Ilustrasi Ditagih Debt Collector |
Pertanyaan
Selamat malam, saya ingin bertanya pak. Kendaraan saya
ditarik secara paksa oleh orang yang mengaku sebagai Pihak Eksternal atau Pihak
Ketiga dari Perusahaan Leasing akan tetapi mereka tidak menunjukkan
dokumen-dokumen terkait. Apa Langkah Hukum yang bisa saya ambil? Terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Sebelumnya Anda dapat membaca tulisan kami yang
berjudul “Eksekusi
Jaminan Fidusia Setelah Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019” dan “Apakah
Eksekusi Jaminan Fidusia Harus Melalui Pengadilan Negeri?”.
Sebagaimana yang sudah kami jabarkan pada tulisan kami
di atas, bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.[1] Oleh
karenanya, diatur tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia guna memberikan kepastian
hukum kepada para pihak (Perusahaan Pembiayaan atau Leasing dan
Anda) yang berkepentingan dan Pendaftaran Jaminan Fidusia tersebut memberikan
hak yang didahulukan (preferen) kepada Penerima Fidusia (Perusahaan Pembiayaan
atau Leasing) terhadap kreditor lainnya.
Karena Jaminan Fidusia memberikan hak kepada pihak
Pemberi Fidusia (Anda sebagai Debitur) untuk menguasai Benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia berdasarkan kepercayaan tadi, maka diharapkan sistem
pendaftaran yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia dapat memberikan jaminan kepada pihak Penerima Fidusia (Perusahaan
Pembiayaan atau Leasing) dan pihak yang mempunyai kepentingan
terhadap Benda tersebut.
Akan tetapi, kemudian muncullah Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020
terkait Uji Materiil Undang-Undang tentang Fidusia, yang mana Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam putusannya menyatakan:
“terhadap
jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi)
dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi
jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam
pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku
sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap”
Memahami Substansi Wanprestasi dalam Jaminan Fidusia
Pertama, perlu kami jelaskan bahwa apabila Debitur
(secara) sukarela (sebagaimana Putusan MK di atas) menyerahkan kendaraan yang
dijadikan objek jaminan fidusia itu berarti pada saat yang sama ia mengakui
telah terjadi penunggakkan cicilan pelunasan sehingga
mengakibatkan kegagalan pembayaran. Lantas, untuk apa benda yang
dijadikan Objek Jaminan Fidusia tersebut dijual secara lelang di Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang dikenakan bea lelang?
Bukankah akan lebih efisien dan lebih efektif bila
Debitur atas izin Kreditur lalu menjualnya (secara) “dibawah-tangan” Objek
Jaminan Fidusia tersebut untuk melunasi hutangnya? Sebagaimana Pasal
29 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Apabila
sudah diserahkan secara sukarela, mengapa namanya masih disebut lelang
eksekusi? Sebagaimana Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Kedua, mengenai “Event of Default” (EoD)
atau Syarat Batal dalam suatu Perjanjian dapat dipastikan sudah terdapat dan
disepakati di awal saat Debitur dan Kreditur secara bersama-sama menandatangani
Akad Pembiayaan/Kredit. Sedikit aneh apabila dinyatakan bahwa “terhadap
jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi)”
tersebut muncul belakangan alias post factum?
Begini, Prestasi dan Wanprestasi itu merupakan hal
yang diatur (oleh KUHPerdata) di awal kemudian disepakati (Para Pihak) dan saat
itu disepakati maka itu menjadi Undang-Undang bagi mereka yang terikat di
dalamnya. Anda dapat membaca tulisan kami yang berjudul “Melihat Sampai ke Akar Permasalahan antara
Wanprestasi dan Penipuan” mengenai penjelasan Prestasi
dan Wanprestasi.
