Ilustrasi Penggeroyokan |
Pertanyaan
Boleh beri contoh gambaran bang, perkara mengenai
Pasal 170 KUHP yang pernah ada dan bagaimana terkait dengan pembuktiannya?
Terima Kasih.
Jawaban
Permasalahan Penafsiran Pasal 170 KUHP
Pasal 170 KUHP berada dalam BUKU II tentang
Kejahatan dan di BAB V tentang Kejahatan Terhadap
Ketertiban Umum. Perlu dijelaskan lebih dahulu mengapa Pasal 170
ditempatkan dalam Kejahatan terhadap Ketertiban Umum dan apa makna/tafsir
penempatan pasal ini dalam BAB V tersebut.
Menurut J.M. Van Bemmelen memberikan komentar terhadap
Pasal 141 Strafwetboek Belanda (vide Pasal 170
KUHP), jadi khususnya berkenaan dengan keadaan di negeri Belanda sendiri,
sebagai berikut:
“…….,
dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang
atau barang, adalah salah satu kejahatan terhadap ketertiban umum yang sering
sekali terjadi. Dalam banyak peristiwa perbuatan ini juga ditujukan terhadap
penguasa umum (misalnya melempar polisi dengan batu).”[1]
Dalam konteks Indonesia Pasal ini pun ditujukan kepada
mereka-mereka yang melakukan demonstrasi lalu menyerang petugas, merusak
fasilitas umum dan mengganggu keamanan publik. Jadi pasal ini dirancang untuk
melindungi masyarakat umum, menjaga ketertiban umum dan berlangsung di dalam
ruang publik.
Penempatan Pasal 170 dalam BAB V sebagai delik “Kejahatan
terhadap Ketertiban Umum”, maka dimaknai sebagai tujuan utama perbuatan
tersebut adalah mengganggu ketertiban umum, sehingga harus bisa dibuktikan
kejahatan yang dilakukan untuk membuat suasana tidak aman. Adanya
orang yang luka atau mati serta rusaknnya barang-barang bukanlah tujuan utama
dari Pasal 170 ini, melainkan akibat dari perbuatannya yang menggunakan
kekerasan secara bersama-sama.
Kejahatan terhadap ketertiban umum secara garis
besarnya adalah sekumpulan kejahatan-kejahatan yang menurut sifatnya dapat
menimbulkan bahaya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat dan dapat
menimbulkan gangguan-gangguan terhadap ketertiban di dalam lingkungan
masyarakat. Kejahatan terhadap ketertiban umum di dalam M.V.T (memory van
toelichting) diartikan sebagai kejahatan yang sifatnya dapat menimbulkan
bahaya bagi kehidupan masyarakat dan dapat menimbulkan gangguan bagi ketertiban
alamiah dalam masyarakat.
Bahkan Van Bemmelen dan Van Hattum menegaskan
kejahatan terhadap ketertiban umum untuk menjaga berfungsinya masyarakat dan
negara. Contoh konkrit, kejahatan terhadap ketertiban umum
sebagaimana diatur dalam KUHP adalah:
1.
Penodaan terhadap
bendera kebangsaan;
2.
Lagu Kebangsaan
dan Lambang Negara;
3.
Menyatakan
perasaan permusuhan terhadap pemerintah;
4.
Menyatakan
perasaan permusuhan terhadap golongan tertentu;
5.
Menghasut di muka
umum umum yang menimbulkan kekacauan.
Secara doktrin, dan yang dianut KUHP Indonesia dan
juga KUHP Belanda, maka tindak pidana yang ada saat ini diatur KUHP dibagi
menjadi 3 (tiga) bagian antara lain:
-
Bagian I: Tindak
pidana terhadap Negara;
-
Bagian II: Tindak
Pidana terhadap Masyarakat;
-
Bagian III:
Tindak Pidana kepada Pribadi.[2]
Pembagian ini sesuai dengan pembagian kepentingan
kelompok yang ingin dilindungi oleh KUHP. Pasal 170 KUHP dimaknai sebagai
perlindungan hukum kepentingan masyarakat dari gangguan ketertiban dan bukan
dimaksudkan melindungi kepentingan individu.
