Pertanyaan
Terkait dengan isu yang beredar mengenai Hibah atau Bantuan Sosial
(Bansos) hingga akhirnya Mantan Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) H.
Sutarmidji, S.H., M.Hum., dikabarkan akan diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi
Kalbar, gimana pendapatmu bang? Terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara (baik Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah) untuk mewujudkan
tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang. Pengelolaan hak dan kewajiban negara telah diatur sebagaimana ketentuan Pasal
23C BAB VIII Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
selanjutnya disebut sebagai “UUD NRI 1945” menyebutkan bahwa;
“mengamanatkan hal-hal lain mengenai keuangan negara
diatur dengan undang- undang.”
Semua hak dan kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang atau berbentuk uang, serta segala sesuatu baik berupa
uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut merupakan keuangan negara. (vide Pasal
1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara yang selanjutnya disebut sebagai “UU 17/2003”)
Proses pengelolaaan keuangan
negara yang di dalamnya termasuk keuangan daerah dimulai dengan
perencanaan/penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. (vide Pasal 1 Angka 8 UU 17/2003)
Kemudian berkaitan dengan
“belanja daerah” sebagaimana ketentuan Pasal 298 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang selanjutnya disebut sebagai “UU 23/2014” jo. Pasal
144 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang
selanjutnya disebut sebagai “UU 1/2022”, menegaskan bahwa
Pemerintah Daerah menyusun program pembangunan Daerah sesuai dengan prioritas
dan kebutuhan Daerah yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan Urusan
Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik dan pencapaian
sasaran pembangunan, oleh karenanya belanja daerah diprioritaskan untuk
mendanai urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar yang ditetapkan
dengan standar pelayanan minimal.
Kemudian disebutkan, belanja
Daerah dapat dialokasikan untuk pelaksanaan Urusan Pemerintahan wajib yang
tidak terkait dengan pelayanan dasar dan Urusan Pemerintahan pilihan
sebagaimana yang disebutkan di atas, setelah mempertimbangkan pemenuhan
kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik
tersebut.[1]
Apa yang dimaksud dengan
“UrusanPemerintahan” tersebut di atas, perlu Anda ketahui bahwa urusan
pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan
konkuren, dan urusan pemerintahan umum. (vide Pasal 9
ayat (1) UU/23/2014)
Urusan pemerintahan absolut meliputi urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang absolut pemerintah pusat dapat melaksanakan sendiri ataupun melimpahkan wewenang kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi. (vide Pasal 10 ayat (2) UU 23/2014)
Kemudian disebutkan
sebagaimana Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf f UU 23/2014,
menyebutkan bahwa daerah dapat memberikan hibah untuk penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan keagamaan sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan Daerah
dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama, misalnya penyelenggaraan Musabaqah
Tilawatil Qur’an (MTQ), pengembangan bidang pendidikan keagamaan, dan
sebagainya.
Pemerintah Daerah dapat
memberikan hibah setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) yang selanjutnya harus dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Kegiatan belanja hibah yang dianggarkan dalam APBD harus
sesuai dengan kemampuan Keuangan Daerah setelah memprioritaskan pemenuhan
belanja urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan,[2] kecuali
ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, apabila belanja
urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan telah dipenuhi untuk
diprioritaskan, maka daerah dapat menyelenggarakan pemberian hibah. Dengan
ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, maka ada beberapa perubahan yang menjadi dasar
dianggarkannya belanja hibah dalam APBD dan juga perubahan terkait dengan
penerima hibah serta beberapa perubahan lain.
Menindaklanjuti ketentuan ini
maka Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia telah melakukan beberapa
perubahan terkait dengan peraturan yang mengatur mengenai pedoman pemberian
hibah yang bersumber dari APBD dengan yang terakhir menetapkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah yang selanjutnya disebut dengan
“Permendagri 77/2020”. Sebagaimana ketentuan Pasal 4
huruf c Permendagri 77/2020 menyebutkan:
“Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang
Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 450) sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 99 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011
tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019
Nomor 1560), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”
Setelah mengetahui sedikit
tidaknya dasar hukum yang akan kami pakai dalam tulisan ini serta bertujuan
untuk menguraikan lebih lanjut ketentuan yang menjadi pedoman dalam proses
penyelenggaraan belanja hibah yang bersumber dari APBD oleh pemerintah daerah
agar dapat meminimalisasi kesalahan atau penyalahgunaan kewenangan dalam
pengelolaan dan pertanggungjawabannya serta memberikan pemahaman hukum terhadap
publik yang membaca tulisan ini secara keseluruhan.
