Ilustrasi Pembacaan Dakwaan terhadap Terdakwa |
Pertanyaan
Selamat pagi pak, apakah ada
standar atau pedoman Jaksa dalam merumuskan Surat Dakwaan. Dapatkah menjelaskan
secara gamblang karena ada beberapa bagian terkadang membingungkan secara
teknis bagaimana jaksa merumuskan surat dakwaan dalam suatu perkara pidana.
Terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Apabila merujuk pada
ketentuan Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) atau kemudian
disebut dengan Het Herziene Indonesisch Reglement atau
Reglemen Indonesia yang Diperbarui (R.I.B), Surat Dakwaan itu disebut juga
dengan Akte van Beschuldiging (AvB)[1] atau
di dalam Het Wetboek van Strafvordering (Sv) atau Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana Belanda saat ini disebut juga dengan Tenlastelegging.
Sedangkan, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana atau yang selanjutnya disebut dengan “KUHAP”,
sebagaimana Pasal 14 huruf d KUHAP menyebutkan bahwa:
“Penuntut Umum mempunyai wewenang membuat surat dakwaan.”
Kemudian, timbul pertanyaan kapan
surat dakwaan tersebut dibuat oleh penuntut umum? Hal tersebut diatur
dalam Pasal 140 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan:
“Dalam hal penuntut umum
berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam
waktu secepatnya membuat surat dakwaan.”
Pengertian Surat Dakwaan
KUHAP memang tidak menjelaskan
secara tekstual apa yang dimaksud dari surat dakwaan. Secara pengertian umum
surat dakwaan dalam praktik hukum menurut M. Yahya Harahap[2] adalah:
“Surat atau akta yang memuat perumusan tindak pidana
yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil
pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam
pemeriksaan di muka sidang pengadilan.”
Artinya, keberfungsian dari surat
dakwaan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sangat penting. Karena
pemeriksaan sidang tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat
dakwaan. Misalnya, apabila surat dakwaan berisi tuduhan dugaan tindak pidana
pembunuhan berencana (vide Pasal 340 KUHP), sepanjang ruang lingkup
itulah batas-batas pemeriksaan dalam persidangan dan tidak dimungkinkan rumusan
mengenai tindak pidana narkotika atau lainnya. Itulah sebabnya undang-undang
mengatur bahwa penuntut umum wajib menyusun surat dakwaan secara jelas
semata-mata untuk mempermudah jalannya pemeriksaan persidangan.
Singkatnya, Terdakwa yang
dihadapkan ke sidang pengadilan hanya dapat dijatuhi hukum apabila ia terbukti
secara sah dan meyakinkan tindak pidana sebagaimana yang disebutkan atau
dinyatakan penuntut umum dalam surat dakwaannya. Oleh karena itu, pendekatan
pemeriksaan persidangan sebagaimana yang sudah kami jelaskan di atas harus
dititik tolakkan atau bertumpu pada surat dakwaan. Sebagaimana contoh,
sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 68
K/KR/1973, tanggal 16 Desember 1976, yang menyatakan:
“Putusan pengadilan harus berdasarkan tuduhan
(dakwaan) yang dalam hal ini berdasarkan Pasal 315 KUHP, walaupun kata-kata
yang tertera dalam surat tuduhan (dakwaan) lebih banyak ditujukan pada pasal
310 KUHP.”
Sering kali di lapangan yang kami temui menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan yang mengakibatkan pemeriksaan dan pertimbangan putusan menyimpang dari apa yang dimaksudkan dalam surat dakwaan.
Syarat-Syarat Surat Dakwaan
Mengenai syarat surat dakwaan
dapat dilihat pada Pasal 143 ayat (2) KUHAP, yang
menyebutkan:
“Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi
tanggal dan ditandatangani serta berisi:
a.
nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin,kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b.
uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.”
