Ilustrasi Kitab Undang-Undang |
Pertanyaan
Selamat malam pak, sedikit
bingung dengan banyak istilah hukum seperti HIR, RBg, RV, AB, BW, WvK, WvS itu
maksudnya seperti apa dan bagaimanakah apakah masih berlaku atau statusnya
bagaimana? Terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Semua peraturan yang Anda
tanyakan tersebut merupakan peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indië)
sebuah daerah pendudukan Belanda yang wilayahnya saat ini dikenal dengan nama
Republik Indonesia. Hindia Belanda dibentuk sebagai hasil dari nasionalisasi
koloni-koloni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC),
yang berada di bawah Pemerintahan Belanda pada tahun 1800. Istilah “Indonesia”
sendiri mulai digunakan untuk lokasi geografis setelah tahun 1880. Pada awal
abad 20, para intelektual lokal mulai mengembangkan konsep Indonesia sebagai
negara dan bangsa, dan menetapkan panggung untuk gerakan kemerdekaan.[1]
Sebagaimana dalam catatan
sejarah, Tata Hukum Indonesia yang akan kita bahas sebagaimana pertanyaan Anda
tersebut dapat dikatakan tertulis berasal dari Belanda; sedangkan Belanda
sendiri pun tidak mempunyai tata hukum sendiri melainkan berasal dari Prancis.
Akhirnya, Prancis sendiri pun tak mempunyai tata hukum sendiri akan tetapi
berasal dari Romawi Kuno. Timbul pertanyaan, apakah yang menjadi dasar hukum
sehingga hukum asing dapat berlaku di negara yang bukan tempat tata hukum itu
dilahirkan?
Berlakunya hukum Belanda di
Indonesia tidak lain adalah berdasarkan asas konkordansi (konkordan)
diartikan dengan keselarasan, atau asas konkordansi adalah suatu asas
penselarasan /keselarasan dalam memberlakukan sistem dan tata hukum asing
(Belanda ) di Indonesia sama seperti bagaimana keadaan hukum yang sebenarnya
asal dari tata hukum itu. Keberdaan asas ini tertuang dalam Pasal
131 ayat (2) sub (a) Indische Staatregelings[2] yang
menyatakan:
“Untuk Golongan Bangsa Belanda untuk itu harus
dianut (dicontoh) Undang-Undang di Negeri Belanda.”
Ini berarti bahwa hukum berlaku bagi orang-orang negeri Belanda di Indonesia harus dipersamakan (menganut/mencontoh) dengan hukum yang berlaku di Negeri Belanda, kenyataan ini juga konsekuensi logis dari posisi pemerintah Belanda yang pernah berkuasa di Indonesia, misalnya BW (Bugerlijk Wetbook), Wvk (Wetbook Van Koophandel) dan lain lain.
Apa itu HIR?
Satu di antaranya adalah Hukum
yang mengatur Tata Cara Penyelesaian Sengketa Keperdataan, yaitu Hukum Acara
Perdata seperti, Herziene Indonesisch Reglement (HIR) adalah
berasal dari Inlandsche Reglement (IR), dimuat dalam Staatsblad Tahun
1848 Nomor 16 jo. 57 atau Lembaran Negara Nomor 16 jo. 57
Tahun 1848 yang judul lengkapnya adalah Reglement op de uit oefening
van de politie, de Burgelijke rechtspleging en de Strafvordering
onder de Indlanders en de Vremde Oosterlingen op Java en Madura (Reglemen
tentang melakukan tugas kepolisian mengadili perkara perdata dan penuntutan
perkara pidana terhadap golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan
Madura).
Herzienne Indonesisch Reglement (HIR ) atau dalam bahasa indonesia disebut dengan Reglemen Indonesia Baru (R.I.B). (vide Staatsblad 1941 No. 44 untuk Jawa – Madura, sedangkan, Rechtsreglement Buitengeweten (RBg) – Staatsblad 1927 No. 277 untuk luar Jawa – Madura. Hukum Acara Perdata ini sebenarnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dewasa ini, sehingga seharusnya sudah dilakukan perubahan akan tetapi belum dilakukan oleh para pemangku kepentingan.
