layananhukum

Begini Aturan Mengenai Hibah Bersumber dari APBD yang Wajib Anda Ketahui



Pertanyaan

Terkait dengan isu yang beredar mengenai Hibah atau Bantuan Sosial (Bansos) hingga akhirnya Mantan Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) H. Sutarmidji, S.H., M.Hum., dikabarkan akan diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Kalbar, gimana pendapatmu bang? Terima kasih.

Jawaban

    Pengantar

    Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (baik Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah) untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Pengelolaan hak dan kewajiban negara telah diatur sebagaimana ketentuan Pasal 23C BAB VIII Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut sebagai “UUD NRI 1945” menyebutkan bahwa;

    “mengamanatkan hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang- undang.”

    Semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang atau berbentuk uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut merupakan keuangan negara. (vide Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut sebagai “UU 17/2003”)

    Proses pengelolaaan keuangan negara yang di dalamnya termasuk keuangan daerah dimulai dengan perencanaan/penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (vide Pasal 1 Angka 8 UU 17/2003)

    Kemudian berkaitan dengan “belanja daerah” sebagaimana ketentuan Pasal 298 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebut sebagai “UU 23/2014” jo. Pasal 144 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut sebagai “UU 1/2022”, menegaskan bahwa Pemerintah Daerah menyusun program pembangunan Daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik dan pencapaian sasaran pembangunan, oleh karenanya belanja daerah diprioritaskan untuk mendanai urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan minimal.

    Kemudian disebutkan, belanja Daerah dapat dialokasikan untuk pelaksanaan Urusan Pemerintahan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar dan Urusan Pemerintahan pilihan sebagaimana yang disebutkan di atas, setelah mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik tersebut.[1]

    Apa yang dimaksud dengan “UrusanPemerintahan” tersebut di atas, perlu Anda ketahui bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. (vide Pasal 9  ayat (1) UU/23/2014)

    Urusan pemerintahan absolut meliputi urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang absolut pemerintah pusat dapat melaksanakan sendiri ataupun melimpahkan wewenang kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi. (vide Pasal 10 ayat (2) UU 23/2014)

    Kemudian disebutkan sebagaimana Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf f UU 23/2014, menyebutkan bahwa daerah dapat memberikan hibah untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keagamaan sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan Daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama, misalnya penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), pengembangan bidang pendidikan keagamaan, dan sebagainya.

    Pemerintah Daerah dapat memberikan hibah setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang selanjutnya harus dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kegiatan belanja hibah yang dianggarkan dalam APBD harus sesuai dengan kemampuan Keuangan Daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan,[2] kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Dengan demikian, apabila belanja urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan telah dipenuhi untuk diprioritaskan, maka daerah dapat menyelenggarakan pemberian hibah. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka ada beberapa perubahan yang menjadi dasar dianggarkannya belanja hibah dalam APBD dan juga perubahan terkait dengan penerima hibah serta beberapa perubahan lain.

    Menindaklanjuti ketentuan ini maka Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia telah melakukan beberapa perubahan terkait dengan peraturan yang mengatur mengenai pedoman pemberian hibah yang bersumber dari APBD dengan yang terakhir menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah yang selanjutnya disebut dengan “Permendagri 77/2020”. Sebagaimana ketentuan Pasal 4 huruf c Permendagri 77/2020 menyebutkan:

    “Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 450) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 99 Tahun 2019 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1560), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”

    Setelah mengetahui sedikit tidaknya dasar hukum yang akan kami pakai dalam tulisan ini serta bertujuan untuk menguraikan lebih lanjut ketentuan yang menjadi pedoman dalam proses penyelenggaraan belanja hibah yang bersumber dari APBD oleh pemerintah daerah agar dapat meminimalisasi kesalahan atau penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan dan pertanggungjawabannya serta memberikan pemahaman hukum terhadap publik yang membaca tulisan ini secara keseluruhan.

    Pengertian Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos)

    Sebelum membahas mengenai penganggaran dan penatausahaan belanja hibah dan bantuan sosial yang berasal dari APBD, perlu mengetahui pengertian hibah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Definisi ini sepanjang kami kami telusuri ada ketentuan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang selanjutnya disebut dengan “PP 12/2019”, yang menyebutkan bahwa:

    “Hibah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lain, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang tidak mengikat untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

    Dalam Penjelasan Pasal 47 PP 12/2019 menyebutkan bahwa:

    “Hibah termasuk sumbangan dari pihak ketiga/sejenis yang tidak mengikat, tidak berdasarkan perhitungan tertentu, dan tidak mempunyai konsekuensi pengeluaran atau pengurangan kewajiban kepada penerima maupun pemberi serta tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi.”