Pengaturan dalam KUHAP tersebut
tidak jauh berbeda sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 261 KUHAP
Belanda menyebutkan bahwa:
“De tenlastelegging moet
voldoen aan de eisen van het Wetboek van Strafvordering: Welk strafbaar feit
zou de verdachte op welke tijd, op welke plaats en onder welke omstandigheden
hebben begaan? De tenlastelegging heeft twee functies:
1.
de verdachte weet waarvoor hij terechtstaat;
2.
het bindt de strafrechter tot een beslissing over het
tenlastegelegde.”
Bahwa Surat dakwaan harus
memenuhi syarat yang diatur dalam KUHAP (Belanda) yaitu Tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa pada waktu, tempat dan keadaan yang jelas. Surat
dakwaan memiliki dua fungsi antara lain:
1.
Terdakwa wajib mengetahui untuk apa dia diadili; dan
2.
Dakwaan tersebut akan mengikat pengadilan pidana untuk
keputusan atau menjatuhkan putusan atas dakwaan atas dirinya.
Kemudian berdasarkan syarat surat
dakwaan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP tersebut
di atas kemudian ditentukanlah 2 (dua) syarat antara lain syarat formal
(formil) dan syarat materiil dari surat dakwaan.
Sesuai ketentuan Pasal
143 ayat (2) huruf a KUHAP, syarat formil meliputi:
a.
Surat Dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan
Penuntut Umum pembuat Surat Dakwaan;
b.
Surat Dakwaan
harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi : nama lengkap,
tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan.
Disamping syarat formil tersebut
ditetapkan pula bahwa Surat Dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas
dan lengkap mengenai Tindak Pidana yang didakwakan dengan menyebutkan tempat
dan waktu Tindak Pidana itu dilakukan. Syarat ini dalam praktik tersebut
sebagai syarat materiil.
Sebagaimana ketentuan Pasal
143 ayat (2) huruf b KUHAP, syarat materiil.
Meliputi:
a.
Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tindak
Pidana yang didakwakan;
b.
Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu
dan tempat Tindak Pidana itu dilakukan.
Uraian secara cermat, berarti
menuntut ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam mempersiapkan Surat Dakwaan yang
akan diterapkan bagi terdakwa. Dengan menempatkan kata “cermat” paling depan
dari rumusan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, pembuat Undang-Undang
menghendaki agar Jaksa Penuntut Umum dalam membuat Surat Dakwaan selalu
bersikap korek dan teliti.
Uraian secara jelas, berarti
uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas dalam Surat Dakwaan, sehingga
terdakwa -dengan mudah memahami apa yang didakwakan terhadap dirinya dan dapat
mempersiapkan pembelaan dengan sebaik-baiknya.
Uraian secara lengkap, berarti
Surat Dakwaan itu memuat semua unsur (elemen) Tindak Pidana yang didakwakan.
Unsur-unsur tersebut harus terlukis didalam uraian fakta kejadian yang
dituangkan dalam Surat Dakwaan.
Secara materiil suatu Surat
Dakwaan dipandang telah memenuhi syarat apabila Surat Dakwaan tersebut telah
memberi gambaran secara bulat dan utuh tentang:
1)
Tindak Pidana yang dilakukan;
2)
Siapa yang melakukan Tindak Pidana tersebut;
3)
Dimana Tindak Pidana dilakukan;
4)
Bilamana/kapan Tindak Pidana dilakukan;
5)
Bagaimana Tindak Pidana tersebut dilakukan;
6)
Akibat apa yang ditimbulkan Tindak Pidana tersebut (delik
materiil);
7)
Apakah yang mendorong terdakwa melakukan Tindak Pidana
tersebut (delik-delik tertentu);
8)
Ketentuan-ketentuan Pidana yang diterapkan.
Komponen-komponen tersebut secara
kasuistik harus disesuaikan dengan jenis Tindak Pidana yang didakwakan (apakah
Tindak Pidana tersebut termasuk delik formil atau delik materiii). Dengan
demikian dapat diformulasikan bahwa syarat formil adalah syarat yang berkenaan
dengan formalitas pembuatan Surat Dakwaan, sedang syarat materiil adalah syarat
yang berkenaan dengan materi/substansi Surat Dakwaan.
