Ilustrasi Pembatalan Perkawinan |
Sebelumnya Anda dapat membaca beberapa tulisan kami yang relevan
seperti Putusnya Perkawinan Karena Perceraian beserta Akibat Hukumnya Bagi
Non-Islam di Pengadilan, sedikit tidaknya membahas terkait dengan Putusnya suatu Perkawinan karena
perceraian sebagaimana ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut dengan “UU Perkawinan” menyebutkan
bahwa:
Perkawinan dapat putus karena:
a.
Kematian;
b.
Perceraian dan;
c.
Atas keputusan Pengadilan.
Pertanyaannya apa yang dimaksud dengan “Perkawinan dapat putus karena atas
keputusan pengadilan?
Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan yang dimaksud
adalah pembatalan perkawinan oleh pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Ketentuan mengenai pembatalan perkawinan ini berdasarkan pada Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa:
“Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan.”
Pengertian Umum Pembatalan Perkawinan
Arti pembatalan perkawinan ialah tindakan Pengadilan yang berupa keputusan
yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah (no legal force or declared void), dan sesuatu yang dinyatakan no legal force (tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat), maka keadaan itu dianggap tidak pernah
ada (never existed).
Dari pengertian pembatalan ini dapat kita tarik beberapa kesimpulan
bahwa:
1)
Perkawinan dianggap tidak sah atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
(no legal force);
2)
Juga dengan sendirinya diangggap tidak pernah ada (never existed)
3)
Oleh karena itu, si laki-laki dan si perempuan yang dibatalkan
perkawinannya dianggap tidak pernah kawin sebagai suami- isteri.[1]
Oleh karena itu, perlu dipahami
antara pembatalan dan pencegahan perkawinan.
Pencegahan perkawinan dilakukan sebelum pelangsungan perkawinan dilaksanakan
disebabkan karena adanya syarat- syarat perkawinan belum terpenuhi.
Pencegahan atau menghalang-halangi (stuiting) perkawinan merupakan
usaha untuk menghindari adanya suatu perkawinan yang bertentangan dengan
ketentuan undang-undang yang berlaku.[2]
Sedangkan, pembatalan perkawinan dilakukan setelah perkawinan itu
berlangsung. Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Sehingga, pencegahan perkawinan dilakukan sebelum perkawinan itu
dilangsungkan, sedangkan pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan apabila
perkawinan telah dilangsungkan.
Sebagaimana ketentuan Pasal 22 UU Perkawinan menyatakan bahwa:
“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
Pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak
batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak
menentukan lain.[3]
Dari pengertian yang tersebut, dapat kita pahami, apabila perkawinan telah
dilaksanakan akan tetapi sesudah terjadinya pelaksanaan perkawinan baru
diketahui bahwa perkawinan yang terlaksana itu rupa-rupanya masih terdapat
kekurangan-kekurangan yang menyangkut persyaratan yang ditentukan
undang-undang, menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa:
“kata “dapat” di sini tidak bisa dipisahkan dari kata dibatalkan yang
berarti bahwa perkawinan itu semula adalah sah, kemudian baru menjadi batal
karena adanya putusan pengadilan (vernietigbaar) sebagai lawan dari
batal demi hukum.”[4]
Jadi, kalau kita mengikuti alam pikiran Pembentuk Undang- undang maka suatu perkawinan itu ada yang bisa dibatalkan dan ada yang tidak bisa dibatalkan atau ada perkawinan yang sah dan ada perkawinan yang keabsahannya diragukan sehingga dapat dibatalkan.
Perkawinan yang melanggar syarat-syarat formil dan materiil maka perkawinan
itu dapat dibatalkan. Oleh karena itu sebelum berlangsungnya suatu
perkawinan perlu diadakan pemeriksaan dan penelitian terlebih dahulu
terhadap wali nikah dan calon suami-isteri tersebut, untuk mengetahui apakah
syarat perkawinan yang diperlukan telah dipenuhi atau tidak ada halangan
yang merintangi pelaksanaan perkawinan itu. Apabila ternyata ada
syarat-syarat perkawinan yang tidak terpenuhi, maka pelaksanaan perkawinan
itu harus dicegah.