Dalam memorie van toelichting (MVT)
malah disebutkan bahwa delik ini ditujukan kepada kelompok-kelompok yang secara
terang-terangan ingin mengganggu ketertiban publik bukan untuk melukai
orang-orang per orang atau petugas yang sedang melaksanakan tugasnya. Terjadi
luka dan kerusakan adalah ekses dari perbuatan itu.
Pada intinya harus ditemukan bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh gerombolan atau kelompok tersebut ingin mengacau atau membuat
ketidaknyamanan dalam masyarakat luas. Delik ini ditujukan untuk
membuat suasana tidak aman, sehingga jika terjadi timbulnya luka, kematian,
kerusakan maka tanggung jawab atas kejadian tersebut ada pada individu yang
melakukan perbuatan tersebut, sehingga masing-masing peserta dari rombongan
tersebutlah yang bertanggung jawab secara sendiri-sendiri beserta akibat-akibatnya
tidak dipertanggungjawabkan kepada orang yang tidak melakukan perbuatan
tersebut.
Hal ini dimaksudkan agar orang yang tidak melakukan
perbuatan pengerusakan dan bentuk serangan lainnya tidak dipidana.
Pasal ini harus dibedakan dengan Pasal 358
KUHP. Pasal 358 KUHP terletak di BUKU II tentang Kejahatan dan berada
di BUKU XX tentang Penganiayaan. Pasal ini juga Pasal penyerangan atau
perkelahian yang dilakukan oleh gerombolan atau kelompok yang ditujukan kepada
individu tertentu atau bahkan petugas tertentu dan tidak dimaksudkan untuk
mengganggu ketertiban atau keamanan publik.
Sejak awal “kelompok” ini punya niat ingin
melakukan serangan kepada orang tertentu secara bersama-sama dan bukan ingin
membuat kekacauan dan keamanan umum. Tujuannya dari perbuatan ini adalah
nyata-nyata ingin merusak, ingin menganiaya yang bisa menimbulkan luka berat atau
kematian.
Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro[3] Tindak
Pidana sebagaimana Pasal 170 KUHP, kekerasan adalah tujuan bukan sarana untuk
tujuan lain. Maka, tidak perlu ada akibat tertentu dari kekerasan. Apabila
kekerasannya -misalnya- berupa melemparkan batu ke arah seseorang atau suatu
barang, maka tidak perlu orang atau barang itu kena lemparan batu itu.
Lebih lanjut menurut Wirjono Prodjodikoro, terang-terangan
(openlijk) berarti tidak tersembunyi. Jadi, tidak perlu di muka umum (in
het openbaar), cukup apabila tidak dipedulikan, apa ada kemungkinan orang
lain dapat melihatnya.
Unsur-Unsur Pasal 170 KUHP
Adapun bunyi Pasal 170 KUHP sebagai
berikut:
(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga
bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam:
1.
dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang
atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
2.
dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;
3.
dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
4.
Pasal 89 KUHP
tidak diterapkan.
Adapun break down atau detail dari
Unsur-Unsur Pasal 170 KUHP sebagai berikut:
-
Barangsiapa:
Barangsiapa ditafsirkan sebagai orang, namun orang
dalam jumlah yang besar, dan jumlah ini tidak ditentukan oleh KUHP berapa
banyak, namun para ahli sependapat minimal dua orang atau lebih, secara
bersama-sama.
-
Di Muka Umum:
Artinya, perbuatan tersebut dilakukan bukan di tempat
yang tersembunyi tetapi publik dapat mengakses tempat tersebut, atau dalam
Bahasa Wirjono Prodjodikoro “bahwa ada orang banyak bisa melihatnya (in het
openbaar)”. R. Soesilo menyatakan di tempat umum diartikan sebagai suatu
tempat dimana publik dapat melihatnya. J.M. van Bemmelen dengan mengutip
putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) menyatakan bahwa
pasal ini tidak berlaku untuk tindakan kekerasan yang dilakukan di tempat
sunyi, yang tidak mengganggu ketenangan umum, termasuk tindak itu dilakukan di
jalan raya namun public tidak terusik, maka Pasal ini juga tidak bisa
dikenakan, karena salah satu syarat tidak terpenuhi.
-
Secara
bersama-sama
Secara bersama-sama artinya pelaku-pelaku bersekongkol
untuk melakukan kekerasan. Bersekongkol ini bisa dilakukan saat kejadian atau
sebelum kejadian sudah ada persengkolan itu untuk melakukan kekerasan.
