layananhukum

Membedakan Putusan Pengadilan dan Penetapan Pengadilan dalam Perkara Perdata

Ilustrasi Pengadilan di Perdata dalam Melakukan Pembuktian
 

Pertanyaan

Pagi pak, apa perbedaan antara Putusan Pengadilan dan Penetapan Pengadilan dalam Perkara Perdata baik di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama? Terima kasih.

Jawaban

Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan:

(1)      Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.

(2)     Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

Dari ketentuan di atas merupakan penegasan di samping kewenangan badan peradilan terhadap perkara gugatan, tetapi termasuk juga pada perkara voluntair untuk meminta penetapan yang hanya melibatkan satu pihak saja. Perkara permohonan adalah termasuk pada pengertian yurisdiksi voluntair dan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemohon maka hakim memberikan suatu penetapan.

Sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 3139/K/Pdt/1984, yang mengatakan bahwa tugas pokok pengadilan adalah memeriksa dan memutus perkara yang bersifat sengketa. Selain itu pengadilan juga memeriksa voluntair jurisdiction, namun kewenangan itu terbatas pada hal-hal yang ditegaskan oleh peraturan perundang-undangan.

Yurisdiksi penetapan pengadilan memang diperluas pada hal-hal yang ada urgensinya itu pun dengan syarat jangan sampai memutus perkara voluntair yang mengandung sengketa.

Apa itu Putusan?

Putusan merupakan hasil atau kesimpulan suatu pemeriksaan perkara yang didasarkan pada pertimbangan hukum baik berdasarkan penerapan hukum maupun temuan hukum.[1] Menurut Roihan A. Rasyid[2] Pengertian putusan secara bahasa disebut dengan vonnis (Belanda) atau al-aqda’u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdictio cententiosa”.

Menurut Sudikno Mertokusumo[3], Putusan adalah suatu pernyataan yang diberikan oleh Hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara.

Sedangkan definisi lebih lanjut mengenai putusan menurut Gemala Dewi[4], adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai suatu produk Pengadilan (Agama) sebagai hasil dari suatu pemeriksaan perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.

Dan Menurut Ahmad Mujahiddin[5], Putusan adalah suatu pernyataan yang diucapkan oleh hakim dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri sekaligus menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak.

Putusan yang baik sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan ketentuan untuk memenuhi kebutuhan teoritis dan kebutuhan praktis.[6] Memenuhi kebutuhan teoritis mempunyai arti bahwa menilik isinya, suatu putusan harus dapat dipertanggungjawabkan dari sudut ilmu hukum (juridis verantwoord), bahkan tidak jarang melalui putusannya ini hakim dapat membentuk atau menemukan hukum baru. Adapun memenuhi kebutuhan praktis maksudnya adalah bahwa dengan putusan hakim itu diharapkan dapat menyelesaikan persoalan/sengketa hukum yang ada dan sejauh mungkin dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan khususnya dan masyarakat umumnya karena putusan itu dirasakan adil, benar dan berdasarkan hukum.

Jenis-Jenis Putusan

Putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam Perkara Perdata terbagi atas beberapa jenis. Pembagian putusan ini didasarkan atas beberapa hal, antara lain:

-        Putusan Ditinjau dari Aspek Kehadiran Para Pihak;

-        Putusan Ditinjau dari Sifatnya;

-        Putusan Ditinjau dari Saat Penjatuhannya; dan

-        Putusan Ditinjau dari Segi Isinya Terhadap Gugatan/Perkara.

Putusan Ditinjau dari Aspek Kehadiran Para Pihak

Ditinjau dari aspek kehadiran para pihak, putusan terbagi menjadi 3 (tiga):

1.       Putusan Verstek

Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan pengadilan dimana Tergugat tidak pernah hadir sama sekali dalam persidangan, meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut (melalui relaas panggilan yang di antarkan oleh Juru Sita), sementara ketidakhadirannya tersebut tidak disebabkan oleh halangan yang sah. Sebagaimana Pasal 125 Herzien Indlandsch Reglement (HIR) kemudian menegaskan bahwa putusan verstek adalah putusan bahwa gugatan diterima tanpa kehadiran Tergugat.

2.       Putusan Contradictoir atau Kontradiktoir

Putusan Contradictoir atau Kontradiktoir adalah putusan yang ditinjau dari segi kehadiran para pihak pada saat putusan diucapkan. Terdapat 2 (dua) jenis Putusan Contradictoir atau Kontradiktoir, antara lain:

-        Pada saat putusan diucapkan, para pihak hadir;

-        Pada saat putusan diucapkan, salah satu pihak tidak hadir.