Pengertian Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos)
Sebelum membahas mengenai
penganggaran dan penatausahaan belanja hibah dan bantuan sosial yang berasal
dari APBD, perlu mengetahui pengertian hibah menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Definisi ini sepanjang kami kami telusuri ada
ketentuan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang selanjutnya
disebut dengan “PP 12/2019”, yang menyebutkan bahwa:
“Hibah merupakan bantuan berupa uang, barang,
dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lain,
masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang tidak mengikat
untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dalam Penjelasan Pasal
47 PP 12/2019 menyebutkan bahwa:
“Hibah termasuk sumbangan dari pihak ketiga/sejenis
yang tidak mengikat, tidak berdasarkan perhitungan tertentu, dan tidak
mempunyai konsekuensi pengeluaran atau pengurangan kewajiban kepada penerima
maupun pemberi serta tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi.”
Dari ketentuan di atas dapat
dikatakan hibah itu juga bukan hanya yang diberikan Pemerintah Daerah ke pihak
ketiga akan tetapi juga termasuk sumbangan dari pihak ketiga dan tidak mengikat
kepada Pemerintah Daerah.
Kemudian dalam Pasal 1
Angka 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Repubik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011
tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 99
Tahun 2019 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dimaksud
dengan hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari
pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan
daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah
ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak
secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan
pemerintah daerah. Sedangkan, bantuan sosial adalah pemberian
bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga,
kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan
selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko
sosial. Jadi, berdasarkan pertanyaan Anda antara Hibah dan Bantuan Sosial
(Bansos) adalah 2 (dua) hal yang berbeda ya. Walaupun kedua-duanya sifatnya
tidak secara terus menerus diberikan.
Kemudian, seperti yang kita
ketahui aturan tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku dan dicabut sedangkan
dalam Permendagri 77/2020, memang tidak memberikan definisi keduanya akan
tetapi dalam penjelasannya masih tidak mengubah substansi dari definisi tersebut.
Pada prinsipnya pemberian hibah dan bantuan sosial diperuntukkan bagi upaya Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat secara langsung serta bersifat stimulan bagi program dan kegiatan Pemerintah daerah pada umumnya. Oleh karena itu, pemberian hibah dan bantuan sosial harus dilakukan secara selektif dan tidak mengikat/terus menerus dalam arti bahwa pemberian hibah dan bantuan sosial tersebut tidak wajib dan tidak harus diberikan setiap tahun anggaran. Pemberian hibah dan bantuan sosial tersebut lebih didasarkan kepada pertimbangan urgensinya bagi kepentingan daerah dan kepentingan dan kemampuan keuangan daerah.
Hibah Daerah
Sedikit menelisik aturan tentang
hibah (khususnya) ini pada tahun 2012 untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pengelolaan hibah daerah serta menyesuaikan dengan perkembangan
kebutuhan pelaksanaan kewenangan daerah dalam rangka hubungan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah meninjau kembali pengaturan mengenai
hibah dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, dalam peraturan pemerintah ini
juga dimuat pengertian tentang hibah daerah yaitu pemberian dengan pengalihan
hak atas sesuatu dari pemerintah atau pihak lain kepada pemerintah daerah atau
sebaliknya yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkanya dan dilakukan
melalui perjanjian. (vide Pasal 1 Angka 10 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah,
yang selanjutnya disebut sebagai “PP 2/2012”)
Belanja Daerah Berupa Hibah atau Pemberian Hibah
Hibah merupakan bagian dari
belanja operasi yang merupakan satu di antara klasifikasi belanja daerah yang
mana pengeluaran anggaran tersebut untuk kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah
yang memberi manfaat jangka pendek.[3] Perlu
diketahui bahwa standar harga untuk belanja operasi pada belanja daerah disusun
berdasarkan standar harga satuan regional, analisis standar belanja, dan/atau
standar teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perurndang-undangan dengan
mempertimbangkan kebutuhan, kepatutan, dan kewajaran.[4] Untuk
standar harga satuan regional sendiri diatur melalui Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan
Regional sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional.[5] Sedangkan,
analisis standar belanja dan standar teknis dan standar harga satuan ditetapkan
dengan Perkada, dalam konteks pertanyaan Anda diatur dalam Peraturan Gubernur
karena levelnya Provinsi, yang mana dalam penelusuran kami yaitu Peraturan
Gubernur Kalimantan Barat Nomor 25 Tahun 2022 tentang Standar Harga Satuan
Tahun Anggaran 2023.