-
Melakukan
Kekerasan
Menurut R. Soesilo melakukan kekerasan adalah
mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah,
misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak,
menendang, dan lain sebagainya.[4]
-
Terhadap Orang
atau Barang
Jadi orang disini bisa siapa saja tidak memandang kedudukan dan pangkatnya. Barang yang diserang atau dirusak adalah barang-barang milik siapa saja tidak tergantung siapa pemiliknya.
Adapun beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia dapat dijadikan referensi dalam melihat perkara terhadap Pasal 170
KUHP ini di Pengadilan, seperti Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor: 10 K/KR./1975 tanggal 17 Maret 1976,
yang dalam Kaidah Hukumnya menyatakan:
“(Melakukan
kekerasan) secara terang-terangan yaitu tidak secara tersembunyi, tidak perlu
di muka umum. Cukup apabila ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya.”
Dalam Pertimbangan Hukum Hakim sebagai berikut:
“Majelis
Kasasi mengafirmasi/menguatkan pertimbangan Pengadilan Tinggi Palembang yang
menyatakan: Bahwa untuk dapat dikenakan Pasal 170 KUHP tidak perlu di muka umum
cukup jika dilakukan secara terang-terangan.”
Perbedaan antara Perbuatan Dilakukan Secara Terang-Terangan dan Dilakukan di Muka Umum
Perkara dalam Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor: 10 K/KR./1975 tanggal 17 Maret 1976 yang
mengadili perkara di tingkat kasasi untuk tindak pidana melakukan kekerasan
bersama-sama secara terang-terangan. Di Pengadilan Negeri Pangkal Pinang, bahwa
para terdakwa dituduh secara terang-terangan bersama-sama melakukan
pengeroyokan terhadap korban hingga korban jatuh sakit dan tidak dapat
menjalankan pekerjaannya.
Terhadap tuntutan Jaksa berdasarkan Pasal 170 Ayat 1
ke 1 KUHP, Hakim Pengadilan Negeri memutus seluruh terdakwa bebas (vrijspraak).
Putusan Pengadilan Negeri tersebut kemudian diajukan banding dan Pengadilan
Tinggi Palembang membatalkan serta mengadili sendiri perkara tersebut serta
memutuskan para terdakwa bersalah dan menghukum para terdakwa berdasarkan Pasal
170 Ayat 1 ke 1 KUHP dengan satu bulan penjara. Terhadap putusan Pengadilan
Tinggi Palembang tersebut, terdakwa mengajukan kasasi dengan alasan antara lain
bahwa Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukumnya. Karena putusan bebas
yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri, seharusnya tidak dapat diajukan
banding ke Pengadilan Tinggi, melainkan harus langsung diajukan kasasi.
Sehingga menurut para pemohon kasasi, seharusnya Pengadilan Tinggi menolak
permohonan banding tersebut.
Selain itu Pemohon Kasasi menyatakan bahwa
pertimbangan Pengadilan Tinggi terkait terpenuhinya Pasal 170 Ayat 1 ke 1 KUHP
berupa dilakukannya perbuatan harus dilakukan secara terang-terangan tidak
dipenuhi karena maksud di muka umum dalam Pasal 170 Ayat 1 ke 1 KUHP harus
diartikan dapat mengganggu ketertiban umum, karena Pasal 170 Ayat 1 ke 1 KUHP
ada di dalam BAB V yang mengatur tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum.
Sehingga apabila perbuatan tidak dilakukan di muka
maka perbuatan tidak mengganggu ketertiban umum, sehingga dianggap unsur “di
muka umum” tidak terpenuhi. Atas Permohonan Kasasi dengan pertimbangan tersebut
di atas, Mahkamah Agung menyatakan menolak dan tetap menghukum para terdakwa
sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh Pengadilan Tinggi, karena
melanggar Pasal 170 Ayat 1 ke 1 KUHP. Hakim dalam Pengadilan Kasasi tidak
memberikan pertimbangan khusus terkait dengan keberatan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi, sehingga dianggap apa yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi dan
kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung itulah yang menjadi kaidah
Yurisprudensinya.
Artinya, Mahkamah Agung mengafirmasi
pertimbangan dari Pengadilan Tinggi Palembang bahwa melakukan kekerasan secara
terang-terangan yaitu tidak secara tersembunyi, tidak perlu dilakukan di muka
umum.