Tujuannya untuk melihat perbuatan-perbuatan yang dapat
diduga kuat apakah sama sekali para pihak tersebut tidak memenuhi
prestasinya atau melakukan prestasinya akan tetapi tidak
sempurna atau terlambat memenuhi prestasinya atau melakukan
apa yang telah disepakati dilarang untuk dilakukan.
Bahwa apabila sudah disepakati hal tersebut untuk
memenuhi prestasinya tetapi melakukan pelanggaran terhadap apa yang sudah
disepakati tersebut, pelanggar manakah yang mau secara sukarela mengaku dan
sepakat bahwa dirinya telah melanggar?
Yang terjadi selama ini ialah Debitur yang justru
dapat bersikap “lebih galak” dengan menggugat Krediturnya sendiri meski
diketahui bahwa mereka telah wanprestasi. Perjanjian, isinya ialah “prestasi”
(untuk menyerahkan sesuatu, untuk melakukan sesuatu, dan/atau untuk tidak
melakukan sesuatu) itu sendiri, dimana pelanggaran terhadap “prestasi” yang
telah disepakati disebut sebagai wanprestasi.
Membedakan Fiat Eksekusi dan Parate Eksekusi
Anda sebagai Debitur (“Pemberi Fidusia”) sebagaimana
Sertifikat Jaminan Fidusia sering kali mengeklaim mengalami kerugian secara
langsung akibat dari penarikan objek jaminan fidusia yang dilakukan oleh
Penerima Fidusia (Perusahaan Pembiayaan). Kemudian, muncullah tindakan
sewenang-wenang pihak Kreditur untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan
fidusia, bahkan dengan “menghalalkan segala macam cara” serta tanpa melalui
prosedur hukum yang benar.
Tindakan sewenang-wenang dimaksud, dilakukan dengan
cara menyewa jasa “debt collector” atau Pihak Ketiga (Eksternal) untuk
mengambil-alih objek fidusia yang dipegang oleh Debitur tanpa melalui “prosedur
hukum yang benar”.
Nah, “Prosedur Hukum yang Benar” yang benar kami
maksud di sini dengan maksud dan tujuan untuk membedakan mekanisme “fiat
eksekusi titel eksekutorial” dan “parate eksekusi”
terhadap jaminan yang diikat baik dengan Fidusia maupun Hak Tanggungan.
Sebagaimana Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia menyebutkan:
“Sertifikat
Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.”
Ayat inilah yang disebut sebagai ‘fiat
eksekusi’, merujuk pada ‘irah-irah’ dalam Sertifikat Jaminan Fidusia.
Dengan mempersamakan “Sertifikat Fidusia” dengan “Putusan
Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap”, maka prosedur
pelaksanaan eksekusi objek fidusia juga seharusnya dipersamakan atau paling
tidak serupa dengan prosedur eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap, oleh karenanya mengenai proses pengamanan eksekusi atas jaminan
fidusia ini tercantum dalam Bab III mengenai permohonan pengamanan
eksekusi Pasal 7 Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2011 tentang
Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia, menegaskan bahwa dimana permohonan
pengamanan eksekusi tersebut harus diajukan secara tertulis oleh penerima
jaminan fidusia atau kuasa hukumnya kepada Kapolda atau Kapolres tempat
eksekusi dilaksanakan.
Akan tetapi ada juga yang menafsirkan prosedur
pelaksanaan eksekusi objek fidusia juga seharusnya dipersamakan atau paling
tidak serupa dengan prosedur eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap yaitu mengikuti ketentuan Hukum Acara Perdata dengan
terlebih dahulu mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan sebagaimana
diatur dalam Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R),
yang mengatur:
“Jika
pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu
dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan,
maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat
pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil
pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan
itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan
hari.”