Selain itu, Belanja Daerah
tersebut digunakan untuk mendanai pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah.[6] Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud terdiri atas:
1.
Urusan Pemerintahan Wajib; dan
2.
Urusan Pemerintahan Pilihan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.[7]
Urusan Pemerintahan Wajib
sebagaimana dimaksud terdiri atas:
1.
Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar;
dan
2.
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan
Dasar.[8]
Belanja hibah dianggarkan dalam
APBD sesuai dengan kemampuan Keuangan Daerah setelah memprioritaskan pemenuhan
belanja Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, kecuali
ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[9]
Kemudian disebutkan pemberian
hibah didasarkan atas usulan tertulis yang disampaikan kepada Kepala Daerah.[10]
Syarat dan Ketentuan Hibah kepada Badan
Sebagaimana Lampiran I
BAB II Huruf D Angka 2 huruf e angka 5) huruf e tentang Belanja Hibah
untuk Badan dan Lembaga, serta Organisasi Kemasyarakatan yang Berbadan Hukum
Indonesia Permedagri 77/2020, menyebutkan bahwa hibah kepada badan dan
lembaga diberikan kepada badan dan lembaga:
(a)
yang bersifat nirlaba, sukarela dan sosial yang dibentuk
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
(b)
yang bersifat nirlaba, sukarela dan sosial yang telah
memiliki surat keterangan terdaftar yang diterbitkan oleh Menteri, gubernur
atau bupati/wali kota; atau
(c)
yang bersifat nirlaba, sukarela bersifat sosial
kemasyarakatan berupa kelompok masyarakat/kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan
keberadaannya diakui oleh pemerintah pusat dan/atau Pemerintah Daerah melalui
pengesahan atau penetapan dari pimpinan instansi vertikal atau kepala satuan
kerja perangkat daerah terkait sesuai dengan kewenangannya.
(d)
Koperasi yang didirikan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.
Disebut bahwa hibah kepada badan
dan lembaga dapat diberikan dengan persyaratan paling sedikit:
(a)
memiliki kepengurusan di daerah domisili;
(b)
memiliki keterangan domisili dari lurah/kepala desa
setempat atau sebutan lainnya; dan
(c)
berkedudukan dalam wilayah administrasi Pemerintah Daerah
dan/atau badan dan Lembaga yang berkedudukan di luar wilayah administrasi
Pemerintah Daerah untuk menunjang pencapaian sasaran program, kegiatan dan sub
kegiatan pemerintah daerah pemberi hibah.
Kemudian, hibah kepada organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia diberikan kepada organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum, yayasan atau organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum perkumpulan, yang telah mendapatkan pengesahan badan hukum dari kementerian yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[11]
Hibah kepada organisasi
kemasyarakatan sebagaimana yang dimaksud di atas dapat diberikan dengan
persyaratan paling sedikit:
(a)
telah terdaftar pada kementerian yang membidangi urusan
hukum dan hak asasi manusia;
(b)
berkedudukan dalam wilayah administrasi Pemerintah Daerah
yang bersangkutan; dan
(c)
memiliki sekretariat tetap di daerah yang bersangkutan.[12]
Seperti yang kita ketahui dan
sudah kami jabarkan di atas bahwa hibah itu yang secara spesifik telah
ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak
secara terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali ditentukan lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehubungan dengan itu, perlu Anda
ketahui bahwa terdapat beberapa badan dan lembaga yang dibentuk berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan dapat menerima hibah secara terus-menerus, di
antaranya, yaitu:
1.
Palang Merah Indonesia (PMI) (vide Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Pelayanan Darah) Sebagaimana Pasal
46 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Pelayanan
Darah yang menyatakan:
“Pendanaan
penyelenggaraan pelayanan darah dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau sumber lain yang
sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan)”.
2.
Pramuka (vide Pasal 36 huruf c
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka)
yang menyatakan:
“Pemerintah dan
pemerintah daerah bertugas membantu ketersediaan tenaga, dana, dan fasilitas
yang diperlukan untuk pendidikan kepramukaan”.
