layananhukum

Kendaraan Ditarik oleh Debt Collector? Begini Aturannya

Ilustrasi Ditagih Debt Collector

Pertanyaan

Selamat malam, saya ingin bertanya pak. Kendaraan saya ditarik secara paksa oleh orang yang mengaku sebagai Pihak Eksternal atau Pihak Ketiga dari Perusahaan Leasing akan tetapi mereka tidak menunjukkan dokumen-dokumen terkait. Apa Langkah Hukum yang bisa saya ambil? Terima kasih.

Jawaban
Pengantar

Sebelumnya Anda dapat membaca tulisan kami yang berjudul Eksekusi Jaminan Fidusia Setelah Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Apakah Eksekusi Jaminan Fidusia Harus Melalui Pengadilan Negeri?”.

Sebagaimana yang sudah kami jabarkan pada tulisan kami di atas, bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.[1] Oleh karenanya, diatur tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia guna memberikan kepastian hukum kepada para pihak (Perusahaan Pembiayaan atau Leasing dan Anda) yang berkepentingan dan Pendaftaran Jaminan Fidusia tersebut memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada Penerima Fidusia (Perusahaan Pembiayaan atau Leasing) terhadap kreditor lainnya.

Karena Jaminan Fidusia memberikan hak kepada pihak Pemberi Fidusia (Anda sebagai Debitur) untuk menguasai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia berdasarkan kepercayaan tadi, maka diharapkan sistem pendaftaran yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dapat memberikan jaminan kepada pihak Penerima Fidusia (Perusahaan Pembiayaan atau Leasing) dan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap Benda tersebut.

Akan tetapi, kemudian muncullah  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 terkait Uji Materiil Undang-Undang tentang Fidusia, yang mana Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menyatakan: 

“terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”

Memahami Substansi Wanprestasi dalam Jaminan Fidusia

Pertama, perlu kami jelaskan bahwa apabila Debitur (secara) sukarela (sebagaimana Putusan MK di atas) menyerahkan kendaraan yang dijadikan objek jaminan fidusia itu berarti pada saat yang sama ia mengakui telah terjadi penunggakkan cicilan pelunasan sehingga mengakibatkan kegagalan pembayaran. Lantas, untuk apa benda yang dijadikan Objek Jaminan Fidusia tersebut dijual secara lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang dikenakan bea lelang? 

Bukankah akan lebih efisien dan lebih efektif bila Debitur atas izin Kreditur lalu menjualnya (secara) “dibawah-tangan” Objek Jaminan Fidusia tersebut untuk melunasi hutangnya? Sebagaimana Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Apabila sudah diserahkan secara sukarela, mengapa namanya masih disebut lelang eksekusi? Sebagaimana Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Kedua, mengenai “Event of Default” (EoD) atau Syarat Batal dalam suatu Perjanjian dapat dipastikan sudah terdapat dan disepakati di awal saat Debitur dan Kreditur secara bersama-sama menandatangani Akad Pembiayaan/Kredit. Sedikit aneh apabila dinyatakan bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi)”  tersebut muncul belakangan alias post factum?

Begini, Prestasi dan Wanprestasi itu merupakan hal yang diatur (oleh KUHPerdata) di awal kemudian disepakati (Para Pihak) dan saat itu disepakati maka itu menjadi Undang-Undang bagi mereka yang terikat di dalamnya. Anda dapat membaca tulisan kami yang berjudul Melihat Sampai ke Akar Permasalahan antara Wanprestasi dan Penipuan  mengenai penjelasan Prestasi dan Wanprestasi.

Tujuannya untuk melihat perbuatan-perbuatan yang dapat diduga kuat apakah sama sekali para pihak tersebut tidak memenuhi prestasinya atau melakukan prestasinya akan tetapi tidak sempurna atau terlambat memenuhi prestasinya atau melakukan apa yang telah disepakati dilarang untuk dilakukan.

Bahwa apabila sudah disepakati hal tersebut untuk memenuhi prestasinya tetapi melakukan pelanggaran terhadap apa yang sudah disepakati tersebut, pelanggar manakah yang mau secara sukarela mengaku dan sepakat bahwa dirinya telah melanggar?