Hal ini untuk melindungi kepentingan dari calon suami-isteri dan agar tidak
menimbulkan kerugian yang diderita oleh para pihak yang berkepentingan di
kemudian hari. Sebab perkawinan tidak semata-mata menyangkut kepentingan
pribadi dari orang-orang yang terikat pada perkawinan tersebut tetapi juga
menyangkut kepentingan yang lebih luas.
Oleh karena itu terhadap pegawai pencatat nikah, prinsip ketelitian dan
sikap hati-hati, sifatnya adalah mutlak. Namun apabila perkawinan tersebut
telah terlaksana, maka harus diadakan pembatalan terhadap perkawinan yang
bersangkutan.
Pengaturan mengenai Pembatalan Perkawinan
Ketentuan tentang pembatalan perkawinan diatur dalam Bab IV Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UU Perkawinan, serta dalam Bab VI Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang selanjutnya disebut sebagai “PP Pelaksanaan UU
Perkawinan”.
Pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan yang daerah kekuasannya meliputi tempat dilangsungkannya suatu perkawinan itu, atau di tempat tinggal kedua mempelai, atau di tempat tinggal suami atau isteri. Pengajuan permohonan pembatalan ini dilakukan oleh yang berhak mengajukannya dan juga ditentukkan mengenai tata cara pengajuan permohonan, pemanggilan, pemeriksaan, dan putusan dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 PP Pelaksanaan UU Perkawinan.
Sehingga dapat lebih jelaslah cara untuk melakukan pembatalan perkawinan,
yaitu sama halnya cara gugatan perceraian yang secara terinci diatur pula
dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 PP Pelaksanaan UU Perkawinan, sepanjang hal ini dapat diterapkan dalam hubungannya dengan pembatalan
perkawinan itu.
Dalam hal suatu perkawinan dengan sendirinya dianggap batal, oleh Mr.
Asser-Scholten dan Mr. Vollmar diberikan contoh-contoh, antara lain
yaitu:
a)
apabila suatu perkawinan dilaksanakan bukan dihadapan Pegawai Pencatat Jiwa
(misalnya seperti di muka notaris);[5]
b)
apabila suatu perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Jiwa,
kemudian diketahui bahwa kedua mempelai tersebut kelaminnya sejenis baik
keduanya laki-laki maupun keduanya. Perempuan.[6]
Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan
Menurut Yahya Harahap orang-orang yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan (vernietigen) diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 24 UU Perkawinan. Pasal 23 menentukkan pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan
yaitu:
a.
Para keluarga dalam garis keturunan terus ke atas dari suami atau isteri.
Ketentuan ini korkondan dengan oknum-oknum yang dapat memberi izin atau
menjadi wali terhadap calon mempelai;
b.
Suami atau isteri. Ini berarti si suami atau isteri sesudah perkawinan
dapat mengajukan pembatalan disebabkan oleh keadaan-keadaan yang disebutkan
dalam Pasal 27 UU Perkawinan.
c.
Oleh Pejabat yang berwenang. Mengenai pejabat yang berwenang hanya dapat
meminta pembatalan selama perkawinan belum diputuskan. Jika telah ada
putusan pengadilan tentang permohonan pembatalan dari orang-orang yang
disebutkan pada sub a dan sub b, maka pejabat yang berwenang tidak boleh
lagi mengajukan pembatalan. Jadi pejabat yang berwenang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan selama belum ada putusan pengadilan;
d.