Untuk keabsahan Surat Dakwaan, kedua syarat tersebut harus dipenuhi. Tidak terpenuhinya syarat formil, menyebabkan Surat Dakwaan dapat dibatalkan (vernietigbaar), sedang tidak terpenuhinya syarat materiil. menyebabkan dakwaan batal demi hukum (absolut nietig).
Frasa “Batal demi hukum” pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Kemarin sebagaimana kita ketahui
bersama ketentuan Pasal 143 KUHAP tersebut dilakukan uji materiil (judicial
review) di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 28/PUU-XX/2022, tanggal 31
Oktober 2022, yang mana Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan penafsiran baru
terhadap frasa “batal demi hukum” Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo,
Mahkamah menilai dapat menciptakan kepastian dan keadilan hukum apabila
frasa frasa “batal demi hukum” Pasal 143 ayat (3) KUHAP dimaknai
pengajuan perbaikan surat dakwaan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali setelah
surat dakwaan dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim.
Suhartoyo melanjutkan frasa
“batal demi hukum” yang terdapat pada Pasal 143 ayat (3) KUHAP akan
dapat menciptakan kepastian hukum apabila dimaknai pengajuan perbaikan surat
dakwaan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali setelah dinyatakan batal atau batal
demi hukum. Artinya, apabila dakwaan kedua diajukan Penuntut Umum masih
diajukan keberatan mengenai keterpenuhan syarat formil dan materi surat
dakwaan, maka hakim harus memeriksa surat dakwaan tersebut secara bersama-sama
dengan materi pokok perkara yang diputus secara bersama-sama dalam putusan
akhir.
“Dengan diberikan pemaknaan baru
oleh Mahkamah atas norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP, maka terhadap perkara yang
saat ini sudah dinyatakan surat dakwaan JPU batal atau batal demi hukum, baik
sekali atau lebih oleh hakim, maka dapat diajukan untuk satu kali lagi dan
kemudian hakim memeriksanya bersamaan dengan materi pokok perkara. Sementara
itu, terhadap perkara yang belum pernah sama sekali diajukan surat dakwaan oleh
JPU dalam persidangan, berklaku ketentuan sebagaimana yang telah diputuskan
ini,” ujar Suhartoyo.
Lebih lanjut Suhartoyo
menyampaikan tanpa ada kejelasan status dan batas waktu suatu perkara selesai,
maka berakibat pada kehilangan hak konstitusional dari para pihak. Secara
normatif, penyebab hal tersebut bukan semata-mata dampak dari penerapan hukum karena
pada praktik hukum yang dapat mengajukan surat dakwaan berkali-kali atas suatu
perkara yang sama dengan surat dakwaan yang sudah diperbaiki, setelah
sebelumnya dinyatakan batal atau batal demi hukum.
Akan tetapi dapat terjadi akibat
KUHAP yang tidak memberikan kejelasan pemaknaan Pasal 143 ayat (3) yang diputus
berdasarkan putusan sela. Dengan demikian, sambung Suhartoyo, telah terdapat
celah dalam pengaturan mengenai perbaikan surat dakwaan yang berdampak pada
ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, baik bagi terdakwa dan/atau korban
tindak pidana. Secara universal hal demikian tidak sejalan dengan asas litis
finiri oportet yang menegaskan setiap perkara harus ada akhirnya.
“Dengan demikian cukup beralasan bagi Mahkamah menegaskan mengenai berapa kali jaksa penuntut umum dapat mengajukan perbaikan surat dakwaan, sehingga terdakwa dapat diajukan kembali pada sidang pengadilan dan berapa kali pula hakim dapat menjatuhkan putusan sela atas surat dakwaan yang diajukan keberatan oleh terdakwa atau penasihat hukum,” sebut Suhartoyo.
Sedangkan, menurut Andi
Hamzah Dakwaan dapat dinyatakan batal demi hukum jika tidak memuat
waktu dan tempat tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Sebab, hal
ini penting dan berpengaruh untuk penentuan kompetensi absolut dan relatif pengadilan,
keberlakuan hukum pidana Indonesia, perkara tidak lewat waktu (verjaard),
dan tidak nebis in idem. Jika tidak menyebutkan
waktu dan tempat sebenarnya, maka sudah pasti dakwaan batal
demi hukum.
