Selamat malam, saya ingin bertanya terkait Perkebunan Inti Rakyat (PIR), apa dan bagaimana PIR ini sebaiknya menurut hukum? Terima Kasih.
Jawaban
Pengantar
Hal pertama yang Anda harus
simak dari jawaban kami ini adalah Anda harus memahami terlebih dahulu mengenai
sejarah dan pengatar mengenai bisnis kelapa sawit ini, terutama mengenai
Perjanjian Kemitraan yang menjadi inti (core) dari permasalahan yang
Anda alami saat ini.
Perlu Anda ketahui bahwa kebijakan plasma mulai
diperkenalkan di Indonesia dengan nama PIR (Perkebunan Inti Rakyat) khusus
sejak tahun 1977, dengan nama Nucleus Estate and Smallholder (NES),
yang diuji coba pertama kali di daerah Alue Merah (D.I. Aceh) dan Tabalong
(Sumatra Selatan).
Kemudian pada tahun 1986 mengalami perkembangan
menjadi PIR-Transmigrasi, dan terus berlanjut sampai dengan KKPA (Koperasi
Kredit Primer Anggota) pada tahun 1995. Sistem ini pertama kali diterapkan
oleh Commonwealth Development Corporation pada tahun 1950-an
di berbagai negara Afrika.[1]
Skema ini mempunyai sejarah yang panjang di Indonesia,
yang umumnya dikenal sebagai Pertanian Inti-Plasma (Inti-Plasma farming),
dimana hal ini telah dilaksanakan dengan berbagai cara sejak antara tahun
1977-1978.
Model pertama disebut PIR Lokal (Perkebunan Inti
Rakyat Lokal) dan dirancang untuk masyarakat lokal. Dalam bentuk selanjutnya,
PIR juga dirancang untuk memukimkan para transmigran di pulau-pulau terluar
Indonesia (yaitu di luar Jawa dan Madura).[2]
Bentuk inti-plasma ini yang juga disebut PIR Trans
yang merupakan singkatan dari Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi, yaitu Proyek
Petani Inti Rakyat untuk Transmigran. Pembangunan fasilitas perawatan kesehatan
dan fasilitas umum seperti jalan, sekolah, rumah ibadah, klinik, dan proyek
lainnya terkadang menjadi bagian dari skema PIR.[3]
Bentuk sistem lain yang lebih baru, dimulai pada tahun
1990-an dan disebut KKPA atau kepanjangan dari Kredit Koperasi Primer Anggota
yaitu Kredit Anggota Utama Koperasi dan tidak melekat pada program
transmigrasi.[4]
Baru-baru ini, setelah desentralisasi dan reformasi
neo-liberal, skema kemitraan (partnership) mulai beralih dari mekanisme
PIR. Petani kecil biasanya tidak lagi menggarap lahan (tanah) nya namun
menerima dividen dari bagian perkebunannya. Hal ini terbukti sangat merugikan
“petani kecil” yang terlibat dibandingkan dengan skema PIR yang masih berjalan.
Pada kenyataannya yang kami temukan di lapangan adalah
perusahaan mendapat banyak keuntungan dari skema kemitraannya dengan
masyarakat, apalagi dalam pola bagi hasil yang mereka kelola secara penuh dari
pembukaan kebun hingga pemanenan buah, misalnya melalui mekanisme penyerahan
lahan (tanah) dari masyarakat mereka dapat memperluas areal konsesi agar
produksi bahan baku terjamin serta biaya pembukaan lahan (tanah) ditanggung
masyarakat dengan skema kredit dimana perusahaan menjadi avalis.
Avalis atau penjamin, dalam suatu penanggungan ini
biasanya dituangkan dalam Perjanjian entah kadang yang menjadi avalis dapat
perusahaannya atau pengurus koperasi. Mengingat bahwa mitra usaha (baik
perusahaan atau koperasi ini) wajib memenuhi persyaratan teknis sebagai
debitur. Terlebih khusus lagi dalam perjanjian perkreditan ini yang mana pihak
kreditur (bank atau biasanya dalam beberapa kasus koperasi menggunakan Credit
Union (CU) sebagai kreditur) acap kali membutuhkan jaminan tambahan
(selain jaminan kebendaan) atas utang debiturnya (peminjam atau para petani
atau pekebun).
