layananhukum

LBH Kapuas Raya Indonesia Kecam Penembakan oleh Kepolisian di Seruyan

 

 Pontianak – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia kecam penembakan oleh Kepolisian di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, serta meminta agar Kapolri mengambil langkah tegas karena tidak ada sedikit pun toleransi terhadap extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan untuk alasan apapun.

Selain itu LBH Kapuas Raya Indonesia juga menyoroti dan menyayangkan Pemerintah Kabupaten Seruyan yang gagal dalam melaksanakan pengawasan implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian yang menyebutkan perusahaan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat seluas 20% (dua puluh persen) dari luas lahan tersebut dan pembangunan kebun masyarakat ini tidak mengurangi pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan Perusahaan Perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Jelas! Kami mengecam keras penembakan oleh Kepolisian ini, selain itu kami juga menyayangkan lambannya respon Pemerintah Kabupaten Seruyan dalam menanggapi konflik agraria ini sampai harus mengorbankan nyawa manusia yang sepatutnya dapat dicegah,” tegas Koordinator Pertanahan, Tata Ruang Wilayah, dan Lingkungan Hidup LBH Kapuas Raya Indonesia, Maria Putri Anggaraini Saragi.

Maria menambahkan berdasarkan informasi yang ia terima, kejadian tersebut bermula pada Sabtu, 7 Oktober 2023 terjadi bentrokan antara aparat dan warga di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan. Bentrokan itu terjadi saat warga menuntut perusahaan sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBS) segera menyediakan kebun plasma. Akibat bentrokan itu, seorang warga Desa Bangkal, Gijik (35), tewas akibat ditembak dengan peluru menembus dada. Dua orang lainnya, yakni Taufik Nur Rahman (20) dan Ambaryanto (54), juga terkena tembakan.

“Persoalan rakyat kita tidak akan jauh sepanjang semangat reforma agraria yang dicanangkan dalam nawacita Presiden Joko Widodo melalui Program Prioritas Reforma Agraria (PPRA) bukan hanya secarik kertas yang dibagi-bagikan tanpa makna yang berarti,” kata Maria.

Ia juga menjelaskan dalam ketentuan perundang-undangan tentang Perkebunan beserta peraturan pelaksananya sudah jelas mengenai Perusahaan Perkebunan yang mendapat izin untuk budidaya wajib membangun kebun masyarakat (plasma) seluas 20% dari luas lahan. Jika selama tiga tahun tersebut tidak melaksanakannya akan dicabut perizinannya.

Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Provinsi selaku Pemerintah Daerah, menurut Maria, memiliki tanggung jawab terkait dengan pemberian izin disamping terdapat kewenangan dari Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pertanian (Izin Usaha Perkebunan), Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (HTI atau Pelepasan Kawasan Hutan), serta Kementerian Agraria Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (Hak Guna Usaha).

“Tidak ada yang bisa cuci tangan, semua stakeholder terkait memiliki tanggung jawab. Jangan lempar sana-sini kewenangan seolah-olah salah siapa dan kewenangan siapa. Kita tahu ada Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, kalau Bupati sudah disuruh urus lahan masyarakat dan tidak cabut izin perusahaan yang terbukti lakukan pelanggaran administratif kasih sanksi, kan Gubernur punya kewenangan itu,” pungkas Maria.

Tidak ada alasan yang menyebutkan Pemerintah Provinsi sering mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di perkebunan karena izin perkebunan merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab), bukan Pemprov, itu alasan klasik, tutup Maria.

Senada dengan yang disampaikan oleh Maria Putri, Ketua LBH Kapuas Raya Indonesia, Eka Kurnia Chrislianto menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga korban penembakan yang dilakukan oleh Kepolisian.

Ia juga mendorong agar pelaksanaan pemberian lahan plasma yang merupakan kewajiban perusahaan untuk segera dilakukan tanpa syarat. Fungsi pengawasan oleh Pemerintah Daerah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten dalam penegakan hukum administrasi dengan melibatkan beberapa instansi terkait di Pemerintah Pusat dan yang tak kalah pentingnya perlu adanya revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia mengenai pengamanan di lingkungan perusahaan, bukan rahasia umum sekarang polisi layaknya tukang pukul perusahaan.

“Dalam penembakan ini hanya menambah catatan kami mengenai fenomena pelanggaran HAM dalam konflik agraria di Kalimantan yang dilakukan oleh negara melalui aparat dan juga oleh perusahaan yang melakukan perampasan tanah masyarakat dengan iming-iming kesejahteraan, adanya penolakan terhadap hak-hak dasar lingkungan hidup, kekerasan terhadap masyarakat adat, harassmentcriminalization, bahkan melakukan pembunuhan terhadap mereka yang berusaha mempertahankan tanah dan hutannya,” kata Eka.

Komnas HAM harus ikut ambil andil bukan hanya soal dugaan kekerasan berupa pembunuhan tapi terkait persoalan lahan dan lingkungan hidup dalam konteks ini ada dugaan pelanggaran korporasi.

“Kami memahami bahkan Komnas HAM dalam melakukan fungsi pemantauan dan penyelidikan serta fungsi mediasi pada sengketa ketenagakerjaan, lahan, lingkungan, bukan ranah pro justitia akan tetapi paling tidak hasil-hasil yang didapatkan dapat mengedukasi masyarakat luas dan memberikan informasi yang berimbang dalam situasi di Seruyan,” jelas Eka.

Kepolisian Republik Indonesia, ujar Eka, memang saat ini merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang terkait persoalan hukum (pro justitia) yang endingnya akan bermuara ke Pengadilan. Dalam situasi ini yang kita khawatirkan bersama teori 4 dis yaitu disorientasi, distrust, disobedient serta disintegrasi itu sedikit tidaknya sudah terjadi di negara kita.

“Saat ini kondisi demokrasi, tata politik, sistem ekonomi, sosial dan budaya negara ini tak jelas mau dibawa kemana oleh karenanya telah terjadi disorientasi dalam berwarga negara sudah tidak ada kesejukan. Orang menyampaikan aksi malah ditembaki, bukan haknya dipenuhi. Karena demokrasi, tata politik menjadi sudah tak jelas mau dibawa kemana, maka timbul distrust; ketidak kepercayaan publik terutama dalam konteks ini kepada aparat keamanan. Kemudian, karena ada ketidakpercayaan menyangkut hak-hak orang banyak yang dilanggar maka mulai timbul pembangkangan atau disobedient terhadap suatu norma atau hukum yang berlaku, dan akhirnya terjadilah disintegrasi, adanya gerakan-gerakan perlawanan yang muncul hingga gerakan separatis, jadi jangan heran apabila itu terjadi, fenomena itu terus berlangsung,” tutup Eka. 

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.

Formulir Isian