Sebagaimana yang sudah kami
sebutkan di atas, reglemen ini dibuat di zaman Pemerintahan Hindia Belanda.
Judul aslinya adalah: “Reglement op de uitoefening van de politie, de
burgerlijke rechtspleging en de strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde
Oosterlingen op Java en Madura”, dengan singkat lazim disebut: “Inlandsch
Reglement”, disingkatkan menjadi I.R.
Dengan Staatsblad 1941
No. 44, isi I.R. itu diperbaharui. dan mendapat nama baru: “Herzien
Inlandsch Reglement”, disingkat H.I.R. artinya “Reglemen
Bumiputera (Indonesia) Yang Dibaharui”, yang biasa disingkat menjadi
R.I.B. Sebagaimana dalam Pasal 6 Undang-Undang Darurat Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan
Sipil, menyatakan bahwa:
(1)
Pada saat peraturan ini mulai berlaku, oleh segala
Pengadilan Negeri, oleh segala Kejaksaan padanya dan oleh segala Pengadilan
Tinggi dalam daerah Republik Indonesia, “Reglemen Indonesia yang dibaharui” (Staatsblad 1941
No. 44) seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara
pidana sipil, dengan perubahan dan tambahan yang berikut:
a.
perkara-perkara pidana sipil yang diancam dengan hukuman
yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, atau
yang menurut ketentuan dalam pasal 5 ayat (3) bab b dianggap diancam dengan
hukuman pengganti yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima
ratus rupiah begitu juga kejahatan “penghinaan ringan” yang dimaksudkan dalam
pasal 315 “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, diadili oleh Hakim Pengadilan
Negeri dalam sidang dengan tidak dihadiri oleh Jaksa, kecuali bilamana Jaksa
itu sebelumnya telah menyatakan keinginannya untuk menjalankan pekerjaannya
pada sidang itu;
b.
dalam hal memeriksa dan memutus perkara-perkara yang
dimaksudkan dalam bab a tadi, berlaku ketentuan dalam pasal-pasal 46 sampai
terhitung 52 dari “Reglemen untuk Landgerecht” (Staatsblad 1914
No. 317), sedang perkara-perkara itu dapat diperiksa dan diadili walaupun
terdakwanya tidak hadir asal saja terdakwa itu telah dipanggil untuk menghadap
dengan sah;
c.
terhadap putusan yang dijatuhkan dengan tak berhadirnya
terhukum itu siterhukum dapat memajukan perlawanan;
d.
sebagai acara memeriksa dan memutus dengan tak
berhadirnya terhukum itu dan memajukan perlawanan itu, diturut ketentuan dalam
pasal 6 “Reglemen untuk Landgerecht” (Staatsblad 1914 No. 317) yuncto 1917 No.
323 dengan pengertian bahwa perlawanan itu harus diajukan kepada Jaksa;
e.
putusan-putusan dalam perkara-perkara yang dimaksudkan
dalam bab a tadi juga jika perkara-perkara itu tak dimajukan secara singkat
(sumir), tak usah dibuat tersendiri akan tetapi boleh dimasukkan dalam catatan
pemeriksaan sidang.
(2)
Pada saat peraturan ini mulai berlaku, terhadap putusan
Pengadilan Negeri tentang perkara pidana selainnya dari pada yang dimaksudkan
dalam ayat 1 bab a tadi, oleh terdakwa untuk dirinya sendiri atau oleh jaksa
yang bersangkutan untuk satu atau beberapa terdakwa dapat dimohon bandingan
oleh Pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan
Negeri itu, jika putusan itu tidak mengandung pembebasan dari tuntutan
seluruhnya. Bandingan itu tidak mengubah putusan yang telah dijatuhkan kepada
terdakwa lain.
(3)
Kecuali jika terdakwa dibebaskan, maka sesudah putusan
yang dimaksudkan dalam ayat 2 tadi diucapkan, hakim mengingatkan terdakwa akan
haknya untuk mohon bandingan dalam tenggang yang ditetapkan, atau untuk
menerima baik putusan Pengadilan, atau sesudah dimohon bandingan untuk menarik
kembali permohonan itu, atau untuk minta supaya menjalankannya putusan
dipertangguhkan 14 hari lamanya dalam tempo mana ia akan memasukkan permohonan
grasi.
