layananhukum

Begini Aturan Mengenai Pengasuhan Anak Pasca Cerai yang Wajib Anda Ketahui

Ilustrasi Hak Asuh Anak
 

Pertanyaan

Pagi pak, apakah bisa menjelaskan sedikit mengenai pengasuhan anak atau hak asuh setelah cerai dan itu jatuh ke siapa ya? Terima kasih.

Jawaban

    Pengantar

    Harus Anda pahami terlebih dahulu bahwa putusnya perkawinan membawa akibat hukum tidak hanya pada hubungan kedua belah pihak (antara suami dan istri) yang diputus perkawinannya dan harta benda mereka semata, tetapi juga pada anak-anak yang lahir dalam perkawinan mereka. Sebagaimana ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut dengan “UU Perkawinan” menyebutkan bahwa:

    Perkawinan dapat putus karena:

    a.   Kematian;

    b.   Perceraian dan;

    c.   Atas keputusan Pengadilan.

    Terhadap putusnya perkawinan yang diakibatkan oleh kematian maupun putusan pengadilan, tidak ada suatu mekanisme keberatan yang diajukan oleh pihak lain yang turut serta dalam perkawinan. Lain halnya dengan perceraian, ada suatu mekanisme gugatan dimana salah satu pihak merasa ada kepentingannya yang dilanggar oleh pihak lain. Hal tersebut menjadikan proses putusnya perkawinan dengan perceraian lebih kompleks bila dibandingkan dengan kematian atau atas keputusan pengadilan.

    Perceraian terjadi dikarenakan beberapa alasan, namun terhadap alasan-alasan tersebut diberikan suatu pembatasan yang ketat. Artinya, tanpa adanya alasan yang dapat diterima secara hukum, maka dipastikan tidak akan ada suatu perceraian.

    Salah satu sebab yang sering dijadikan alasan untuk mengajukan suatu gugatan perceraian adalah kehidupan rumah tangga antara suami istri yang sudah tidak harmonis atau tidak dapat diharapkan untuk hidup rukun lagi.

    Lembaga Perceraian hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir setelah usaha dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna perbaikan kehidupan perkawinan ternyata sudah tidak dapat ditempuh kembali kecuali hanya dengan dilakukannya perceraian antara suami istri.[1]

    Lembaga Perceraian ini pada dasarnya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan menurut Pasal 1 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa:

    “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.”

    Pertimbangan dari pasal tersebut adalah bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan hanya saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur batin/rohani juga mempunyai peran yang sangat penting.[2]

    Kata kekal dalam pasal di atas, berarti sebuah perkawinan itu dilangsungkan untuk waktu selama-lamanya dan bukan merupakan sebuah permainan yang bisa dilangsungkan untuk waktu sesaat. Dengan terjadinya perceraian maka berakhir pulalah sebuah perkawinan. Saat berakhirnya sebuah perkawinan maka hubungan- hubungan hukum yang ada sebelumnya menjadi tidak berlaku lagi. Termasuk didalamnya adalah berubahnya status hubungan anak dengan orangtuanya.

    Oleh karena itu jika perkawinan diputus oleh hakim maka harus pula diatur tentang hak asuh terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Undang-Undang Perkawinan pada dasarnya mempersukar terjadinya suatu proses perceraian. Untuk memungkinkan terjadinya perceraian harus ada alasan- alasan tertentu yang diajukan dalam proses persidangan.

    Selain itu kepentingan anak adalah aspek utama yang diperhatikan dalam peraturan perundangan ini apabila terjadi perceraian, dimana dalam Pasal 41 huruf a UU Perkawinan menyatakan bahwa:

    “Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.”

    Menjadi masalah adalah ketika para pihak yang terlibat dalam proses perceraian masing-masing merasa mampu untuk memenuhi kepentingan anaknya, satu sama lain tidak ada yang mau mengalah untuk mendapatkan hak pengasuhan anak dan menuding pihak lain tidak mampu untuk melaksanakan pengasuhan tersebut. Padahal seharusnya kepentingan anak adalah yang utama dalam hak asuh anak itu. Oleh karena itu salah satu solusi untuk memecahkan masalah itu adalah dengan adanya penetapan hak asuh anak yang dikeluarkan dalam proses perceraian.

