akta Kelahiran, Akta Kematian, Akta Perkawinan, Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak serta Akta Perceraian.

    Akta Perkawinan merupakan tulisan yang dibuat untuk dijadikan sebagai bukti tertulis terhadap suatu perkawinan dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Selain itu, Akta Perkawinan juga bisa diartikan sebagai surat yang dibuat sedemikian rupa oleh atau dihadapan lembaga yang berwenang seperti Kantor Pencatatan Sipil (KCS), sehingga bisa menjadi bukti yang cukup kuat bagi kedua belah pihak telah terjadi peristiwa hukum yaitu perkawinan.

    Dokumen Akta Perkawinan

    Sebagaimana ketentuan Pasal 12 PP tentang Peraturan Pelaksana UU tentang Perkawinan disebutkan Akta Perkawinan memuat:

    a.    Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami-isteri; Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu;

    b.    Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka;

    c.    Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan.(5) Undang-undang;

    d.    Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;

    e.     Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang;

    f.     Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undangundang;

    g.    Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB bagi anggota Angkatan Bersenjata;

    h.    Perjanjian perkawinan apabila ada;

    i.     Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam;

    j.     Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

    Kemudian disebutkan bahwa Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada.[2] Kemudian, kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.[3]

    Dapat dikatakan bahwa biasanya Anda dan suami Anda memiliki 2 (dua) lembar untuk suami dan istri masing-masing diberikan Kutipan Akta Perkawinan yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten/Kota tempat Anda melaksanakan perkawinan serta pencatatan perkawinan Anda.

    Apabila Anda ingin mengetahui seputar Prosedur Perceraian Anda dapat membaca tulisan kami yang berjudul “Aturan Hukum Perceraian yang Wajib Anda Pahami

    Dapatkah Mengajukan Cerai Jika Tidak Ada Kutipan Akta Perkawinan atau Buku Nikah?

    Menurut hemat kami, pada dasarnya ada 2 (dua) syarat yang harus Anda penuhi untuk Anda mengajukan perceraian ke muka pengadilan antara lain:

    1.    Syarat Utama; dan

    2.    Syarat Administrasi untuk Kepentingan Pembuktian.

    Syarat Utama untuk bercerai bagi Anda baik sebagai seorang suami atau istri atau kuasa Anda harus mengajukan gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasa Anda kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (entah tergugatnya suami atau istri Anda).[4]  Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.[5] Kemudian apabila dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.[6]

    Selain mengetahui kemana Anda akan menggugat juga disertai pula cukup alasan bahwa antara suami isteri tersebut tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU tentang Perkawinan. Alasan-alasan sebagaimana yang dimaksud antara lain:

    a.    Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

    b.    Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

    c.    Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

    d.    Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

    e.    Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

    f.     Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[7]

    Dapat dikatakan bahwa dari hal-hal tersebut di atas adalah syarat utama bagi Anda untuk dapat mengajukan perceraian terhadap suami atau istri Anda ke Pengadilan. Kemudian syarat selanjutnya adalah syarat administrasi untuk kepentingan pembuktian yaitu memiliki Kutipan Akta Perkawinan atau Buku Nikah.

    Sekaligus untuk menjawab pertanyaan Anda sejatinya sudah tertuang sebagaimana ketentuan Penjelasan Pasal 30 PP tentang Peraturan Pelaksana UU tentang Perkawinan menyatakan bahwa:

    “Dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang berperkara, yaitu suami dan isteri, dapat menghadiri sendiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan.”

    Ya, memang walau pun bukan syarat utama akan tetapi adanya Kutipan Akta Perkawinan atau Buku Nikah adalah bukti bila seseorang telah melangsungkan perkawinan menurut kepercayaannya serta tercatat perkawinannya menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan syarat administrasi yang wajib ada untuk membuktikan adanya hubungan hukum perkawinan antara Anda dan suami Anda.

    Kutipan Akta Perkawinan atau Buku Nikah adalah dokumen penting untuk mengurus perceraian di Pengadilan Negeri (bagi yang bukan beragama Islam) dan di Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam). Mengapa penting ?

    Karena berdasarkan pengalaman kami Majelis Hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara hanya akan percaya seseorang telah melangsungkan perkawinan yang sah menurut hukum dengan dibuktikan memiliki Kutipan Akta Perkawinan atau Buku Nikah yang dikeluarkan oleh pihak Kantor Catatan Sipil (KCS) atau Kantor Urusan Agama (KUA). Bagaimana jika terdapat keadaannya seseorang ingin mengurus perceraian, namun Kutipan Akta Perkawinan atau Buku Nikah hilang atau sudah tidak diketahui ?

    Di bawah ini kami memberikan langkah-langkah yang harus ditempuh jika ingin mengurus percerain namun Kutipan Akta Perkawinan atau Buku Nikah tidak ada atau hilang.

    Mengurus Penerbitan Kembali Kutipan Akta Perkawinan oleh Kantor Catatan Sipil

    BagAnda i yang beragama non-islam pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS) di mana perkawinan berlangsung. Hal ini berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UU tentang Administrasi Kependudukan yang menyebutkan:

    “Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.”

    Lebih lanjut Pasal 34 ayat (2) UU tentang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa berdasarkan Laporan sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas, Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.