3.
Korps Pegawai Republik Indonesia (vide Pasal
2 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia 24 Tahun 2010 tentang
Pengesahan Anggaran Dasar Korpri yang menyatakan:
“Kepada pejabat yang
menduduki jabatan kepengurusan Korps Pegawai Republik Indonesia di Lingkungan
Sekretariat Dewan Pengurus Korps Pegawai Republik Indonesia sesuai hierarki
sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasar Korps Pegawai Republik Indonesia yang
disahkan Keputusan Presiden ini, diberikan tunjangan jabatan struktural
yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah)”.
4.
KONI dan KORMI (vide Pasal 36 ayat (6)
dan (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2022 tentang
Keolahragaan yang menyatakan:
“Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah memberikan hibah kepada Induk Organisasi Cabang Olahraga yang
bersumber dari yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang
prioritas cabang olahraganya ditetapkan dalam desain besar Olahraga nasional
sedangkan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang prioritas cabang
olahraganya ditetapkan dalam desain Olahraga daerah.”
5.
Pemilukada (vide Pasal I Angka 49
Undang-Undang Republik Indonesia 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana terakhir telah
diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi
Undang-Undang, yang menyatakan:
“Pendanaan kegiatan
Pemilihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dapat
didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”
6.
MUI (vide Pasal 3 Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 151 Tahun 2014 tentang Bantuan Pendanaan Kegiatan
Majelis Ulama Indonesia, yang menyatakan:
“Untuk kelancaran
pelaksanaan peranan MUI sebagai mitra Pemerintah Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan pendanaan kegiatan MUI)”
7.
Komisi Penanggulangan AIDS (vide Pasal
15 ayat (3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2006 tentang
Komisi Penanggulangan Aids Nasional sebagaimana terakhir telah
diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 124 Tahun
2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 Tentang
Komisi Penanggulangan Aids Nasional, yang menyatakan:
“Semua biaya yang
diperlukan bagi pelaksanaan tugas Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota)”.
8.
BASNAZ (vide Pasal 31 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang
menyatakan:
“Dalam melaksanakan
tugasnya, BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dan Hak Amil)”.
9.
Partai Politik (vide Penjelasan Pasal
62 ayat (1) Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah), yang menyatakan:
“Pemberian hibah juga
berupa pemberian bantuan keuangan kepada partai politik yang mendapatkan kursi
di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Syarat dan kriteria pemberian
hibah tersebut merupakan pedoman bagi Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD)
dalam menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran
Sementara (PPAS), menyusun RAPBD, pembahasan antara TAPD dengan Badan Anggaran
DPRD sampai dengan pengesahan RAPBD menjadi APBD, demikian pula untuk
penyusunan KUA/PPAS Perubahan sampai dengan penyusunan APBD Perubahan.
Penganggaran, Pelaksananaan dan Penatausahaan Belanja Hibah yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Belanja hibah diberikan kepada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lainnya, badan usaha milik negara, BUMD,
dan/atau badan dan lembaga, serta organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum
Indonesia, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak
wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus setiap tahun
anggaran, kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Belanja hibah berupa uang, barang
atau jasa dapat dianggarkan dalam APBD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah
setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan pemerintahan wajib dan belanja
urusan pemerintahan pilihan, kecuali ditentukan lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pemberian hibah ditujukan untuk
menunjang pencapaian sasaran, program, kegiatan, dan sub kegiatan pemerintah
daerah sesuai kepentingan Daerah dalam mendukung terselenggaranya fungsi
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan dengan memperhatikan asas keadilan,
kepatutan, rasionalitas, dan manfaat untuk masyarakat.
Penganggaran belanja hibah
dianggarkan pada Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait dan dirinci
menurut objek, rincian objek, dan sub rincian objek pada program, kegiatan, dan
sub kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi perangkat daerah terkait. Untuk
belanja hibah yang bukan merupakan urusan dan kewenangan pemerintah daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk
menunjang pencapaian sasaran program, kegiatan dan sub kegiatan pemerintah
daerah, dianggarkan pada perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan
umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kriteria Belanja Hibah Berdasarkan Permendagri 77 Tahun 2020
Belanja hibah memenuhi kriteria
paling sedikit:
a.
peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan;
b.
bersifat tidak wajib, tidak mengikat;
c.
tidak terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali:
1.
kepada pemerintah pusat dalam rangka mendukung
penyelenggaraan pemerintahan daerah sepanjang tidak tumpang tindih pendanaannya
dengan APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
2.
badan dan lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
3.
partai politik; dan/atau
4.
ditentukan lain oleh peraturan perundang- undangan;
d.
memberikan nilai manfaat bagi pemerintah daerah dalam
mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
e.
memenuhi persyaratan penerima hibah.