Yang terjadi selama ini ialah Debitur yang justru dapat bersikap “lebih galak” dengan menggugat Krediturnya sendiri meski diketahui bahwa mereka telah wanprestasi. Perjanjian, isinya ialah “prestasi” (untuk menyerahkan sesuatu, untuk melakukan sesuatu, dan/atau untuk tidak melakukan sesuatu) itu sendiri, dimana pelanggaran terhadap “prestasi” yang telah disepakati disebut sebagai wanprestasi.

Membedakan Fiat Eksekusi dan Parate Eksekusi

Anda sebagai Debitur (“Pemberi Fidusia”) sebagaimana Sertifikat Jaminan Fidusia sering kali mengeklaim mengalami kerugian secara langsung akibat dari penarikan objek jaminan fidusia yang dilakukan oleh Penerima Fidusia (Perusahaan Pembiayaan). Kemudian, muncullah tindakan sewenang-wenang pihak Kreditur untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, bahkan dengan “menghalalkan segala macam cara” serta tanpa melalui prosedur hukum yang benar.

Tindakan sewenang-wenang dimaksud, dilakukan dengan cara menyewa jasa “debt collector” atau Pihak Ketiga (Eksternal) untuk mengambil-alih objek fidusia yang dipegang oleh Debitur tanpa melalui “prosedur hukum yang benar”.

Nah, “Prosedur Hukum yang Benar” yang benar kami maksud di sini dengan maksud dan tujuan untuk membedakan mekanisme “fiat eksekusi titel eksekutorial” dan “parate eksekusi” terhadap jaminan yang diikat baik dengan Fidusia maupun Hak Tanggungan. Sebagaimana Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan:

“Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Ayat inilah yang disebut sebagai ‘fiat eksekusi’, merujuk pada ‘irah-irah’ dalam Sertifikat Jaminan Fidusia.

Dengan mempersamakan “Sertifikat Fidusia” dengan “Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap”, maka prosedur pelaksanaan eksekusi objek fidusia juga seharusnya dipersamakan atau paling tidak serupa dengan prosedur eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, oleh karenanya mengenai proses pengamanan eksekusi atas jaminan fidusia ini tercantum dalam Bab III mengenai permohonan pengamanan eksekusi Pasal 7 Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia, menegaskan bahwa dimana permohonan pengamanan eksekusi tersebut harus diajukan secara tertulis oleh penerima jaminan fidusia atau kuasa hukumnya kepada Kapolda atau Kapolres tempat eksekusi dilaksanakan.

Akan tetapi ada juga yang menafsirkan prosedur pelaksanaan eksekusi objek fidusia juga seharusnya dipersamakan atau paling tidak serupa dengan prosedur eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yaitu mengikuti ketentuan Hukum Acara Perdata dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R), yang mengatur:

“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.”

Hal ini berbeda apabila merujuk pada Pasal 224 H.I.R dan Pasal 258 R.Bg adalah ketentuan eksekusi yang ditujukan bagi grosse acte hipotik (sekarang Sertifikat Hak Tanggungan) dan grosse acte pengakuan hutang. Kedua grosse acte tersebut memang dimaksudkan mempunyai hak eksekutorial, yang berarti kedua grosse acte tersebut mempunyai kekuatan yang sama sebagaimana suatu Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap, maka eksekusinya tunduk dan patuh sebagaimana pelaksanaan suatu putusan pengadilan yang harus dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan Hukum Acara Perdata. Pemahaman tersebut jelas sangat bertentangan dengan makna parate executie yang merupakan sarana eksekusi yang mudah, murah, tanpa mengikuti aturan dalam hukum acara perdata dan tanpa membutuhkan fiat pengadilan.

Kemudian, Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa:

“Apabila debitur cidera janji Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.”

Ayat inilah yang dikenal dengan istilah ‘parate ekseksusi’, merujuk pada Kuasa Menjual dalam Akta Jaminan Fidusia yang dilekatkan bersama dengan Sertifikat Jaminan Fidusia.

Ketentuan Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia sebagaimana yang sudah kami jelaskan di atas adalah tentang “fiat eksekusi” dan ketentuan Pasal 15 Ayat (3) tentang “parate eksekusi”, tidaklah sama. “Parate eksekusi” bersifat “bersyarat tangguh”, yakni ditangguhkan sampai terjadinya “Event of Default” EoD atau syarat batal sebagaimana sebelumnya telah disepakati bersama di muka saat membuat akad kredit.