    UU tentang Administrasi Kependudukan maupun peraturan perundang-undangan lain tidak menjelaskan mengenai penerbitan kembali Kutipan Akta Perkawinan yang hilang atau rusak. Namun demikian berdasarkan pengalaman kami di lapangan untuk mengurus penerbitan kembali Kutipan Akta Perkawinan yang hilang dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil di mana Kutipan Akta Perkawinan tersebut diterbitkan, dengan membawa dokumen-dokumen pendukung sebagai berikut:

    1.    Fotokopi Akta Perkawinan;

    2.    Surat Keterangan Hilang dari Kepolisian;

    3.    Fotokopi KTP;

    4.    Fotokopi Kartu Keluarga; dan

    5.    Fotokopi Akta Kelahiran.

    Mengenai jangka waktu penerbitan kembali Kutipan Akta Perkawinan tersebut tidak dapat disebutkan secara jelas, karena Kantor Catatan Sipil harus mencari data atau arsip nomor register Akta Perkawinan yang hilang secara manual.

    Penerbitan Kembali Buku Nikah

    Sebagiamana ketentuan Pasal 34 ayat (4) UU tentang Administrasi Kependudukan, perkawinan penduduk yang beragama Islam dilaporkan kepada Kantor Urusan Agama (“KUA”) Kecamatan. Bukti pelaporan tersebut adalah Akta Perkawinan yang dikeluarkan KUA Kecamatan berdasarkan Pasal 13 PP tentang Peraturan Pelaksana UU tentang Perkawinan, setelah perkawinan dicatatkan, Akta Perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), dimana 1 (satu) rangkap akan disimpan oleh Pegawai Pencatat dan 1 (satu) rangkap berikutnya akan disimpan di Panitera Pengadilan di wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada.

    Selanjutnya, suami-istri masing-masing diberikan buku kutipan akta perkawinan (dikenal juga dengan istilah “buku nikah”, dan istilah tersebut digunakan dalam Peraturan Menteri Agama). Apabila buku nikah hilang, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan penerbitan duplikat buku nikah kepada Pegawai Pencatat Nikah (“PPN”).

    Adapun definisi PPN menurut Pasal 1 Angka 3 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan yang selanjutnya disebut dengan “PMA tentang Pencatatan Pernikahan” adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditugaskan oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk untuk melakukan pencatatan nikah masyarakat Islam. Sedangkan, Duplikat Buku Nikah adalah adalah dokumen pengganti Buku Nikah.[8]

    Lebih lanjut disebutkan bahwa:

    (1)   Terhadap Buku Nikah yang rusak atau hilang dapat diterbitkan Duplikat Buku Nikah.

    (2)   Penerbitan Duplikat Buku Nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui permohonan secara tertulis berdasarkan alasan:

    a.   rusak; atau

    b.   hilang.

    (3)   Permohonan Duplikat Buku Nikah yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, harus disertai dengan buku nikah yang rusak.

    (4)   Permohonan Duplikat Buku Nikah yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, harus disertai dengan surat hilang dari kepolisian.

    (5)   Duplikat Buku Nikah diterbitkan hanya untuk Buku Nikah yang rusak atau hilang.

    Contoh: 

    Pihak A dan B Menikah di Kecamantan Nanga Pinoh Kabupaten Melawi, sedangkan saat ini bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Sambas Kalimantan Barat, maka pembuatan duplikat buku nikah tetap dilakukan di KUA Kecamantan Nanga Pinoh Kabupaten Melawi sebagai tempat melangsungkan perkawinan. Mengurus Perceraian di Pengadilan Agama Jika sudah mengurus duplikat buku nikah, maka tahap selanjutnya adalah menentukan letak pengadilan agama mengurus perceraian.

    Mengurus perceraian diajukan ke Pengadilan Agama wilayah tempat tinggal Isteri.

    Contoh

    Apabila suami bertempat tinggal di Kota Pontianak sedangkan Isteri bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Kubu Raya, maka gugatan cerai diajukan di Pengadilan Agama Sungai Raya. Penentuan alamat bukan didasarkan pada alamat yang ada di KTP pihak isteri, namun kepada alamat dimana saat ini bertempat tinggal (berdomisili) yang nanti akan dikirimkan oleh Pengadilan Agama melalui Relaas Panggilan Sidang.

    Setelah menentukan letak pengadilan, maka tahap selanjutnya menyiapkan dokumen untuk mengurus perceraian, seperti :

    1.    KTP Penggugat / Pemohon;

    2.    Alamat Lengkap Tergugat / Termohon;

    3.    Duplikat Buku Nikah, sebagai pengganti buku nikah yang sudah tidak ada;

    4.    KK + Akta Kelahiran anak, jika meminta hak asuh anak.

    Jadi berdasarkan syarat di atas, jika tidak memegang buku nikah (hilang menurut keterangan Istri Anda), sebelum Anda sebagai suami mengajukan cerai tanpa buku nikah, perlu dilakukan pengurusan duplikat akta nikah terlebih dahulu. Untuk mengurus duplikat nikah guna syarat administratif cerai tanpa buku nikah, Anda perlu mengajukan permintaan ke Kantor Urusan Agama (“KUA”). Permintaan duplikat buku nikah tersebut dapat diajukan melalui permohonan secara tertulis berdasarkan alasan rusak atau hilang. Untuk penerbitan atas alasan hilang, harus disertai dengan surat keterangan kehilangan dari kepolisian. Itu artinya, sebelumnya Anda harus melaporkan kehilangan buku nikah kepada kepolisian setempat terlebih dahulu.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalaan Hukum anda melalui: Link di sini.  atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), 149.

    [2] vide Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [3] vide Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [4] vide Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [5] vide Pasal 20 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [6] vide Pasal 20 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [7] vide Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [8] vide Pasal 1 Angka 12 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan.

    Formulir Isian