Pemberian hibah sebagaimana yang
dimaksud didasarkan atas usulan tertulis yang disampaikan kepada Kepala Daerah.
Kemudian, Penerima hibah bertanggungjawab secara formal dan material atas
penggunaan hibah yang diterimanya. Disebutkan untuk tata cara penganggaran,
pelaksanaan dan penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban serta
monitoring dan evaluasi hibah diatur lebih lanjut dengan peraturan kepala
daerah dalam hal ini Peraturan Gubernur.
Polemik Belanja Hibah oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat untuk Yayasan Mujahidin Pontianak
Dikorelasikan dengan pertanyaan
Anda, kami akan langsung menjawab terkait dengan permasalahan hukum polemik
hibah Pemprov Kalbar kepada Yayasan Masjid Mujahidin, termasuk SMA Mujahidin
yang tengah diributkan.
Mari kita lihat terlebih dahulu
aturan yang mengatur tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 7
Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 151 Tahun 2021 tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Provinsi Kalimantan Barat sebagaimana terakhir
telah diubah dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 6
Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 151
Tahun 2021 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Kalimantan Barat, yang
menyatakan bahwa:
“Belanja hibah
memenuhi kriteria paling sedikit:
a.
peruntukannya
secara spesifik telah ditetapkan;
b.
bersifat tidak
wajib, tidak mengikat;
c.
tidak terus
menerus setiap tahun anggaran, kecuali:
1.
kepada pemerintah
pusat dalam rangka mendukung penyelenggaraan
pemerintahan daerah sepanjang tidak tumpang tindih pendanaannya dengan APBN sesuai clengan
ketentuan peraturan perunclangundangan;
2.
badan dan lembaga
yang ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang- undangan;
3.
partai politik dan/atau
4.
ditentukan lain
oleh peraturan perundang-undangan;
d.
memberikan nilai manfaat bagi pemerintah daerah dalam
mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan pembangunan dan kemasyarakatan;
e.
dalam hal pemberian hibah secara selektif, rumah ibadah
yang dapat menerima hibah adalah masjid, gereja, pura, vihara, klenteng dan
rumah ibadah yang berada di lingkungan institusi pendidikan;
f.
dalam hal badan/lembaga yang memiliki jenjang organisasi
pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan, yang dapat menerima hibah adalah
badan/lembaga tingkat provinsi; dan
g.
memenuhi persyaratan penerima Hibah.”
Betul bahwa hibah secara spesifik
telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat,
serta tidak secara terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali
ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Nah, makna frasa “kecuali
ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” ini yang
membuka peluang penafsiran bahwa sifat “tidak secara terus menerus” ini dalam
suatu kondisi tertentu dapat berubah menjadi “secara terus menerus” dengan
syarat dan ketentuan yang berlaku (berdasarkan peraturan perundang-undangan)
ini yang kemudian dalam hukum terdapat adagium yang kita kenal dengan nulla
regula sine exceptione atau there is no rule/law without
exception atau “tidak ada hukum tanpa pengecualian”.
Pengecualian itu pun diatur
sedemikian rupa dan bersifat limitatif yang kemudian dapat diartikan hibah
dapat diberikan secara terus menerus:
1.
kepada pemerintah
pusat dalamrangka mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah sepanjang tidak tumpang tindih pendanaannya dengan APBN sesuai clengan
ketentuan peraturan perunclangundangan;
2.
kepada badan dan lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah
atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
3.
kepada partai politik dan/atau
4.
ditentukan lain
oleh peraturan perundang-undangan.
Dari satu di antara pengecualian
tersebut di atas, menyebutkan:
“kepada badan dan lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah
atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan,”
Mari kita lihat sejauh mana
kewenangan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat dapat menetapkan suatu
badan atau lembaga untuk dapat mendapatkan hibah secara terus menerus?