Hal ini berbeda apabila merujuk pada Pasal
224 H.I.R dan Pasal 258 R.Bg adalah
ketentuan eksekusi yang ditujukan bagi grosse acte hipotik (sekarang
Sertifikat Hak Tanggungan) dan grosse acte pengakuan
hutang. Kedua grosse acte tersebut memang dimaksudkan
mempunyai hak eksekutorial, yang berarti kedua grosse acte tersebut
mempunyai kekuatan yang sama sebagaimana suatu Putusan Pengadilan yang
Berkekuatan Hukum Tetap, maka eksekusinya tunduk dan patuh sebagaimana
pelaksanaan suatu putusan pengadilan yang harus dilaksanakan atas perintah
Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan Hukum Acara Perdata. Pemahaman tersebut
jelas sangat bertentangan dengan makna parate executie yang
merupakan sarana eksekusi yang mudah, murah, tanpa mengikuti aturan dalam hukum
acara perdata dan tanpa membutuhkan fiat pengadilan.
Kemudian, Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa:
“Apabila
debitur cidera janji Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.”
Ayat inilah yang dikenal dengan istilah ‘parate
ekseksusi’, merujuk pada Kuasa Menjual dalam Akta Jaminan Fidusia yang
dilekatkan bersama dengan Sertifikat Jaminan Fidusia.
Ketentuan Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang tentang
Jaminan Fidusia sebagaimana yang sudah kami jelaskan di atas adalah tentang
“fiat eksekusi” dan ketentuan Pasal 15 Ayat (3) tentang “parate eksekusi”,
tidaklah sama. “Parate eksekusi” bersifat “bersyarat tangguh”, yakni
ditangguhkan sampai terjadinya “Event of Default” EoD atau
syarat batal sebagaimana sebelumnya telah disepakati bersama di muka saat
membuat akad kredit.
Singkatnya, Parate Eksekusi pada fidusia diberikan
undang-undang tanpa diperjanjikan oleh para pihak[2] dan
penjualannya melalui pelelangan umum.[3] Namun
demikian, berdasarkan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 (yang sudah kami
jelaskan di atas) dijelaskan bahwa ketentuan kekuatan eksekutorial pada
sertifikat jaminan fidusia dalam Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia dan
penjelasannya yang menjadi dasar parate eksekusi, tidak dapat dilaksanakan
apabila tanpa persetujuan debitur atau tanpa upaya hukum.[4]
Prosedur Penarikan Kendaraan yang Baik dan Benar
Pada prinsipnya ada ketentuan dan prosedur yang dapat
dilaksanakan bagi Debt Collector untuk melakukan penarikan
benda berupa kendaraan bermotor sebagai objek jaminan fidusia yang kreditnya macet.
Pertama,
dengan menggunakan dasar adanya wanprestasi sehingga perjanjian berakhir,
namun syarat pengakhiran perjanjian tersebut harus melalui Putusan
Pengadilan.
Kedua,
dengan menggunakan dasar hukum Undang Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia jo. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Perubahan, dan
Penghapusan Jaminan Fidusia bahwa Kreditur berhak menarik barang yang sebagai
objek jaminan fidusia dengan adanya dasar adanya Sertifikat Jaminan
Fidusia.
Mengacu pada Pasal 48 Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Pembiayaan, perusahaan pembiayaan diperbolehkan untuk bekerja sama
dengan pihak ketiga dalam rangka penagihan, sehingga dalam hal ini OJK
mewajibkan debt collector memiliki Sertifikat Khusus dalam
tugas dan kewajibannya.
Pasal 48 Peraturan OJK Nomor 35/POJK.05/2018
menentukan bahwa:
1)
Perusahaan
Pembiayaan dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi
penagihan kepada Debitur.
2)
Perusahaan
Pembiayaan wajib menuangkan kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam bentuk perjanjian tertulis bermeterai.
3)
Kerja sama dengan
pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagai:
a.
Pihak lain
tersebut berbentuk badan hukum;
b.
Pihak lain
tersebut memiliki izin dari instansi berwenang; dan
c.
Pihak lain
tersebut memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di
bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan.