Cukup apabila perbuatan dilakukan di tempat dimana ada
kemungkinan orang lain dapat melihatnya. Dalam perkara yang diputuskan oleh
Pengadilan Tinggi Palembang tersebut yang menjadi keberatan dari para pemohon
kasasi adalah tidak dipenuhinya unsur “dilakukan secara terang-terangan” karena
perbuatan dilakukan di jalan yang sepi pada malam hari di mana tidak ada orang
yang melintas.
Kemudian, sebagaimana Putusan Pengadilan
Negeri Rangkasbitung Nomor: 32/Pts.Pid.B/1988. PN.Rkb tanggal 28
Oktober 1988 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung
Nomor: 305/Pid/B/1988. PT.Bdg, tanggal : 18 Januari 1989 jo. Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 916.K/Pid/1989, tanggal: 17
Juni 1989. Yang dalam catatannya sebagai berikut:
-
Bahwa untuk
menerapkan pasal 170 K.U.H.P., maka unsur delict berupa “openlijk”
atau unsur (“terang-terangan”) – haruslah ditafsirkan bahwa perbuatan kekerasan
itu dilakukan secara terbuka di suatu lokasi yang dapat dilalui oleh sembarang
orang.
-
Bahwa adalah
salah menerapkan hukum, bilamana judex facti menafsirkan
unsur delict “openlijk” dalam Pasal 170 KUHP. tersebut
sebagai: perbuatan yang dapat dilihat oleh umum. Hal mana nampak
dalam pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi yang menyatakan, bahwa kekerasan
terhadap korban dilakukan pada waktu tengah malam dimana orang sudah tidur, dan
terjadi di Kebun yang bukan merupakan jalan umum, sehingga saat terjadi kekerasan
tersebut, umum tidak dapat melihatnya. Karena itu, unsur-unsur “di muka umum”
dalam kasus ini, tidak terbukti.
-
Bahwa dalam pasal
170 KUHP, mengenai masalah besar kecilnya peranan masing-masing “pelaku
peserta” dalam tindak kekerasan tersebut adalah tidak relevan. Sudah cukup
keikutsertaan mereka dalam melakukan kekerasan itu, bagaimanapun kecilnya.
Peranan itu baru berarti bagi pelaku yang dibuktikan bahwa “khusus perbuatan
kekerasannya itu” mengakibatkan – luka-luka berat- mati.
-
Pasal 170 menurut
teks aslinya (W.v.S) sebagai berikut: ZIJ, die openlijk met vereenigde
krechten gweld plegen tegen personen of goederen, worden gestraft ……. Enz.
Terjemahan menurut buku KUHP – R. Soesilo: Barang siapa yang di muka umum,
bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang …. Komentarnya:
“Dimuka Umum” ini dimaksudkan adalah di tempat public dapat
melihatnya.
-
Terjemahan Buku
Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Ichtiar Baru-van Hoeve 1989 sebagai
berikut: “Barang siapam secara – terang-terangan” dan secara bersama-sama
menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, ……. dst …. Dengan demikian
kita melihat pengertian “openlijk” dalam pasal 170 KUHP diterjemahkan
dengan kata Bahasa Indonesia yang berbeda: yaitu : “Dimuka Umum”, dan ada yang
menerjemahkan : “Terang-terangan”, yang dapt menimbulkan salah salah
menafsirkannya.
Putusan Mahkamah Agung tersebut kemudian diikuti oleh
Putusan-Putusan sejenis yang mengadili terdakwa dengan dakwaan Pasal 170 KUHP,
untuk memperjelas makna unsur “secara terang-terangan”, meski di beberapa
putusan yang mengacu pada kaidah Yuriprudensi tersebut seperti:
-
Putusan
Pengadilan Negeri Kupang Nomor: 106/PID.B/2011/PN.Kpg;
-
Putusan
Pengadilan Negeri Luwuk Nomor: 92/Pid.B/2013/PN.Lwk;
-
Putusan
Pengadilan Negeri Luwuk Nomor: 93/Pid.B/2013/PN.Lwk; dan
-
Putusan
Pengadilan Negeri Soasio Nomor 23/Pid.B/2018/PN.Sos
tidak terdapat keraguan lagi bahwa tempat terjadinya
kekerasan tersebut adalah di suatu tempat umum karena dilalui oleh banyak orang
atau dilihat oleh beberapa orang lain selain terdakwa dan korban.
Sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri
Kupang Nomor: 386/Pid.B/2011/PN.Kpg adalah satu di antara putusan
yang mengacu pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
10 K/KR./1975. Namun Putusan tersebut justru mengembangkan dan
memperjelas unsur “secara terang-terangan” yang ada dalam Pasal 170 KUHP
tersebut sehingga lebih mudah untuk dipahami makna dan tujuan dari perumusan
pasal tersebut sebagai bagian dari BAB V tentang Kejahatan terhadap Ketertiban
Umum dalam KUHP.
Dalam pertimbangannya atas unsur “dengan
terang-terangan” yang ada dalam Pasal 170 KUHP, Majelis Hakim berpendapat
sebagai berikut:
“Bahwa
Ketentuan pasal 170 KUHP berada pada pengaturan tentang Kejahatan terhadap
ketertiban umum sehingga dalam memaknai pengertian dengan terang-terangan
adalah yang berkaitan dengan ketertiban umum sehingga pengertiannya berarti
tidak secara bersembunyi, jadi tidak perlu dimuka umum, cukup apabila apa ada
kemungkinan orang lain dapat melihatnya sehingga meskipun perbuatan penggunaan
kekerasan tidak dilihat oleh orang lain, akan tetapi jika dilakukan di suatu
tempat yang dapat dilihat oleh orang lain atau vis publica terhadap orang atau
barang maka unsur secara terang-terang sudah dianggap terpenuhi.”
Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Kelas I A Kupang
tersebut juga memberikan penjelasan lebih lanjut terkait Pasal 170 KUHP yaitu
dengan mengunakan interpretasi gramatikal. Menurut majelis Hakim naskah asli
pasal 170 ayat (1) Wetboek Van Strafrecht (WvS) menggunakan
kata ”Openlijk” yang lebih tepat diterjemahkan sebagai “secara
terang-terangan” sebagaimana termuat dalam KUHP dan berbeda pengertiannya
dengan kata “Openbaar” yang diterjemahkan sebagai “di muka Umum”
sehingga apabila Penasihat Hukum terdakwa dalam pembelaannya mengemukakan dalil
tidak terpenuhinya pengertian “di muka umum” sebagai terjemahan dari “Openbaar”,
Majelis Hakim berpendapat dalil ini tidak tepat untuk dipergunakan menganalisis
dugaan perbuatan terdakwa.
Karena menurut majelis Hakim dalam kasus tersebut telah terpenuhi unsur ‘dengan terang-terangan’ atau terjemahan dari kata “openlijk”. Pengembangan kaidah Yurisprudensi dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri kelas IA Kupang tersebut, merupakan pengembangan penafsiran yang dapat digunakan oleh hakim manakala terdapat keraguan dalam menerapkan Pasal 170 KUHP yang mensyaratkan dipenuhinya unsur “dengan terang-terangan”. Dalam pertimbangannya, majelis Hakim juga memperjelas bahwa unsur ‘dengan terang-terangan’ tidak sama dengan “di muka umum”.
Pembuktian Unsur-Unsur dan Kekuatan Alat Bukti dalam Pertimbangan Hakim dalam Pasal 170 KUHP
Sebagaimana juga pernah Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Bangkinang sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Bangkinang
Nomor 355/Pid.B/2017/PN.Bkn tanggal 30 November 2017, yang dalama
amar putusannya sebagai berikut:
MENGADILI
1.
Menyatakan
Terdakwa I ELVIRIADI Alias ELVI Bin BAHTIAR dan Terdakwa II YULIUS Bin
KAMARUDDIN tersebut diatas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Melakukan kekerasan terhadap orang” sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan alternatif kesatu; Tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Turut serta melakukan
penganiayaan” sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif kedua;
Tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Turut serta melakukan pengancaman” sebagaimana didakwakan dalam dakwaan
alternatif ketiga;
2.
Membebaskan
Terdakwa I ELVIRIADI Alias ELVI Bin BAHTIAR dan Terdakwa II YULIUS Bin
KAMARUDDIN oleh karena itu dari semua dakwaan Penuntut Umum;
3.
Memulihkan
hak-hak Para Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;
4.