3.       Putusan Gugur

Putusan gugur adalah putusan yang dijatuhkan pengadilan karena Penggugat tidak pernah datang menghadap sendiri di persidangan.[7]

Putusan Ditinjau dari Sifatnya

Putusan yang ditinjau dari sifatnya, putusan dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:

1.       Putusan Declaratoir

Putusan Declaratoir adalah putusan yang mengandung amar pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan (hubungan) hukum yang sah di antara para pihak berperkara. Contohnya:

“Menyatakan bahwa perjanjian Hutang Piutang tanggal 9 Juni 2016 antara Penggugat dengan Tergugat adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak,”

2.       Putusan Constitutief/ Konstitutif

Putusan Constitutief/ Konstitutif adalah putusan yang menciptakan atau meniadakan hubungan hukum tertentu.

Contohnya:

“Menyatakan bahwa perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak ada kecocokan lagi sehingga putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya,”

3.       Putusan Condemnatoir/ kondemnator

Putusan Condemnatoir/Kondemnator adalah putusan yang di dalamnya mengandung amar penghukuman, yaitu amar menghukum atau membebankan kepada salah satu atau kedua belah pihak untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan hukum.

Contohnya:

“Menghukum Tergugat untuk menyerahkan sertifikat Hak Milik Nomor: XXX/Desa XXXX, seluas XXX m2 (xxxxx  Meter Persegi) yang terletak di Desa xxxxxx, Kecamatan xxxxxx, Kabupaten xxxxxx , atas nama Pemegang Hak xxxx kepada Penggugat tanpa syarat apapun, bila perlu dalam pelaksanaannya dibantu oleh aparat negara yang ditugaskan,”

Putusan Ditinjau Dari Saat Penjatuhannya

Putusan Ditinjau dari saat penjatuhannya, putusan dibedakan atas 2 (dua) macam, antara lain:

1.       Putusan Sela

Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan hakim pada saat proses pemeriksaan berlangsung untuk memudahkan pemeriksaan perkara sebelum hakim menjatuhkan putusan akhir.

2.       Putusan Akhir

Putusan akhir adalah putusan hakim yang merupakan jawaban terhadap persengketaan para pihak untuk mengakhiri pemeriksaan suatu perkara.[8]

Putusan Ditinjau dari Segi Isinya Terhadap Gugatan/Perkara

Dilihat dari segi isinya terhadap gugatan/ perkara, putusan dibagi menjadi 4 (empat) macam, antara lain:

1.        Putusan Tidak Menerima Gugatan Penggugat, yaitu gugatan penggugat/ permohonan pemohon tidak diterima karena tidak terpenuhinya syarat hukum baik formil maupun materil (putusan negatif);

2.       Putusan Menolak Gugatan Penggugat, yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan, tetapi ternyata dalil- dalil penggugat tidak terbukti (putusan negatif);

3.      Putusan Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk Sebagian dan Menolak Tidak Menerima Selebihnya, yaitu putusan akhir yang dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak memulai syarat (putusan campuran positif dan negatif).

4.       Putusan Mengabulkan Gugatan Penggugat Seluruhnya, yaitu putusan yang terpenuhinya syarat gugat dan terbuktinya dalil- dali gugat (putusan positif).

Apa itu Penetapan?

Penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan (volunter), misalnya Penetapan dalam Perkara Dispensasi Nikah, Izin Nikah, Wali Adhal, Poligami, Perwalian, Itsbat Nikah, Perubahan Nama, Perkawinan Beda Agama, Pendaftaran Perkawinan/Pernikahan Terlambat di Pengadilan Negeri dan sebagainya. 

Penetapan merupakan jurisdicción voluntaria yang berarti bukan peradilan yang sesungguhnya karena pada penetapan hanya ada permohon tidak ada lawan hukum. Sehingga dalam penetapan, Hakim Tunggal yang memeriksa perkara tidak menggunakan kata “mengadili”, namun cukup dengan menggunakan kata “menetapkan”.

Contohnya, Penetapan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: 134/Pdt.P/2023/PN.Ptk tanggal 27 Februari 2023 yang menyatakan bahwa:

MENETAPKAN

1.        Mengabulkan permohonan Pemohon tersebut;

2.       Menetapkan bahwa Perkawinan Pemohon LIU SUI FA dengan HIE SJAU KONG alias BONG SJAU KONG (almarhum) secara adat istiadat orang Tionghoa dan secara Agama Khonghucu di hadapan pemuka Agama Khonghucu (Cang Lao)  yang bernama Bong Jun Sen (almarhum) pada tanggal 20 Januari 1967 adalah sebagai Perkawinan yang sah;

3.      Memerintahkan kepada Pemohon untuk mengirimkan salinan resmi penetapan ini kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Pontianak guna didaftarkan di dalam daftar Register yang tersedia untuk itu;

4.       Membebankan biaya permohonan kepada Pemohon sejumlah Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).

Penetapan Pengadilan hanya dapat diterbitkan untuk hal-hal yang sangat bersifat limitatif dengan syarat ex-parte atau sepihak dalam keadaan sangat terbatas dan sangat eksepsional pada hal tertentu saja dan hanya boleh terhadap masalah yang disebut dan ditentukan oleh undang-undang yang menegaskan bahwa masalah yang bersangkutan dapat atau boleh diselesaikan secara voluntair dalam bentuk permohonan untuk mendapat penetapan.

Penetapan pengadilan dapat dipersamakan dengan putusan pengadilan pada tingkat pertama dan terakhir. Sesuai dengan doktrin dan praktik yang berlaku bahwa penetapan yang dijatuhkan dalam perkara yang berbentuk permohonan atau voluntair pada umumnya dapat dipersamakan dengan putusan pada tingkat pertama dan terakhir.

Oleh karenanya, penetapan yang dijatuhkan terhadap permohonan tidak dapat dilakukan upaya banding, maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah upaya hukum kasasi sebagaimana Pasal 43 ayat (1) beserta Penjelasannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Perbedaan Putusan dan Penetapan di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama

1.       Adanya Sengketa dan Nomenklatur Para Pihak

Dalam Putusan ada 2 (dua) pihak yang saling bersengketa atau berlawanan yang kemudian disebut sebagai Penggugat dan Tergugat, sedangkan dalam Penetapan hanya ada satu pihak saja yang kemudian disebut sebagai Pemohon dan/atau Termohon.

2.       Adanya Kata “Melawan”

Dalam Putusan ada kata “melawan” antara para pihak yang bersengketa sedangkan dalam Penetapan tidak ada kata “melawan”.

3.       Ada kata “tentang duduk perkaranya”

Yang kemudian disebut dengan Posita dalam suatu Gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama mengenai suatu permasalahan, sedangkan dalam Permohonan yang kemudian produknya penetapan hanya menguraikan Permohonan yang hendak dimintakan ke Majelis Hakim Tunggal.

4.       Amar Putusan

Dalam Putusan Amarnya dapat bersifat deklaratoir, konstitutif, dan kondemnatoir. Seperti, Menggunakan kata “menetapkan...”, “menyatakan...”, ataupun “menghukum...” Sedangkan dalam Penetapan, Amarnya hanya bersifat deklaratoir dan konstitutif. Seperti, Menggunakan kata “menetapkan”, atau “menyatakan”.

5.       Biaya Perkara

Dalam Putusan mengenai Biaya perkara dibebankan kepada pihak yang kalah, sedangkan dalam Penetapan biaya perkara dibebankan kepada Pemohon.

6.      Adanya Rekonvensi dan Intervensi

Dalam Putusan adanya Rekovensi atau Melakukan Gugatan Balik kepada Penggungat Konvensi sebagai Tergugat Rekovensi. Sedangkan dalam Penetapan tidak ada istilah tersebut.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Setiawan Widagdo, “Kamus Hukum”, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012),  484.

[2] Roihan A. Rasyid, “Hukum Acara Peradilan Agama”, (Jakarta: PT. Rajawali Press, 2006), 203.

[3] Sudikno Mertokususmo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, (Yogyakarta: Liberty, 1988), 167-168.

[4] Gemala Dewi, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2005), 148.

[5] Ahmad Mujahiddin, “Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama”, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 227.

[6] Ateng Afandi dan Wahyu Afandi, “Tentang Melaksanakan Putusan Hakim Perdata”, (Bandung: Alumni, 1983), 273.

[7] Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016),  873.

[8] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, “Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek”, (Bandung: Mandar Maju, 2009), 109-110.

Formulir Isian