Ilustrasi Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik |
Pertanyaan
Selamat sore pak, izin bertanya.
Saya terdapat 2 (dua) permasalahan hukum, yang pertama pidana dan yang kedua
perdata. Untuk yang pidana, saya mendapatkan panggilan dari Kepolisian setempat
karena diduga menghina seseorang lewat telepon dan kata penyidik polisi alat
bukti yang mereka gunakan adalah “rekaman suara” antara saya dan orang
tersebut. Di sisi lain, saya sudah membuat perjanjian kerja sama dengan orang
lain dan saya sudah merekam suara pembicaraan saya selama proses kesepakatan
dengan harapan suatu ketika nanti terdapat sebuah wanprestasi, saya dapat
menggunakan rekaman suara tersebut sebagai alat bukti. Pertanyaan saya, apakah
merekam secara diam-diam pembicaraan dengan orang lain adalah perbuatan yang
illegal atau memang dapat dipidana? Dan apakah rekaman suara tersebut dapat
dijadikan alat bukti? Mohon pencerahannya. Terima kasih.
Jawaban
Perlu diketahui bahwa rekaman
suara baik dengan menggunakan aplikasi bawaan (aplikasi asal) dari smartphone (ponsel
pintar) atau aplikasi yang diunduh (download) dari Playstore
seperti voice memo atau voice recording,
baik incoming maupun outgoing yang Anda
sebutkan dapat dikategorikan sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang diatur di dalam UU ITE dan perubahannya. Apa itu informasi
elektronik?
Yang dimaksud dengan informasi
elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[1]
Sedangkan, dokumen elektronik,
sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik yang
selanjutnya disebut sebagai “UU ITE”, menyebutkan bahwa:
“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi
Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam
bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat
dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem
Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.”
Kemudian disebutkan dalam Pasal
5 ayat (1) UU ITE, menyebutkan bahwa:
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.”
Bahwa sejak hari rabu, tanggal 7
September 2016 dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa Frasa
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagaimana Pasal
5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya
frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atau institusi penegak hukum lainnya, maka telah dilakukan revisi
atas penjelasan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE,
sehingga menjadi berbunyi:
(1)
Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan
kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi
Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan
hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.
(2)
Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang
merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum
atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang
kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Menjawab pertanyaan Anda, yang menanyakan apakah merekam secara diam-diam pembicaraan dengan orang lain adalah perbuatan yang illegal atau memang dapat dipidana? Dan apakah rekaman suara tersebut dapat dijadikan alat bukti? Apabila kita mengacu pada penafsiran sempit tentang norma hukum yang ada dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU ITE, maka rekaman suara tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai alat bukti yang sah, karena dibuat bukan atas permintaan dari aparat penegak hukum. Dengan catatan, rekaman yang dimaksud merupakan rekaman yang merupakan bagian dari penyadapan.
Akan tetapi, jika bukan hasil
penyadapan, maka dapat dijadikan alat bukti yang sah. Perlu diketahui bahwa
perekaman (merekam secara diam-diam menggunakan perangkat teknologi tertentu
seperti perekam suara di smartphone sebagaimana dimaksud
pertanyaan Anda) bukan termasuk kategori penyadapan atau intersepsi sebagaimana
yang dilarang dalam Pasal 31 ayat (2) UU ITE dengan
dasar bahwa tidak ada “transmisi” informasi elektronik yang diintersep atau
disadap.
Jadi, perekaman suara terhadap
kejadian nyata secara langsung dengan menggunakan smartphone bukan
termasuk tindak pidana dan dapat dijadikan alat bukti yang sah. Sepanjang
penelusuran kami, belum ada ketentuan secara tegas yang melarang perekaman
pembicaraan tanpa adanya persetujuan dari semua pihak. Artinya, dalam sistem
hukum di Indonesia, dimungkinkan seseorang untuk merekam pembicaraan
melalui handphone hanya dengan persetujuan salah satu
pihak. (mohon dibedakan antara merekam dan menyadap).
Menurut Josua
Sitompul dalam buku Cyberspace, Cybercrimes,
Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana agar informasi
dan/atau dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah,
terdapat syarat formil dan syarat materil yang
harus terpenuhi.
Adapun syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa informasi atau dokumen elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis atau dokumen akta autentik. Sedangkan, syarat materiil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya informasi dan dokumen elektronik harus dapat dijamin keautentikannya, keutuhannya, dan ketersediaannya.
Untuk menjamin terpenuhinya
persyaratan materil yang dimaksud, maka dibutuhkan digital forensik. Namun
demikian, perlu Anda perhatikan bahwa rumusan alat bukti elektronik dapat
menjadi alat bukti yang sah atas permintaan penegak hukum merupakan rumusan alat
bukti yang cenderung untuk kasus pidana.[2]
Lantas bagaimana dalam kasus
perdata? Untuk menjawab pertanyaan Anda tentang apakah perjanjian yang direkam
melalui handphone dapat dijadikan alat bukti, maka terlebih dahulu kami
sampaikan tentang alat bukti dalam hukum acara perdata. Berdasarkan Pasal
164 HIR/Pasal 284 RBg, yang dimaksud dengan alat bukti
terdiri dari:
1.
Bukti tertulis/bukti dengan surat;
2.
Bukti dengan saksi;
3.
Persangkaan;
4.
Pengakuan; dan
5.
Sumpah.
Adapun yang dimaksud dengan bukti
tertulis menurut Pasal 1867 KUH Perdata adalah pembuktian dengan tulisan/akta
autentik atau di bawah tangan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, alat
bukti elektronik dalam hukum acara perdata mulai diakui. Misalnya dalam lingkup
Peradilan Agama, berdasarkan Rapat Komisi Bidang Teknis Yudisial 17 September
2019, sebagaimana dilansir artikel Perkembangan
Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata, tangkapan layar percakapan
atau screenshot, foto dan chatting dari media sosial/aplikasi
percakapan elektronik diakui sebagai bukti permulaan. Untuk menguatkannya, maka
para pihak perlu menghadirkan ahli untuk menguji autentikasi bukti elektronik
atas persetujuan majelis. Selain itu, contoh alat bukti elektronik dalam kasus
perdata dapat Anda temukan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 439 B/Pdt.Sus-Arbt/2016, tanggal 26 Juli 2016. Dalam
putusan tersebut bukti transkrip percakapan melalui aplikasi Whatsapp Messenger dijadikan
alat bukti yang sah.
Kemudian, harus dipastikan bahwa perjanjian yang Anda maksud sudah memenuhi 4 (empat) syarat sah perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Jika syarat sah perjanjian terpenuhi, maka berdasarkan hal di atas, maka Anda dapat mengajukan bukti rekaman pembicaraan tersebut di pengadilan yang nantinya akan dinilai dan diputuskan oleh hakim.
Dalam praktik hukum acara
perdata, jika Anda mempunyai informasi dan/atau dokumen elektronik, dapat
diajukan sebagai alat bukti yang akan dinilai keabsahan alat bukti elektronik
tersebut oleh hakim.
Terakhir, Anda dapat saja digugat
secara perdata atas rekaman suara yang Anda ambil tersebut sebagai bagian dari
alat bukti elektronik dalam gugatan wanprestasi Anda, untuk pidananya Anda
dapat juga menggugat secara perdata orang yang merekam Anda secara diam-diam
tersebut dengan dalil Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1] Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik.
[2] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 20/PUU-XIV/2016, tanggal 7 September 2016, 22.