Salah seorang dari salah satu pihak yang masih terikat dalam perkawinan
dapat mengajukan pembatalan atas suatu perkawinan yang baru. Ketentuan pasal
ini hampir bersamaan dengan Pasal 15 Undang-Undang Perkawinan, yaitu hal
yang berhubungan dengan pencegahan perkawinan. Tapi oleh karena pasal 24
Undang- Undang Perkawinan ini berhubungan dengan penjelasan pasal 15
Undang-Undang Perkawinan, pembatalan ini hanya berlaku mutlak bagi laki-laki
saja sebagaimana bagi seorang isteri mutlak tidak boleh kawin dengan
laki-laki lain selama dia masih mempunyai seorang suami yang sah. Akan
tetapi, bagi seorang laki-laki sesuai dengan pasal 3 ayat 2 dan pasal 4
Undang-Undang Perkawinan dapat saja melakukan perkawinan poligami jika telah
dipenuhi ketentuan-ketentuan ayat 2 pasal 3 dan pasal 4 undang- undang
perkawinan. Jadi seorang isteri baru dapat mempergunakan ketentuan pasal 24
Undang-Undang Perkawinan selama dia belum memberikan izin persetujuan atas
perkawinan baru yang dilakukan oleh seorang suami. Akan tetapi bagi seorang
suami selamanya tanpa suatu persyaratan apapun dapat mempergunakan hak untuk
pembatalan kapanpun atas perkawinan baru yang dilakukan oleh seorang
isteri;
e.
Pembatalan dapat juga dimintakan oleh pihak kejaksaan sesuai dengan yang
diatur dalam pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, apabila perkawinan
dilakukan oleh pejabat pencatat yang tidak berwenang atau apabila wali yang
bertindak adalah wali yang tidak sah atau apabila perkawinan dilangsungkan
tanpa dihadiri dua orang saksi.[7]
Prosedur Pembatalan Perkawinan
Permohonan Pembatalan Perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah
hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami
isteri, suami atau isteri.[8] Perlu diketahui juga
bahwa dalam UU Perkawinan menganut prinsip:
“tidak ada suatu perkawinan yang dengan sendirinya batal menurut
hukum”.
Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.[9]
Dengan dibatalkannya suatu perkawinan oleh Pengadilan maka perkawinan
tersebut menjadi batal. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan
ialah Permohonan pembatalan perkawinan harus diajukan kepada Pengadilan yang
berwenang.
Pengadilan yang berwenang di sini adalah apabila bagi yang Non-Islam maka diajukan ke Pengadilan Negeri, sedangkan bagi mereka yang Islam tunduk pada ketentuan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang selanjutnya disebut sebagai “UU Peradilan Agama”.
Selanjutnya mengenai Tata Cara Memajukan Permohonan dan Panggilan untuk
pemeriksaan pembatalan perkawinan diatur dalam Bab VI Pasal 38 PP Pelaksanaan UU Perkawinan yang menentukkan:
a.
Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak- pihak yang
berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami
atau isteri;
b.
Tata Cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai
dengan tatacara pengajuan perceraian (ayat 2);
c.
Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan
perkawinan dan putusan pengadilan dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut
dalam Pasal 20 sampai dengan pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.[10]
Sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 di atas, segala sesuatu yang
berhubungan dengan pembatalan perkawinan sama prosedurnya dengan tata cara
perceraian. Untuk tidak berlebihan persoalannya akan dibicarakan sehubungan
dengan persoalan yang menyangkut perceraian.
Berdasarkan hal tersebut, maka kiranya dapat disimpulkan tata cara
permohonan pembatalan perkawinan sebagai berikut:
a.
Permohonan pembatalan perkawinan oleh pemohon atau kuasanya diajukan ke
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kediaman termohon,
yang isinya memberitahukan niatnya untuk membatalkan perkawinan tersebut
disertai dengan alasan-alasan yang dipergunakan untuk menuntut pembatalan
perkawinan tersebut. Dalam hal termoohon tidak jelas atau tidak diketahui
atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, permohonan pembatalan
perrkawinan diajukan ke Pengadilan ditempat pemohonan. Dalam hal termohon
berada di luar negeri, maka Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan
pembatalan perkawinan tersebut kepada termohon melalui Perwakilan Republik
Indonesia setempat (vide Pasal 38 ayat 2 UU Perkawinan dihubungkan dengan Pasal 20 PP Pelaksanaan UU Perkawinan);
b.
Pengadilan memanggil termohon secara tertulis dengan melampirkan permohonan
mengenai pembatalan perkawinan, yang harus disampaikan selambat-lambatnya 3
(tiga) hari sebelum persidangan pemeriksaan dilakukan (vide Pasal 38 PP Pelaksanaan UU Perkawinan jo. Pasal 26 ayat (4) PP Pelaksanaan UU Perkawinan);
c.