    Dari ketentuan di atas dapat dikatakan hibah itu juga bukan hanya yang diberikan Pemerintah Daerah ke pihak ketiga akan tetapi juga termasuk sumbangan dari pihak ketiga dan tidak mengikat kepada Pemerintah Daerah.

    Kemudian dalam Pasal 1 Angka 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Repubik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 99 Tahun 2019 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dimaksud dengan hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah. Sedangkan, bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Jadi, berdasarkan pertanyaan Anda antara Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) adalah 2 (dua) hal yang berbeda ya. Walaupun kedua-duanya sifatnya tidak secara terus menerus diberikan.

    Kemudian, seperti yang kita ketahui aturan tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku dan dicabut sedangkan dalam Permendagri 77/2020, memang tidak memberikan definisi keduanya akan tetapi dalam penjelasannya masih tidak mengubah substansi dari definisi tersebut.

    Pada prinsipnya pemberian hibah dan bantuan sosial diperuntukkan bagi upaya Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat secara langsung serta bersifat stimulan bagi program dan kegiatan Pemerintah daerah pada umumnya. Oleh karena itu, pemberian hibah dan bantuan sosial harus dilakukan secara selektif dan tidak mengikat/terus menerus dalam arti bahwa pemberian hibah dan bantuan sosial tersebut tidak wajib dan tidak harus diberikan setiap tahun anggaran. Pemberian hibah dan bantuan sosial tersebut lebih didasarkan kepada pertimbangan urgensinya bagi kepentingan daerah dan kepentingan dan kemampuan keuangan daerah.

    Baca Juga: Apa Itu Retribusi?

    Hibah Daerah

    Sedikit menelisik aturan tentang hibah (khususnya) ini pada tahun 2012 untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan hibah daerah serta menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan pelaksanaan kewenangan daerah dalam rangka hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah meninjau kembali pengaturan mengenai hibah dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, dalam peraturan pemerintah ini juga dimuat pengertian tentang hibah daerah yaitu pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari pemerintah atau pihak lain kepada pemerintah daerah atau sebaliknya yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkanya dan dilakukan melalui perjanjian. (vide Pasal 1 Angka 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, yang selanjutnya disebut sebagai “PP 2/2012”)

    Belanja Daerah Berupa Hibah atau Pemberian Hibah

    Hibah merupakan bagian dari belanja operasi yang merupakan satu di antara klasifikasi belanja daerah yang mana pengeluaran anggaran tersebut untuk kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah yang memberi manfaat jangka pendek.[3] Perlu diketahui bahwa standar harga untuk belanja operasi pada belanja daerah disusun berdasarkan standar harga satuan regional, analisis standar belanja, dan/atau standar teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perurndang-undangan dengan mempertimbangkan kebutuhan, kepatutan, dan kewajaran.[4] Untuk standar harga satuan regional sendiri diatur melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional.[5] Sedangkan, analisis standar belanja dan standar teknis dan standar harga satuan ditetapkan dengan Perkada, dalam konteks pertanyaan Anda diatur dalam Peraturan Gubernur karena levelnya Provinsi, yang mana dalam penelusuran kami yaitu Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 25 Tahun 2022 tentang Standar Harga Satuan Tahun Anggaran 2023.

    Selain itu, Belanja Daerah tersebut digunakan untuk mendanai pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.[6] Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud terdiri atas:

    1.        Urusan Pemerintahan Wajib; dan

    2.       Urusan Pemerintahan Pilihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[7]

    Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud terdiri atas:

    1.        Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar; dan

    2.       Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar.[8]

    Belanja hibah dianggarkan dalam APBD sesuai dengan kemampuan Keuangan Daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[9]

    Kemudian disebutkan pemberian hibah didasarkan atas usulan tertulis yang disampaikan kepada Kepala Daerah.[10]

    Syarat dan Ketentuan Hibah kepada Badan

    Sebagaimana Lampiran I BAB II Huruf D Angka 2 huruf e angka 5)  huruf e tentang Belanja Hibah untuk Badan dan Lembaga, serta Organisasi Kemasyarakatan yang Berbadan Hukum Indonesia Permedagri 77/2020, menyebutkan bahwa hibah kepada badan dan lembaga diberikan kepada badan dan lembaga:

    (a)     yang bersifat nirlaba, sukarela dan sosial yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan;

    (b)    yang bersifat nirlaba, sukarela dan sosial yang telah memiliki surat keterangan terdaftar yang diterbitkan oleh Menteri, gubernur atau bupati/wali kota; atau

    (c)     yang bersifat nirlaba, sukarela bersifat sosial kemasyarakatan berupa kelompok masyarakat/kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan keberadaannya diakui oleh pemerintah pusat dan/atau Pemerintah Daerah melalui pengesahan atau penetapan dari pimpinan instansi vertikal atau kepala satuan kerja perangkat daerah terkait sesuai dengan kewenangannya.