Sebagaimana yang sudah kami
jelaskan di atas bahwa Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan
absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. (vide Pasal
9 ayat (1) UU 23/2014)
Kemudian disebutkan, Urusan
pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada adalah Urusan Pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.[13] Urusan
pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud meliputi:
a.
politik luar negeri;
b.
pertahanan;
c.
keamanan;
d.
yustisi;
e.
moneter dan fiskal nasional; dan
f.
agama.[14]
Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud Pemerintah Pusat:
a.
melaksanakan sendiri; atau
b.
melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di
Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas
Dekonsentrasi.[15]
Dari ketentuan di atas artinya
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dokonsentrasi dapat
menyelenggaran sebagian urusan mengenai pemerintah absolut dalam hal ini
dalam urusan agama, yang konteksnya sebagaimana Penjelasan
Pasal 10 ayat (1) huruf f UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang
menyatakan:
“Yang dimaksud dengan “urusan
agama” misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional,
memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan
dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya.
Daerah dapat memberikan hibah
untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keagamaan sebagai upaya meningkatkan
keikutsertaan Daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama, misalnya
penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), pengembangan bidang
pendidikan keagamaan, dan sebagainya.”
Kemudian, perlu diketahui juga
sebagaimana pada tanggal 2 Desember 2014 Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam, Prof. Dr. H. Machasin, MA, mengeluarkan Keputusan Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2014 tentang Standar
Pembinaan Manajemen Masjid, yang mana berdasarkan Diktum Kedua
menyatakan bahwa:
“penerapan standar pembinaan manajemen masjid
berlaku secara nasional, dilaksanakan oleh pembina kemasjidan pada Kementerian
Agama berdasarkan wilayah kerjanya, bekerja sama dengan pengurus masjid, Pemerintah
Daerah setempat, Tokoh Agama dan Masyarakt.”
Kemudian dalam Keputusan Dirjen
Bimbingan Masyarakat Islam tersebut membagi beberapa tipologi masjid menjadi
Masjid Negara, Masjid Nasional, Masjid Raya, Masjid Agung, Masjid Besar, Masjid
Jami, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini seperti yang kita ketahui bersama
bahwa Masjid Mujahidin merupakan Masjid Raya yang pada Januari 2015 lalu telah
melaksanakan renovasi pembangunannya serta diresmikan oleh Presiden Republik
Indonesia, Ir. Joko Widodo.
Berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2014 tentang
Standar Pembinaan Manajemen Masjid, Masjid Raya adalah masjid yang
berada di Ibu Kota Provinsi, ditetapkan oleh Gubernur atas rekomendasi Kepala
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi sebagai Masjid Raya, menjadi pusat
kegiatan keagamaan tingkat Pemerintahan Provinsi dengan kriteria:
a.
Dibiayai oleh Pemerintah Provinsi melalui APBD dan dana
masyarakat;
b.
Berfungsi sebagai pembina Masjid Agung yang ada di
wilayah provinsi;
c.
Kepengurusannya ditetapkan oleh Gubernur atau yang
mewakilinya atas rekomendasi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi berdasarkan usulan
jamaah/masyarakat;
d.
Menjadi contoh dan rujukan masjid yang ideal dalam
wilayah provinsi;
e.
Memiliki fasilitas/bangunan penunjang seperti kantor,
bank syariah, toko, aula, hotel atau penginapan, poliklinik, sekolah atau
kampus;
f.
Memiliki nilai budaya, arsitektur nasional dan memiliki
potensi sebagai tempat tujuan wisata, baik domestik maupun mancanegara;
g.
Memiliki nilai sejarah kebangsaan.
Artinya, untuk Masjid Mujahidin
Pontianak dapat disebut sebagai Masjid Raya ia memerlukan beberapa kriteria dan
syarat sebagaimana yang telah disebutkan di atas yaitu dibiaya oleh Pemerintah
Provinsi melalui APBD, pembina Masjid Agung, kepengurusan ditetapkan Gubernur
atas rekomendasi dari Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi
Kalimantan Barat.