4)
Perusahaan
Pembiayaan wajib bertanggung jawab penuh atas segala dampak yang ditimbulkan
dari kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
5)
Perusahaan
Pembiayaan wajib melakukan evaluasi secara berkala atas kerja sama dengan pihak
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Namun demikian dalam praktik di lapangan masih saja
kerap kali terjadi adanya debt collector untuk melakukan
pengambilan atau penarikan kendaraan bermotor sebagai objek jaminan fidusia
yang kreditnya macet karena kurang pemahaman para pihak yang
berkepentingan di dalamnya, sehingga terjadilah pelanggaran-pelanggaran
prosedur hukum yang seharusnya tidak terjadi.
Banyak lembaga pembiayaan menggunakan isi perjanjian
sebagai dasar untuk menarik barang sebagai objek perjanjian pembiayaan
tersebut. Debitur yang belum mampu membayar lunas hutangnya (misalnya cicilan
kredit kendaraan bermotor yang sudah jatuh tempo) adalah suatu pelanggaran
hukum, yaitu melanggar perjanjian. Dalam hal demikian kreditur mempunyai
hak untuk menyita barang yang telah diserahkan kepada debitur dengan alasan
wanprestasi. Atas alasan tersebut biasanya kreditur mengutus debt
collectornya untuk menyita barang jika tidak berhasil menagih hutang.
Oleh karenanya, dalam melaksanakan aksinya di lapangan
adapun dokumen yang wajib dibawa ketika Debt Collector melakukan
penarikan unit kendaraan bermotor antara lain:
a.
Surat Kuasa
Khusus dari Perusahaan Pembiayaan kepada Pihak yang melakukan Penarikan Unit;
b.
Sertifikat
Profesi Penagihan Pembiayaan (SPPI) yang dikeluarkan resmi oleh PT Sertifikasi
Profesi Penagihan Pembiayaan (PT SPPI) sebagaimana yang dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 35/POJK.05/2018 tentang
Penyelenggaran Usaha Perusahaan Pembiayaan yang mana disebutkan bahwa
Perusahaan Pembiayaan dapat bekerja sama atau menggunakan pihak ketiga dalam
rangka penagihan;
c.
Fotocopy
Sertifikat Jaminan Fidusia;
d.
Surat Peringatan
1, 2, dan 3; dan
e.
Kartu Identitas
atau Tanda Pengenal Debt Collector dari Perusahaan mana yang
ditunjuk.
Selain itu wajib diperhatikan juga bahwa disebut
PUJK wajib mencegah pihak ketiga yang bekerja untuk atau mewakili kepentingan
PUJK dari perilaku menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukannya, yang berakibat merugikan Konsumen (vide Pasal
7 ayat (1) huruf b Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/POJK.07/2022
tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan).
Mengajukan Upaya Keberatan ke PUJK melalui OJK
Saat ini OJK memiliki layanan konsumen terintegrasi di
sektor jasa keuangan berupa sistem yang disebut dengan Aplikasi Portal
Pelindungan Konsumen (APPK). Sistem ini dikembangkan untuk mengoptimalkan
pelaksanaan penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa di Sektor Jasa
Keuangan. Melalui APPK semua pihak yang terlibat akan mendapatkan manfaat, baik
untuk Konsumen, Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK), Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa (LAPS), dan OJK sebagai regulator.
Anda dapat langsung mengunjungi https://kontak157.ojk.go.id/APPKPublicPortal/Pengaduan untuk
melakukan Pengaduan terkait persoalaan Anda nanti setelah itu PUJK akan
membalas atau memberikan solusi penyelesaian apabila Anda menerima usulan
penyelesaian maka pengaduan akan dinyatakan selesai. Apabila ternyata Anda
tidak menerima solusi penyelesaian dan PUJK Anda dapat menolak usulan tersebut
kemudian akan melanjutkannya ke LAPS atau menolak usulan tersebut akan tetapi
tidak melanjutkan ke LAPS akan tetapi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Upaya Hukum Perdata dan Pidana Penarikan Unit Secara Paksa
Terdapat beberapa momentum tindakan paksa, tanpa
menunjukkan bukti dan dokumen resmi, tanpa kewenangan, dengan menyerang diri
pribadi, kehormatan, harkat dan martabat, serta mengancam akan membunuh bahkan
melakukan pembunuhan.
