Ilustrasi Pemeriksaan Sidang Praperadilan di Belanda |
Pertanyaan
Bang, jelaskan sedikit mengenai Praperadilan dong.
Terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Pengertian Praperdilan
Mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses (criminal
justice process), dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan,
penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, diakhiri dengan
pelaksanaan pidana di Lembaga Pemasyarakatan. Satu di antara ketentuan yang
menarik untuk diamati dalam criminal justice process adalah
praperadilan.[1]
Menurut Andi Hamzah[2],
kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP “Praperadilan” maka
maksud dan artinya yang secara harfiah berbeda. Bahwa secara harfiah, “Pra”
artinya sebelum, atau mendahului, berarti “Praperadilan” sama dengan sebelum
pemeriksaan di sidang pengadilan atau pemeriksaan pendahuluan di sidang
pengadilan.
Lebih lanjut Andi menjelaskan bahwa di Eropa dikenal
Lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan
pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris (rechter commissaris) di
negeri Belanda dan judge d’instruction di Prancis benar-benar
dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan,
penahanan, penyitaan juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.
Menurut Kadrin Husin dan Budi Rizki Husin[3],
menyebutkan bahwa:
“Praperadilan adalah suatu control terhadap penyidik maupun penuntut umum dalam menjalankan tugas wewenangnya dalam proses peradilan pidana apakah telah dilakukan dengan benar atau tidak. Dapat juga dikatakan apakah wewenang yang dimiliki polisi dan penuntut umum (jaksa) dilaksanakan telah melanggar hak tersangka /terdakwa atau tidak. Lembaga ini diberikan sebagai sarana pengawasan dengan maksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran secara horizontal. Adapun pengawasan secara vertikal tentukan diadakan oleh masing-masing atasan badan tersebut.”
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
selanjutnya disebut dengan “KUHAP”, menyebutkan bahwa
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a.
sah atau tidaknya
suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.
sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi
tegaknya hukum dan keadilan;
c.
permintaan ganti
kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas
kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Kemudian, ketentuan mengenai Praperadilan tersebut
diatur secara terbatas (limitative) dalam Pasal 77 sampai
dengan Pasal 83 KUHAP.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 77 KUHAP,
menyebutkan:
“Pengadilan
negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.
sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.
ganti kerugian
dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Kemudian terjadi perluasan ruang lingkup praperadilan
khususnya mengenai Penetapan Tersangka setelah adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal
28 April 2015. Yang mana menyebutkan:
“Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981,
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.”
Praktik praperadilan terkait penetapan tersangka, awal
mulanya dapat ditemukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel, tanggal 27 November 2012.
Adapun pertimbangan hukumnya ialah menghubungkan sah atau tidaknya penetapan
tersangka dengan penahanan sebagai upaya paksa kemudian ditafsirkan makna alat
bukti yang cukup dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP terhadap
ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sehingga penetapan
tersangka termasuk objek praperadilan namun mengenai penghentian penyidikan
sebagai bagian dari penetapan tersangka dianggap bukan materi praperadilan.
Praktik berikutnya diketahui melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 16 Februari 2015. Dalam pertimbangan putusannya, dilakukan uji kewenangan penyidik terhadap kedudukan tersangka selaku penegak hukum atau penyelenggara negara atau bukan keduanya. Adapun amar putusan menyatakan Surat Perintah Penyidikan yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Jadi, dapat dikatakan bahwa Praperadilan merupakan
kewenangan dari Pengadilan Negeri (PN) untuk melakukan fungsi pengawasan
terutama dalam hal dilakukan upaya paksa terhadap tersangka oleh penyidik atau
penuntut umum. Pengawasan tersebut ditujukan agar aparat penegak hukum tidak
sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya. Sementara itu, bagi tersangka atau
keluarganya yang mendapatkan tindakan dari aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau keliru orang
atau hukumnya, maka ia berhak mendapatkan ganti kerugian dan rehabilitasi.
Kewenangan Praperadilan Penetapan Tersangka[4]
Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi(MK) tersebut,
diputuskan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka,
penggeledahan dan penyitaan.