    (d)    Koperasi yang didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

    Disebut bahwa hibah kepada badan dan lembaga dapat diberikan dengan persyaratan paling sedikit:

    (a)     memiliki kepengurusan di daerah domisili;

    (b)    memiliki keterangan domisili dari lurah/kepala desa setempat atau sebutan lainnya; dan

    (c)     berkedudukan dalam wilayah administrasi Pemerintah Daerah dan/atau badan dan Lembaga yang berkedudukan di luar wilayah administrasi Pemerintah Daerah untuk menunjang pencapaian sasaran program, kegiatan dan sub kegiatan pemerintah daerah pemberi hibah.

    Kemudian, hibah kepada organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia diberikan kepada organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum, yayasan atau organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum perkumpulan, yang telah mendapatkan pengesahan badan hukum dari kementerian yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[11]

    Hibah kepada organisasi kemasyarakatan sebagaimana yang dimaksud di atas dapat diberikan dengan persyaratan paling sedikit:

    (a)     telah terdaftar pada kementerian yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia;

    (b)    berkedudukan dalam wilayah administrasi Pemerintah Daerah yang bersangkutan; dan

    (c)     memiliki sekretariat tetap di daerah yang bersangkutan.[12]

    Seperti yang kita ketahui dan sudah kami jabarkan di atas bahwa hibah itu yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus setiap tahun anggarankecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Sehubungan dengan itu, perlu Anda ketahui bahwa terdapat beberapa badan dan lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan dan dapat menerima hibah secara terus-menerus, di antaranya, yaitu:

    1.        Palang Merah Indonesia (PMI) (vide Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Pelayanan Darah) Sebagaimana Pasal 46 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Pelayanan Darah yang menyatakan:

    “Pendanaan penyelenggaraan pelayanan darah dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan)”.

    2.       Pramuka (vide Pasal 36 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka) yang menyatakan:

    “Pemerintah dan pemerintah daerah bertugas membantu ketersediaan tenaga, dana, dan fasilitas yang diperlukan untuk pendidikan kepramukaan”.

    3.      Korps Pegawai Republik Indonesia (vide Pasal 2 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia 24 Tahun 2010 tentang Pengesahan Anggaran Dasar Korpri yang menyatakan:

    “Kepada pejabat yang menduduki jabatan kepengurusan Korps Pegawai Republik Indonesia di Lingkungan Sekretariat Dewan Pengurus Korps Pegawai Republik Indonesia sesuai hierarki sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasar Korps Pegawai Republik Indonesia yang disahkan Keputusan Presiden ini, diberikan tunjangan jabatan struktural yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)”.

    4.       KONI dan KORMI (vide Pasal 36 ayat (6) dan (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan yang menyatakan:

    “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan hibah kepada Induk Organisasi Cabang Olahraga yang bersumber dari yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang prioritas cabang olahraganya ditetapkan dalam desain besar Olahraga nasional sedangkan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang prioritas cabang olahraganya ditetapkan dalam desain Olahraga daerah.”

    5.       Pemilukada (vide Pasal I Angka 49 Undang-Undang Republik Indonesia 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang, yang menyatakan:

    “Pendanaan kegiatan Pemilihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

    6.      MUI (vide Pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 151 Tahun 2014 tentang Bantuan Pendanaan Kegiatan Majelis Ulama Indonesia, yang menyatakan:

    “Untuk kelancaran pelaksanaan peranan MUI sebagai mitra Pemerintah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan pendanaan kegiatan MUI)”

    7.       Komisi Penanggulangan AIDS (vide Pasal 15 ayat (3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan Aids Nasional sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 124 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 Tentang Komisi Penanggulangan Aids Nasional, yang menyatakan:

    “Semua biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota)”.

    8.      BASNAZ (vide Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang menyatakan:

    “Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil)”.