Singkatnya, Parate Eksekusi pada fidusia diberikan undang-undang tanpa diperjanjikan oleh para pihak[2] dan penjualannya melalui pelelangan umum.[3] Namun demikian, berdasarkan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 (yang sudah kami jelaskan di atas) dijelaskan bahwa ketentuan kekuatan eksekutorial pada sertifikat jaminan fidusia dalam Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia dan penjelasannya yang menjadi dasar parate eksekusi, tidak dapat dilaksanakan apabila tanpa persetujuan debitur atau tanpa upaya hukum.[4]

Prosedur Penarikan Kendaraan yang Baik dan Benar

Pada prinsipnya ada ketentuan dan prosedur yang dapat dilaksanakan bagi Debt Collector untuk melakukan penarikan benda berupa kendaraan bermotor sebagai objek jaminan fidusia yang kreditnya macet.

Pertama, dengan menggunakan dasar adanya wanprestasi sehingga perjanjian berakhir, namun syarat pengakhiran perjanjian tersebut harus melalui Putusan Pengadilan.

Kedua, dengan menggunakan dasar hukum Undang Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia jo. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Perubahan, dan Penghapusan Jaminan Fidusia bahwa Kreditur berhak menarik barang yang sebagai objek jaminan fidusia dengan adanya dasar adanya Sertifikat Jaminan Fidusia. 

Mengacu pada Pasal 48 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, perusahaan pembiayaan diperbolehkan untuk bekerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka penagihan, sehingga dalam hal ini OJK mewajibkan debt collector memiliki Sertifikat Khusus dalam tugas dan kewajibannya.

Pasal 48 Peraturan OJK Nomor 35/POJK.05/2018 menentukan bahwa:

1)       Perusahaan Pembiayaan dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada Debitur.

2)      Perusahaan Pembiayaan wajib menuangkan kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk perjanjian tertulis bermeterai.

3)      Kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagai:

a.       Pihak lain tersebut berbentuk badan hukum;

b.       Pihak lain tersebut memiliki izin dari instansi berwenang; dan

c.       Pihak lain tersebut memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan.

4)      Perusahaan Pembiayaan wajib bertanggung jawab penuh atas segala dampak yang ditimbulkan dari kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

5)      Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan evaluasi secara berkala atas kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Namun demikian dalam praktik di lapangan masih saja kerap kali terjadi adanya debt collector untuk melakukan pengambilan atau penarikan kendaraan bermotor sebagai objek jaminan fidusia yang kreditnya macet karena kurang pemahaman para pihak yang berkepentingan di dalamnya, sehingga terjadilah pelanggaran-pelanggaran prosedur hukum yang seharusnya tidak terjadi. 

Banyak lembaga pembiayaan menggunakan isi perjanjian sebagai dasar untuk menarik barang sebagai objek perjanjian pembiayaan tersebut. Debitur yang belum mampu membayar lunas hutangnya (misalnya cicilan kredit kendaraan bermotor yang sudah jatuh tempo) adalah suatu pelanggaran hukum, yaitu melanggar perjanjian. Dalam hal demikian kreditur  mempunyai hak untuk menyita barang yang telah diserahkan kepada debitur dengan alasan wanprestasi. Atas alasan tersebut biasanya kreditur mengutus debt collectornya untuk menyita barang jika tidak berhasil menagih hutang.

Oleh karenanya, dalam melaksanakan aksinya di lapangan adapun dokumen yang wajib dibawa ketika Debt Collector melakukan penarikan unit kendaraan bermotor antara lain:

a.       Surat Kuasa Khusus dari Perusahaan Pembiayaan kepada Pihak yang melakukan Penarikan Unit;

b.      Sertifikat Profesi Penagihan Pembiayaan (SPPI) yang dikeluarkan resmi oleh PT Sertifikasi Profesi Penagihan Pembiayaan (PT SPPI) sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaran Usaha Perusahaan Pembiayaan yang mana disebutkan bahwa Perusahaan Pembiayaan dapat bekerja sama atau menggunakan pihak ketiga dalam rangka penagihan;

c.       Fotocopy Sertifikat Jaminan Fidusia;

d.      Surat Peringatan 1, 2, dan 3; dan

e.       Kartu Identitas atau Tanda Pengenal Debt Collector dari Perusahaan mana yang ditunjuk.