Adapun salah satu pertimbangan hukumnya, Penetapan
Tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) maka seharusnya Penetapan Tersangka oleh
penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar
hukum pranata praperadilan.
Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang
dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi
ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata
ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang
dapat memeriksa dan memutusnya.
Putusan Mahkamah ini memberikan perlindungan terhadap seseorang yang mengalami proses hukum yang keliru pada saat ditetapkan sebagai tersangka.
Kemudian sebagaimana ketentuan Pasal 8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
selanjutnya disebut sebagai “UU/39/1999” diatur bahwa:
“Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung
jawab pemerintah.”
Oleh karenanya dalam hal ini berarti Mahkamah
mengambil peran dalam pemenuhan Hak Asas Manusia (HAM) melalui putusannya
sebagai bagian dari upaya responsif konstitusional. Satu di antara unsur
perlindungan hukum yang ditekankan melalui putusan ini adalah kepastian
hukum bahwa penyidik harus melakukan tindakan penyidikan sesuai dengan
prosedur hukum yang berlaku.
Setelah lahirnya Putusan Mahkamah ini, maka permohonan
praperadilan atas penetapan tersangka memiliki landasan hukum untuk diajukan ke
pengadilan namun terdapat karakteristik khusus pengajuan praperadilan terkait
penetapan tersangka yakni:
a.
Penetapan
tersangka tidak sah karena pemeriksan saksi-saksi, ahli, tersangka,
penggeledahan, serta penyitaan dilakukan setelah penetapan tersangka sehingga
tidak terpenuhinya 2 (dua) alat bukti;
b.
Permohonan
praperadilan yang kedua kalinya mengenai penetapan tersangka tidak dapat
dikategorikan sebagai ne bis in idem karena belum menyangkut
pokok perkara,
c.
Penetapan
tersangka atas dasar hasil pengembangan Penyidikan terhadap tersangka lainnya
dalam berkas berbeda adalah tidak sah.
Membatasi Ruang Lingkup Hukum Materil Praperadilan[5]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI)
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
109/PUU-XIII/2015, tanggal 2 November 2016, menafsirkan makna penyidik
independen KPK yang dijadikan sebagai alasan mengajukan permohonan praperadilan
tidak sahnya penetapan tersangka.
Mahkamah mempertimbangkan, bahwa ketika terdapat
perbedaan antara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang selanjutnya disebut
sebagai “UU KPK” dengan KUHAP perihal
kedudukan penyidik, maka dalam menjalankan tugasnya KPK tetap terikat pada “UU
KPK” dan dapat mengesampingkan KUHAP sepanjang hal itu secara khusus
diatur dalam “UU KPK”, sejalan dengan prinsip lex
specialis derogat legi generalis.
Selanjutnya, Mahkamah berpendapat penyidik KPK
sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) “UU KPK” tidak
harus hanya berasal dari institusi Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal
6 ayat (1) KUHAP dan menurut Mahkamah, KPK memiliki kewenangan
untuk mengangkat sendiri penyidiknya. Melalui putusan ini, MK menegaskan
posisinya sebagai penafsir undang-undang dengan menghubungkan melalui
menafsiran sistematis dengan prinsip kekhususan suatu undang-undang.
Untuk menciptakan konsistensi sikap terhadap muatan menafsiran Mahkamah, maka penyidik independen KPK sudah tidak eksis untuk dijadikan bagian dari permohonan praperadilan penetapan tersangka. Kesatuan hukum perlu dibangun untuk menghindari abuse of power untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Gugurnya Permohonan Praperadilan[6]
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
102/PUU-XIII/2015, tanggal 9
November 2016, menyatakan:
“Pasal
82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3258) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak
dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan
dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama
terdakwa/pemohon praperadilan”.
Melalui putusan ini pengertian “perkara sudah mulai
diperiksa” dalam perkara praperadilan adalah pada saat pokok perkara
disidangkan. Putusan Mahkamah ini akan menyelesaian perbedaan tasir para hakim
pada saat menggugurkan permohonan praperadilan karena sebelumnya ada sebagian
putusan praperadilan yang menggugurkan permohonan setelah berkas dikirim
sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pandan Nomor
2/Pid.Pra/2015/PN.Tdn., tanggal 28 September 2015.
