Ilustrasi Hakim Menjatuhkan Putusan |
Pertanyaan
Selamat pagi pak, keluarga saya sudah kalah dalam
perkara yang putus secara verstek di Pengadilan Negeri, kami
sudah mendapatkan 2 (dua) kali Peringatan (Aanmaning) dari KPN.
Pertanyaan kami, apakah artinya kami hanya bisa pasrah mendapati Tanah Milik
kami sebagaimana amar putusan untuk dikosongkan? Saat ini oleh Pengadilan untuk
melakukan eksekusi putusan pengadilan tersebut, sementara ada beberapa bagian
dari objek tanah milik kami yang ikut dieksekusi sebenarnya tidak ada sangkut
pautnya dengan pihak penggugat, patut diduga ada tumpang tindih dengan milik
saya. Apakah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang juga sudah terbit
penetapan sita eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri, tidak ada lagi langkah
hukum yang dapat ditempuh? Terima Kasih.
Jawaban
Pengantar
Untuk menjawab pertanyaan ini, terdapat dilematika dan
2 (dua) jawaban binner “ya, dapat ditempuh upaya hukum perlawanan dan ekseksui
tersebut dapat dianulir” dan jawaban “Tidak bisa!” masing-masing memiliki 2
(dua) konsekuensi hukum yang menjadi bagian dari dinamika implementasi hukum
itu sendiri dalam ranah pelaksanaan putusan pengadilan.
Apabila jawaban “ya, dapat ditempuh upaya hukum
perlawanan dan ekseksui tersebut dapat dianulir” maka akan timbul
ketidakpastian hukum atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut.
Sementara, bila dijawab “Tidak bisa!”, maka berpotensi lahir kesewenang-wenangan
apabila pada kenyataannya dapat dibuktikan telah terjadi kekeliruan empiris
yang nyata—semisal objek yang tidak tersangkut-paut sengketa, namun turut
terkena eksekusi.
Uniknya, Sistem Hukum Acara Perdata di Indonesia masih
memungkinkan untuk menganulir Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,
bahkan terhadap Putusan Peninjauan Kembali, yakni lewat mengajukan
“Gugatan” Baru ke hadapan Pengadilan Negeri dengan menggunakan
“sebutan” sebagai “Perlawanan” (verzet), baik berupa “perlawanan
pihak ketiga” (derden verzet) maupun “perlawanan
pihak dalam sengketa” (partij verzet).
Verzet sering disebut sebagai upaya hukum yang “unik”, karena mampu mengatasi kendala masalah “ne bis in idem”, meski sejatinya melakukan pemeriksaan ulang pokok perkara yang telah diputus sebelumnya atas sengketa yang sama. Alias, Pengadilan Negeri memeriksa dan menguji kembali Putusan sekalipun itu Putusan Mahkamah Agung baik itu Kasasi atau Peninjauan Kembali (PK) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde/ res judicata/ gezag van gewijsde).
Guna menghindari penyalahgunaan Upaya Hukum verzet,
maka verzet hanya dimungkinkan untuk dikabulkan
sepanjang/sebatas komponen tertentu dari putusan sebelumnya yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde/ res judicata/ gezag van
gewijsde), tidak bisa berupa pembatalan penuh atas putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap tersebut.
Sementara itu yang dimaksud dengan ne bis in
idem adalah, sebagaimana kaedah berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 647 K/Sip/1973 tanggal 13
April 1976, menyebutkan bahwa:
“Ada
atau tidaknya asas ne bis in idem tidak semata-mata ditentukan oleh para pihak
saja, melainkan terutama bahwa obyek dari sengketa sudah diberi status tertentu
oleh keputusan Pengadilan yang lebih dulu dan telah mempunyai kekuatan pasti
dan alasannya adalah sama.”
Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet)
Menurut M. Yahya Harahap[1] derden
verzet (Perlawanan Pihak Ketiga) merupakan upaya hukum atas penyitaan
milik pihak ketiga. Yahya Harahap juga menjelaskan, dalam praktik, tergugat
sering mengajukan keberatan atas penyitaan yang diletakkan terhadap harta
kekayaannya dengan dalih, barang yang disita adalah milik pihak ketiga. Dalil
dan keberatan itu kebanyakan tidak dihiraukan pengadilan atas alasan, sekiranya
barang itu benar milik pihak ketiga, dia dapat mengajukan keberatan melalui
upaya derden verzet. Ternyata, meskipun sita telah diletakkan di atasnya, tidak
ada muncul perlawanan dari pihak ketiga, oleh karena itu cukup alasan untuk
menduga, harta tersebut milik tergugat bukan milik pihak ketiga. Bagaimana
halnya jika barang yang disita benar-benar milik pihak ketiga?