Menetapkan barang
bukti berupa:
-
Foto copy Surat
Perjanjian Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak antara Wardi
Alias Umar sidik Bin Anwar dengan Elviriadi dan Yulius, diberi tanda T.01;
-
Foto copy Surat
bukti Datfar nama warga masyarakat perumahan Fajar Kualu Damai yang
sungguh-sungguh tidak melihat saksi pelapor atas nama Wili Baransono, Darwin
Saragih dan Opung Mahidun, diberi tanda T.02;
Tetap
terlampir dalam berkas perkara;
5.
Membebankan biaya
perkara kepada Negara;
Adapun pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan
Pengadilan Negeri Bangkinang Nomor 355/Pid.B/2017/PN.Bkn berpendapat
bahwa:
-
Menimbang, bahwa
selanjutnya Ahli yang dihadirkan oleh Penuntut Umum atas nama MUKHLIS R. S.H.,
M.H. di persidangan di bawah sumpah memberikan keterangan/pendapat bahwa
bersama-sama yang dimaksud di dalam Pasal 170 KUHP adalah bersama-sama
perbuatan itu dilakukan 2 (dua) orang atau lebih. Disini dalam Pasal 170 KUHP
dijelaskan kalau perbuatan itu mendatangi orang tersebut disitu adanya unsur
kesengajaan bukan artinya unsur kealpaan, tentunya kalau ada unsur kekerasan
jelas dilakukan dengan sengaja memang tidak split diatur dalam Pasal 170 KUHP,
namun didalam bersama-sama itu bahwa yang bersangkutan atau pelaku melakukan
perbuatan itu ada unsur kesengajaan mendatangi orang tersebut untuk tujuan
memukul orang tersebut;
-
Bahwa setelah
marah-marah kepada saksi Wardi Terdakwa II melayangkan kepalan jari tangan
(tinju) kanannya yang mengenai tulang alis mata kanan (pelipis) selanjutnya
menendang saksi Wardi sebanyak 2 (dua) kali, selanjutnya Terdakwa I ada
mendorong saksi Wardi ke belakang, bahwa tujuan Terdakwa I mendorong adalah
agar saksi Wardi terhindar dari Terdakwa II, bahwa yang melerai Terdakwa II
adalah saksi Nasriyo bersama-sama dengan Terdakwa I. Bahwa, setelah kejadian
tersebut ada beberapa warga yang mendatangi lokasi kejadian selanjutnya saksi
Wardi langsung lari untuk menyelamatkan diri;
-
Menimbang, bahwa
Penuntut Umum berpendapat didalam surat tuntutannya perbuatan Terdakwa I yang
mendorong saksi Wardi dan perbuatan Terdakwa II yang melakukan melayangkan
kepalan jari tangan (tinju) kanannya yang mengenai tulang alis mata kanan
(pelipis) selanjutnya menendang saksi Wardi sebanyak 2 (dua) kali dilakukan
secara bersamaan oleh Para Terdakwa dikawasan perumahan dan dapat dilihat
langsung oleh warga perumahan, karena kejadiannya terjadi di luar rumah;
-
Bahwa, Penasihat
Hukum Para Terdakwa didalam pledoi / nota pembelaannya berpendapat keterangan
saksi-saksi saling bertolak belakang tentang detail kronologis kejadian
sehingga Penasihat Hukum Para Terdakwa mencurigai keterangan saksi-saksi
tersebut merupakan sebuah kebohongan;
-
Menimbang, bahwa
selanjutnya Majelis Hakim berpendapat berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah
terungkap di persidangan berdasarkan keterangan keseluruhan saksi-saksi yang
menerangkan bahwa dugaan pemukulan atau pengeroyokan tersebut terjadi di jalan
blok yang masih didalam area Perumahan Fajar Kualu Damai, Desa Tarai Bangun,
Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar atau dengan kata lain dilakukan di wilayah
terbuka dan/atau tidak tersembunyi sebagaimana dimaksud dalam pengertian Openlijk dalam
naskah asli Pasal 170 Wetboek van Strafrecht;
-
Bahwa, kemudian
berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah terungkap di persidangan berdasarkan
keterangan saksi Wardi, Terdakwa I ada melakukan pemukulan kepada saksi Wardi