Adapun alasanya frasa “sudah mulai diperiksa” tidak
diatur secara gramatikal (menurut tata bahasa) oleh KUHAP sehingga kualifikasi
“sudah mulai diperiksa” ditafsirkan secara sistematis terhadap ketentuan Bab
XVI “Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan” Bagian Ketiga “Acara Pemeriksaan Biasa”
pada Pasal 152 KUHAP yang mengatur:
“Dalam
hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa
perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan
menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari
sidang”.
Proses penunjukan hakim dan proses penetapan hari
sidang dilakukan oleh hakim melalui proses pemeriksaan berkas perkara terlebih
dahulu.
Penyerahan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)[7]
Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 130/PUU-XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017, menyatakan penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor dengan waktu paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut.
Adapun alasan Mahkamah didasarkan pada pertimbangan
bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan
dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat
hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan
momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam
pengembangan penyidikan atas laporannya.
Putusan ini memberikan ruang bagi tersangka melakukan
praperadilan apabila pada saat berstatus sebagai terlapor belum menerima SPDP
atau lewatnya waktu 7 (tujuh) hari penyerahan SPDP kepada terlapor saat itu.
Acuannya adalah adanya prinsip due process of law yang harus
dipenuhi.
Apa itu Due Process of Law?
Due Process of law: The conduct of legal proceedings
according to established rules and principles for the protection and
enforcement of private rights, including notice and the right to a fair hearing
before a tribunal with the power to decide the case (Black’s law dictionary).
Pemberitahuan dimulainya suatu proses hukum merupakan Hak Konstitusional yang dijamin pelaksanaannya oleh Aparatur Penegak Hukum (APH) sehingga SPDP sebagai bagian dari prosedur hukum perlu dipastikan pelaksanaannya. Penolakan terhadap alasan praperadilan karena telat mengirim SPDP sesuai dengan Putusan MK dapat diketahui melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 71/Pid.Pra/2017/PN.JKT.SEL, tanggal 17 Juli 2017 dengan alasan “apabila tidak didalilkan ke dalam permohonan berarti pemohon menganggap tentang surat pemberitahuan dimulainya penyidikan bukan perkara yang substansial sehingga alasan tersebut ditolak”. Putusan ini merujuk pada formulasi permohonan praperadilan yang tidak memuat keberatan atas keterlambatan penyerahan SPDP melainkan diajukan pada kesimpulan.
Penghentian Penyelidikan Bukan Objek Pengujian
Praperadilan[8]
Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 9/PUU-XVII/2019, tanggal 25 Februari 2019 jo. Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 53/PUU-XIX/2021, tanggal
15 Desember 2021, dalam perkara pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan:
“Pengadilan
Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini, tentang sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, dan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.”
Pemohon pernah melaporkan Tindak Pidana Penipuan
dengan bukti berupa Tanda Bukti Lapor Nomor TBL/1860/IV/YAN.2.5/2021/SPKT PMJ
tanggal 7 April 2021 (vide bukti P-6). Laporan tersebut dihentikan
dalam tahapan penyelidikan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian
Penyelidikan (SP3) Nomor SP2.Lid/138/VIII/2021/Ditreskrimum tanggal 16 Agustus
2021 dengan alasan bukan merupakan tidak pidana sehingga tidak dapat
ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Terhadap SP3 tersebut, Pemohon melakukan upaya meminta
klarifikasi atas alasan dihentikannya penyelidikan dan juga upaya keberatan.
Menurut Pemohon, berlakunya Pasal 77 huruf a KUHAP yang tidak memberikan
mekanisme untuk menguji keabsahan penghentian penyelidikan menyebabkan
hilangnya hak Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil atas proses
hukum terhadap laporan Pemohon.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon memohon
agar Mahkamah menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
“sah
atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penghentian
penyelidikan atau penyidikan atau penghentian penuntutan atau penetapan
tersangka.”