Peraturan perundang-undangan tidak secara eksplisit
memberikan definisi mengenai “perlawanan pihak ketiga” atau derden
verzet. Namun, ketentuan yang mengatur tentang derden verzet terdapat
pada pasal-pasal berikut ini:
-
Pasal 195 ayat
(6) HIR
Perlawanan terhadap keputusan, juga dari orang lain
yang menyatakan bahwa barang yang disita miliknya, dihadapkan serta diadili
seperti segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan oleh
Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi penjalanan keputusan itu.
-
Pasal 206 ayat
(6) Rbg
Perlawanan, juga yang datang dari pihak ketiga,
berdasarkan hak milik yang diakui olehnya yang disita untuk pelaksanaan
putusan, juga semua sengketa mengenai upaya-upaya paksa yang diperintahkan,
diadili oleh pengadilan negeri yang mempunyai wilayah hukum di mana dilakukan
perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan keputusan hakim.
-
Pasal 378 R.V
Pihak-pihak ketiga berhak melakukan perlawanan
terhadap suatu putusan yang merugikan hak-hak mereka, jika mereka secara
pribadi atau wakil mereka yang sah menurut hukum, atau pun pihak yang mereka
wakili tidak dipanggil di sidang pengadilan, atau karena penggabungan perkara
atau campur tangan dalam perkara pernah menjadi pihak. (KUHPerdata 383, 452,
833, 955, 1917; F. lo, 24; Rv. 279, 349, 382, 384.)
-
Pasal 380 R.V
Jika putusan yang demikian dijatuhkan terhadap pihak ketiga dalam suatu persidangan dan perlawanan terhadapnya dilakukan sesuai pasal yang lain, maka hakim yang memeriksa perkara berwenang jika untuk itu ada alasan-alasan mengizinkan penundaan perkara itu sampai perkara perlawanan diputus. (Rv. 248 dst., 384, 393)
Berdasarkan bunyi pasal-pasal tersebut di atas, pada
intinya derden verzet merupakan perlawanan pihak ketiga
terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan
merugikan pihak ketiga.[2] Terhadap
hal tersebut, untuk bisa mendapatkan keabsahan dalam upaya perlawanannya,
terdapat beberapa syarat yang perlu untuk digarisbawahi sebagaimana tercantum
dalam Pasal 1917 KUHPerdata, yaitu:
1.
Perihal yang
dituntut harus sama;
2.
Tuntutan
didasarkan pada alasan yang sama; dan
3.
Harus diajukan
oleh pihak yang sama, terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama.
Selanjutnya, derden verzet juga
diatur dalam Pasal 379 R.V, yang berbunyi:
“Perlawanan
ini diperiksa hakim yang menjatuhkan putusan itu. Perlawanan diajukan dengan
suatu pemanggilan untuk menghadap sidang terhadap semua pihak yang telah
mendapat keputusan dan peraturan umum mengenai cara berperkara berlaku dalam
perlawanan ini.” (KUHPerd. 1967; Rv. 1, 99 dst., 384.)
Untuk mempermudah pemahaman Anda, pasal tersebut kami
interpretasikan bahwa hakim dalam upaya hukum derden verzet adalah
hakim yang menjatuhkan putusan dalam perkara yang diajukan perlawanan tersebut.
Selanjutnya, para pihak yang berperkara juga akan akan dipanggil (termasuk
pihak ketiga) untuk memberitahukan mengenai adanya upaya hukum derden
verzet. Hakim yang berwenang kemudian akan melakukan pemeriksaan kembali
terhadap alasan-alasan yang dibenarkan dalam derden verzet.
Menurut Pasal 381 R.V, hakim yang
memeriksa juga memiliki hak untuk menunda pelaksanaan putusan (untuk perkara
yang diajukan perlawanan sampai perlawanan diputus), kecuali, jika
ditentukan bahwa putusan tersebut sebelumnya telah diputus dalam keadaan serta
merta, atau putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun terdapat
upaya hukum selanjutnya.
Hal ini terdapat dalam Pasal 54 R.V dan Surat
Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan
Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Vooraad) dan Provisionil yang
secara khusus mengatur syarat-syarat putusan serta merta, antara lain:
1.
Putusan
didasarkan atas suatu dasar hak otentik;
2.
Putusan
didasarkan atas surat bawah tangan yang diakui oleh para pihak;
3.
Dalam hal telah
ada penghukuman dengan keputusan hakim yang mendahuluinya yang terhadapnya
tidak dapat diajukan perlawanan atau tidak dapat dimintakan banding.
Apabila pengajuan derden verzet tersebut
dikabulkan, maka sesuai dengan Pasal 382 R.V putusan
yang dilawan harus segera diperbaiki terbatas pada hal-hal yang merugikan pihak
ketiga, kecuali, terhadap putusan yang tidak dapat dipecah dan
menghendaki pembatalan putusan secara keseluruhan.
Sebagaimana tercantum dalam Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus (“Buku II Mahkamah Agung RI”), dalam pendaftarannya, derden verzet harus didaftarkan sebagai perkara baru di pengadilan yang memeriksa perkara atau putusan yang dilakukan perlawanan.[3] Lebih lanjut, dalam Buku II Mahkamah Agung RI tersebut juga dijelaskan bahwa derden verzet termasuk dalam upaya hukum luar biasa dan pada prinsipnya tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusi terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap.[4]
Buku Pedoman Mahkmah Agung Tidak Mengikat Hakim Dalam Hal Perlawanan Eksekusi
Apabila mengulas kembali ingatan kita mengenai Kasus
Tanah Meruya, yang mana menurut Harifin Tumpa, Ketua Muda Perdata
Mahkamah Agung Buku Pedoman Mahkamah Agung Republik Indonesia Bisa Diabaikan.
Yang mana pelawan derden verzet adalah sebagian warga yang
berdasarkan alas hak selain hak milik atas tanah. Terlawan dalam eksepsinya
mengatakan bahwa derden verzet hanya dapat diajukan bila
barang yang disita itu merupakan miliknya, dalam hal ini hanya pemegang hak
milik. Ketentuan ini dapat dilihat dari Pasal 195 ayat (6) Herzien
Indlandsch Reglement (“HIR”) yang berbunyi:
“Jika
hal menjalankan putusan itu dibantah, dan juga jika yang membantahnya itu orang
lain, oleh karena barang yang disita itu diakuinya sebagai miliknya, maka hal
itu serta segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan itu,
dihadapkan kepada pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi hal
menjalankankan putusan itu, serta diputuskan juga oleh pengadilan itu.”
Bahwa yang melakukan perlawanan adalah warga yang
tanahnya tidak semua bersertipikat hak milik. Dari 685 (enam ratus delapan
puluh lima) warga, ada setidaknya 277 (dua ratus tujuh puluh tujuh) pihak, yang
tanahnya antara lain beralaskan Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP),
Perjanjian Sewa Beli, Akta Jual beli (AJB), dan Girik C.
Lebih lanjut dalam Buku II Mahkamah Agung soal Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (1998), yang juga dikutip pihak Terlawan untuk memperkuat dalil mereka, menyatakan bahwa Perlawanan pihak ketiga terhadap sita (termasuk sita eksekusi) hanya dapat didasarkan atas hak milik, jadi hanya dapat diajukan oleh pemilik atau orang yang merasa bahwa ia adalah pemilik barang. Lebih lanjut disebutkan Penyewa, pemegang hipotik atau credietverband, pemegang hak pakai atas tanah, tidak dibenarkan mengajukan perlawanan semacam ini. Masih dalam artikel yang sama, Juru Bicara MA, Djoko Sarwoko, mengatakan bahwa Buku II Mahkamah Agung tersebut bukan hukum acara, hanya semacam buku pintar agar ada keseragaman. Oleh karena itu, tidak ada sanksi bagi hakim bila mengabaikan Buku Pedoman. Kalau ada legal reasoning (penalaran hukum), boleh saja hakim berpendapat lain.
Contoh Kasus Perlawanan Eksekusi
Merujuk sebagiamana Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 82 PK/Pdt/2007 tanggal 3 Juli 2008, dalam
perkara antara:
1.
NY. AISYAH BINTI
MAJA;
2.
ENGKOS KOSASIH
BIN IDI;
3.
SARI BINTI IDI;
4.
IPAR BINTI IDI;
5.
UJANG AS BIN
EDEN;
6.
SOLIHIN BIN IDI,
selaku Para Pemohon Peninjauan Kembali, dahulu sebagai Para
Tergugat;
MELAWAN
1.
Ny. SUTARSIH;
2.
Ny. HJ. DIAH
OMALIA;
3.
Ny. HJ. YANI
ROCHYANI, selaku Para Termohon Peninjauan Kembali, semula
sebagai Para Penggugat; dan
1.
OYAH BINTI IDI;
2.
MARIAH BINTI
EDEN;
3.
NY. ITA TATI
BINTI HA. SUBANDI;
4.
NY. TARSIDAH
BINTI ACHMAD;
5.
NY. HJ. DJULAEHA;
6.
DRS. H. DEDI BIN
H. SAMA;
7.
CEPPY HIDAYAT;
8.
DRA. NY. AVI NANE
R. WAHYUDIN;
9.
SURYAWAN;
10.
NY. AISAH BINTI
MADJA;
11.
NY. EUIS BINTI
MADJA, selaku Para Turut Termohon Peninjauan Kembali, semula
merupakan Para Turut Tergugat I sampai dengan XI.
Sebagaimana kronologis perkara tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Bahwa Penggugat I
adalah isteri sah dari alm. H. Sama Adisubandi yang telah meninggal dunia di
Bandung pada tahun 1993, dengan 3 (tiga) orang anak yakni Penggugat II,
Penggugat III, Turut Tergugat IV. Selepas meninggalnya Sama Adisubandi atau
Pewaris meninggalkan harta kekayaan berupa: Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 21
atas nama Sama Adisubandi Tanah darat persil Nomor 26 D.II Kohir No. 1255, luas
1980 m2, yang pada saat alm. Sama Adisubandi masih hidup telah dihibahkan
kepada anaknya, yakni Penggugat II, dan oleh Penggugat II telah dibalik-nama
dengan SHM Nomor 46 atas nama Penggugat II.
2.
Bahwa pada tahun
1995 terjadi sengketa antara Para Tergugat dengan Para Turut Tergugat di
Pengadilan Negeri Bale Bandung berdasarkan Perkara Nomor 87/Pdt.G/1995/PN.BB.
yang objek gugatannya sebagian termasuk harta warisan dari alm. Sama Adisubandi
yang jatuh kepada ahli warisnya yaitu Para Penggugat dan Turut Tergugat IV,
dimana pada saat digelarnya perkara di atas, Para Penggugat tidak dimasukkan
sebagai Pihak Tergugat, tetapi kenyataannya harta kekayaan peninggalan alm.
Sama Adisubandi telah dieksekusi oleh Jurusita Pengadilan Negeri Bale Bandung.
3.
Bahwa Para
Tergugat dalam perkara saat ini, dahulu merupakan para Penggugat dalam perkara
Nomor 87/Pdt.G/1995/PN.BB. mendalilkan bahwa harta peninggalan dari Ny. Imas
Manah Anah kikitir/letter C No. 731 yang yang seharusnya jatuh kepada mereka,
selaku ahli waris pengganti dari alm. Ny. Imas Manah Anah. Selanjutnya,
Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung
Nomor: 87/Pdt.G/1995/PN.BB tanggal 03 April 1996 telah
mempertimbangkan kikitir/leter C No. 731 atas nama Ny. Imas Manah Anah sebagai
alat bukti kepemilikan tanah sengketa adalah harta peninggalan Ny. Imas Manah
Anah.
4.
Bahwa oleh
karenanya eksepsi para Turut Tergugat (dalam perkara tahun 1995 sebagai Para
Tergugat) dinyatakan ditolak dan menyatakan bahwa tanah sengketa adalah
merupakan harta peninggalan alm. Ny. Imas Manah Anah dan menghukum mereka atau
siapa saja yang memperoleh hak dari mereka untuk mengosongkan dan menyerahkan
obyek sengketa kepada para Tergugat pada tahun 1995.
5.
Bahwa terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 87/Pdt.G/1995/PN.BB tanggal 03
April 1996 berlanjut hingga tingkat Peninjauan Kembali sebagaimana Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 3 PK/Pdt/2000 tanggal 28 Februari
2002. Yang dijadikan dasar pertimbangan hukum dalam putusan peninjauan kembali
oleh Mahkamah Agung tahun 2002, adalah kikitir/leter C No. 731 atas nama Ny.
Imas Manah Anah, tetapi fakta hukum yang dibelakang hari terkuat ialah terbukti
bahwa pada Buku C yang sekarang masih terpelihara dengan baik di Desa Cangkuang
Kulon kikitir/leter C No. 731 bukan atas nama Ny. Imas Manah Anah, akan tetapi
atas nama orang lain yaitu Opo S. Sastra.
6.
Bahwa dari fakta
hukum tersebut, diindikasikan pemalsuan kikitir No. 731 oleh para Tergugat yang
dijadikan dasar oleh Peninjauan Kembali (PK) dalam Putusan Mahkamah Agung
Republik Indoensia Nomor 3 PK/Pdt/2000 tanggal 28 Februari 2002
untuk memenangkan dirinya, yang sangat merugikan Para Penggugat dan Turut
Tergugat IV sekarang ini sebagai ahli waris dari alm. MH. Sama Adisubandi
selaku pemilik tanah sengketa.
7.
Bahwa dengan
fakta yuridis demikian, membawa konsekuensi terhadap putusan Pengadilan Negeri
Bale Bandung Nomor 87/Pdt.G/1995/PN.BB tanggal jo. Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor: 3 PK/Pdt/2000 yang bersumber dari bukti kikitir
No. 731 menyangkut tanah sengketa bukan atas nama Ny. Imas Manah Anah tetapi
atas nama orang lain yaitu Opo S. Sastra, maka adalah patut bila putusan tersebut
dinyatakan tidak lagi valid, sepanjang terhadap tanah-tanah sengketa.
8.
Bahwa terhadap
Persil No. 26 D.II Kohir No. 1255, luas 1355 m2, SHM No. 21 atas nama MH. Sama
Adisubandi, dan Persil No. 26 D.II Kohir No. 1255, luas 1980 m2, SHM No. 46,
atas nama Penggugat II, telah dieksekusi oleh Jurusita Pengadilan Negeri Bale
Bandung berdasarkan Berita Acara Eksekusi tanggal 16 Desember 2002 meski
Penggugat telah mengajukan bantahan pihak ketiga/derden verzet Reg. No.
966/Pdt.Bth/2002/PN.BB. dengan alasan bahwa objek tanah bukan atas nama Ny.
Imas Manah Anah, tetapi atas nama Opo S. Sastra, maka eksekusi terhadap
tanah-tanah sengketa milik para Penggugat adalah bertentangan dengan hukum
serta sangat merugikan para Penggugat.
9.
Bahwa Eksekusi
pengosongan dan penyerahan tanah-tanah sengketa telah dilaksanakan dan telah
dikuasai tanpa hak dan bertentangan dengan hukum oleh para Tergugat, oleh
karenanya tanah-tanah atas nama Alm. Sama Adisubandi, agar supaya segera
dikosongkan dan diserahkan oleh para Tergugat atau siapapun yang memperoleh hak
dari mereka kepada para Tergugat I s/d II dan Turut Tergugat IV untuk dibagi
waris.
10.
Bahwa Terhadap
gugatan Penggugat, yang kemudian menjadi amar putusan Pengadilan Negeri Bale
Bandung Nomor: 78/Pdt.G/2003/PN.BB. tanggal 19 Mei 2004 adalah sebagai berikut:
Bahwa dengan kemajuan zaman dan dengan memperhatikan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor: 84 K/Sip/1973 tanggal 25 Juni 1973 , masing-masing
tanda bukti P-1 dan bukti P-2 dihubungkan dengan kesaksian Karto bin Irasik dan
Uyeh bin Asnawi, maka telah terbuktilah bahwa tanah dan sawah yang menjadi
obyek perkara yang tertera dalam kedua Kikitir tersebut adalah milik Nyimas
Manah anah yang jatuh kepada para Penggugat sebagai ahli waris yang sah;
MENGADILI
DALAM
POKOK PERKARA:
1.
Mengabulkan
gugatan para Penggugat untuk sebagian;
2.
Menyatakan
penyitaan jaminan yang telah dilaksanakan oleh Juru Sita Pengadilan Negeri Bale
Bandung atas dua persil tanah yang terletak di ... , yakni:
-
Tanah Darat
Persil No. 26 D.II, Kohir No.1255, luas 1345 m2, yang terletak di ... ,
Sertifikat Hak Milik No. 21 atas nama MH. Sama Adisubandi, dengan batas-batas
sebagai berikut: ... Dengan catatan: Di atas tanah darat tersebut berdiri
sebuah bangunan garasi mobil milik H. Iskandar;
-
Tanah Darat
Persil No. 26 D.II, Kohir No. 1255, luas 1980 m2, yang terletak di ... ,
Sertifikat Hak Milik No. 46 atas nama Diah Omalia/Penggugat II, dan oleh
Penggugat II telah dibalik nama dengan Sertifikat Hak Milik No. 46 atas nama
Diah Omalia, dengan batas-batas sebagai berikut: ...
Adalah sah
dan berharga;
3.
Menyatakan para
Penggugat (Penggugat I, II dan III) dan Turut Tergugat IV adalah sebagai ahli
waris dari almarhum M.H. Sama Adisubandi;
4.
Menyatakan bahwa
tanah-tanah sengketa, yakni:
-
Tanah Darat
Persil No. 26 D.II, Kohir No. 1255, luas 1345 m2, yang terletak di ... ,
Sertifikat Hak Milik No. 21 atas nama M.H. Sama Adisubandi, dengan batas-batas
sebagai berikut: ...
-
Tanah Darat
Persil No. 26 D.II, Kohir No. 1255, luas 1980 m2, yang pada saat almarhum M.H.
Sama Adisubandi masih hidup telah dihibahkan kepada anaknya yang bernama Diah
Omalia/Penggugat II, dan oleh Penggugat II telah dibalik nama dengan Sertifikat
Hak Milik No. 46 atas nama Diah Omalia/Penggugat II. Tanah tersebut di atas
terletak di Desa Cangkuang Kulon dengan batas-batas sebagai berikut: ...
Adalah
harta peninggalan almarhum M.H. Sama Adisubandi yang menjadi hak milik para
Penggugat (Penggugat I, II dan III) dan Turut Tergugat IV sebagai ahli waris
dari almarhum M.H. Sama Adisubandi;
5.
Menyatakan para
Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
6.
Menyatakan bahwa
putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung No. 87/Pdt.G/1995/PN.BB. tanggal 03
April 1996 jo. Putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung No. 03 PK/Pdt/2000
tanggal 28 Februari 2002 dan Eksekusi pengosongan dan penyerahan tanah-tanah
sengketa dalam Berita Acara Eksekusi No. 27/Eks/G/2002/PN.BB. jo. No.
87/Pdt.G/1995/PN.BB. tanggal 16 Desember 2002, tidak mempunyai kekuatan hukum
dan tidak mengikat kepada para Penggugat (Penggugat I, II dan III) sepanjang
terhadap tanah-tanah sengketa, masing-masing:
-
Tanah Darat
Persil No. 26 D.II, Kohir No. 1255, luas 1345 m2, yang terletak ... ,
Sertifikat Hak Milik No. 21 atas nama MH. Sama Adisubandi, dengan batas-batas
sebagai berikut: ...
-
Tanah Darat
Persil No. 26 D.II, Kohir No. 1255, luas 1980 m2, yang pada saat almarhum MH.
Sama Adisubandi masih hidup telah dihibahkan kepada anaknya yang bernama Diah
Omalia/Penggugat II, dan oleh Penggugat II telah dibalik nama dengan Sertifikat
Hak Milik No. 46 atas nama Diah Omalia/Penggugat II, tanah tersebut di atas
terletak di ...,
-
Sertifikat Hak
Milik No. 21 atas nama MH. Sama Adisubandi, dengan batas-batas sebagai berikut:
...
7.
Menghukum para
Tergugat atau orang lain yang mendapat hak dari mereka untuk segera
mengosongkan dan menyerahkan tanah-tanah sengketa berupa:
a.
Persil No. 26 D
II Kohir No. 1255, luas 1245 m2, SHM No. 21, atas nama MH. Sama Adisubandi,
yang terletak di ... , kepada para Penggugat untuk dibagi waris di antara para
Penggugat I, II, III dan Turut Tergugat IV;
b.
Persil No. 26
D.II Kohir No. 1255, luas 1980 m2, SHM No. 46 atas nama Diah Omalia yang
terletak di ... , kepada Penggugat II; - Menghukum para Turut Tergugat untuk
tunduk dan taat pada putusan ini;
8.
Menolak gugatan
para Penggugat untuk selebihnya.
Kemudian, pada tingkat banding, yang menjadi
amar Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 468/Pdt/2004/PT.Bdg,
tanggal 25 Januari 2005, sebagai berikut:
MENGADILI
1.
Menerima
permohonan banding dari kuasa para Tergugat/para Pembanding tersebut;
2.
Menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung tanggal 19 Mei 2004 No.
78/Pdt/G/2003/PN.BB. yang dimohonkan banding tersebut.
Kemudian,
yang menjadi amar Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1528
K/Pdt/2005 tanggal 18 April 2006 dalam tingkat kasasi, sebagai berikut:
MENGADILI
“Menolak
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: ENGKOS KOSASIH BIN IDI, SARI
BINTI IDI, IPAR BINTI IDI, ANISAH BINTI IDI, OYAH BINTI IDI, MARIAH
BINTI EDEN, UJANG AS. BIN EDEN, SOLIHIN BIN IDI tersebut.”
Kemudian, Para Tergugat mengajukan Upaya Hukum
Peninjuan Kembali (PK), dengan pokok keberatan bahwasannya dengan diterima dan
dikabulkannya gugatan Para Penggugat, sehingga menganggap putusan Pengadilan
Negeri Bale Bandung No. 87/Pdt/G/1995/PN.BB yang sebelumnya telah dikuatkan
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 03 PK/Pdt/2000, namun kini
dianulir oleh Pengadilan Negeri yang mengakibatkan putusan Mahkamah Agung Nomor
03 PK/Pdt/2000 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum terhadap tanah SHM No. 21 atas
nama Adisubandi dan SHM No. 46 atas nama Diah Omalia, berarti Mahkamah Agung
telah membenarkan sikap Pengadilan Negeri yang pada kenyataannya telah
melampaui kewenangannya dengan telah melakukan pemeriksaan kembali terhadap
materi dan putusan perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap pada tahun 2000.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 03 PK/Pdt/2000 adalah
putusan Lembaga Peradilan Tertinggi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pada asasnya, setiap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah
sudah mutlak bersifat “lites finiri oportet”, atau sudah bersifat final
sehingga semestinya tidak bisa diganggu-gugat lagi.
Pada putusan itu sudah terkandung segala macam
kekuatan hukum yang bersifat mutlak, mempunyai kekuatan mengikat yang mutlak
dan telah mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak pula. Oleh karena itu,
putusan Mahkamah Agung selaku Lembaga Peradilan Tertinggi, tidak semestinya
dikoreksi atau dinilai kembali oleh Lembaga Peradilan Tingkat Pertama.
Dimana terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah
Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
-
Menimbang, bahwa
terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex
juris ternyata tidak salah dalam menerapkan hukum;
-
Menimbang, bahwa
berdasarkan pertimbangan diatas, maka permohonan peninjauan kembali yang
diajukan oleh para Pemohon Peninjauan Kembali: ENGKOS KOSASIH BIN IDI dan
kawan-kawan tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I
Menolak
permohonan peninjauan kembali dari para Pemohon Peninjauan Kembali: NY. AISYAH
BINTI MAJA, telah meninggal dunia, dalam hal ini diwakili oleh anaknya:
SULAIMAN, ENGKOS KOSASIH BIN IDI, SARI BINTI IDI, IPAR BINTI IDI, NY. ANISAH
BINTI IDI, UJANG AS BIN EDEN, SOLIHIN BIN IDI Tersebut.
Perlawanan Pihak Ketiga dalam Eksekusi Sita Jaminan
Mengenai hal ini, Yahya Harahap menjelaskan bahwa
pihak ketiga yang bersangkutan yang bersangkutan dapat mengajukan perlawanan
dalam bentuk derden verzet atau perlawanan pihak ketiga
terhadap Conservatoir Beslag yang sering disingkat CB (Sita
Jaminan). Demikian penegasan sebagaimana Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 3089 K/Pdt/1991 yang menjelaskan, sita
jaminan (CB) yang diletakkan di atas milik pihak ketiga memberi hak kepada
pemiliknya untuk mengajukan derden verzet.[5]
Masih menurut Yahya Harahap[6], derden
verzet atas sita jaminan (CB) dapat diajukan pemilik selama perkara
yang dilawan belum mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Apabila
perkara yang dilawan sudah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap,
upaya hukum yang dapat dilakukan pihak ketiga atas penyitaan itu, bukan derden
verzet, tetapi gugatan perdata biasa. Demikian dikemukakan dalam Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 996 K/Pdt/1989, bahwa derden
verzet yang diajukan atas CB yang diletakkan PN dalam suatu perkara
perdata, dapat dibenarkan selama putusan perkara yang dilawan (perkara pokok)
belum mempunyai kekuatan hukum tetap serta CB tersebut belum diangkat.
Kemudian sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Sleman
Nomor: 185/Pdt.Plw/2010/PN.Slmn. Dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim
mengatakan bahwa berdasarkan Pasal 378 Rv dan Pasal
379 Rv,untuk dapat dikabulkannya perlawanan pihak ketiga diperlukan
terpenuhinya 2 (dua) unsur, yaitu:
1.
Adanya
kepentingan dari pihak ketiga;
2.
Secara nyata hak
pihak ketiga dirugikan.
Apakah pihak Pelawan (pihak ketiga yang dirugikan atas
sita jaminan) dapat menarik pihak lain menjadi terlawan maupun turut terlawan
pada hal diketahui terlawan/turut terlawan dimaksud bukan pihak dalam sengketa
awal? Mengenai hal ini, kita dapat menyimak penjelasan Yahya Harahap
yangberpendapat bahwa dalam penyelesaian suatu perkara, tidak boleh menimbulkan
kerugian kepada pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara.