(4)
Peringatan ini dijalankan oleh Panitera jika putusan
diberitahukannya kepada terdakwa dalam penjara.
(5)
Perbuatan yang dilakukan menurut ayat 3 tadi harus
dicatat dalam surat catatan pemeriksaan sidang.
(6)
Perbuatan yang dilakukan menurut ayat 4 tadi harus
dicatat di bawah surat putusan.
Maka dapat dikatakan bahwa
H.I.R/R.I.B. dinyatakan berlaku sebagai hukum acara pidana sipil di Indonesia
dengan beberapa perubahan yang diterangkan dalam undang-undang darurat tersebut
di atas. Riwayat R.I.B. sebagai hukum-acara pidana dengan singkat dapat
diutarakan sebagai berikut:
a.
Sebelum zaman penjajahan, hukum yang berlaku di Indonesia
adalah hukum raja-raja yang berkuasa disitu. Semenjak bangsa Belanda datang
menguasai Indonesia, di zaman V.O.C., maka hukum yang berlaku bagi orang-orang
Belanda di pusat dagang V.O.C. ialah hukum kapal yang terdiri dari hukum
Belanda kuno ditambah dengan azas-azas hukum Romawi.
b.
Berhubung hukum kapal itu lambat laun karena perkembangan
zaman tidak lagi dapat menyelesaikan semua peristiwa dan perkara-perkara yang
terjadi di pusat-pusat dagang itu, maka oleh Belanda kemudian dibuat
peraturan-peraturan baru lebih lanjut yang diumumkan dalam bentuk
plakat-plakat, kemudian dihimpun menjadi satu dan dinamakan Statuta Betawi yang
berlaku pertama-tama di “Bataviase Ommelanden” = Betawi dan
Daerah-daerah Sekitarnya, yaitu daerah batasnya di sebelah Barat: sungai
Cisadane, di Utara: pulau-pulau di teluk Betawi, di Timur: sungai Citarum dan
di Selatan: Samudera Indonesia.
c.
Oleh penguasa dimaksudkan, bahwa plakat-plakat itu
berlaku bagi semua suku bangsa yang berada di tempat itu, akan tetapi ternyata
dalam prakteknya hanya digunakan bagi bangsa Belanda saja, sedangkan untuk
bangsa Timur Asing dan Peribumi tetap berlaku hukum adat.
Bagi beberapa daerah lainnya para
penguasa V.O.C. mencoba juga mengadakan kodifikasi dari hukum adat untuk
mengadili mereka yang tunduk pada hukum adat, misalnya saja:
1.
Kodifikasi Hukum Adat Cina oleh pusat V.O.C., berlaku
bagi orang-orang Cina di Betawi dan sekitarnya.
2.
Kodifikasi Pepakem Cirebon oleh kuasa V.O.C. di Cirebon,
dimaksudkan berlaku bagi penduduk Bumiputera di Cirebon dan sekitarnya.
3.
Kodifikasi Kitab Hukum Mogharraer oleh penguasa V.O.C. di
Semarang dan daerahnya.
4.
Kodifikasi Hukum Bumiputera Boni dan Goa oleh penguasa
V.O.C. di tempat itu berlaku bagi penduduk Bumiputera di Goa dan Boni.
HIR ini mengatur tentang acara di
bidang perdata dan di bidang pidana. Dengan berlakunya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau disebut juga
dengan “Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana” atau KUHAP, maka pasal-pasal
yang mengatur hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku lagi. (vide Penjelasan
Umum KUHAP)
Sejarah HIR
Mr. H.L. Wichers yang ditugaskan
oleh Pemerintah Belanda untuk memangku jabatan Presiden hoogerechtshof (Ketua
Pengadilan Tertinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda di Batavia
(sekarang Jakarta)) tidak membenarkan praktik pengadilan yang demikian, tanpa
dilandasi perintah undang-undang. Maka, dengan beslit dari
Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) Jan Jacob Rochussen pada 5
Desember 1846 Nomor 3, Mr. H.L. Wichers ditugaskan merancang sebuah reglemen tentang
administrasi polisi dan acara perdata serta acara pidana bagi pengadilan yang
diperuntukkan golongan bumiputra.[3]
Setelah rancangan reglemen dengan
penjelasannya dirampungkan, pada 6 Agustus tahun 1847 rancangan tersebut
disampaikan kepada Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen. Dia mengajukan
beberapa keberatan atas rancangan tersebut, terutama ketentuan Pasal 432 ayat
(2) yang membolehkan pengadilan yang memeriksa perkara perdata bagi golongan
bumiputra menggunakan peraturan hukum acara perdata yang diperuntukkan bagi
pengadilan golongan Eropa.