Pada tanggal 2 Januari 2019,
Gubernur Kalbar, Sutarmidji kemudian mengeluarkan Surat Keputusan
Gubernur Kalimantan Barat Nomor: II/Kesra/2019 tentang Status Masjid Raya
Mujahidin Pontianak Sebagai Masjid Raya Provinsi Kalimantan Barat, yang
pada DIKTUM KEDUA menyebutkan:
“Masjid Raya Mujahidin Pontianak mempunyai fungsi,
dan manajemen pengeloalaan masjid yang mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan
Manajemen Masjid,”
Kemudian, Gubernur kembali
mengeluarkan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor:
397/Kesra/2021 tentang Status Masjid Raya Mujahidin Pontianak Sebagai Masjid
Raya Provinsi Kalimantan Barat, (yang mana kami belum mengetahui
tanggal berapa Surat Keputusan Gubernur ini dibuat) untuk kedua kalinya.
Berdasarkan informasi yang kami rangkum berdasarkan Surat Keputusan pada tahun
2021 ini baru kemudian terdapat Surat Rekomendasi Kepala Kantor
Wilayah Kemeterian Agama Republik Indonesia Provinsi Kalimantan Barat Nomor:
1363/Kw.14.6/1/BA.00.1/III/2021 tanggal 2 Februari 2021, hal:
Rekomendasi Masjid Raya Mujahidin, sedangkan pada Keputusan Gubernur pada tahun
2019 tidak mencantumkan Surat Rekomendasi tersebut.
Di tahun yang sama, berdasarkan
kewenangannya Gubernur Kalimantan Barat membuat sebuah Kesepakatan Bersama
antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Yayasan Mujahidin Kalimantan
Barat Nomor:
28/KB-PEM/2021 dan Nomor: 01/P.C/YM-KB/V/2021 tentang Pembangunan Sumber
Daya Manusia di Kalimantan Barat tanggal 7 Mei 2021, yang dalam Kesepakatan Bersama tersebut pada
intinya Sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 3 tentang Ruang Lingkup Kesepakatan Bersama tersebut meliputi antara lain:
1.
Pengembangan
pendidikan dan pengajaran dalam rangka peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
di Provinsi Kalimantan Barat;
2.
Perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan di Provinsi Kalimantan Barat;
3.
Pendayagunaan
Sumber Daya Manusia, Prasarana, dan Sarana;
4.
Pelatihan dan
seminar; dan
5.
Urusan
pemerintahan lainnya yang relevan dengan bidang tugas dan kewenangan para
pihak.
Setelah itu, Gubernur Kalbar,
Sutarmidji kembali mengeluarkan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat
Nomor 677/Kesra/2021 tentang Yayasan Mujahidin Kalimantan Barat Sebagai
Badan/Lembaga Penerima Hibah Terus Menerus tanggal 6 Juni 2021.
Dalam DIKTUM-nya “Memutuskan”, ditetapkan 10 (sepuluh) hal dari Yayasan
Mujahidin Kalimantan Barat yang bisa mendapat hibah secara terus menerus. Dari
10 (sepuluh) hal yang meliputi itu, satu di antaranya adalah Lembaga Pendidikan.
Di penghujung ulasan ini, dapat
dikatakan dasar hukum terkait pelaksanaan hibah terhadap Yayasan Pontianak
dilaksanakan berdasarkan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji yang
ditentukan berdasarkan kewenangannya memberikan hibah tersebut intinya kepada
Yayasan Mujahidin (yang merupakan badan hukum) yang di dalamnya terdapat
Masjid, Sekolah dan lain sebagainya, akan tetapi apabila ditemukan lain oleh
Aparat Penegak Hukum (APH) maka itu adalah hal lain.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1]
vide Pasal 144 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
[2] vide Pasal Pasal 298 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
[3]
vide
Pasal 55 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
[4]
vide
Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022
tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah jo. Pasal 51 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
[5]
vide
Pasal 51 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
[6]
vide
Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
[7]
vide
Pasal 49 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
[8]
vide
Pasal 49 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
[9]
vide
Pasal 62 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
[10]
vide
Penjelasan Pasal 62 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
[11]
vide Lampiran I BAB II Huruf D Angka 2 huruf e angka 5) huruf e
Angka (2) tentang Belanja Hibah untuk Badan dan Lembaga, serta
Organisasi Kemasyarakatan yang Berbadan Hukum Indonesia Peraturan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2020 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
[12]
vide Lampiran I BAB II Huruf D Angka 2 huruf e angka 5) huruf e
Angka (4) tentang Belanja Hibah untuk Badan dan Lembaga, serta
Organisasi Kemasyarakatan yang Berbadan Hukum Indonesia Peraturan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2020 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
[13]
vide Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
[14]
vide Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah.
[15]
vide Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah.