layananhukum

Apakah Pengangkatan Anak Secara Hukum Adat Tetap Sah dan Bagaimana Statusnya sebagai Ahli Waris dari Orang Tua Angkat?

Ilustrasi Pengangkatan Anak
 

Pertanyaan

Selamat sore pak, izin bertanya saya seorang anak laki-laki angkat dari sepasang suami-istri yang sah dan sudah tercatat di Catatan Sipil (Capil) selama 6 (enam) tahun perkawinan bapak saya dengan ibu saya belum dikaruniai anak dan pada tahun ke-tujuh akhirnya mereka dikaruniai anak kandung. Saya diangkat sebagai anak angkat hanya dibuktikan melalui Surat Pernyataan dari Temenggung Adat dan Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Desa setempat. Apakah itu sudah cukup bagi saya untuk menjadi ahli waris dari orang tua angkat saya? Terima Kasih.

Jawaban
Pengantar

Pengangkatan anak lazim dilakukan di seluruh Indonesia. Tetapi cara atau alasan serta tujuannya antara satu daerah dengan daerah lainnya kemungkinan berbeda apabila berdasarkan hukum adat yang berlaku di daerah masing-masing. Untuk mengetahui perbedaan-perbedaan tersebut haruslah mempelajari hukum adat yang berlaku di daerah daerah tersebut, karena hukum adat merupakan salah satu sumber hukum bagi pembangunan hukum nasional yang menuju kepada unifikasi hukum.[1]

Mengutip Ter Haar B. berpendapat bahwa[2]:

“Perbuatan memasukkan seseorang dalam keluarganya, yang tidak menjadi anggota keluarganya begitu rupa, sehingga menimbulkan hubungan kekeluargaan yang sama dengan hubungan kemasyarakatan yang tertentu secara biologis dan biasa terjadi di Indonesia, disebut mengangkat anak.”

Menurut Soepomo[3], menyebutkan bahwa:

“Pengangkatan anak adalah mengangkat anak orang lain, sehingga timbul hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat seperti hubungan antara orang tua dengan anak kandung.”

Kemudian, menurut Soekanto[4] mengatakan:

“Lain daripada memberikan anak untuk dipelihara sebagai anak piara (anak ini dapat diambil kembali oleh orangtuanya dengan membayar ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan oleh yang bersangkutan) adalah menyerahkan anak untuk diambilnya sebagai anak sendiri, disebut pengangkatan anak.”

Sedangkan menurut Soerojo Wignjodipoero[5] mengatakan:

“Bahwa pengangkatan anak-anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarganya sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang mengangkat dengan anak yang diangkat itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dan anak kandungnya sendiri.”

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma[6] bahwa:

“Anak angkat, adalah anak orang lain yang diangkat sebagai anaknya sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dengan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.”

Menurut hukum adat, anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat dari keluarga atau kerabat sendiri maupun di luar kerabat dengan persetujuan kerabat untuk menjadi anak sendiri, baik untuk melanjutkan keturunan maupun untuk pemeliharaan.

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas mengenai pengangkatan anak, maka akan nampak bahwa tidak semua anak angkat adalah ahli waris, yang dengan sendirinya tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya.

Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa dengan mengangkat anak, tidak berarti hubungan hukum antara anak tersebut dengan orang tua kandungnya menjadi putus sam sekali. Sejauh mana anak angkat dapat disebut sebagai ahli waris dan berhak mewarisi harta orang tua angkatnya, tergantung dari latar belakang pengangkatan anak tersebut.

Pengangkatan Anak Menurut Hukum Positif

Pengangkatan Anak sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (selanjutnya disebut sebagai “PP/54/2007”) adalah:

“Suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.”

Yang dimaksud dengan Anak Angkat sebagaimana Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“selanjutnya disebut sebagai “UU Perlindungan Anak”) dan Pasal 1 Angka 1 PP/54/2007:

“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.”

Pada dasarnya, Pengangkatan Anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak (belang van het kind/best interests of the child) dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.[7]

Mengenai Pengangkatan Anak, ada 2 (dua) jenis pengangkatan anak, yaitu:[8]

a.       Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI); dan

b.      Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. (WNI-WNA)

Pengangkatan antar Warga Negara Indonesia meliputi:[9]

a.       Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan

b.      Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat adalah pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat.[10] Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.[11]

Kemudian disebutkan, bahwa Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat dimohonkan penetapan pengadilan.[12]

Lebih lanjut, sebagaimana Pasal 17 ayat (2) Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 110 / HUK /2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak (yang selanjutnya disebut sebagai “Permensos/110/2009”), Kepala Instansi Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan pencatatan dan pendokumentasian terhadap Pengangkatan Anak tersebut, dan pada dasarnya tidak ada suatu keharusan bahwa Pengangkatan Anak berdasarkan adat dan kebiasaan tersebut harus dengan Penetapan Pengadilan. Karena dalam frasanya menyebutkan:

“Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimohonkan penetapan pengadilan untuk memperoleh status hukum anak dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”[13]

Akan tetapi, memang lebih disarankan dengan adanya penetapan pengadilan, karena pada dasarnya pengangkatan anak ini dilakukan demi kepentingan si anak, karena pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan tersebut dapat dimohonkan penetapan pengadilan (semata-mata) untuk memperoleh status hukum anak dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian, Pengadilan menyampaikan Salinan Penetapan Pengangkatan Anak ke Departemen Sosial, instansi sosial dan instansi terkait.[14]

Anda tidak menjelaskan kepada kami Anda menganut agama apa dan kapan Anda diangkat sebagai Anak Angkat oleh Orang Tua Anda, untuk merangkumnya lebih sederhana dan umum begini penjelasan kami:

Hak Mewaris Anak Angkat Menurut KUHPerdata

Status hukum anak akan diperlukan satu di antaranya terkait hak waris. Untuk seseorang yang beragama non-muslim yang menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sebagai ketentuan warisnya.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengatur mengenai pengangkatan Anak, maka mengenai pengangkatan anak menurut Hukum Perdata adalah mengacu kepada ketentuan Staatsblad 1917 Nomor 129 (Stb. 1917 No. 129) dan itu pun berlaku bagi golongan Tionghoa. Dalam ketentuan Pasal 12 Staatsblad 1917 Nomor 129 (Stb. 1917 No. 129), dengan pengangkatan anak maka selanjutnya anak angkat atau adopsi menggunakan nama keluarga orangtua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orangtua angkatnya. Dengan pengangkatan demikian, maka si anak angkat mempunyai kedudukan sama dengan ahli waris ab intestato.

Sehingga seharusnya seorang anak angkat mempunyai hak mewaris dari orangtua angkatnya seperti halnya seorang anak kandung yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

Cara memperoleh warisan menurut hukum Perdata ada 2 (dua) macam, yaitu sebagai ahli waris menurut undang-undang atau ab intestato dan karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament). Dengan melihat Stb. 1917 No. 129, maka si anak angkat mempunyai kedudukan yang sama dengan ahli waris ab intestato untuk memperoleh warisan menurut hukum perdata.

Menurut Stb. 1917 No. 129, anak angkat akan putus nasabnya kepada orangtua kandungnya, dan terjadi hubungan nasab dengan orang tua angkatnya, sehingga anak angkat tersebut juga menjadi ahli waris orang tua angkatnya. Namun Staatsblad ini memberikan pembatasan lain dari hak mewarisi anak angkat adalah bahwa anak angkat tersebut hanya menjadi ahli waris dari bagian yang tidak diwasiatkan.

Sedangkan, berdasarkan Pasal 875 KUH Perdata, seseorang berhak membuat wasiat atau testamen berisi pernyataan tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia, termasuk kehendaknya mengenai harta. Dengan pijakan ini, orang tua angkat bisa membuat wasiat yang memberikan bagian kepada anak angkat, tetapi pernyataan itu harus memperhatikan legitime portie ahli waris.

Artinya, yang mana bagiannya (anak angkat) dapat dibagikan dengan anak sah dari orang tua angkatnya dengan catatan harus memperhatikan legitime portie ahli waris. Pada praktiknya Notaris yang membuat Surat Keterangan Hak Waris akan meminta Penetapan Pengadilan sebagai bukti bahwa orang tersebut adalah memang anak angkat dari pewaris (orang tua angkat yang meninggal).

Selain itu, menurut beberapa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia berupa Yurisprudensi tidak semua harta peninggalan bisa diwariskan kepada Anak Angkat. Hanya sebatas harta gono-gini orang tua angkat, sedang terhadap harta asal orang tua angkat anak angkat tidak berhak mewaris. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa keputusan Mahkamah Agung di bawah ini:[15]

1)       Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 37 K/Sip/1959 tanggal 18 Maret 1959:

“Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.”

2)      Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 82 K/Sip/1957 tanggal 24 Mei 1958:  

“Anak kukut (anak angkat) tidak berhak mewarisi barang-barang pusaka, barang-barang ini kembali kepada waris keturunan darah.”

3)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 182 K/Sip/1959 tanggal 15 Juli 1959, menyatakan bahwa:

“Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.”

Kemudian sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 27 K/Pdt/2009 tanggal 28 September 9. Dalam putusan ini, ada (dua) 2 orang anak angkat, yang pertama adalah Penggugat Konvensi dan Penggugat Intervensi. Penggugat Konvensi menjadi anak angkat dari pewaris berdasarkan Penetapan dari Pengadilan Negeri Ponorogo Nomor: 30/Pdt.P/2001/PN.Ponorogo, sedangkan Penggugat Intervensi tidak memiliki bukti penetapan pengadilan untuk membuktikan bahwa ia adalah anak angkat pewaris. Pengadilan pada akhirnya memutuskan bahwa Penggugat Konvensi adalah anak angkat yang sah dari pewaris sehingga sah sebagai ahli waris, sedangkan gugatan Penggugat Intervensi tidak dikabulkan oleh pengadilan.

Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Islam

Hukum Kewarisan Islam didasarkan pada prinsip ijbari, bilateral, dan individual. Asas ijbari mengandung arti bahwa manusia tidak bebas memberikan tirkahnya hanya kepada orang-orang yang dikehendakinya. Asas bilateral mengandung arti seseorang dapat menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, baik dari keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Asas individual mengandung arti membagikan semua tirkah pewaris kepada seluruh kerabat dengan adil.

Hukum Islam juga sudah menentukan urutan ahli waris yang berhak mendapatkan waris, yaitu, antara lain:

a.       ashhabul furudl;

b.      ahsabah nasabiyah;

c.       dzawurradi;

d.      dzawul arham;

e.       radd kepada salah seorang suami-isteri;

f.        ‘ashib sababi; dan

g.      baitulmal.

Kelompok ashhabul furudl adalah kelompok beranggotakan 12 (dua belas) yang sudah ditentukan dalam al-Qur’an, Hadits, dan ijtima’ ulama. Jadi, mereka adalah kelompok yang memperoleh bagian dari harta warisan yang berjumlah 12 (dua belas) orang.

Sebagaimana Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merangkum siapa saja yang berhak menjadi Ahli Waris menurut Hukum Islam.

-        Pertama, menurut hubungan darah: golongan laki-lagi terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek; golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

-        Kedua, menurut hubungan perkawinan, terdiri dari duda atau janda.

Apabila semua ahli  waris ada, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya anak, ayah, ibu, janda, atau duda. Dari kelompok ahli waris yang disebutkan ternyata tidak termasuk anak angkat, karena ahli waris tak punya hubungan darah dengan pewaris dan tidak ada pula hubungan perkawinan. Menurut Abdul Manan[16], anak angkat dimasukkan ke dalam kategori pihak di luar ahli waris yang dapat menerima harta peninggalan pewaris berdasarkan wasiat wajibah. Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat normanya:

“Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyak 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”.

Ada banyak kasus hukum pewarisan yang melibatkan anak angkat, baik karena anak angkat ditetapkan sebagai anak kandung dalam dokumen hukum maupun karena ahli waris lain tidak menerima pembagian waris kepada anak angkat. Itu pula sebabnya dalam putusan pengadilan, adakalanya hakim melihat realitas hubungan anak angkat dengan orang tuanya.[17]

 Kemudian lagi, sebagaimana Kaidah Hukum yang terbangun dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1413 K/Pdt/1988 tanggal 18 Mei 1990, yang menyatakan bahwa:

“Apakah seseorang adalah anak angkat atau bukan, tidak semata-mata tergantung pada formalitas pengangkatan anak, tetapi dilihat dari kenyataan yang ada, yaitu sejak bayi ia dipelihara, dikhitankan, dan dikawinkan oleh orang tua angkat.”

Hukum Waris Berdasarkan Hukum Adat

Mahkamah Agung Republik Indonesia juga pernah memutuskan bahwa menurut hukum adat yang berlaku, seorang anak angkat berhak mewarisi harta gono gini orang tua sehingga ia menutup hak waris para saudara kandung orang tua angkatnya. (vide Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 102 K/Sip/1972 tanggal 23 Juli 1973)

Kemudian, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1278 K/Sip/1977 yang memuat putusan mengenai waris anak angkat di Sulawesi Utara. Mahkamah Agung berpendapat Sumaji kepada orang tua tidak dapat dipakai sebagai patokan dasar untuk menentukan dapat tidaknya seorang ahli waris mewarisi harta-harta peninggalan dari pewarisnya.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum, “Masalah-masalah Hukum Perdata Adat”, (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1980), 25.

[2] Ter Haar B, “Asas-asas dan Susunan Hukum Adat” (Soebakti Poesponoto Terjemahan), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), 153.

[3] Soepomo, “Bab-bab tentang Hukum Adat”, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), 27.

[4] Soekanto, “Meninjau Hukum Adat”, (Bandung: Alumni, 1981), 103.

[5] Soerojo Wignjodipoero, “Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat”, (Bandung: Alumni, 1989), 123.

[6] Hilman Hadikusuma, “Hukum Kekerabatan Anak”, (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1987), 149.

[7] vide Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

[8] vide Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

[9] vide Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

[10] vide Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

[11] vide Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

[12] vide Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

[13] vide Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 110 / HUK /2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

[14] vide Pasal 17 ayat (4) Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 110 / HUK /2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

[15] Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum, “Masalah-masalah Hukum Perdata Adat”, (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1980), 17.

[16] Abdul Manan, “Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2006), 219.

[17] Lihat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 61 PK/AG/2016.

Formulir Isian