Beberapa Kali Diuji Mahkamah dalam pertimbangan hukum
menyatakan, Pasal 77 huruf a KUHAP pernah beberapa kali dimohonkan pengujian ke
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), yaitu antara lain:
-
Perkara Nomor
102/PUU-XI/2013;
-
Perkara Nomor
67/PUU-XII/2014;
-
Perkara Nomor
35/PUUXIII/2015;
-
Perkara Nomor
44/PUU-XIII/2015;
-
Perkara Nomor
21/PUU-XII/2014; dan
-
Perkara Nomor
9/PUU-VII/2019.
Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Nomor
9/PUU-VII/2019 telah menegaskan bahwa:
“……..pada
tahap penyelidikan belum ada kepastian ditemukannya peristiwa pidana yang dapat
ditindaklanjuti dengan penyidikan, karena hal tersebut sangat tergantung pada
ditemukannya bukti yang cukup bahwa suatu perbuatan adalah peristiwa atau
perbuatan pidana. Karena belum ditemukan adanya peristiwa pidana maka tidak ada
proses yang menindaklanjuti dalam bentuk penegakan hukum (pro justitia)
yang di dalamnya dapat melekat kewenangan pada penyidik yang menindaklanjuti
penyelidikan tersebut, baik berupa upaya paksa yang dapat berimplikasi pada
perampasan kemerdekaan orang atau benda/barang, sehingga esensi untuk melakukan
pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar tidak melakukan tindakan
sewenang-wenang belum beralasan untuk diterapkan, mengingat salah satu
instrumen hukum untuk dapat dijadikan sebagai alat kontrol atau pengawasan
adalah lembaga praperadilan yang belum dapat “bekerja” dikarenakan dalam tahap
penyelidikan belum ada upaya-upaya paksa yang dapat berakibat adanya bentuk
perampasan kemerdekaan baik orang maupun benda/barang. Sementara itu, dalam
tahap penyidikan telah dimulai adanya penegakan hukum yang berdampak adanya
upaya-upaya paksa berupa perampasan kemerdekaan terhadap orang atau
benda/barang dan sejak pada tahap itulah sesungguhnya perlindungan hukum atas
hak asasi manusia sudah relevan diberikan. Lebih jauh apabila dikaitkan dengan
sejarah yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga praperadilan dalam sistem
peradilan pidana Indonesia adalah untuk memberikan pengawasan atau kontrol atas
tindakan pejabat penegak hukum sebelum adanya proses peradilan agar dalam hal
ini penyidik dan penuntut umum tidak melakukan tindakan sewenang- wenang. Di
samping hal itu, esensi lain yang harus dipertimbangkan adalah pengawasan
tersebut juga bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum atas hak asasi
manusia. Dengan demikian hal tersebut sudah sejalan dengan tujuan praperadilan
itu sendiri yaitu baru dapat “bekerja” setelah terdapat kemungkinan adanya
tindakan upaya paksa yang berimplikasi adanya perampasan kemerdekaan dan hal
tersebut baru dimulai pada tahap penyidikan yang wilayahnya berada setelah
proses penyelidikan selesai. Dengan kata lain, memberikan kewenangan hasil
tindakan penyelidikan untuk dapat dilakukan pengujian pada lembaga praperadilan
sebagaimana yang didalilkan Pemohon, sama halnya memasukkan “nyawa” ke dalam
tubuh penyelidikan untuk mempunyai karakter dibenarkannya tindakan upaya paksa
dan perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang. Jika dilakukan,
hal tersebut akan membuat kabur batasan antara tindakan penyelidikan dengan
penyidikan. Bahkan lebih dari itu, sepanjang KUHAP sebagai hukum positif masih
secara tegas memisahkan tindakan penyelidikan dengan penyidikan maka sebagai
konsekuensi logisnya, tidak akan dibenarkan hal-hal yang berkaitan dengan
adanya upaya paksa dan perampasan kemerdekaan terhadap benda/barang dalam
tindakan penyelidikan. Oleh karena itu, konsekuensi yuridisnya maka hal-hal
yang berkaitan dengan penyelidikan tidak ada relevansinya untuk dilakukan
pengujian melalui pranata praperadilan.”[9]
Dengan demikian, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 9/PUU-XVII/2019 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap permohonan Pemohon dalam perkara a quo,”
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, terhadap dalil Pemohon mengenai
inkonstitusionalitas Pasal 77 huruf a KUHAP sepanjang dimaknai termasuk
penyelidikan adalah tidak beralasan menurut hukum. Alhasil dalam amar putusan,
Mahkamah menolak permohonan Pemohon.