    Definisi dan Pengaturan Hak Asuh Anak

    Soerjono Soekanto membagi hak menjadi 2 (dua) bagian, yakni hak relatif atau yang bisa diartikan dengan hak searah dan hak absolut atau yang bisa diartikan dengan hak yang memiliki arti jamak. Hak relatif atau hak searah memiliki arti bahwa hak relatif adalah bentuk hak yang terbentuk dari perjanjian atau bisa disebut dengan Hukum Perikatan. Hak relatif dapat dicontohkan dengan kemampuan seorang untuk menagih prestasi mereka atau bahkan hak untuk melunasi prestasi mereka.

    Sedangkan, hak absolut atau hak yang memiliki arti jamak berwujud layaknya sebuah hak yang terdapat dalam sebuah hukum yang diatur oleh negara. Kita dapat menyebutnya dengan Hukum Tata Negara (HTN). Selain itu, bentuk lain dari Hak Absolut adalah hak kepribadian berupa hak untuk hidup dan hak kebebasan; hak milik atas suatu objek immaterial berupa hak merek; hak cipta serta hak kekeluargaan berupa hak asuh anak, hak suami-istri; dan hak asuh orang tua.[3]

    Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa Hak Asuh Anak sebagaimana yang akan kita bahas merupakan Hak Absolut yaitu sebuah hak yang terdapatdalam sebuah hukum yang diatur oleh negara. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut sebagai “UUD NRI 1945” menyebutkan:

    (2)   Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

    (3)   Negara Indonesia adalah negara hukum.

    Dapat diartikan bahwa kedaulatan rakyat merupakan tonggak dalam negara hukum, tentu hukum di sini dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sebagaimana ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa:

    “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

    Kemudian sebagaimana Pasal 28I ayat (5) UUD NRI 1945, menyebutkan:

    “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang- undangan.”

    Ketentuan Peraturan perundang-undangan yang dimaksud di atas adalah Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut dengan “UU HAM”, yang menyatakan bahwa:

    “Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.”

    Sebagaimana ketentuan UU HAM di atas disebutkan adanya frasa “Pengasuhan Anak” oleh orang tua atau walinya atau pihak lain yang bertanggung jawab atas hak asuh anak tersebut. Di aturan-aturan di atas kita tidak menemukan definisi yang diberikan mengenai “Hak Asuh” bahkan “Pengasuhan Anak”, tapi sebagaimana Pasal 57 ayat (1) UU HAM ada menyebutkan:

    “Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

    Ketentuan peraturan perundang-undangan ini yang kemudian kita kenal dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang selanjutnya disebut dengan “UU Perlindungan Anak”.

    Secara mendasar, pada diri setiap anak melekat harkat, martabat dan hak- hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang termuat dalam UUD NRI 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang sudah Indonesia ratifikasi sejak tahun 1990 dan baru dibuat oleh negara sebagai hukum nasional di tahun 2002.

    Perlindungan Anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Menurut Arif Gosita kepastian hukum diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan.[4]

    Setelah mengetahui definisi Perlindungan Anak, kita kembali pada “Pengasuhan Anak” itu sendiri sebagaimana yang sudah kami jabarkan bahwa dalam UU Perlindungan Anak sendiri tidak memberikan definisi “Pengasuhan Anak” itu sendiri, meski pun demikian sebagaimana ketentuan Pasal 38A UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa:

    “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengasuhan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

    Nah, dalam Peraturan Pemerintah (PP) inilah yang kemudian kita akan menemukan definisi “Pengasuhan Anak”. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak, yang menyebutkan bahwa:

    “Pengasuhan Anak adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan berkelanjutan demi kepentingan terbaik bagi Anak.”

    Permasalahan Pengasuhan Anak dalam Konteks Pasca Perceraian

    Saat berakhirnya sebuah perkawinan maka hubungan- hubungan hukum yang ada sebelumnya menjadi tidak berlaku lagi. Termasuk di dalamnya adalah status hubungan anak dengan orang tuanya. Oleh karena itu, apabila perkawinan diputus oleh hakim maka harus pula diatur tentang hak asuh terhadap anak-anak yang masih dibawah umur.

    Perlu diketahui juga sebagaimana Pasal 37 UU Perlindungan Anak, menyatakan bahwa:

    (1)   Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

    (2)   Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu.

    Lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu adalah Pengadilan. Ini sesuai sebagaimana ketentuan Pasal 41 huruf a UU Perkawinan yang menyatakan bahwa:

    “Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.”

    Pada saat masa perkawinan, orang tua memegang kekuasaan orang tua terhadap anak-anaknya. Sehingga ada hubungan hukum antara anak dan kedua orang tua dalam bentuk hak dan kewajiban.

    Hak asuh anak merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi oleh para mantan suami dan istri setelah perceraian, karena orang tua pada dasarnya menginginkan anak-anak mereka diasuh dan dibesarkan oleh dirinya sendiri pasca perceraian dan orang tua pasti selalu ingin bersama anak-anak mereka. Mengacu pada Pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan:

    “kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.”

    Sebagaimana ketentuan itu ditegaskan kembali dalam Pasal 26  ayat (1) huruf a UU Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa:

    “Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak.”

    Kemudian disebut lagi, Pasal 14 UU Perlindungan Anak menyatakan:

    “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.

    Menjadi masalah adalah ketika para pihak yang terlibat dalam proses perceraian masing-masing merasa mampu untuk memenuhi kepentingan anaknya, satu sama lain tidak ada yang mau mengalah untuk mendapatkan hak pengasuhan anak dan menuding pihak lain tidak mampu untuk melaksanakan pengasuhan tersebut.

    Hingga akhirnya Pemenuhan hak asuh semakin dipandang perlu mengingat banyak kasus perceraian yang menyebabkan terjadi perebutan hak asuh. Dalam perceraian seringkali kali tidak ada ketentuan mengenai hak kunjung, padahal hal ini kerap menyebabkan terjadinya “penculikan anak” oleh salah satu orang tua pasangan bercerai.

    Padahal seharusnya kepentingan anak adalah yang utama dalam hak asuh anak itu. Oleh karena itu, satu di antara solusi untuk memecahkan masalah itu adalah dengan adanya Penetapan Hak Asuh Anak yang dikeluarkan dalam proses perceraian atau Hakim memutuskan hak asuh anak tersebut dalam Gugatan Perceraian yang dimintakan langsung oleh Penggugat (istri) di Pengadilan dalam petitum mereka.

    Sebagaimana contoh, Putusan Pengadilan Negeri Sintang Nomor 3/Pdt.G/2022/PN.Stg, tanggal 14 Maret 2022, yang dalam amar putusannya menyatakan:

    MENGADILI

    1.     Menyatakan Tergugat tidak pernah hadir meski pun telah dipanggil secara dan patut;

    2.     Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya secara verstek;

    3.    Menyatakan Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana tercatat dalam Akta Perkawinan Nomor: XX tanggal XXX 20XX, adalah sah menurut hukum;

    4.    Menyatakan Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana tercatat dalam Akta Perkawinan Nomor: XX tanggal XXX 20XX, putus karena perceraian;

    5.    Menyatakan Hak Asuh Anak atas nama:

    a.   XXXX, berusia 12 (dua belas tahun), jenis kelamin perempuan, lahir di XX tanggal XX 20XX, berdasarkan Kutipan Akta Kelahiran Nomor: XXXX yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Melawi tanggal XX 20XX;

    b.   XXXX, berusia 9 (sembilan tahun), jenis kelamin laki-laki, lahir di XX tanggal XX 20XX, berdasarkan Kutipan Akta Kelahiran Nomor: XXXX yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Melawi tanggal XX 20XX;

    Berada pada Penggugat dengan tidak mengurangi Hak Tergugat selaku orang tua untuk bertemu dan berkomunikasi dengan anak tersebut;

    Putusan Gugatan Cerai di Pengadilan Negeri di atas sedikit menggambarkan bahwa Penetapan Hak Asuh Anak dapat dimohon sekaligus melalui Gugat Perceraian (rata-ratanya begitu).

    Penetapan Hak Pengasuhan anak ini ditetapkan oleh hakim setelah mendengar para pihak yang bersaksi saat pembuktian baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu yang erat hubungannya dengan anak-anak tersebut. Hakim bebas menetapkan kepada siapakah hak asuh anak itu akan diberikan, apakah akan diberikan kepada ibunya atau kepada bapaknya.