    9.      Partai Politik (vide Penjelasan Pasal 62 ayat (1) Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah), yang menyatakan:

    “Pemberian hibah juga berupa pemberian bantuan keuangan kepada partai politik yang mendapatkan kursi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

    Syarat dan kriteria pemberian hibah tersebut merupakan pedoman bagi Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dalam menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), menyusun RAPBD, pembahasan antara TAPD dengan Badan Anggaran DPRD sampai dengan pengesahan RAPBD menjadi APBD, demikian pula untuk penyusunan KUA/PPAS Perubahan sampai dengan penyusunan APBD Perubahan.

    Penganggaran, Pelaksananaan dan Penatausahaan Belanja Hibah yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

    Belanja hibah diberikan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, dan/atau badan dan lembaga, serta organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Belanja hibah berupa uang, barang atau jasa dapat dianggarkan dalam APBD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan pemerintahan wajib dan belanja urusan pemerintahan pilihan, kecuali ditentukan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    Pemberian hibah ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran, program, kegiatan, dan sub kegiatan pemerintah daerah sesuai kepentingan Daerah dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat untuk masyarakat.

    Penganggaran belanja hibah dianggarkan pada Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait dan dirinci menurut objek, rincian objek, dan sub rincian objek pada program, kegiatan, dan sub kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi perangkat daerah terkait. Untuk belanja hibah yang bukan merupakan urusan dan kewenangan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk menunjang pencapaian sasaran program, kegiatan dan sub kegiatan pemerintah daerah, dianggarkan pada perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Kriteria Belanja Hibah Berdasarkan Permendagri 77 Tahun 2020

    Belanja hibah memenuhi kriteria paling sedikit:

    a.       peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan;

    b.      bersifat tidak wajib, tidak mengikat;

    c.       tidak terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali:

    1.        kepada pemerintah pusat dalam rangka mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah sepanjang tidak tumpang tindih pendanaannya dengan APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

    2.       badan dan lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    3.       partai politik; dan/atau

    4.       ditentukan lain oleh peraturan perundang- undangan;

    d.      memberikan nilai manfaat bagi pemerintah daerah dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

    e.       memenuhi persyaratan penerima hibah.

    Pemberian hibah sebagaimana yang dimaksud didasarkan atas usulan tertulis yang disampaikan kepada Kepala Daerah. Kemudian, Penerima hibah bertanggungjawab secara formal dan material atas penggunaan hibah yang diterimanya. Disebutkan untuk tata cara penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban serta monitoring dan evaluasi hibah diatur lebih lanjut dengan peraturan kepala daerah dalam hal ini Peraturan Gubernur.

    Polemik Belanja Hibah oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat untuk Yayasan Mujahidin Pontianak

    Dikorelasikan dengan pertanyaan Anda, kami akan langsung menjawab terkait dengan permasalahan hukum polemik hibah Pemprov Kalbar kepada Yayasan Masjid Mujahidin, termasuk SMA Mujahidin yang tengah diributkan.

    Mari kita lihat terlebih dahulu aturan yang mengatur tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 7 Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 151 Tahun 2021 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Kalimantan Barat sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 151 Tahun 2021 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Kalimantan Barat, yang menyatakan bahwa:

    Belanja hibah memenuhi kriteria paling sedikit:

    a.   peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan;

    b.   bersifat tidak wajib, tidak mengikat;

    c.   tidak terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali:

    1.        kepada pemerintah pusat dalam rangka mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah sepanjang tidak tumpang tindih pendanaannya dengan APBN sesuai clengan ketentuan peraturan perunclangundangan;

    2.       badan dan lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah  sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan;

    3.       partai politik dan/atau

    4.       ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan;

    d.   memberikan nilai manfaat bagi pemerintah daerah dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan pembangunan dan kemasyarakatan;

    e.   dalam hal pemberian hibah secara selektif, rumah ibadah yang dapat menerima hibah adalah masjid, gereja, pura, vihara, klenteng dan rumah ibadah yang berada di lingkungan institusi pendidikan;

    f.    dalam hal badan/lembaga yang memiliki jenjang organisasi pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan, yang dapat menerima hibah adalah badan/lembaga tingkat provinsi; dan

    g.   memenuhi persyaratan penerima Hibah.”

    Betul bahwa hibah secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus setiap tahun anggarankecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Nah, makna frasa “kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” ini yang membuka peluang penafsiran bahwa sifat “tidak secara terus menerus” ini dalam suatu kondisi tertentu dapat berubah menjadi “secara terus menerus” dengan syarat dan ketentuan yang berlaku (berdasarkan peraturan perundang-undangan) ini yang kemudian dalam hukum terdapat adagium yang kita kenal dengan nulla regula sine exceptione atau there is no rule/law without exception atau “tidak ada hukum tanpa pengecualian”.