Pengadilan memeriksa permohonan pembatalan perkawinan tersebut
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diajukan (vide Pasal 38 ayat (2) PP Pelaksanaan UU Perkawinan jo. Pasal 29 ayat (1) PP Pelaksanaan UU Perkawinan). Jika termohon berada di luar negeri maka pemeriksaan ditentukan
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak gugatan diterima di Pengadilan
Negeri;
d.
Pengadilan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan jika perdamaian tidak
dapat dilakukan, pemeriksaan dilakukan dalam siding tertutup, sedangkan
keputusan diucapkan dalam siding terbuka;
e.
Apabila keputusan Pengadilan telah mempunyai kekuataan yang tetap, Panitera
Pengadilan menyampaikan satu lembar dari keputusan itu kepada Pegawai
Pencatat Perkawinan, untuk selanjutnya oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
dicatat pada daftar yang diperuntukkan untuk itu;
f.
Jika pembatalan perkawinan dilakukan oleh Pengadilan Agama, Panitera
Pengadilan Agama itu berkeharusan meminta dikukuhkan putusan itu oleh
Panitera Pengadilan Umum selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak putusan itu
mempunyai kekuataan hukum yang tetap, dan pengadilan berkewajiban untuk
mengembalikan putusan tersebut ke Pengadilan Agama yang bersangkutan dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya putusan itu
untuk dikukuhkan, dengan menyebutkan “dikukuhkan”, serta keputusan yang
dikukuhkan itu ditanda tangani oleh Hakim serta di cap dengan cap jabatan.[11]
Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan
Alasan-alasan pembatalan itu diatur dalam Pasal 26 dan Pasal 27 UU Perkawinan, antara lain:
a.
Pihak yang melakukan perkawinan kedua kali masih terikat dirinya dalam
suatu iaktan perkawinan yang sah dengan orang lain;
b.
Apabila perkawinan dilakukan dan dilangsungkan oleh pejabat atau pegawai
pencacat perkawinan yang tidak berwenang;
c.
Perkawinan tanpa izin dari orang yang harus memberi izin perkawinan, maka
perkawinan dapat dituntut pembatalnnya oleh orang yang harus memberikan
izin;
d.
Apabila wali nikah yang bertindak menjadi wali adalah wali yang tidak sah.
Dan adanya kemungkinan apabila para wali- wali menghalangi perkawinan calon
mempelai dapat minta perwalian kepada Hakim sendiri. Kecuali secara mutlak
wali itu memang tidak termasuk dalam urutan susunan prioritas, dalam hal ini
tak perlu penelitian yang berhati-hati;
e.
Apabila perkawinan itu dilangsung tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.
Dalam hal ini sudah jelas tidak memenuhi ketentuan undang-undang yang
mengakibatkan tidak sahnya perkawinan dan memang beralasan sekali untuk
minta pembatalan. Terhadap alasan-alasan yang disebut pada point 1, 2 dan 3
di atas, hilang hak suami-isteri untuk meminta pembatalan atau hak meminta
pembatalan oleh suami-isteri gugur dalam hal-hal alasan-alasan yang disebut
pada Pasal 26 ayat (1) di atas:
1)
Apabila mereka telah hidup sebagai suami-isteri dalam kehidupan bersuami;
dan
2)
Mereka memperlihatkan adanya akta perkawinan yang diperbuat oleh pegawai
pencatat nikah yang tidak berwenang tersebut.
Dalam hal yang demikian perkawinan mereka harus diperbaharui supaya menjadi
perkawinan yang sah. Tetapi hal ini hanya berlaku bagi suami-isteri itu
saja. Bagi pihak lain yang berhak memajukan pembatalan, kedua syarat yang
disebut pada sub a dan sub b tidak menggugurkan hak mereka untuk minta
pembatalan.
Oleh karena itu, sekalipun mereka sudah hidup bersama sebagai suami isteri
dan telah mempunyai akte kawin dari pejabat yang tidak berwenang; wali,
keluarga garis keturunan keatas dari suami isteri ataupun Jaksa masih tetap
berhak untuk mengajukan pembatalan perkawinan. Cuma dalam hal ini, jika
perkawinan sudah diperbarui menjadi sah tentu dengan sendirinya menurut
hukum gugurlah hak-hak orang-orang tersebut untuk meminta pembatalan
tersebut.