Gubernur jenderal menghendaki
supaya peraturan hukum acara perdata yang diperuntukkan pengadilan bagi
golongan bumiputra pada dasarnya harus bulat (volledig) sehingga
kemungkinan menggunakan peraturan-peraturan yang berlaku untuk golongan orang
Eropa itu dianggap melanggar prinsip tersebut. Hanya bagi landraad di Jakarta,
Semarang, dan Surabaya, Gubernur Jendral Rouchussen tidak berkeberatan apabila
badan- badan pengadilan itu memakai acara-acara yang berlaku bagi golongan
Eropa.
Keberatan lain terhadap rancangan
tersebut adalah adanya kekhawatiran bahwa dengan menggunakan peraturan hukum
acara perdata yang diperuntukkan pengadilan bagi golongan Eropa sebagaimana
diatur dalam rancangan reglemen tersebut akan mempertinggi kecerdasan orang
bumiputra yang sedikit banyak akan merugikan kepentingan Pemerintah Belanda.[4]
Setelah dilakukan perubahan dan
penyempurnaan, baik isi maupun susunan dan redaksinya, antara lain adanya
perubahan dan penambahan suatu ketentuan penutup yang bersifat umum, yang
setelah diubah dan ditambah kini menjadi pasal yang terpenting dari H.I.R,
yaitu Pasal 393, Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen menerima rancangan karya
Mr. H.L. Wichres itu, kemudian diumumkan dengan publikasi pada 5 April
1848 Staatsblad 1848-16 dan dinyatakan berlaku pada 1 Mei 1848
dengan sebutan reglement op de uitoefening van de politie, de
burgerlijke rechtspleging en de strafordering onder de Inlanders, de Vreemde
Osterlingen op Java en Madura dengan singkat lazim disebut Inlandsch
Reglement (IR). Inlandsch reglement ini kemudian
disahkan dan dikuatkan oleh Pemerintah Belanda dengan firman raja pada 29
September 1849 N.93 Staatsblad 1849-63.[5]
Dari riwayat lahirnya Pasal 393
HIR, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a)
Dilarang oleh pembentuk undang-undang untuk menggunakan
bentuk- bentuk acara yang diatur dalam reglemen op de burgerlijk
rechtsvordering (BRv).
b)
Dalam hal reglemen Indoneisa (HIR) tidak mengatur, hakim
wajib mencari penyelesaian dengan mencipta bentuk-bentuk acara yang ternyata
dibutuhkan dalam praktik. Dengan cara demikian, HIR dapat diperluas dengan
peraturan-peraturan acara yang tidak tertulis, yang dibentuk dengan
putusan-putusan hakim berdasarkan kebutuhan dalam praktik.
c)
HIR sebagai hukum acara, hukum formil, merupakan alat
untuk menyelenggarakan hukum materiil sehingga hukum acara itu harus
dipergunakan sesuai dengan keperluan hukum materiil dan hukum acara itu
tidak boleh digunakan apabila hukum itu bertentangan dengan hukum material.[6]
Dalam sejarah perkembangan
selanjutnya selama hampir seratus tahun semenjak berlakunya, Inlandsch
Reglement ini ternyata telah mengalami beberapa kali perubahan dan
penambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan praktik peradilan terhadap hal-hal
yang belum diatur dalam reglemen itu. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan
dalam Inlands Reglement itu hanya merupakan sebagian saja dari
ketentuan-ketentuan hukum acara yang tidak tertulis.
