layananhukum

Sepanjang Domein Verklaring Berlaku Semangat Reforma Agraria Hanya Ilusi

 

Pontianak – Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia, Eka Kurnia Chrislianto menyoroti proses pembebasan lahan pembangunan Duplikasi Jembatan Kapuas I (JK I) yang telah dinyatakan clear and clean oleh Pemerintah Kota Pontianak, namun nyatanya hingga saat ini masih menyisakan masalah yang mana masih ada warga yang merasa diperlakukan tidak adil karena tak mendapatkan ganti rugi.

Contohnya, Lim Dju Huat, warga Gang Pinggir Kapuas 39, Kelurahan Benua Melayu Darat, Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak. Dia merasa diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah Kota Pontianak (Pemkot Pontianak) karena tak mendapatkan ganti rugi atas bangunan dan lahan miliknya yang terdampak aktivitas proyek pembangunan jembatan.

Eka berpendapat sepanjang Pemerintah menggunakan pendekatan Development-Induced Displacement and Resettlement (DIDR) atau Paradigma Pembangunan dengan menggusur untuk membangun infrastruktur, tentu saja permasalahan Agraria dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kegiatan pembangunan (entah ekonomi, sosial dan budaya) di Indonesia terutama di Kalimantan Barat ini akan selalu terjadi dan menjadi value (nilai) dan norm (norma) yang akan selalu dipakai oleh pemerintah.

“Ada beberapa permasalahan yang kami soroti antara lain ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan baik dari segi legalitas dan pemberian izin dalam melaksanakan program kebijakan pembangunan infrastruktur, kemudian pola menangani sengketa dan konflik agraria yang tidak maksimal, dan pemerintah belum mampu menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah atau lahannya,” terang Eka, di Kantor LBH Kapuas Raya Indonesia, di Pontianak, Rabu, 04/10/2023.

Permasalahan yang ada, menurut Eka, apabila dikaitkan antara value atau nilai dan norm (norma) dari paradigma pembangunan dengan cara menggusur yang dikorelasikan dengan permasalahan agraria akan sangat saling terkait sebagai pretext (teks permulaan) bahwa Program Prioritas Reforma Agraria (PPRA) hanya manis di atas kertas yang dibagi-bagikan melalui TORA akan tetapi tidak sepenuhnya indah sebagai realita. Kenapa demikian? Toh, praktiknya mereka yang tidak memiliki SHM dan hanya SKT apakah mendapatkan haknya yang pertama, legalitas status tanahnya dan kedua, diberikan penggantian atas kerugian yang negara hasilkan dari pembangunan tersebut, mana yang mau diprioritaskan?

“Praktik seperti ini memang bukanlah hal yang baru, kalau kita sekolah hukum pasti pernah dengar yang namanya domein verklaring (free state domain) atau tanah negara. Disebutkan that any land unencumbered by specifically-designated European or indigenous rights was automatically considered the property of the state. Ya, setiap tanah yang tidak dibebani dengan hak milik (Eigendom) baik Eropa atau masyarakat adat maka secara otomatis itu diakui sebagai tanah negara. Kemudian, Hak Negara sebagaimana yang dimaksudkan tersebut di atas yang kemudian dikenal dengan “Hak Menguasai Negara” coba lihat Pasal 2 jo. Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,” jelas Eka.

Eka menegaskan sepanjang masih ada “Colonial Legal Legacies” atau Aturan Hukum Warisan Kolonial. Sulit untuk memecahkan kebuntuan tersebut. Tapi apakah hak menguasai negara ini salah? Pertanyaan yang benar, ‘apakah negaranya budiman?’ jawabannya nilai dan norma (aturan hukum) terkadang bias pada kepentingan tertentu ini nantinya akan muncul lagi analisa keberfungsian kawasan hutan, pemberian izin kepada perusahaan besar, permasalahan hutan adat yang mana kita ketahui menurut hukum semua kegiatan masyarakat yang bermukim di kawasan hutan adalah illegal.

“Perlu ada kontemplasi yang benar-benar direnungkan dululah,” tutup Eka.

Koordinator Pertanahan, Tata Ruang Wilayah, dan Lingkungan Hidup LBH Kapuas Raya Indonesia, Maria Putri Anggraini Saragi juga ikut berkomentar dan menyayangkan hal tersebut mengingat lahan garapan warga yang digusur secara paksa dengan dalil pembangunan tanpa proses musyawarah yang tulus, pencarian solusi yang mengutamakan win-win solution hingga akhirnya hanya menuai paradigma bahwa pembangunan yang keberlanjutan tidak dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak sebaik mungkin terutama dalam Reforma Agraria.

“Perlu diketahui kita punya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, disebutkan tujuannya satu di antaranya menangani sengketa dan konflik agraria. Untuk di Kabupaten/Kota Ketua Gugus Tugas Reforma Agraria di Kota Pontianak adalah Wali Kota dan satu di antara fungsi penunjang adalah perumahan dan kawasan pemukiman dalam pelaksanaannya,” terang Maria.

Maria menambahkan satu di antara tugas dari Gugus Tugas Reforma Agraria yang diketuai oleh Wali Kota adalah mengoordinasikan dan memfasilitasi penyelesaian sengketa atau konflik agraria dan juga ada mewujudkan kepastian hukum dan legalisasi hak TORA.

“Informasi yang kami terima rumah dan lahan warga tersebut berada di tepian Sungai Kapuas tak mendapat ganti rugi pembebasan lahan karena tak mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM), mereka hanya memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) dan warga ini sudah menetap di lahan itu sejak puluhan tahun lalu,” terang Maria.

Maria tak menapik adanya UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang kemudian diubah sebagian oleh Cipta Kerja dan ada turunan aturan seperti PP 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang terakhir telah diubah dengan PP 39/2023.

Aturan-aturan tersebut menurut Maria belum sepenuhnya dapat mengakomodasi masyarakat secara menyeluruh terlebih secara teknis di lapangan ada yang namanya appraisal atau oleh Jasa Penilai Publik (JPP) yang cenderung ada keberpihak pada pihak yang membutuhkan tanah atau lahan tersebut belum lagi nilai yang ditentukan juga terkadang dinilai terlalu rendah akibatnya ini akan berpengaruh pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan tak kalah pentingnya adalah JPP ini biasanya sudah ditentukan atau dipilih langsung dari pihak pemerintah atau pihak yang membutuhkan tanah tersebut, mengingat akses masyarakat untuk menyewa atau menggunakan jasa JPP ini juga yang menjadikan penilaian dari JPP cenderung tidak objektif dalam menghargai nilai tanah mereka.

“Sepanjang yang kami pahami appraisal diatur lewat Peraturan Menteri Keuangan. Perusahaan jasa penilai sudah lazim memang dipakai oleh lembaga negara. Misalnya, di lembaga perbankan sering menggunakan jasa appraisal untuk menilai aset terkait pengajuan kredit. Kami jelas memahami itu sehingga kami mendorong untuk kita terus memantau dan paling tidak melakukan penelitian kecil-kecilan mengenai suatu kebijakan tertentu secara kritis, karena pentingnya checks and balances juga dalam pelaksanaan pemerintahan itu sendiri. Kami tidak membenci pembangunan oleh pemerintah, itu bagus akan tetapi tetap mengedepan memanusiakan manusia adalah utama dalam setiap kebijakan yang dilaksanakan berdasarkan pancasila,” tutupnya.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.

Formulir Isian