Selain itu wajib diperhatikan juga bahwa disebut PUJK wajib mencegah pihak ketiga yang bekerja untuk atau mewakili kepentingan PUJK dari perilaku menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya, yang berakibat merugikan Konsumen (vide Pasal 7 ayat (1) huruf b Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan).

Mengajukan Upaya Keberatan ke PUJK melalui OJK

Saat ini OJK memiliki layanan konsumen terintegrasi di sektor jasa keuangan berupa sistem yang disebut dengan Aplikasi Portal Pelindungan Konsumen (APPK). Sistem ini dikembangkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Melalui APPK semua pihak yang terlibat akan mendapatkan manfaat, baik untuk Konsumen, Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK), Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS), dan OJK sebagai regulator.

Anda dapat langsung mengunjungi https://kontak157.ojk.go.id/APPKPublicPortal/Pengaduan untuk melakukan Pengaduan terkait persoalaan Anda nanti setelah itu PUJK akan membalas atau memberikan solusi penyelesaian apabila Anda menerima usulan penyelesaian maka pengaduan akan dinyatakan selesai. Apabila ternyata Anda tidak menerima solusi penyelesaian dan PUJK Anda dapat menolak usulan tersebut kemudian akan melanjutkannya ke LAPS atau menolak usulan tersebut akan tetapi tidak melanjutkan ke LAPS akan tetapi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.

Upaya Hukum Perdata dan Pidana Penarikan Unit Secara Paksa

Terdapat beberapa momentum tindakan paksa, tanpa menunjukkan bukti dan dokumen resmi, tanpa kewenangan, dengan menyerang diri pribadi, kehormatan, harkat dan martabat, serta mengancam akan membunuh bahkan melakukan pembunuhan.

Terhadap tindakannya demikian, telah terdapat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 345/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel tanggal 7 Januari 2019 yang menyatakan bahwa tindakan Penerima Fidusia semacam itu dikategorikan sebagai “Perbuatan Melawan Hukum” (PMH), serta diberi sanksi berupa membayar denda baik Materiil maupun Immateriil, dengan amar selengkapnya:

MENGADILI

Dalam Pokok Perkara:

1.        Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2.       Menyatakan Tergugat I (PT. Astra Sedaya Finance), Tergugat II (Idris Hutapea), dan Tergugat III (M. Halomoan Tobing) telah MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM yang merugikan Penggugat;

3.      Menghukum Tergugat I (PT. Astra Sedaya Finance), Tergugat II (Idris Hutapea), dan Tergugat III (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar kerugian materiil kepada penggugat sebesar Rp. 100.000,-;

4.       Menghukum Tergugat I (PT. Astra Sedaya Finance), Tergugat II (Idris Hutapea), dan Tergugat III (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar ganti rugi kerugian immateriil kepada penggugat sebesar Rp. 200.000.000,-;

5.       Menghukum Turut Tergugat (Otoritas Jasa Keuangan) untuk mematuhi isi putusan ini.

Kemudian secara pidana, sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 1052/Pid.Sus/2021/PN Dps, tanggal 10 Maret 2022 yang sempat viral yaitu Debt Collector yang membunuh Debiturnya dengan amar putusan Majelis Hakim sebagai berikut:

MENGADILI

1.        Menyatakan Terdakwa (1) Benny Bakarbessy, Terdakwa (2) Jos Bus Likumahwa, Terdakwa (3) Fendy Kainama, Terdakwa (4) Gerson Pattiwaelapia, Terdakwa (5) I Gusti Bagus Christian Alevanto dan Terdakwa (6) Dominggus Bakar Bessy tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang” sebagaimana dakwaan kedua;

2.       Menjatuhkan pidana terhadap Para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 3 (tiga) tahun;

3.      Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Para Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4.       Menetapkan Para Terdakwa tetap ditahan;

5.       Barang bukti berupa:

-        1 (Satu) unit sepeda motor Honda Vario warna hitam Nopol DK 4266 XJ dan;

-       1 (Satu) unit sepeda motor Honda Beat warna biru putih Nopol DK 6016 QF; 

Dikembalikan kepada yang berhak melalui Terdakwa Dominggus Bakar Bessy.

Sedangkan:

-        1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Lexy Warna Abu abu Nopol: DK 2733 ABO;

Dikembalikan kepada yang berhak melalui Ketut Widiada alias Jro Dolah.