Diketahui bahwa mitra usaha berkewajiban melaksanakan
pembangunan kebun petani peserta, kemudian mengikutsertakan petani peserta
secara aktif dalam proses pembangunan, membina secara teknis dan manajemen para
petani peserta, membeli hasil dengan harga sesuai dengan ketentuan,
menyelenggarakan proses pelaksanaan dan menjamin pemgembalian kredit petani
peserta, dan melaksanakan penyuluhan kepada para pekebun yang menjadi mitra
usaha.
Tidak heran sebagai avalis ini yang harus diperhatikan
adalah ada 3 (tiga) hal yang meliputi unsur penanggungan utang tersebut, antara
lain:
1)
Penanggungan utang diberikan untuk kepentingan kreditur
(bank atau CU);
2)
Utang yang ditanggung merupakan suatu kewajiban prestasi
atau perikatan yang sah demi hukum; dan
3) Kewajiban penanggung untuk memenuhi atau melaksanakan kewajiban debitur baru ada setelah debitur wanprestasi.
Dasar hukum dari avalis atau
penanggungan adalah Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”):
Pasal 1820 KUHPerdata:
“Penanggungan ialah persetujuan dimana pihak ketiga
demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur,
bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya”.
Sedangkan, untuk bentuk-bentuk
dari avalis atau penanggungan dapat bermacam-macam, antara lain dapat berupa
jaminan perusahaan (corporate guarantee), jaminan pribadi (personal
guarantee) maupun bank garansi (bank guarantee).
Jaminan tambahan tersebut sudah
pasti memilliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, namun pada dasarnya
jaminan-jaminan tambahan tersebut haruslah disepakati kedua belah pihak dan
haruslah diukur dari besar kecilnya nilai atau objek pinjaman. Avalis atau
penanggungan, seperti layaknya sebuah perjanjian, wajib memenuhi ketentuan yang
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal
1338 KUHPerdata. Pada umumnya avalis selalu dimuatkan dalam perjanjian
pokok perkreditan namun kebiasaan umum lainnya, avalis selalu dituangkan
kembali dalam perjanjian tambahan (accesoir). Oleh karenanya penting
mendorong untuk mengaudit perusahaan perkebunan sawit. Ini dilakukan karena
banyak perusahaan dianggap tidak transparan soal dana talangan, pinjaman bank,
maupun bagi hasil kebun plasma dengan para petani.
Dengan skema kemitraan ini mekanisme penyerahan lahan (tanah) dan menempatkan perusahaan sebagai mitra yang mengelola penuh lahan (tanah) masyarakat dengan pola bagi hasil. Belum lagi permasalahan (tanah) kemitraan di perkebunan sawit juga membawa konsekuensi pada meluasnya areal deforestasi hutan dan lahan (tanah) serta alih fungsi lahan (tanah) garapan masyarakat menjadi perkebunan kelapa sawit, dan kemitraan dengan masyarakat menjadi praktik untuk melegitimasi para pengusaha untuk melakukan perluasan dan ekspansi baru di wilayah desa, dan di sisi lain hilangnya lahan (tanah) ulayat atau lahan (tanah) masyarakat di desa nyata terjadi, karena adanya proses yang manipulatif serta mekanisme penyerahan lahan (tanah) yang tentu membawa konsekuensi pada peralihan hak atas tanah kepada perusahaan dan status yang disebut tanah negara yang tidak dipahami oleh masyarakat adat/masyarakat lokal di desa.