tetapi tidak mengenai saksi Wardi, selanjutnya Terdakwa I ada mendorong saksi
Wardi. Sedangkan Terdakwa II melayangkan kepalan jari tangan (tinju) kanannya
yang mengenai tulang alis mata kanan (pelipis) selanjutnya menendang saksi
Wardi sebanyak 2 (dua) kali;
-
Bahwa,
berdasarkan keterangan saksi Adi Azman dan saksi Nasriyo secara bersesuaian
menerangkan Terdakwa II melayangkan kepalan jari tangan (tinju) kanannya yang
mengenai tulang alis mata kanan (pelipis) selanjutnya menendang saksi Wardi
sebanyak 2 (dua) kali sedangkan Terdakwa I tidak ada melakukan pemukulan, akan
tetapi mendorong saksi Wardi ke belakang;
-
Bahwa,
berdasarkan keterangan saksi Hendri, saksi Gusrizal, saksi Nurdin Purba, dan
saksi Ardison secara bersesuaian menerangkan tidak mengetahui persis awal mula
peristiwa tersebut dan tidak melihat adanya pemukulan baik itu yang dilakukan
oleh Terdakwa I maupun oleh Terdakwa II;
-
Bahwa,
selanjutnya Para Terdakwa di persidangan memberikan keterangan baik itu
Terdakwa I maupun Terdakwa II menyatakan tidak ada melakukan pemukulan terhadap
saksi Wardi;
-
Bahwa, keterangan
Terdakwa I bersesuaian dengan keterangan saksi Adi Azman di persidangan
menerangkan Terdakwa I ada menghalangi Terdakwa II ketika akan melempar batu
kepada saksi Wardi;
-
Bahwa,
selanjutnya berdasarkan keterangan saksi Wardi akibat dari perbuatan yang
dilakukan oleh Terdakwa II bagian wajah mengenai mata sebelah kanan saksi Wardi
terdapat luka sebagaimana Hasil Visum et Repertum Nomor :
440/Pusk.Tbg/090/ tanggal 22 Februari 2017 yang dibuat dan ditanda tangani oleh
dr. Resi Puspita, dokter pada UPTD Puskesmas Tambang;
-
Bahwa, keterangan
saksi Wardi tersebut bersesuaian juga dengan keterangan Ahli atas nama dr. Resi
Puspita, dokter pada UPTD Puskesmas Tambang selaku pihak yang menerbitkan Visum
et Repertum atas nama saksi Wardi, dan keterangan Terdakwa I yang
melihat luka lebam merah pada bagian wajah / mata sebelah kanan saksi Wardi;
-
Menimbang, bahwa
dengan demikian Majelis Hakim berkeyakinan berdasarkan keterangan saksi Wardi,
saksi Adi Azman dan saksi Nasriyo dihubungkan dengan Hasil Visum et
Repertum Nomor : 440/Pusk.Tbg/090/tanggal 22 Februari 2017 yang dibuat
dan ditanda tangani oleh dr. Resi Puspita, dokter pada UPTD Puskesmas Tambang
serta keterangan Ahli atas nama dr. Resi Puspita perbuatan Terdakwa II yang
melayangkan kepalan jari tangan (tinju) kanannya yang mengenai tulang alis mata
kanan (pelipis) yang menyebabkan luka pada bagian wajah / mata sebelah kanan
saksi Wardi.;
-
Bahwa,
selanjutnya terhadap perbuatan Terdakwa I yang berusaha memukul saksi Wardi
akan tetapi berhasil dihindarkan oleh saksi Wardi sebagaimana keterangan saksi
Wardi tidak terdapat persesuaian dengan keterangan saksi-saksi lain dan bukti
lain yang diajukan dalam perkara ini oleh karena itu haruslah dikesampingkan;
-
Bahwa, selama
persidangan berlangsung Majelis Hakim tidak menemukan unsur kesengajaan dari
Terdakwa I mendorong saksi Wardi baik itu dengan tujuan menyakiti atau bentuk
dorongan untuk melukai saksi Wardi dengan menggabungkan tenaga bersama dengan
Terdakwa II;
-
Menimbang, bahwa
dengan demikian Majelis Hakim berpendapat dengan tidak terbuktinya
“tenaga-tenaga yang dipersatukan” oleh perbuatan Terdakwa I dan Terdakwa II
selama dipersidangan, maka terhadap Unsur dengan terang- terangan dan dengan
tenaga bersama tidak terpenuhi pada perbuatan yang dilakukan oleh Para
Terdakwa.