Demikian keterangan yang
disampaikan Andi Hamzah selaku Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan Kejaksaan
Agung (Pihak Terkait) dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 143 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada
Kamis (4/8/2022). Pada sidang kedelapan Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022 yang
dimohonkan Direktur PT Karya Jaya Satria Umar Husni (Pemohon) ini, Ketua MK
Anwar Usman bertindak sebagai pimpinan sidang dengan didampingi delapan hakim
konstitusi lainnya.
Lebih lanjut Hamzah mengatakan
apabila dalam pembuktian terbukti suatu delik benar terjadi dan
terdakwa adalah pelakunya, namun hari dan
tanggal yang tertera berbeda dengan kejadian sesungguhnya, maka
penuntut umum diperbolehkan untuk mengajukan
dakwaan dan dapat memperbaikinya di tempat berlangsungnya persidangan. Diakui
oleh Hamzah bahwa berdasar pengalamannya, hakim tidak pernah
memutus batal demi hukum dan penuntut
umum membuat dakwaan baru.
Sebab penuntut
umum seharusnya dapat berdiskusi terlebih dahulu dengan
Kepala Kejaksaan Negeri dan untuk selanjutnya
hakim pun dapat membatalkan lagi.
“Menurut
pendapat saya, yang tidak
beres salah satunya adalah jaksa atau hakimnya. Jadi
hal yang disidangkan ini bukan wewenang Mahkamah
Kosntitusi, tetapi Mahkamah Agung. Bahwa surat dakwaan itu
adalah akta otentik sama dengan akta
notaris. Maka dari itu di sudut atas tertulis ‘pro justitia
atau untuk keadilan’ sebagai pengganti materai
karena negara yang membuat. Dakwaan itu sedapat
mungkin singkat, jelas, dan semua kata
dalam dakwaan itu harus dibuktikan,” jelas Hamzah yang
menghadiri sidang secara daring.
Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan
Sebagaimana yang dirumuskan
dalam Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, menyebutkan bahwa
Undang-Undang tidak menetapkan bentuk Surat Dakwaan dan adanya berbagai bentuk
Surat Dakwaan dikenal dalam perkembangan praktik, disebut sebagai berikut:
1.
Dakwaan Tunggal
Dalam Surat Dakwaan ini
hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat
kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya.
Artinya, di sini Penuntut Umu biasanya sangat yakin akan pasal yang didakwakan
kepada terdakwa. Misalnya, hanya didakwakan Tindak Pidana Pencurian (vide Pasal
362 KUHP).
2.
Dakwaan Alternatif
Dalam Surat Dakwaan
terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu
merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya.
Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana
mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa
lapisan, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan. Pembuktian
dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi
langsung kepada dakwaan yang dipandang terbukti. Apabila salah satu telah
terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
Misalnya, didakwakan:
-
Pertama : Pencurian (vide Pasal
362 KUHP), atau
-
Kedua : Penadahan (vide Pasal
480 KUHP).
3.
Dakwaan Subsidair
Sama halnya dengan
dakwaan alternatif, dakwaan subsider juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan
yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai
pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai
dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak
Pidana yang diancam dengan pidana terendah. Pembuktiannya dilakukan secara
berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan yang dipandang
terbukti. Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan
dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan.
Misalnya, didakwakan:
-
Primair
: Pembunuhan Berencana (vide Pasal 340 KUHP),
-
Subsidair
: Pembunuhan (vide Pasal 338 KUHP),
-
Lebih Subsidair : Penganiayaan yang menyebabkan matinya
orang (vide Pasal 351 ayat (3) KUHP).
4.
Dakwaan Kumulatif
Dalam Surat Dakwaan
kumulatif, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus
dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara
tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan
dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing-masing
merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri. Misalnya, didakwakan:
-
Kesatu :
Pembunuhan (vide Pasal 338 KUHP),
dan
-
Kedua
: Pencurian dengan pemberatan (vide Pasal
363 KUHP), dan
-
Ketiga :
Perkosaan (vide Pasal 285 KUHP).