Sebab dengan pembaharuan atas pelanggaran yang disebut oleh ayat 2 pasal
26, berarti perkawinan itu sudah sah dan sempurna.
f.
Alasan keempat ialah didasarkan atas dilangsungkannya perkawinan disebabkan
adanya ancaman yang melanggar hukum. Pengertian ancaman melanggar hukum
tiada lain dari hakekat yang menghilangkan kehendak bebas (vrii willig) dari salah seorang calon mempelai. Dan mempunyai pengertian yang lebih
luas dari pengertian ancaman kekerasan yang bersifat tindak pidana.
Dapat kita katakan segala macam ancaman apa pun yang dapat menghilangkan
hakekat bebas seseorang calon mempelai, termasuk ancaman yang bersifat hukum
sipil. Akan tetapi, sesuai dengan Pasal 27 ayat (3) UU Perkawinan tersebut
sifat ancaman itu berhenti apabila telah lewat masa 6 (enam) bulan sesudah
dilangsungkan perkawinan berdasar ancaman yang melanggar hukum, yang
bersangkutan tidak mempergunakan haknya untuk pembatalan dan masih tetap
hidup bersama sebagai suami isteri. Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan itu
telah lewat dengan sendirinya gugurlah haknya untuk minta pembatalan. Batas
jangka waktu ini memang perlu untuk adanya kepastian hukum
(rechtzekerheid).
g.
Alasan salah sangka (dwaling) mengenai “diri” suami atau
isteri Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan. Dalam ayat (2) ini tegas disebut salah sangkanya harus mengenai “diri”.
Jadi mengenai orangnya atau personnya. Sebab itu kekeliruan yang dimaksudkan
dalam hal ini tidak mengenai “keadaan” orangnya, yang menyangkut status
sosial ekonomis. Dan jangka waktu salah sangka ini pun tidak lebih dari 6
bulan dan mereka sudah hidup bersama sebagai suami isteri, dengan lewat
jangka waktu tersebut gugurlah hak yang bersangkutan untuk minta pembatalan
berdasar salah sangka (vide Pasal 27 ayat (3) UU Perkawinan)
Pembatalan yang disebut dalam Pasal 26 dan Pasal 27 UU Perkawinan ini adalah alasan-alasan yang agak limitatip tapi tidak secara
mutlak. Terutama alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 27 UU Perkawinan tersebut tidak membatasi kemungkinan-kemungkinan alasan-alasan yang
mungkin dapat dipergunakan berdasar kepatuhan dalam batas-batas
perikemanusiaan dan kesusilaan.
Undang-Undang Perkawinan menghendaki perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai. Karena dengan adanya persetujuan kedua
calon mempelai tersebut berarti telah dipasang suatu pondasi yang kuat untuk
membina suatu rumah tangga. Hendaklah persetujuan itu merupakan suatu
persetujuan yang murni, yang betul-betul tercetus dari hati para calon
mempelai sendiri, bukan karena suatu paksaan.[12]
Pelanggaran terhadap persetujuan tersebut, seperti dinyatakan di dalam
Pasal 27 Undang-Undang Perkawinan, yaitu berupa kemungkinan adanya suatu
ancaman yang melanggar hukum dan salah sangka mengenai diri suami atau
isteri, memberi kemungkinan kepada suami atau isteri tersebut untuk meminta
pembatalan perkawinan. Apa yang dimaksud ancaman dan salah sangka tersebut,
tidak terdapat suatu penjelasan resmi.
Oleh karena itu harus diartikan secara seluas mungkin, bukan saja ancaman
yang bersifat jasmani tetapi juga rohani. Begitu juga mengenai salah sangka,
bukan saja perpangkal dari calon itu sendiri tetapi juga bisa berasal dari
orang lain, umpamanya tipuan.
