Ilustrasi Kasus Pertanahan |
Pertanyaan
Bang, boleh coba ulas mengenai tata cara sengketa
kasus atau perkara pertanahan dong? Apa hanya melalui gugatan di pengadilan
saja? Lantas, pengadilan pun lewat pengadilan apa? Pengadilan Negeri atau
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)? Terima kasih.
Jawaban
Banyaknya sengketa pertanahan yang terjadi dalam
masyarakat, mendapat perhatian serius dari pemerintah, karena dianggap bahwa
“peristiwa kasus sengketa dan konflik pertanahan merupakan salah satu issue strategis.”
Permasalahan hak atas tanah yang dikuasai oleh pihak yang tidak berhak dapat
diselesaikan melalui beberapa cara. Cara-cara tersebut di antaranya adalah:
1.
Melalui mekanisme
ajudikasi (administrative tribunal oleh BPN);
2.
Melalui mekanisme
litigasi (peradilan oleh pengadilan); dan
3. Melalui mekanisme pidana.
Berikut paparannya secara sederhana dan singkat:
Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Melalui BPN
Terkait penanganan dan penyelesaian sengketa itu
sendiri, dilakukan dengan menggunakan kewenangan administrasi Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Kemudian, ada yang dikenal dengan istilah “Kasus Pertanahan”,
sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, yang menyatakan bahwa:
“Kasus
Pertanahan yang selanjutnya disebut Kasus adalah sengketa, konflik,
atau perkara tanah yang disampaikan kepada Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional,
Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya untuk mendapatkan penanganan dan
penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Selanjutnya, dalam peraturan yang tersebut di atas
membedakan antara “Sengketa Pertanahan” dan “Konflik Pertanahan”, yang dimaksud
dengan sengketa pertanahan adalah perselisihan tanah antara orang perseorangan,
badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.[1] Sedangkan,
konflik pertanahan adalah perselisihan tanah antara orang perseorangan,
kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau Lembaga yang mempunyai
kecenderungan atau sudah berdampak luas.[2]
Oleh karenanya dalam kasus pertanahan tersebut para
pihak yang merasa dirugikan dapat membuat “Pengaduan Sengketa atau Konflik
Pertanahan”, sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 5 Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020
tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, menyatakan bahwa:
“Pengaduan
Sengketa dan Konflik yang selanjutnya disebut Pengaduan adalah keberatan yang
diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan atas suatu produk hukum Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya atau merasa
dirugikan oleh pihak lain menyangkut penguasaan dan/atau kepemilikan bidang
tanah tertentu.”
Disebutkan bahwa dalam rangka Penanganan dan
Penyelesaian Kasus Pertanahan, Kementerian menerima Pengaduan yang berasal
dari:
a.
Perorangan/warga
masyarakat;
b.
Kelompok
masyarakat;
c.
Badan hukum;
d.
Instansi
pemerintah; atau
e.
Unit teknis
Kementerian, Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan.[3]
Kemudian, Pengaduan sebagaimana dimaksud diterima
melalui loket penerimaan Surat Pengaduan, loket penerimaan Pengaduan secara
langsung dan penerimaan Pengaduan melalui media daring yang diselenggarakan
oleh Kementerian, Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan.[4] Pengaduan
yang disampaikan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Identitas/legalitas
pengadu yang meliputi:
1.
Perorangan:
a)
Fotokopi bukti
identitas diri; atau
b)
Surat Kuasa dan
fotokopi identitas pemberi dan penerima kuasa apabila dikuasakan.
2.
Badan hukum:
a)
Fotokopi Akta
Pendirian/Perubahan terakhir;
b)
Surat Kuasa dari
Direksi; dan
c)
Fotokopi
identitas pemberi dan penerima kuasa apabila dikuasakan.
3.
Kelompok
masyarakat:
a)
Fotokopi bukti
identitas diri anggota kelompok masyarakat; dan
b)
Surat Kuasa dari
seluruh anggota kelompok masyarakat dengan dilampiri fotokopi identitas
penerima kuasa, apabila dikuasakan.
4.
Instansi
pemerintah:
Fotokopi bukti identitas diri pegawai atau pejabat
instansi yang bersangkutan disertai Surat Tugas atau Surat Kuasa dari instansi
yang bersangkutan.
5.
Kementerian,
Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan:
Surat laporan dari pimpinan unit kerja atau satuan
kerja yang bersangkutan.
b.
Fotokopi data
pendukung atau bukti penguasaan/kepemilikan tanah pengadu;
c.
Fotokopi data
pendukung lainnya atas tanah objek Sengketa atau Konflik; dan
d.
Uraian singkat
kronologis Kasus.[5]
Klasifikasi Kasus Pertanahan
Kasus yang merupakan Sengketa dan Konflik digolongkan
menjadi 3 (tiga) klasifikasi:
a.