“Menolak
permohonan Pemohon untuk seluruhnya,”
Dan terdapat langsung contoh putusannya
sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor
9/Pid.Pra/2022/PN.Ptk, tanggal 12 Desember 2022, yang dalam
pertimbangan hukum Hakim Tunggal yang memeriksa perkara sebagai berikut:
-
Menimbang, bahwa
merujuk dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-VII/2019
telah menegaskan bahwa penghentian penyelidikan sebagai salah satu proses dalam
kegiatan penyelidikan tidaklah dapat dimasukkan sebagai salah satu objek
pengujian dalam praperadilan. Hal tersebut dikarenakan penyelidikan dan
penyidikan walaupun keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, namun keduanya merupakan dua tindakan dengan karakteristik serta
memiliki implikasi yang berbeda. Tindakan penyelidikan yang dilakukan oleh
penyelidik belum masuk pro justitia sehingga tidak dapat dimasukkan sebagai
objek pengujian dalam praperadilan karena di dalamnya tidak terdapat hal- hal
yang berkaitan dengan adanya upaya paksa yang menyebabkan terjadinya perampasan
hak-hak asasi manusia seseorang;
-
Menimbang, bahwa
oleh karena dalam perkara Praperadilan ini sudah ada ketentuan hukum yang
mengatur secara limitatif, sehingga untuk menjamin kepastian hukum, maka Hakim
Praperadilan tidak boleh menyimpangi ketentuan tentang Praperadilan yang sudah
jelas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan
terkait sebagaimana yang telah dipertimbangkan tersebut di atas;
-
Menimbang, bahwa
oleh karena objek permohonan Praperadilan dalam perkara ini bukan kewenangan
Hakim Praperadilan, maka permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Pemohon
tidak beralasan menurut hukum;
- Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, maka penghentian penyelidikan bukanlah merupakan objek Praperadilan, oleh karenanya permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Mekanisme Praperadilan
Secara umum mekanisme praperadilan dapat dijelaskan
lebih lanjut antara lain:
1.
Permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan
oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan
menyebutkan alasannya;[10]
2.
Permintaan untuk
memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat
diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan, termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat
atau organisasi kemasyarakatan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan
menyebutkan alasannya;[11]
3.
Permintaan ganti
kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan
atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri
dengan menyebut alasannya;[12]
4.
Pelaksanaan
sidang praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua
Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera;[13]
5.
Dalam waktu 3
(tiga) hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari
sidang;[14]
6.
Dalam memeriksa
dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau
tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan
atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak
termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau
pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;[15]
7.
Pemeriksaan
tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari hakim
harus sudah menjatuhkan putusannya;[16]
8.
Dalam hal suatu
perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan
mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan
tersebut gugur. Frasa suatu perkara sudah dimulai dimaknai permintaan
praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai
sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan;[17]
9.
Putusan
praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan
pemeriksaan, praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum,
jika untuk itu diajukan permintaan baru;[18]
10.
Jika putusan
pengadilan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka
penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus
segera membebaskan tersangka;[19]
11.
Jika putusan
pengadilan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan
tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;[20]
12.