Adapun yang paling banyak
mengalami perubahan dan penambahan itu sebenarnya adalah bagian hukum acara
pidananya. Karena itu, dipandang perlu untuk mengundangkan kembali reglemen itu
secara lengkap. Adapun kronologis dari perubahan itu sebagai berikut:
a)
Perubahan dan penambahan sampai tahun 1926 setelah
mengalami beberapa kali perubahan perubahan dan penambahan maka Pemerintah
Hindia Belanda mengumumkan kembali isi Inlandsch Reglement itu
dengan Staatsblad 1926-559 jo 496.
b)
Perubahan dan penambahan dari tahun 1926 sampai tahun
1941 dilakukan secara mendalam, terutama menyangkut acara pidananya. Karena
itu, dipandang perlu mengundangkan kembali isi Inlandsch Reglement secara
keseluruhan. Perubahan itu dilakukan dengan Staatsblad 1941
-32 jo.98. Dalam Staatsblad 1941-32 ini,
sebutan Inlandsch Reglement diganti dengan sebutan Het
Herziene Indonesisch Reglemen disingkat HIR.
c)
Pengundangan secara keseluruhan isi Het Herziene
Indonesisch Reglement itu dilakukan dengan Staatsblad 1941-44.
Setelah itu, tidak ada perubahan lagi yang bersifat penyesuaian setelah
Indonesia merdeka, yaitu dengan berlakunya Undang-Undang Darurat 1951 tentang
tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan,
dan acara pengadilan sipil.
Dapat dikemukakan di sini,
perubahan atau pembaruan yang dilakukan terhadap IR menjadi HIR pada tahun 1941
sebenarnya hanya dilakukan terhadap ketentuan mengenai acara pidananya, yaitu
mengenai pembentukan aparatur kejaksaan atau penuntut umum (openbaar
ministerie) yang berdiri sendiri. Maksudnya, anggota-anggotanya, para jaksa, dan yang dahulunya ditempatkan
di bawah pamong praja diubah menjadi di bawah jaksa tinggi atau jaksa agung.
Perubahan IR pada tahun 1941 tersebut sama sekali tidak mengenai acara perdata.
Sebelum pembaruan tersebut dalam Inlandsc Reglement, jaksa pada
hakikatnya adalah bawahan dari assisten resident yang adalah
pamong praja.[7]
Apa itu RBg?
HIR berlaku bagi
wilayah Jawa dan Madura. Bagaimanakah keadaan peraturan hukum acara perdata
untuk daerah luar Jawa dan Madura? Dari ketentuan Pasal 6 Staatsblad 1847-23,
dapat diketahui bahwa apabila Gubernur Jenderal memandang perlu, dapat dibuat
peraturan- peraturan tentang pengadilan di daerah-daerah luar Jawa dan Madura
untuk menjamin berlakunya kitab undang-undang hukum dagang di daerah-daerah
secara tertib.[8]
Sebagai tindak lanjut dari Pasal
6 tersebut dan juga untuk menjamin adanya kepastian hukum acara tertulis di
muka pengadilan gubernemen bagi golongan bumiputra di luar Jawa dan Madura
(daerah seberang), pada tahun 1927 Gubenur Jenderal Hindia Belanda pada waktu
itu mengumumkan sebuah reglemen hukum acara perdata untuk
daerah seberang dengan Staatsblad 1927-227 dan dengan
sebutan Rechtsreglement voor de Buitengewesten yang disingkat
dengan RBg.
Ketentuan hukum acara perdata
dalam RBg ini adalah ketentuan-ketentuan hukum acara perdata yang sudah ada
dalam Inlandsch Reglement yang sudah ada untuk golongan bumiputra dan timur
asing di Jawa dan Madura ditambah ketentuan hukum acara perdata yang telah ada
dan berlaku di kalangan mereka sebelumnya.