    Hal itu tergantung dari siapa pihak yang paling cakap atau melihat dari kepentingan anak. Namun terkadang pihak yang kalah dalam perebutan hak asuh anak itu tidak bisa menerima begitu saja penetapan dan melakukan upaya hukum ke tingkat yang lebih tinggi untuk mendapatkan hak asuh anak.

    Bahkan pada beberapa kasus ketika telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sekalipun mengenai penetapan hak asuh anak dalam suatu Putusan Perceraian, yang mana pihak suami yang mendapatkan hak asuh anak-anaknya karena mengingat sebagaimana ketentuan Pasal 49 UU Perkawinan menyatakan bahwa:

    (1)   Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:

    a.   la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

    b.   la berkelakuan buruk sekali.

    (2)   Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

    Sebagaimana Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 66/Pdt.P/2014/PN.Jkt.Pst., tanggal  30 April 2014 yang dalam amar putusannya menyatakan sebagai berikut:

    MENETAPKAN

    1.    Mengabulkan permohonan Pemohon;

    2.    Menyatakan bahwa Pemohon adalah ayah kandung dari anak yang bernama XXXX, perempuan lahir di Jakarta pada tanggal XX 20XX;

    3.     Menyatakan Pemohon sebagai wali dari anak yang bernama XXXX, perempuan lahir di Jakarta pada tanggal XXXXX ;

    4.    Menunjuk Pemohon sebagai wali dan berhak mengasuh atas nama yang bernama XXX, perempuan lahir di Jakarta pada tanggal XXXXX;

    5.     Menghukum memerintahkan Termohon untuk menyerahkan XXXX kepada Pemohon untuk diasuh dan dirawat tanpa mengurangi hak Termohon apabila mau bertemu dengan anaknya tersebut;

    6.     Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sebesar Rp. 216.000.00 (dua ratus enam belas ribu rupiah);

    Sejauh ini Penetapan Pengadilan di atas tersebut yang kami temukan (unik) untuk perkara dengan permohanan hak asuh anak berupa Penetapan yang sedikit berbeda dengan beberapa penetapan Pengadilan seperti contohnya, Penetapan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 77/Pdt.P/2023/PN.Ptk, tanggal 6 Februari 2023, yang dalam amarnya menyatakan bahwa:

    MENETAPKAN

    1.     Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

    2.     Menyatakan bahwa pemohon XXXX adalah wali dari anak pemohon yang belum dewasa yaitu, XXX, perempuan, lahir di Pontianak pada tanggal 15 Februari 2012;

    3.     Menyatakan memberi ijin kepada pemohon guna bertindak mewakili kepentingan anak pemohon yang belum dewasa tersebut untuk menjual bagian hak anak-anak pemohon 4 ( empat ) bidang tanah yang dikenal dengan Sertifikat Hak Milik Nomor: 17492 Kelurahan Sungai Jawi .tertanggal 22 Maret 2022 seluas 164 M2, dan Sertifikat Hak Milik Nomor; 17493 tertanggal 2 Maret 2022 seluas 155 M2, dan Sertifikat Hak Milik Nomor: 17494 tertanggal 2 Maret 2022 seluas 170 M2, dan Sertifikat Hak Milik nomor: 17495 tertanggal 2 Maret 2022 seluas 168 M2, yang terletak di Kelurahan Sungai Jawi Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak;

    4.     Menghukum Pemohon untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini sejumlah Rp. 100.000,-( Seratus ribu rupiah);

    Karena apabila merujuk pada Penetapan Pengadilan di atas itu merupakan Perwalian bukan pengasuhan anak. Mengingat bahwa akibat perceraian adalah timbulnya perselisihan perebutan hak asuh anak antara suami dan istri. Ikatan yang terjalin antara suami dan istri dapat terputus karena adanya perceraian, namun ikatan anak dengan ibu dan ayah kandungnya tidak akan terputus sampai kapan pun.

    Tentu perselisihan di sini mengacu pada ketentuan Pasal 41 UU Perkawinan menyatakan: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

    a.   Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

    b.    Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

    c.    Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. 