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan sebelumnya dalam kaitannya dengan pokok permasalahan yang ada, dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 1052/Pid.Sus/ 2021/PN Dps tanggal 10 Maret 2022 telah memberikan perlindungan hukum secara represif terhadap benda jaminan fidusia dengan cara mengembalikan kepada yang berhak, bukan kepada terdakwa yang notabene adalah Debt Collector.

Kemudian, untuk Pemerasan dan Pengancaman juga terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor 339/Pid.B/2022/PN Jmb tanggal 27 September 2022 yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa:

MENGADILI

1.        Menyatakan Terdakwa Rinaldi bin Akmal tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dalam keadaan memberatkan”;

2.       Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan, 15 (lima belas) hari;

3.      Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4.       Menetapkan Terdakwa tetap ditahan;

5.       Menetapkan barang bukti berupa:

-         1 (satu) unit mobil merk Toyota Avanza 1.3 Veloz warna merah metalik nopol BH 1287 NR noka: MHKM5EA4JKK034355 nosin: 1NRG060644 an. Jafriadi Zahar;

-       2 (dua) buah kunci kontak warna hitam mobil jenis Toyota Avanza Veloz nopol BH 1287 NR yang terdapat Logo Toyota;

-       1 (satu) lembar STNK mobil jenis Toyota Avanza Veloz Nopol BH 1287 NR warna merah metalik STNK an. Jafriadi Zahar;

Dikembalikan kepada saksi Gusmi binti Dalim;

-     1 (satu) lembar surat tanda terima kendaraan tarikan dari Sdr. Rinaldi kepada Sdr. Sapriadi tertanggal 27 Januari 2022;

-     3 (tiga) lembar surat kuasa PT. Maybank Indonesia Finance No. 578RAL20220100017 dari pemberi PT. Maybank Indonesia Finance yang ditandatangani Sdr. Ardi Kurniaputra Tamzil kepada PT. Tiga Putra Darah yang ditandatangani Sdr. Rinaldi dengan nama petugas eksekusi yaitu Rinaldi;

-     2 (dua) lembar print out screenshoot Mbanking ke rekening tujuan dengan no rek: 7891057801190843 an. Jafriadi Zahar;

-     1 (satu) lembar print out rekening koran BCA No. Rek: 7870373991 an. Budhi Utomo periode Januari 2022 halaman 5/7;

-     5 (lima) surat kesepakatan bersama pebiayaan dengan penyeraahn hak milik secara fidusia (perjanjian pembiayaan);

-     1 (satu) lembar surat pernyataan bersama antara Oka Widiastuti selaku pihak PT. Agung Automal dengan Sdr. Jafriadi Zahar yang diketahui oleh PT. Maybank Indonesia Finance;

-     1 (satu) lembar surat kuasa pengikatan fidusia dan menarik-menjual kendaraan dari pemberi kuasa an. Jafriadi Zahar dengan penerima kuasa PT. Maybank Indonesia Finance;

-     1 (satu) lembar surat tugas PT. Tiga Putra Darah no. 0351/TPD/I/2022, tertanggal 26 Januari 2022 yang ditandatangan oleh Sdr. Chandra Ariyanto selaku Direktur PT. Tiga Putra Darah;

-     8 (delapan) lembar surat perjanjian kerjasama profesional collection No : 05/16-30/06/2021 antara pihak pertama PT. Maybank Indonesia Finance dengan pihak kedua PT. Tiga Putra Darah;

-     1 (satu) lembar lampiran perjanjian kerjasama profesional collection yang berisi daftar nama karyawan pihak kedua;

-     2 (dua) lembar customer card view dengan cutomer name Jafriadi Zahar;

-     Tetap terlampir dalam berkas perkara;

6.        Membebankan biaya dalam perkara kepada Terdakwa sejumlah Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah);

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] vide Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

[2] Teddy Anggoro, Parate Eksekusi: Hak Kreditur Yang Menderogasi Hukum Formil (Suatu Pemahaman Dasar Dan Mendalam), Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 3, No. 4, 2007, hal. 550.

[3] vide Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

[4] Antonius Budi, Hapusnya Lembaga Parate Eksekusi sebagai Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 51 No. 2, 2021, hal. 330

Formulir Isian