    Pengecualian itu pun diatur sedemikian rupa dan bersifat limitatif yang kemudian dapat diartikan hibah dapat diberikan secara terus menerus:

    1.        kepada pemerintah pusat dalamrangka mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah sepanjang tidak tumpang tindih pendanaannya dengan APBN sesuai clengan ketentuan peraturan perunclangundangan;

    2.       kepada badan dan lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah  sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    3.      kepada partai politik dan/atau

    4.       ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

    Dari satu di antara pengecualian tersebut di atas, menyebutkan:

    kepada badan dan lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah  sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,”

    Mari kita lihat sejauh mana kewenangan pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat dapat menetapkan suatu badan atau lembaga untuk dapat mendapatkan hibah secara terus menerus?

    Sebagaimana yang sudah kami jelaskan di atas bahwa Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. (vide Pasal 9 ayat (1) UU 23/2014)

    Kemudian disebutkan, Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.[13] Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud meliputi:

    a.       politik luar negeri;

    b.      pertahanan;

    c.       keamanan;

    d.      yustisi;

    e.       moneter dan fiskal nasional; dan

    f.        agama.[14]

    Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud Pemerintah Pusat:

    a.       melaksanakan sendiri; atau

    b.      melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.[15]

    Dari ketentuan di atas artinya Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dokonsentrasi dapat menyelenggaran sebagian urusan mengenai pemerintah absolut dalam hal ini dalam urusan agama, yang konteksnya sebagaimana Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf f UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan:

    “Yang dimaksud dengan “urusan agama” misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya.

    Daerah dapat memberikan hibah untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keagamaan sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan Daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama, misalnya penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), pengembangan bidang pendidikan keagamaan, dan sebagainya.”

    Kemudian, perlu diketahui juga sebagaimana pada tanggal 2 Desember 2014 Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Prof. Dr. H. Machasin, MA, mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid, yang mana berdasarkan Diktum Kedua menyatakan bahwa:

    “penerapan standar pembinaan manajemen masjid berlaku secara nasional, dilaksanakan oleh pembina kemasjidan pada Kementerian Agama berdasarkan wilayah kerjanya, bekerja sama dengan pengurus masjid, Pemerintah Daerah setempat, Tokoh Agama dan Masyarakt.”

    Kemudian dalam Keputusan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam tersebut membagi beberapa tipologi masjid menjadi Masjid Negara, Masjid Nasional, Masjid Raya, Masjid Agung, Masjid Besar, Masjid Jami, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini seperti yang kita ketahui bersama bahwa Masjid Mujahidin merupakan Masjid Raya yang pada Januari 2015 lalu telah melaksanakan renovasi pembangunannya serta diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo.

    Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid, Masjid Raya adalah masjid yang berada di Ibu Kota Provinsi, ditetapkan oleh Gubernur atas rekomendasi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi sebagai Masjid Raya, menjadi pusat kegiatan keagamaan tingkat Pemerintahan Provinsi dengan kriteria:

    a.       Dibiayai oleh Pemerintah Provinsi melalui APBD dan dana masyarakat;

    b.      Berfungsi sebagai pembina Masjid Agung yang ada di wilayah provinsi;

    c.       Kepengurusannya ditetapkan oleh Gubernur atau yang mewakilinya atas rekomendasi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi berdasarkan usulan jamaah/masyarakat;

    d.      Menjadi contoh dan rujukan masjid yang ideal dalam wilayah provinsi;

    e.       Memiliki fasilitas/bangunan penunjang seperti kantor, bank syariah, toko, aula, hotel atau penginapan, poliklinik, sekolah atau kampus;

    f.        Memiliki nilai budaya, arsitektur nasional dan memiliki potensi sebagai tempat tujuan wisata, baik domestik maupun mancanegara;

    g.      Memiliki nilai sejarah kebangsaan.

    Artinya, untuk Masjid Mujahidin Pontianak dapat disebut sebagai Masjid Raya ia memerlukan beberapa kriteria dan syarat sebagaimana yang telah disebutkan di atas yaitu dibiaya oleh Pemerintah Provinsi melalui APBD, pembina Masjid Agung, kepengurusan ditetapkan Gubernur atas rekomendasi dari Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Barat.