Pengertian Inti-Plasma
Sebagaimana Pasal 87
Angka 5 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagaimana telah ditetapkan
oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022
tentang Cipta Kerja, sebagaimana mengubah Pasal 26 huruf a
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 20O8 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah menyebutkan bahwa Inti-plasma merupakan salah
satu pola kemitraan, yang dimaksud dengan kemitraan adalah kerjasama dalam
keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip
saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan
pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dengan usaha besar.[5]
Disebutkan bahwa kemitraan
mencakup proses alih keterampilan bidang produksi dan pengolahan, pemasaran,
permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi sesuai dengan pola kemitraan.[6] Inti-plasma
adalah kemitraan yang dilakukan dengan cara usaha besar sebagai inti berperan
menyediakan input, membeli hasil produksi plasma, dan melakukan proses produksi
untuk menghasilkan komoditas tertentu, dan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha
menengah sebagai plasma memasok/menyediakan/menghasilkan/menjual barang atau
jasa yang dibutuhkan oleh inti.[7]
Dalam pola kemitraan inti-plasma
sebagaimana dimaksud:
a)
usaha besar berkedudukan sebagai inti dan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah berkedudukan sebagai plasma; atau
b)
usaha Menengah berkedudukan sebagai inti dan Usaha Mikro
dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai plasma.[8]
Dalam pelaksanaan kemitraan
dengan pola inti-plasma, usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan
usaha mikro, kecil, dan menengah, yang menjadi plasmanya dalam:
a.
penyediaan dan penyiapan lahan;
b.
penyediaan sarana produksi;
c.
pemberian bimbingan teknis produksi dan manajemen usaha;
d.
perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang
diperlukan;
e.
pembiayaan;
f.
pemasaran;
g.
penjaminan;
h.
pemberian informasi; dan
i.
pemberian bantuan lain yang diperlukan bagi peningkatan
efisiensi dan produktivitas dan wawasan usaha.[9]
Jadi, Inti adalah Perusahaan
Perkebunan Sawit, sedangkan Plasma adalah perkebunan rakyat yang dalam
pengembangannya diintegrasikan pada Perkebunan Besar Sawit (PBS) maupun
Perkebunan Besar Negara (PBN) dengan adanya masa waktu tertentu berdasarkan
pola kemitraan Inti-Plasma.
Perkebunan Inti-Rakyat (PIR)
Perkebunan Inti-Rakyat (PIR) adalah kebijakan
pemerintah untuk untuk mempercepat perkembangan perkebunan dikenal dengan oil
farming system for rural socio-economic development. Lewat program ini
lahirlah definisi inti (perusahaan) yang bermitra dengan petani (plasma) untuk
mengelola lahan. Petani plasma berasal dari petani lokal setempat ataupun para
transmigran yang mengikuti program perpindahan penduduk dari dari Pulau Jawa
dan Bali ke pulau lain seperti Sumatera dan Kalimantan.
Hubungan dalam Pola PIR mempunyai
tema atau roh kemitraan, tetapi hubungan tersebut tidak bersifat kekeluargaan
melainkan dilaksanakan secara lugas melalui mekanisme tertentu yang diatur
dalam peraturan perundangan-undangan dan perjanjian kerjasama. PIR dilaksanakan
dalam beberapa tahap.
Masing-masing tahap mempunyai
berbagai kegiatan yang saling berkaitan dan menentukan keberhasilan, baik dari
pembangunan fisik maupun pembangunan sumber daya manusianya.
Empat tahap dalam pelaksanaan PIR
yaitu:
1)
Tahap persiapan yang meliputi persiapan proyek;
2)
Tahap pembangunan fisik, baik kebun maupun pemukiman
serta berbagai prasarana dan kemudahan yang diperlukan;
3)
Konversi, yaitu tahap pengalihan pemilikan kebun plasma
dan beban kredit kepada petani peserta terpilih;
4)
Pasca konversi, yaitu tahap pengembangan yang meliputi
masa pelunasan kredit, pembinaan petani dan usaha tani menuju terbentuknya
petani yang mandiri.
Pola kemitraan inti-plasma
merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra,
yang di dalamnya perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra
sebagai plasma.
Syarat-syarat untuk kelompok
mitra:
1)
berperan sebagai plasma;
2)
mengelola seluruh usaha budidaya sampai dengan panen;
3)
menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra;
4)
memenuhi kebutuhan perusahan sesuai dengan persyaratan
yang telah disepakati.
Di sisi lain, syarat-syarat
perusahaan mitra, yaitu:
(1)
berperan sebagai perusahaan inti;
(2)
menampung hasil produksi;
(3)
membeli hasil produksi;
(4)
memberi bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada
kelompok mitra;
(5)
memberi pelayanan kepada kelompok mitra berupa
permodalan/kredit, saprodi, dan teknologi;
(6)
mempunyai usaha budidaya pertanian/memproduksi kebutuhan
perusahaan; dan
(7) menyediakan lahan.
Ditinjau dari tujuannya
pembangunan kebun plasma melalui program PIR memiliki beberapa tujuan secara
umum pembangunan kebun plasma adalah satu di antara program pemerintah dalam
meningkatkan ekonomi serta taraf hidup masyarakat melalui sektor perkebunan.
Pola-pola pembangunan kebun
plasma yang dikenal adalah:
1.
Pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat), yang terbagi menjadi 3
(tiga), antara lain:
a.
PIR BUN (Perkebunan Inti Rakyat Kebun);
b.
PIR Khusus (Perkebunan Inti Rakyat Khusus); dan
c.
PIR TRANS (Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi).
2.
Pola KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota), yang biasanya
menggunakan Penerapan Single Management telah diterapkan
beberapa perusahaan yang dikenal dengan istilah SKIM inovasi pembiayaan, dalam
upaya menggandeng perkebunan kelapa sawit swadaya supaya memiliki produktivitas
lebih tinggi. Seperti yang dilakukan PT Buana Wiralestari Mas (BWLM), unit
usaha PT SMART Tbk.
Pengaturan Hukum Program
Kemitraan Inti Plasma dalam Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit
Sejatinya setiap regulasi yang diterbitkan pemerintah
pada dasarnya untuk kebaikan seluruh pihak, dan telah melewati berbagai macam
kajian serta pertimbangan yang mendalam sebelum akhirnya regulasi tersebut
digulirkan. Satu di antara regulasi yang memberikan angin segar bagi masyarakat
yang berada sekitar wilayah perkebunan Kelapa sawit, baik yang diusahakan
swasta maupun perusahaan BUMN, adalah regulasi tentang kewajiban sebuah
perusahaan untuk melakukan kerjasama dengan masyarakat sekitar perkebunan.
Kewajiban sebuah perusahaan untuk
melakukan kerjasama dengan masyarakat sekitar perkebunan dalam regulasinya
untuk pemberdayaan usaha perkebunan dengan bentuk kemitraan usaha perkebunan
yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, serta
saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan
masyarakat sekitar perkebunan.
Sebagaimana ketentuan Pasal
29 Angka 19 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagaimana telah
ditetapkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2022 tentang Cipta Kerja, sebagaimana mengubah Pasal 58
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan,
menyatakan bahwa:
(1)
Perusahaan Perkebunan yang mendapatkan Perizinan Berusaha
untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari:
a.
area penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha;
dan/ atau
b.
areal yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib
memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 20% (dua puluh
persen) dari luas lahan tersebut.
(2)
Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, bentuk
kemitraan lainnya, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak hak guna usaha diberikan.
(4)
Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus dilaporkan kepada
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai
fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
diatur dalam Peraturan Pemerintah juga sebagaimana Pasal 12
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Pertanian, menyebutkan bahwa:
(1)
Perusahaan Perkebunan yang rneirdapatkan perizinan
Berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari:
a.
area penggunaan lain yang berada di luar HGU; dan/atau
b.
area yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib
memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 20% (dua puluh
persen) dari luas lahan tersebut.
(2)
Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) tahun
sejak lahan untuk Usaha Perkebunan diberikan HGU.
Kewajiban plasma 20% (dua puluh
persen) ini juga diatur dalam:
1)
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
98/Permentan/OT.140/9/2013 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Menteri
Pertanian Republik Indonesia Nomor 21/PERMENTAN/KB.410/6/2017 Tahun 2017
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor
98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan;
2)
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara
Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah.
Pemerintah juga telah
mencantumkan ketentuan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO)
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang
Perkebunan, yang mewajibkan perusahaan mengikuti standar pembangunan
kebun kelapa sawit yang berkelanjutan dengan mengikuti ketentuan peraturan dan
perundang-undangan di Indonesia, yakni perusahaan perkebunan wajib
memperhatikan faktor sosial, ekonomi , dan lingkungan dimana salah satunya
membangun perekonomian dan kesejahteraan masyarakat dengan pembangunan
perkebunan kelapa sawit yang kepemilikan lahannya oleh masyarakat.