Jika putusan
pengadilan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka
dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang
diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan
rehabilitasinya;[21]
13. Jika putusan pengadilan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.[22]
Upaya Hukum terhadap Putusan Praperadilan
Putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding.[23] Dalam
hal ada permohonan banding terhadap putusan praperadilan sebagaimana
dimaksud Pasal 83 ayat (1) KUHAP, maka permohonan tersebut
harus dinyatakan tidak diterima.[24] Pengadilan
Tinggi memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan
dan penuntutan dalam tingkat akhir.[25] Terhadap
putusan praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi.[26]
Dalam praktik ada putusan Praperadilan yang menyatakan
“menolak permohonan Pemohon Praperadilan” dengan kata lain Surat Perintah
Penghentian Penyidikan adalah sah. Terhadap putusan tersebut di atas Pemohon
Praperadilan mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi dan diadili
Pengadilan Tinggi dengan putusan menyatakan:
-
Menerima
permohonan banding dari Pemohon Praperadilan.
-
Menyatakan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan adalah tidak sah.
Putusan Pengadilan Tinggi yang menyatakan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 83 (1)
KUHAP, apakah putusan yang bertentangan dengan Undang-Undang tersebut tidak
dapat dibenarkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali?
Sebagaimana Solusi yang ditawarkan dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan
Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas
Bagi Peradilan, yang selanjutnya disebut dengan “SEMA/7/2012”
menyebutkan bahwa:
“Berdasarkan ketentuan Pasal 45 A UU Nomor 5 Tahun
2004, bahwa terhadap perkara-perkara Praperadilan tidak dapat diajukan kasasi
apalagi Peninjauan Kembali Putusannya adalah Tidak dapat diterima (NO F);
Terhadap Praperadilan tentang Penyitaan, maka apakah penyitaan itu sah akan
diputuskan bersamaan dengan pemeriksaan dalam pokok perkara; Pasal 82 KUHAP (di
mana disebut ttg Penyitaan terhadap benda yang tidak termasuk alat bukti),
sesuai praktek selama ini dapat diajukan “PERLAWANAN”
Kemudian itu ditegaskan kembali pada Pasal
3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, yang selanjutnya
disebut dengan “PERMA/4/2016”, yang menyatakan bahwa:
(1)
Putusan
Praperadilan tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali.
(2)
Permohonan
Peninjauan Kembali terhadap Praperadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan
penetapan Ketua Pengadilan Negeri dan berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah
Agung.
(3)
Penetapan Ketua
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan upaya
hukum.
Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini, SEMA
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung
sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, khususnya mengenai
Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Praperadilan dalam hal ditemukan
indikasi penyelundupan hukum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.[27]
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1] Moechgiyarto, “Praperadilan
Dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia”, Jurnal Ilmu Kepolisian [Edisi
083]. Juni-Desember (2015), 179.
[2] Andi Hamzah, “Hukum Acara Pidana
Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), 187.
[3] Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, “Sistem
Peradilan Pidana Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), 110.
[4] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015.
[5] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 109/PUU-XIII/2015, tanggal 2 November 2016.
[6] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 102/PUU-XIII/2015, tanggal 9 November 2016.
[7] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 130/PUU-XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017.
[8] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 9/PUU-XVII/2019, tanggal 25 Februari 2019 jo. Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 53/PUU-XIX/2021, tanggal 15 Desember 2021.
[9] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 53/PUU-XIX/2021, 30-31.
[10] vide Pasal
79 KUHAP.
[11] vide Pasal
80 KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
98/PUU-X/2012, tanggal 21 Mei 2013, 36.
[12] vide Pasal
81 KUHAP.
[13] vide Pasal
78 ayat (2) KUHAP.
[14] vide Pasal
82 ayat (1) huruf a KUHAP.
[15] vide Pasal
82 ayat (1) huruf b KUHAP.
[16] vide Pasal
82 ayat (1) huruf c KUHAP.
[17] vide Pasal
82 ayat (1) huruf d KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 102/PUU-XIII/2015, tanggal 9 November 2016, 56.
[18] vide Pasal
82 ayat (1) huruf e KUHAP.
[19] vide Pasal
82 ayat (3) huruf a KUHAP.
[20] vide Pasal
82 ayat (3) huruf b KUHAP.
[21] vide Pasal
82 ayat (3) huruf c KUHAP.
[22] vide Pasal
82 ayat (3) huruf d KUHAP.
[23] vide Pasal
83 KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
65/PUU-IX/2011, tanggal 1 Mei 2012, 31.
[24] Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II”
(Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2007), 56
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] vide Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.