Saat Berlakunya Pembatalan dan Akibat Hukumnya
Saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan terhitung sejak tanggal hari
keputusan Pengadilan tentang pembatalan itu mempunyai kekuataan hukum yang
tetap. Keputusan itu berlaku surut sejak tanggal hari dilangsungkan
perkawinan (vide Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan).
Selama keputusan pengadilan tersebut belum mempunyai kekuataan hukum yang
tetap, maka suatu perkawinan akan tetap sah walaupun ada cacat di dalamnya
dan hal itu telah diajukan permohonan pembatalan oleh orang yang berhak
untuk menuntut pembatalan. Tujuan undang-undang mengatur demikian adalah
untuk menjamin kepastian hukum tentang ada atau tidaknya suatu perkawinan.
Kepastian hukum dalam suatu perkawinan dapat dikatakan merupakan syarat yang
utama, oleh karena perkawinan tidak hanya menyangkut pribadi orang-orang
yang terikat dalam perkawinan tersebut, melainkan juga mengikat kepentingan
umum.[13]
Pembatalan perkawinan ditujukan semata-mata agar tidak menimbulkan akibat
suatu perkawinan yang telah dilangsungkan itu tidak terlindungi oleh hukum.
Karena dengan adannya kekurangan-kekurangan persayaratan atau dengan adanya
pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan dalam melangsungkan perkawinan,
maka perkawina tersebut menjadi tidak sah, sehingga secara sepintas terkesan
kedudukan hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dinyatakan tidak
sah tersebut merupakan anak yang tidak sah pula menurut hukum.
Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, sah tidaknya suatu perkawinan
oleh Negara ditentukan pula oleh sah atau tidaknya perkawinan itu menurut
hukum masing- masing agama dan kepercayaannya. Pada dasarnya undang-undang
perkawinan tidak mengatur secara panjang lebar mengenai masalah akibat hukum
dari pembatalan perkawinan.
Begitu juga di dalam PP Pelaksanaan UU Perkawinan, tidak mengatur lebih
lanjut mengenai akibat pembatalan perkawinan. Sebagaimana ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan batalnya suatu perkawinan dimulai setelah adanya keputusan
Pengadilan mempunyai kekuataan hukum yang tetap. Dengan adanya keputusan
yang berkekuataan tetap perkawinan kembali kepada keadaan semula sebelum
perkawinan itu ada. Pembatalan itu tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku
surut terhadap:
a)
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan. Hal ini adalah pantas
berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak-anak yang berarti kesalahan
yang dilakukan oleh orang tua mereka tidak pantas dipikulkan kepada
anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan. Dengan demikian,
anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai status hukum yang jelas dan resmi
sebagai anak dari orang rua mereka. Oleh karena itu pembatalan perkawinan
tidak mengakibatkan hilangnya status anak-anak;
b)
Suami atau isteri yang beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila
perkawinan itu didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
Pihak-pihak yang beritikad baik dilindungi dari segala akibat-akibat
batalnya perkawinan, sehingga akibat yang bisa menimbulkan kerugian akibat
pembatalan harus dipikulkan kepada pihak-pihak yang beritikad tidak baik
yang menjadi sebab alasan pembatalan perkawinan, kecuali terhadap harta
bersama. Sepanjang mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan
dianggap sah sebagai harta kekayaan perkawinan yang pelaksanaan pemecahan
pembahagiannya dipedomani ketentuan pasal 37 Undang-Undang Perkawinan. Yaitu
harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing;
c)
Juga terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan tidak
mempunyai akibat hukum yang berlaku surut. Karena itu segala ikatan-ikatan
hukum dibidang keperdataan atau perjanjian-perjanjian yang diperbuat oleh
suami isteri sebelum pembatalan adalah ikatan-ikatan dan persetujuan yang
sah yang dapat dilaksanakan kepada harta perkawinan atau dipikul bersama
oleh suami-isteri yang telah dibatalkan perkawinannya secara
tanggung-menanggung (hoofdelyke), baik terhadap harta bersama maupun
terhadap harta kekayaan masing-masing pribadi (vide Pasal 28
ayat 2 sub c).[14]
Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama
Perkawinan tersebut dapat dibatalkan oleh Pengadilan Agama apabila kedua
belah pihak antara suami dan isteri tidak dapat memenuhi syarat- syarat
suatu perkawinan dapat dilangsungkan sebagaiamana mestinya atau salah satu
dari kedua belah pihak (suami- isteri) atau keduannya melakukan pelanggaran
yang memenuhi unsu- unsur yang dapat menyebabkan batalnya suatu
perkawinan.