Kementerian Pertanian menetapkan luas tutupan lahan perkebunan kelapa sawit seluas 16,381 juta Hektare di 26 provinsi di Indonesia. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada tanggal 17 Desember 2019 telah menandatangani Surat Keputusan Meteri Pertanian Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 tentang Penatapan Luas Tutupan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2019 sebesar 16,381 juta Hektare perkebunan sawit di Indonesia. Provinsi Riau menempati posisi pertama seluas 3,387 juta Hektare atau sekitar 20%. Selanjutnya, Sumatera Utara 2,079 juta Hektaree atau 12,69% dan Kalimantan Barat seluas 1,807 juta Hektare.
Pentingnya Prinsip Keterbukaan dalam Perjanjian Kemitraan antara Perusahaan dan Masyarakat melalui Koperasi
Perusahaan tidak mengedepankan
prinsip-prinsip keterbukaan dalam menjalin kerja sama dengan masyarakat dengn
tidak memberikan informasi soal status lahan masyarakat, batas antara lahan
inti dan plasma, serta perhitungan biaya produksi yang tidak jelas. Alih-alih
meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas kebun, pola kemitraan justru
menimbulkan sejumlah masalah yang menyengsarakan petani plasma.
Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menyebutkan bahwa
Pelaku Usaha Besar dilarang memiliki dan/atau menguasai UMKM sebagai mitra
usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan dan pelaku usaha menengah
dilarang memiliki dan/atau menguasai usaha mikro dan/atau usaha kecil mitra
usahanya. Penjelasan “memiliki” yaitu adanya peralihan kepemilikan secara
yuridis atas badan usaha/perusahaan dan/atau aset atau kekayaan yang dimiliki
usaha mikro, kecil, dan/atau menengah oleh usaha besar sebagai mitra usahanya
dalam pelaksanaan hubungan kemitraan.
Kemudian yang dimaksud
“menguasai” adalah adanya peralihan penguasaan secara yuridis atas kegiatan
usaha yang dijalankan dan/atau aset atau kekayaan dimiliki Usaha Mikro, Kecil,
dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan
kemitraan.
Seharusnya perusahaan membangun
kebun plasma sebanayak 20% (dua puluh persen) dari jumlah lahan sesuai izin
usaha perkebunan (IUP) untuk masyarakat disekitarnya, namun fakta berbicara
lain, dengan pengelolaan perkebunan sistem manajemen satu atap malah petani
menyerahkan lahannya kepada perusahaan untuk dijadikan kebun plasma dan
dikuasai oleh perusahaan. Semua kegiatan perkebunan dari mulai proses
pembangunan kebun plasma, pemilihan bibit, proses pemeliharaan, panen dan
penentuan harga dilakukan seluruhnya oleh perusahaan (inti).
Sistem ini sangat bertentangan
dengan prinsip kemitraan inti plasma yang sehat karena tidak adanya bentuk
pengembangan berupa transfer ilmu dari perusahaan kepada petani. Kondisi ini
tidak akan meningkatkan kelas petani selaku UMKM di Indonesia dan justru akan
menimbulkan konflik-konflik yang berkepanjangan. Bahwa melalui Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM ditegaskan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bertugas sebagai pengawas kemitraan.
KPPU memiliki peran sangat penting dalam menciptakan kemitraan yang sehat
sehingga tujuan kemitraan mensejahterakan masyarakat dapat dicapai. Kami akan
membahas lebih lanjut mengenai peran penting dari KPPU dalam Perjanjian
Kemitraan dalam tulisan kami yang lainnya.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1]
Zahari Zen, Colin Barlow and Ria Gondowarsito, “Oil Palm in Indonesian Socio-Economic Improvement”, NUS Press - National University of Singapore, 2016,
84.
[2]
Asian Agri, “Indonesia’s Plasma Farmer Scheme Explained”,
2018, diakses pada website:
https://www.asianagri.com/en/media-publications/articles/indonesia-s-plasma-farmer-scheme-explained/, pada tanggal 29 Agustus 2023, pukul 01.34 WIB.
[3]
S Mangoensoekarjo, dan Semangun,
“Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit”, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press), 2008, 5.
[4]
Op.cit., 86-87.
[5]
vide Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
[6]
vide Pasal 105 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi
dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
[7]
vide Penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
[8]
vide Pasal 107 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021
tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah.
[9]
vide Pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.