Dengan terbentuknya RBg ini, di
Hindia Belanda terdapat tiga macam reglemen hukum acara untuk pemeriksaan
perkara di muka pengadilan gubernemen pada tingkat pertama seperti berikut:
a)
Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (BRv) untuk
golongan Eropa yang berperkara di muka raad van justitie dan residentie
gerecht.
b)
Inlandsch Reglement (IR) untuk golongan
bumiputra dan timur asing di Jawa dan Madura yang berperkara di muka landraad,
reglemen kemudian setelah beberapa kali mengalami perubahan dan penambahan
disebut Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR).
c)
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk
golongan bumiputra dan timur asing di daerah luar Jawa dan Madura, yang
berperkara di muka landraad.
d)
Lembaga peradilan dan hukum acaranya pada zaman Hindia
Belanda Dari uraian di atas tentang lembaga peradilan dan hukum acaranya, dapat
dirangkum sebagai berikut:
1)
Peradilan gubernemen terdiri atas berikut ini:
a)
Peradilan yang berlaku bagi orang-orang Eropa dan yang
dipersamakan Raad van justitie dan residentiegerecht sebagai
pengadilan tingkat pertama atau hakim sehari-hari, hukum acara perdata yang
dipergunakan adalah Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering.
b)
Peradilan yang berlaku bagi golongan bumiputra dan yang
dipersamakan Landraad yang dalam perkara-perkara kecil dibantu
oleh pengadilan kabupaten dan pengadilan distrik sebagai pengadilan tingkat
pertama (hakim sehari-hari). Hukum acara perdata yang dipergunakan sebagai
berikut:
(1)
Untuk Jawa dan Madura: Herziene Indonesisch
Reglement (HIR).
(2)
Untuk luar Jawa dan Madura: Rechts Reglement voor
de Buitengewesten (reglemen tanah seberang).
2)
Peradilan-peradilan lainnya yang berlaku bagi golongan
bumiputra, seperti peradilan adat, peradilan swapraja, dan peradilan agama
Islam, mempergunakan hukum acara yang diatur pada reglemen yang mengatur
masing-masing lembaga peradilan tersebut.
Apa itu Rv?
Rv adalah singkatan dari Wetboek
op de Burgerlijke Rechtvordering yaitu hukum acara perdata dan pidana
yang berlaku untuk golongan Eropa di jaman penjajahan. Tercantum dalam Staatblad 1987
No.52.
Bahwa dengan dihapuskannya raad
van justitie dan hooggerechtshof, Rv sudah tidak berlaku
lagi sehingga dengan demikian hanya HIR dan RBg sajalah yang berlaku. Keadaan
tersebut menimbulkan pertanyaan, hukum acara perdata manakah yang diberlakukan
apabila seorang yang tunduk pada BW (kitab undang-undang hukum perdata) mengajukan
gugatan cerai? Dalam praktik, acara yang diatur dalam Rv akan diterapkan.
Apa itu AB?
Peraturan Umum Mengenai
Perundang-undangan untuk Indonesia tahun 1847 disebut juga
dengan Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie; disingkat
AB, Staatsblad 1847-23, diumumkan secara resmi pada tanggal 30
April 1847. Disebutkan bahwa Ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya
ditetapkan oleh Raja atau oleh Gouverneur Generaal atas
namanya, berlaku sebagai undang-undang di Indonesia, setelah diumumkan dalam
bentuk yang ditetapkan dalam peraturan tentang kebijaksanaan Pemerintah. (ISR.
95; ISR ini kemudian diganti dengan IS.)
AB ini juga masih berlaku
terutama dalam Pengaturan Hukum Perdata Internasional (HPI) Indonesia saat ini
masih bertumpu pada pengaturan warisan Hindia Belanda dalam Algemene
Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB) (Staatblad 1847
No. 23).
Ketentuan ini bertujuan dalam
melindungi aktivitas hukum warga negara Indonesia (WNI) yang bersentuhan dengan
warga negara Asing WNA sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 16, Pasal 17 dan
Pasal 18 AB.
-
Pasal 16 AB mengatur tentang status personal dan wewenang
seseorang, yang mencakup peraturan mengenai hukum perorangan dan hukum
kekeluargaan bagi status hukum WNI.
-
Pasal 17 AB mengatur mengenai benda bergerak maupun benda
tidak bergerak harus dinilai menurut hukum dari negara atau tempat di mana
benda itu terletak (lex rei sitae), terlepas dari pemiliknya.
-
Sedangkan, Pasal 18 AB mengatur tentang yurisdiksi
pengadilan yang menangani permasalahan hukum keperdataan tersebut.
Apa itu BW?