Terhadap tindakannya demikian, telah terdapat Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 345/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel tanggal 7 Januari 2019 yang
menyatakan bahwa tindakan Penerima Fidusia semacam itu dikategorikan sebagai
“Perbuatan Melawan Hukum” (PMH), serta diberi sanksi berupa membayar denda baik
Materiil maupun Immateriil, dengan amar selengkapnya:
MENGADILI
Dalam
Pokok Perkara:
1.
Mengabulkan
gugatan Penggugat untuk sebagian;
2.
Menyatakan
Tergugat I (PT. Astra Sedaya Finance), Tergugat II (Idris Hutapea), dan
Tergugat III (M. Halomoan Tobing) telah MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM yang
merugikan Penggugat;
3.
Menghukum
Tergugat I (PT. Astra Sedaya Finance), Tergugat II (Idris Hutapea), dan
Tergugat III (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar kerugian
materiil kepada penggugat sebesar Rp. 100.000,-;
4.
Menghukum
Tergugat I (PT. Astra Sedaya Finance), Tergugat II (Idris Hutapea), dan
Tergugat III (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar ganti rugi
kerugian immateriil kepada penggugat sebesar Rp. 200.000.000,-;
5.
Menghukum Turut
Tergugat (Otoritas Jasa Keuangan) untuk mematuhi isi putusan ini.
Kemudian secara pidana, sebagaimana Putusan
Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 1052/Pid.Sus/2021/PN Dps, tanggal 10 Maret
2022 yang sempat viral yaitu Debt Collector yang
membunuh Debiturnya dengan amar putusan Majelis Hakim sebagai berikut:
MENGADILI
1.
Menyatakan
Terdakwa (1) Benny Bakarbessy, Terdakwa (2) Jos Bus Likumahwa, Terdakwa (3)
Fendy Kainama, Terdakwa (4) Gerson Pattiwaelapia, Terdakwa (5) I Gusti Bagus
Christian Alevanto dan Terdakwa (6) Dominggus Bakar Bessy tersebut di atas,
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan
terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang”
sebagaimana dakwaan kedua;
2.
Menjatuhkan
pidana terhadap Para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
masing-masing selama 3 (tiga) tahun;
3.
Menetapkan masa
penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Para Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4.
Menetapkan Para
Terdakwa tetap ditahan;
5.
Barang bukti
berupa:
-
1 (Satu) unit sepeda motor Honda Vario warna
hitam Nopol DK 4266 XJ dan;
-
1 (Satu) unit
sepeda motor Honda Beat warna biru putih Nopol DK 6016 QF;
Dikembalikan
kepada yang berhak melalui
Terdakwa Dominggus Bakar Bessy.
Sedangkan:
-
1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Lexy Warna
Abu abu Nopol: DK 2733 ABO;
Dikembalikan
kepada yang berhak melalui Ketut Widiada alias Jro Dolah.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan
sebelumnya dalam kaitannya dengan pokok permasalahan yang ada, dapat
disimpulkan bahwa Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
1052/Pid.Sus/ 2021/PN Dps tanggal 10 Maret 2022 telah memberikan perlindungan
hukum secara represif terhadap benda jaminan fidusia dengan cara mengembalikan
kepada yang berhak, bukan kepada terdakwa yang notabene adalah Debt
Collector.
Kemudian, untuk Pemerasan dan Pengancaman juga
terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor
339/Pid.B/2022/PN Jmb tanggal 27 September 2022 yang dalam amar
putusannya menyatakan bahwa:
MENGADILI
1.