Sementara itu dalam Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa batalnya perkawinan disebabkan oleh:
a)
Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah
karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari ke empat
isterinya dalam iddah talak raj’i;
b)
Sesorang yang menikah dengan bekas isterinya yang telah
di li’annya;
c)
seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria
lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan
pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
d)
Perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah;
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan
sebagaimana ketentuan Pasal 8 UU Perkawinan, yaitu:
1)
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau ke atas;
2)
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
3)
Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah
tiri;
4)
Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau
paman sesusuan;
5)
Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau sebagai kemenakan dari
isteri atau isteri- isterinya.
Sedangkan dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam (KHI) suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
1)
Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama;
2)
Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri
pria lain yang mafqud;
3)
Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari
suami lain dan Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 7 UU Perkawinan;
4)
Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilakukan oleh wali yang
tidak berhak;
5)
Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Contoh Putusan Pengadilan Pembatalan Perkawinan
Adapun kami mengambil contoh Putusan Pengadilan sebagaimana Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Nomor 1331/Pdt.G/2023/PA.Pbg, tanggal 23 Agustus 2023, yang dalam amar putusannya menyatakan:
MENGADILI
1.
Mengabulkan permohonan Pemohon;
2.
Menyatakan batal perkawinan antara Termohon I (TERMOHON I) dengan Termohon II (TERMOHON II) yang
dilangsungkan pada tanggal XXXdi Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangmoncol
2 Kabupaten Purbalingga;
3.
Menyatakan Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah Nomor: XXX tanggal XXX yang
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama KABUPATEN PURBALINGGA atas nama
(TERMOHON I) dan (TERMOHON II) tidak berkekuatan hukum;
4.
Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp555.000,00- (lima ratus lima puluh lima ribu rupiah).
Yang mana dalam perkara di atas dalam pertimbangan hukum hakim satu di
antaranya adalah
“Menimbang, bahwa berdasarkan maksud pasal 9 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, “seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang
lain, tidak dapat kawin lagi’’ dan maksud maksud 71 huruf b Kompilasi Hukum
Islam DiIndonesia Tahun 1991,” perkawinan dapat dibatalkan apabila perempuan
yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria
lain”, oleh karenanya Termohon II yang pada saat melangsungkan perkawinannya
dengan Termohon I masih terikat tali perkawinan dengan laki-laki bernama
NAMA PASANGAN LAMA, tidak dapat dibenarkan untuk melangsungkan perkawinan,
sehingga perkawinan yang dilangsungkan antara Termohon I dengan Termohon II
pada tanggal XXX yang telah dicatat pada Kantor Urusan Agama KABUPATEN
PURBALINGGA, telah patut dan cukup beralasan untuk dibatalkan”
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1]
Yahya Harahap, “Hukum Perkawinan Nasional”, (Medan: Zahir Trading, 1975), 71.
[2]
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi,
“Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdara
Barat”, (Jakarta, Gitama Jaya, 2005), 33.
[3]
Lihat Penjelasan Pasal 22 UU Perkawinan.
[4]
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, op.cit, 18.
[5]
Asser Scholten, “Hukum Perdata”, Bag I, h. 89.
[6]
Vollmsr, “Hukum Perdata”,
Bag I, 12.
[7]
Yahya Harahap,Op. Cit, 73.
[8]
Lihat Pasal 25 UU Perkawinan.
[9]
Lihat Pasal 37 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
[10]
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif,
“Hukum Perkawinan dan Keluarga Di Indonesia”, (Jakarta: Badan Penerbit, FH. UI, 2004),
67.
[11]
Ibid, 68-69.
[12]
K. Wantjik Saleh, “Hukum Perkawinan
Indonesia”, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1960), 25.
[13]
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, op.cit., 70.
[14]
Yahya Harahap Op.cit, 81.