BW adalah kepanjangan dari Burgelijk
Wetboek atau dikenal di Indonesia sebagai Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata). Merupakan Peraturan Hukum Perdata yang diambil dari Code
Napoleon dari Prancis dan merupakan perkembangan dari Corpus Juris
Civilis dari Romawi. Berlakunya di tanah Indonesia pada tahun 1848
melalui Staatblad Nomor 23 dan selanjutnya masuk dalam hukum
positif Indonesia melalui konkordansi Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI 1945”).
Apa itu WvK?
Kodifikasi hukum dagang yang
pertama dibuat atas perintah Raja Lodewijk XIV di Prancis, hukum dagang
tersebut adalah Ordonance du Commerce 1673 dan Ordonance
de la Marine 1681.
Berdasarkan Pasal II aturan
peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka KUHD
masih berlaku di Indonesia. KUHD Indonesia diumumkan dengan
publikasi tanggal 30 April 1847 (Staatblad 1847 – 23) yang mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 1848. KUHD Indonesia tersebut adalah turunan
dari “Wetboek van Koophandel” (W.v.K) yang dibuat atas dasar asas
konkordansi (vide Pasal 131 I.S.). Wetboek van Koophandel tersebut
berlaku mulai tanggal 1 Oktober 1838 dan 1 Januari 1842 (di Limburg). W.v.K
tersebut meneladan dari “Code du Commerce” dari Prancis tahun 1808. Akan
tetapi, tidak semua lembaga hukum yang diatur dalam “Code du Commerce”
milik Prancis tersebut diambil alih oleh Wetboek van Koophandel (W.v.K)
milik belanda. ada beberapa hal yang tidak diambil,misalnya mengenai peradilan
khusus tentang perselisihan-perselisihan dalam lapangan perniagaan (Speciale
handelsrechtbanken).
Apa itu WvS?
KUHP atau Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. KUHP yang sekarang diberlakukan
adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek
van Strafrecht voor Nederlands-Indië atau disebut dengan WvS.
Pengesahannya dilakukan
melalui Staatsblad Tahun 1915 Nomor 732 dan mulai berlaku
sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah Indonesia merdeka, KUHP tetap
diberlakukan disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang
tidak relevan lagi. Hal ini berdasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD
1945 yang menyatakan bahwa:
“Segala badan negara dan peraturan yang masih ada
langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar ini.”
Ketentuan tersebutlah yang
kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan
pada masa kolonial pada masa kemerdekaan. Untuk menegaskan kembali pemberlakuan
hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946,
pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar
hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek
van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun demikian, dalam Pasal XVII UU
Nomor 1 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa:
“Undang-undang ini mulai berlaku
buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada
hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.”
Dengan demikian,
pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek
van Strafrecht hanya terbatas pada wilayah jawa dan Madura.
Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik
Indonesia baru dilakukan pada tanggal 20 September 1958, dengan
diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958
tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik
Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik
Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebagaimana yang dinyatakan
dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1958 yang
berbunyi:
“Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia
tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia.”
Dengan disahkannya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang disahkan pada Desember 2022 dan diundangkan pada 2
Januari 2023 kemudian akan berlaku pada 2 Januari 2026. Maka KUHP era kolonial
yang disebut WvS sudah tidak berlaku lagi.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1] Robert Elson, The Idea of Indonesia: A History, 2008, 1-12.
[2]Wet op de Staatsinrichting van
Nederlands-Indië,
dikenal juga sebagai Indische Staatsregeling (IS; Staatsblad 1925-415 jo 577) adalah
undang-undang dasar yang mengatur tata negara dan Pemerintahan Hindia Belanda. IS
mulai berlaku pada 1 Januari 1926 sebagai pengganti dari Regeringsreglement
1854 (Staatsblad
1855-1 jo 2).
[3] Supomo, “Hukum Acara Perdata Pengadilan
Negeri:
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1985),
5.
[4] Ibid, 8.
[5] Mr. Tresna, “Komentar
HIR”, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), 15.
[6] Supomo,
op.cit, 9-10.
[7] R Subekti, “Hukum Acara Perdata” (Bandung: Penerbit Binacipta,
1977), 9.
[8] Mr. Tresna,
op.cit, 8.