    Penjabaran UU Perkawinan sebagaimana ketentuan di atas tidak menjelaskan mengenai hak asuh anak setelah cerai apakah akan jatuh kepada ibu atau ayah. Akan tetapi kedua sama-sama memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka, semata-mata untuk kepentingan terbaik anak apabila ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak mereka maka Pengadilan dapat memberi keputusannya.

    Dapat dikatakan berdasarkan uraian kami di atas bahwa dalam hak asuh anak dapat dilakukan dengan dua cara, cara pertama melalui jalur di luar persidangan (non-litigasi) dengan membuat kesepakatan antara ibu dan bapak tentang siapa yang akan memiliki hak asuh anak apabila telah terjadi perceraian. Dengan kata lain, diwujudkan dengan kesepakatan antara kedua orang tua dalam menyerahkan anak kepada salah satu pihak yakni bapak atau ibu untuk diasuh dan diurus. Cara kedua adalah dengan membawa perselisihan hak asuh anak ke Pengadilan apabila tidak ditemukan kesepakatan di antara keduanya, biasanya cara kedua ini dapat melalui Gugatan ke Pengadilan Negeri ketika suami atau istri hendak saling bercerai atau melalui Gugatan terpisah setelah bercerai atau dapat melalui suatu Permohonan ke Pengadilan Negeri sebagaimana yang sudah kami jabarkan di atas.

    Pada praktiknya dalam memberikan keputusan terkait dengan permasalahan hak asuh anak di bawah umur pengadilan cenderung memutuskan atau menetapkan memberikan hak asuh anak tersebut kepada mantan istri atau ibu karena dianggap ibu lah yang berhak untuk memelihara dan mendidik anak. Dapat dikatakan apabila terjadi perceraian, maka orang yang paling berhak mengasuh dan memelihara anak-anaknya adalah ibunya. Apalagi anak di bawah usia 12 (dua belas) tahun yang dianggap masih sangat membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu. Ibu yang dianggap mampu memberikan kasih sayang tak terbatas dan mengoptimalkan tumbuh kembang secara terpelihara dari anak.

    Meskipun secara fisik seorang laki-laki jauh lebih kuat dibandingkan perempuan, namun dalam beberapa hal ibu jauh memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh seorang ayah (suami). Oleh sebab itu, peran ibu mendidik anaknya yang notabenya masih di bawah umur tidak bisa digantikan oleh orang lain atau bahkan oleh suaminya sendiri.

    Hal tersebut termuat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia antara lain:

    1.       Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 239 K/Sip/1968, tanggal 15 Maret 1969, yakni:

    “bahwa Anak-Anak yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang dan perawatan Ibu, harus diserahkan kepada Ibu ketika kedua orang tua bercerai.”

    2.    Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 102 K/Sip/1973, tanggal 23 April 1975 yakni:

    “dalam hal putusan ini dikatakan bahwa dasar pemberian Hak Asuh Anak memprioritaskan Ibu kandung, khususnya bagi Anak-Anak yang masih kecil dengan menimbang kepentingan Anak”

    3.    Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 126 K/Pdt/2001, tanggal 28 Agustus 2003 yakni:

    “bahwa bila ayah dan ibu bercerai, maka pemeliharaan Anak yang masih di bawah umur diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si Anak, yaitu Ibu”.

    Akhirnya yang terkadang terjadi adalah pelaksanaan atau eksekusi dari penetapan akan hak asuh anak tersebut yang apabila pada kenyataannya anak tersebut berada dalam kekuasaan suami (ayah) padahal dalam putusan hak asuh anak yang masih kecil tersebut ditetapkan oleh pengadilan diberikan kepada Ibu dengan tidak mengurangi hak ayah (mantan suami) untuk bertemu anak-anaknya. Namun, karena beberapa alasan ayah (mantan suami) membawa anak-anaknya pergi sehingga menimbulkan pelaksanaan amar putusan atau eksekusi mengenai hak asuh pun menjadi masalah yang kerap terjadi dan pembahasan itu akan kami bahas di tulisan kami yang lain.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalaan Hukum anda melalui: Link di sini.  atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] Jamil Latif, “Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), 30.

    [2] Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisa dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 2-3.

    [3] Yenny Febrianty, “Hukum Apartemen dan Kondominium”, (Cirebon: CV. Green Publisher Indonesia, 2017), 157.

    [4] Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak; Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2006), 33.

    Formulir Isian