5.
Dakwaan Kombinasi
Disebut dakwaan
kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan/digabungkan antara dakwaan
kumulatif dengan dakwaan alternatif atau Subsidair. Timbulnya bentuk ini
seiring dengan perkembangan di bidang kriminalitas yang semakin variatif baik
dalam bentuk/jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan. Misalnya,
didakwakan:
-
Kesatu:
Primair
: Pembunuh berencana (vide Pasal 340 KUHP)
Subsidair : Pembunuhan biasa (vide Pasal
338 KUHP);
Lebih Subsidair :Penganiayaan
yang mengakibatkan matinya orang (vide Pasal 351 ayat (3) KUHP);
-
Kedua:
Primair : Pencurian dengan pemberatan (vide Pasal
363 KUHP);
Subsidair : Pencurian (vide Pasal 362
KUHP), dan
- Ketiga : Perkosaan (vide Pasal 285 KUHP).
Teknik Pembuatan Surat Dakwaan
Teknik pembuatan Surat Dakwaan
berkenaan dengan pemilihan bentuk Surat Dakwaan dan redaksi yang dipergunakan
dalam merumuskan Tindak Pidana yang didakwakan.
1.
Pemilihan Bentuk
Bentuk Surat Dakwaan
disesuaikan dengan jenis Tindak Pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Apabila
terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana, maka digunakan dakwaan tunggal.
Dalam hal terdakwa melakukan satu Tindak Pidana yang menyentuh beberapa perumusan
Tindak Pidana dalam Undang-Undang dan belum dapat dipastikan tentang
kualifikasi dan ketentuan pidana yang dilanggar, dipergunakan dakwaan
alternatif atau subsidair. Dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana
yang masing-masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri-sendiri,
dipergunakan bentuk dakwaan kumulatif.
2.
Teknis Redaksional
Hal ini berkenaan dengan cara merumuskan fakta-fakta dan perbuatan terdakwa yang dipadukan dengan unsur-unsur Tindak Pidana sesuai perumusan ketentuan pidana yang dilanggar, sehingga nampak dengan jelas bahwa fakta-fakta perbuatan terdakwa memenuhi segenap unsur Tindak Pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan. Perumusan dimaksud harus dilengkapi dengan uraian tentang waktu dan tempat Tindak Pidana dilakukan. Uraian kedua komponen tersebut dilakukan secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan kalimat-kallimat efektif.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1] Istilah ini hampir sama dengan istilah dalam Wetboek
van Strafvordering atau KUHAP Belgia, sebagaimana dalam Pasal 261 KUHAP
Belgia yang menyebutkan:
[In alle gevallen waarin de
beschuldigde naar het hof van assisen wordt verwezen, is de procureur-generaal
gehouden een akte van beschuldiging op te stellen. De akte van beschuldiging
beschrijft:
1. de aard van
het misdrijf dat aan de beschuldiging ten grondslag ligt;
2. het feit en alle omstandigheden die de straf kunnen
verzwaren of verminderen; de beschuldigde wordt met name erin genoemd en
duidelijk aangewezen. De akte van beschuldiging eindigt aldus: “Bijgevolg wordt
N... beschuldigd die bepaalde doodslag, die bepaalde diefstal, of die andere
bepaalde misdaad, met die en die omstandigheid, te hebben gepleegd.]
Terjemahan:
[Dalam semua perkara di mana
terdakwa dirujuk ke Pengadilan Assizes, Jaksa Agung wajib membuat surat
dakwaan. Surat dakwaan tersebut wajib menjelaskan:
1. sifat kejahatan yang mendasari tuduhan itu;
2. delik dan segala keadaan yang dapat memperberat atau
memperingan hukuman; terdakwa disebutkan di dalamnya dan diidentifikasi dengan
jelas. Surat dakwaan tersebut menyimpulkan sebagai berikut: "Oleh karena
itu, terdakwa... didakwa telah melakukan pembunuhan tertentu, perampokan
tertentu, atau kejahatan tertentu lainnya, dalam keadaan ini dan itu.]
[2] M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2021), 386-387.