Prinsip kontrak partai (party contract) yang digariskan Pasal 1340 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menegaskan perjanjian hanya
mengikat kepada para pihak yang membuatnya, berlaku juga dalam proses
penyelesaian perkara, hanya mengikat pihak-pihak yang berperkara saja.
Dari pernyataan ini sebenarnya kita dapat menyimpulkan
bahwa tidak dimungkinkan apabila pelawan (pihak ketiga) yang memiliki keberatan
bahwa harta kekayaan miliknya dijadikan sita jaminan oleh terlawan (awalnya
tergugat), dapat menarik pihak lain menjadi terlawan maupun turut terlawan yang
bukan pihak dalam sengketa awal. Pelawan dalam derden verzet (pihak ketiga)
sebenarnya pun merupakan pihak yang tidak ada pada sengketa awal antara
penggugat dan tergugat. Namun, yurisprudensi sebagai salah satu dasar hukum di
Indonesia (melalui Putusan MA No. 3089 K/Pdt/1991) yang kami jelaskan tadi,
memberikan hak kepada pihak ketiga untuk mengajukan derden verzet agar dirinya
dinyatakan sebagai pemilik objek yang terkena sita jaminan (CB). Namun, jika
pelawan (pihak ketiga) menarik pihak lain, menurut kami tidak akan ada
relasinya, baik terhadap perkara pokok maupun sita jaminan yang diupayakan
dalam derden verzet. Kalaupun muncul pihak baru yang dianggap membawa kerugian
bagi pelawan (pihak ketiga) yang mengajukan derden verzet, maka melihat dari
prinsip penyelesaian perkara yang pada dasarnya hanya menyangkut pihak-pihak di
dalamnya (Pasal 1340 KUHPerdata), upaya hukum yang dapat dilakukan pelawan
(pihak ketiga) terhadap pihak baru yang muncul itu bukanlah derden verzet,
tetapi berbentuk gugatan perkara biasa.
Tata Cara Mengajukan Perlawanan dalam Perkara Perdata
Menurut Subekti[7] prosedur
mengajukan perlawanan dalam perkara perdata:
1.
Diajukan secara
tertulis atau lisan;
2.
Ditujukan di
Pengadilan Negeri bersangkutan;
3.
Perlawanan
diajukan dalam tenggang waktu 8 (delapan) hari sesudah diberitahukan penyitaan
atau pengosongan;
4.
Perlawanan akan
diperiksa oleh Pengadilan Negeri terkait. Namun, tidak menghalangi dilakukan
pelelangan atas barang sitaan, kecuali Ketua Pengadilan Negeri bersangkutan
memerintahkan agar menangguhkan lelang sampai jatuh putusan;
5.
Bila perlawanan
diterima dan beralasan oleh pengadilan sehingga tidak jadi dilakukan, segala
biaya kerugian dan bunga yang timbul akan dibebankan pada pihak yang meminta
penyitaan;
6.
Apabila
perlawanan ditolak ataupun tidak ada perlawanan, agar perlawanan sah maka orang
yang meminta penyitaan harus mengajukan tuntutan dalam tenggang waktu 1 (satu)
bulan sejak putusan perlawanan dibacakan.
Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan beberapa ketentuan
hukum tersebut, derden verzet adalah upaya hukum luar biasa
sebagai bentuk perlawanan dari pihak ketiga terhadap suatu putusan yang
merugikan haknya. Derden verzet juga harus diajukan dan
didaftarkan dalam perkara baru di pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara
tersebut. Kemudian, jika pengajuan derden verzet dikabulkan,
maka putusan yang dilawan harus segera diperbaiki terbatas pada hal yang
merugikan pihak ketiga, kecuali, terhadap putusan yang tidak dapat
dipecah dan menghendaki pembatalan putusan secara keseluruhan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1] M. Yahya Harahap, “Hukum Acara
Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 299.
[2] Ivonne W. K. Maramis, “Perlawanan
Pihak Ketiga (Derden Verzet) Sebagai Upaya Menangguhkan Eksekusi”, Lex
Administratum, Vol. 5, No. 5, 2017, 34.
[3] Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus”,
(Jakarta: MARI, 2007), 4.
[4] Ibid, 102.
[5] Ibid, 299-300.
[6] Ibid.
[7] Subekti, “Hukum Acara Perdata” (Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman,1997), 241-243.