    Pada tanggal 2 Januari 2019, Gubernur Kalbar, Sutarmidji kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Barat  Nomor: II/Kesra/2019 tentang Status Masjid Raya Mujahidin Pontianak Sebagai Masjid Raya Provinsi Kalimantan Barat, yang pada DIKTUM KEDUA menyebutkan:

    “Masjid Raya Mujahidin Pontianak mempunyai fungsi, dan manajemen pengeloalaan masjid yang mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid,”

    Kemudian, Gubernur kembali mengeluarkan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor: 397/Kesra/2021 tentang Status Masjid Raya Mujahidin Pontianak Sebagai Masjid Raya Provinsi Kalimantan Barat, (yang mana kami belum mengetahui tanggal berapa Surat Keputusan Gubernur ini dibuat) untuk kedua kalinya. Berdasarkan informasi yang kami rangkum berdasarkan Surat Keputusan pada tahun 2021 ini baru kemudian terdapat Surat Rekomendasi Kepala Kantor Wilayah Kemeterian Agama Republik Indonesia Provinsi Kalimantan Barat Nomor: 1363/Kw.14.6/1/BA.00.1/III/2021 tanggal 2 Februari 2021, hal: Rekomendasi Masjid Raya Mujahidin, sedangkan pada Keputusan Gubernur pada tahun 2019 tidak mencantumkan Surat Rekomendasi tersebut.

    Di tahun yang sama, berdasarkan kewenangannya Gubernur Kalimantan Barat membuat sebuah Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Yayasan Mujahidin Kalimantan Barat Nomor: 28/KB-PEM/2021 dan Nomor: 01/P.C/YM-KB/V/2021 tentang Pembangunan Sumber Daya Manusia di Kalimantan Barat tanggal 7 Mei 2021, yang dalam Kesepakatan Bersama tersebut pada intinya Sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 3 tentang Ruang Lingkup Kesepakatan Bersama tersebut meliputi antara lain:

    1.        Pengembangan pendidikan dan pengajaran dalam rangka peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia di Provinsi Kalimantan Barat;

    2.       Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Kalimantan Barat;

    3.      Pendayagunaan Sumber Daya Manusia, Prasarana, dan Sarana;

    4.       Pelatihan dan seminar; dan

    5.       Urusan pemerintahan lainnya yang relevan dengan bidang tugas dan kewenangan para pihak.

    Setelah itu, Gubernur Kalbar, Sutarmidji kembali mengeluarkan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 677/Kesra/2021 tentang Yayasan Mujahidin Kalimantan Barat Sebagai Badan/Lembaga Penerima Hibah Terus Menerus tanggal 6 Juni 2021. Dalam DIKTUM-nya “Memutuskan”, ditetapkan 10 (sepuluh) hal dari Yayasan Mujahidin Kalimantan Barat yang bisa mendapat hibah secara terus menerus. Dari 10 (sepuluh) hal yang meliputi itu, satu di antaranya adalah Lembaga Pendidikan.

    Di penghujung ulasan ini, dapat dikatakan dasar hukum terkait pelaksanaan hibah terhadap Yayasan Pontianak dilaksanakan berdasarkan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji yang ditentukan berdasarkan kewenangannya memberikan hibah tersebut intinya kepada Yayasan Mujahidin (yang merupakan badan hukum) yang di dalamnya terdapat Masjid, Sekolah dan lain sebagainya, akan tetapi apabila ditemukan lain oleh Aparat Penegak Hukum (APH) maka itu adalah hal lain.

    Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


    [1] vide Pasal 144 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

    [2] vide Pasal Pasal 298 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

    [3] vide Pasal 55 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

    [4] vide Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah jo. Pasal 51 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.  

    [5] vide Pasal 51 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

    [6] vide Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

    [7] vide Pasal 49 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

    [8] vide Pasal 49 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

    [9] vide Pasal 62 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

    [10] vide Penjelasan Pasal 62 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

    [11] vide Lampiran I BAB II Huruf D Angka 2 huruf e angka 5)  huruf e Angka (2) tentang Belanja Hibah untuk Badan dan Lembaga, serta Organisasi Kemasyarakatan yang Berbadan Hukum Indonesia Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.

    [12] vide Lampiran I BAB II Huruf D Angka 2 huruf e angka 5)  huruf e Angka (4) tentang Belanja Hibah untuk Badan dan Lembaga, serta Organisasi Kemasyarakatan yang Berbadan Hukum Indonesia Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.

    [13] vide Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

    [14] vide Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

    [15] vide Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

    Formulir Isian