Menyatakan
Terdakwa Rinaldi bin Akmal tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dalam keadaan memberatkan”;
2.
Menjatuhkan
pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5
(lima) bulan, 15 (lima belas) hari;
3.
Menetapkan masa
penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4.
Menetapkan
Terdakwa tetap ditahan;
5.
Menetapkan barang
bukti berupa:
-
1 (satu) unit
mobil merk Toyota Avanza 1.3 Veloz warna merah metalik nopol BH 1287 NR noka:
MHKM5EA4JKK034355 nosin: 1NRG060644 an. Jafriadi Zahar;
-
2 (dua) buah
kunci kontak warna hitam mobil jenis Toyota Avanza Veloz nopol BH 1287 NR yang
terdapat Logo Toyota;
-
1 (satu) lembar
STNK mobil jenis Toyota Avanza Veloz Nopol BH 1287 NR warna merah metalik STNK
an. Jafriadi Zahar;
Dikembalikan
kepada saksi Gusmi binti Dalim;
-
1 (satu) lembar
surat tanda terima kendaraan tarikan dari Sdr. Rinaldi kepada Sdr. Sapriadi
tertanggal 27 Januari 2022;
-
3 (tiga) lembar
surat kuasa PT. Maybank Indonesia Finance No. 578RAL20220100017 dari pemberi
PT. Maybank Indonesia Finance yang ditandatangani Sdr. Ardi Kurniaputra Tamzil
kepada PT. Tiga Putra Darah yang ditandatangani Sdr. Rinaldi dengan nama
petugas eksekusi yaitu Rinaldi;
-
2 (dua) lembar
print out screenshoot Mbanking ke rekening tujuan dengan no rek:
7891057801190843 an. Jafriadi Zahar;
-
1 (satu) lembar
print out rekening koran BCA No. Rek: 7870373991 an. Budhi Utomo periode
Januari 2022 halaman 5/7;
-
5 (lima) surat
kesepakatan bersama pebiayaan dengan penyeraahn hak milik secara fidusia
(perjanjian pembiayaan);
-
1 (satu) lembar
surat pernyataan bersama antara Oka Widiastuti selaku pihak PT. Agung Automal
dengan Sdr. Jafriadi Zahar yang diketahui oleh PT. Maybank Indonesia Finance;
-
1 (satu) lembar
surat kuasa pengikatan fidusia dan menarik-menjual kendaraan dari pemberi kuasa
an. Jafriadi Zahar dengan penerima kuasa PT. Maybank Indonesia Finance;
-
1 (satu) lembar
surat tugas PT. Tiga Putra Darah no. 0351/TPD/I/2022, tertanggal 26 Januari
2022 yang ditandatangan oleh Sdr. Chandra Ariyanto selaku Direktur PT. Tiga
Putra Darah;
-
8 (delapan)
lembar surat perjanjian kerjasama profesional collection No : 05/16-30/06/2021
antara pihak pertama PT. Maybank Indonesia Finance dengan pihak kedua PT. Tiga
Putra Darah;
-
1 (satu) lembar
lampiran perjanjian kerjasama profesional collection yang berisi daftar nama
karyawan pihak kedua;
-
2 (dua) lembar
customer card view dengan cutomer name Jafriadi Zahar;
-
Tetap terlampir
dalam berkas perkara;
6.
Membebankan
biaya dalam perkara kepada Terdakwa sejumlah Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah);
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.
[1] vide Pasal
1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
[2] Teddy Anggoro, Parate Eksekusi: Hak
Kreditur Yang Menderogasi Hukum Formil (Suatu Pemahaman Dasar Dan Mendalam),
Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 3, No. 4, 2007, hal. 550.
[3] vide Pasal 29 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
[4] Antonius Budi, Hapusnya Lembaga
Parate Eksekusi sebagai Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
18/PUU-XVII/2019, Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol. 51 No. 2, 2021, hal. 330