Kemudian, Jaksa melakukan Kasasi Terhadap Putusan
tersebut, dan sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 85 K/Pid/2018 tanggal
5 April 2018 pun dalam amarnya berbunyi:
MENGADILI
-
Mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Kampar tersebut;
-
Membatalkan
Putusan Pengadilan Negeri Bangkinang Nomor 355/ Pid.B/2017/PN Bkn tanggal 30
November 2017 tersebut;
MENGADILI SENDIRI
1.
Menyatakan
Terdakwa I. ELVIRIADI alias ELVI bin BAHTIAR dan Terdakwa II. YULIUS bin
KAMARUDDIN terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Dimuka umum bersama- sama melakukan kekerasan terhadap orang”;
2.
Menjatuhkan
pidana kepada para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing
selama 6 (enam) bulan;
3.
Menetapkan pidana
tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim
yang menentukan lain disebabkan karena para Terpidana melakukan suatu tindak
pidana sebelum masa percobaan selama 1 (satu) tahun berakhir;
4.
Menetapkan barang
bukti berupa:
-
Foto copy Surat
Perjanjian Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak antara Wardi
alias Umar sidik bin Anwar dengan Elviriadi dan Yulius, diberi tanda T.01;
-
Foto copy Surat
Bukti Daftar Nama Warga Masyarakat Perumahan Fajar Kualu Damai yang
sungguh-sungguh tidak melihat saksi pelapor atas nama Wili Baransono, Darwin
Saragih dan Opung Mahidun, diberi tanda T.02;
Tetap
terlampir dalam berkas perkara;
5. Membebankan kepada para Terdakwa untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi masing-masing sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah);
Dalam Pertimbangan Hukumnya Majelis Hakim Kasasi
berpendapat sebagai berikut:
-
Alasan kasasi
Penuntut Umum dapat dibenarkan, putusan judex facti yang
membebaskan para Terdakwa dari dakwaan adalah putusan yang salah menerapkan
hukum, karena judex facti tidak mempertimbangkan dengan baik
dan benar terhadap bukti visum dan keterangan saksi-saksi yang langsung melihat
saat terjadinya pemukulan yang dilakukan para Terdakwa terhadap saksi Wardi;
-
Bahwa dari
keterangan saksi Wardi, Adi Azman, Nasriyo alias Riyo, Dr. Resi Puspasari
dan Visum Et Repertum terbukti bahwa pada saat saksi Wardi
membersihkan batas jalan blok di Perumahan Fajar Kumala Damai, tiba-tiba datang
Terdakwa I dan Terdakwa II dengan marah-marah dan berkata kasar kepada saksi
Wardi;
-
Bahwa kemudian
Terdakwa I dan Terdakwa II secara bersamaan memukul dengan tangan ke arah saksi
Wardi. Pukulan Terdakwa I dapat dihindari oleh saksi Wardi, namun Terdakwa I
sempat mendorong saksi Wardi. Sedangkan pukulan tangan kanan dari Terdakwa II
mengenai wajah saksi Wardi, tepatnya mengenai mata kanan. Selanjutnya Terdakwa
I mendorong saksi Wardi;
-
Bahwa akibat
perbuatan yang dilakukan para Terdakwa tersebut mengakibatkan saksi Wardi
mengalami bengkak di atas tulang alis sebelah kanan dan luka di pucuk hidung
dan warna merah terang pada putih mata sebalah kanan akibat kekerasan benda
tumpul, sesuai hasil visum et repertum;
-
Menimbang bahwa
berdasarkan pertimbangan di atas, perbuatan para Terdakwa telah memenuhi
unsur-unsur pidana dalam Pasal 170 Ayat (1) KUHPidana, sebagaimana didakwakan
dalam Dakwaan Kesatu, oleh karena itu para Terdakwa tersebut telah terbukti
bersalah dan dijatuhi pidana;
-
Menimbang bahwa
dengan demikian terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi/Penuntut Umum tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri
Bangkinang Nomor 355/Pid.B/2017/PN Bkn tanggal 30 November 2017 untuk kemudian Mahkamah
Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan
disebutkan di bawah ini.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.