Kasus Berat
merupakan Kasus yang melibatkan banyak pihak, mempunyai dimensi hukum yang
kompleks, dan/atau berpotensi menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, politik dan
keamanan;
b.
Kasus Sedang
merupakan Kasus antarpihak yang dimensi hukum dan/atau administrasinya cukup
jelas yang jika ditetapkan penyelesaiannya melalui pendekatan hukum dan
administrasi tidak menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, politik dan keamanan;
c.
Kasus Ringan
merupakan Kasus Pengaduan atau permohonan petunjuk yang sifatnya teknis
administratif dan penyelesaiannya cukup dengan surat petunjuk Penyelesaian
kepada pengadu atau pemohon.[6]
Terkait dengan mekanisme penanganan sengketa
kepemilikan tanah lazimnya dilakukan dengan beberapa tahapan
sebagai berikut:
a.
Pengkajian Kasus;
b.
Gelar awal;
c.
Penelitian;
d.
Ekspos hasil
Penelitian;
e.
Rapat Koordinasi;
f.
Gelar akhir; dan
g.
Penyelesaian
Kasus.[7]
Penanganan Sengketa dan Konflik dilakukan dengan
tahapan Penanganan secara berurutan. Dalam hal Sengketa dan Konflik klasifikasi
Kasus Sedang atau Kasus Ringan penanganannya dapat dilakukan tanpa melalui
semua tahapan sebagaimana dimaksud. Untuk dokumen hasil Penanganan Sengketa dan
Konflik yang masih dalam proses bersifat rahasia.[8]
Apabila Penanganan Kasus dinyatakan selesai ada
beberapa kriteria yang harus diperhatikan, antara lain:
a.
Kriteria Satu
(K1) jika penyelesaian bersifat final, berupa:
1.
Keputusan
Pembatalan;
2.
Perdamaian; atau
3.
Surat Penolakan
tidak dapat dikabulkannya permohonan.[9]
b.
Kriteria Dua (K2)
berupa:
1.
Surat Petunjuk
Penyelesaian Kasus atau Surat Penetapan pihak yang berhak tetapi belum dapat
ditindaklanjuti keputusan penyelesaiannya karena terdapat syarat yang harus
dipenuhi yang merupakan kewenangan instansi lain;
2.
Surat Rekomendasi
Penyelesaian Kasus dari Kementerian kepada Kantor Wilayah atau Kantor
Pertanahan sesuai kewenangannya dan Kantor Wilayah kepada Kantor Pertanahan
atau usulan Penyelesaian dari Kantor Pertanahan kepada Kantor Wilayah dan
Kantor Wilayah kepada Menteri.[10]
c.
Kriteria Tiga
(K3) berupa surat pemberitahuan bukan kewenangan Kementerian.[11]
Dalam hal Pembatalan Produk Hukum dilakukan oleh
Pejabat yang berwenang karena:
a.
Cacat
administrasi dan/atau cacat yuridis;
b. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.[12]
Pembatalan Produk Hukum karena cacat administrasi
dan/atau cacat yuridis disebabkan beberapa hal antara lain:
a.
Kesalahan dalam
proses/prosedur penerbitan hak atas tanah, pendaftaran hak dan proses
pemeliharaan data pendaftaran tanah;
b.
Kesalahan dalam
proses/prosedur pengukuran;
c.
Kesalahan dalam
proses/prosedur penerbitan sertipikat pengganti;
d.
Kesalahan dalam
proses/prosedur penerbitan sertipikat Hak Tanggungan;
e.
Kesalahan
penerapan peraturan perundang-undangan;
f.
Kesalahan subjek
hak;
g.
Kesalahan objek
hak;
h.
Kesalahan jenis
hak;
i.
Tumpang tindih
hak atas tanah;
j.
Tumpang tindih
dengan kawasan hutan;
k.
Kesalahan
penetapan konsolidasi tanah;
l.
Kesalahan
penegasan tanah objek landreform;
m.
Kesalahan dalam
proses pemberian izin peralihan hak;
n.
Kesalahan dalam
proses penerbitan surat keputusan Pembatalan;
o.
Terdapat putusan
pengadilan pidana berkekuatan hukum tetap yang membuktikan adanya tindak pidana
pemalsuan, penipuan, penggelapan dan/atau perbuatan pidana lainnya;
p.
Terdapat dokumen
atau data yang digunakan dalam proses penerbitan sertipikat bukan produk
instansi tersebut berdasarkan surat keterangan dari instansi yang bersangkutan;
q.
Terdapat putusan
pengadilan yang dalam pertimbangan hukumnya terbukti terdapat fakta adanya
cacat dalam penerbitan produk hukum Kementerian dan/atau adanya cacat dalam
perbuatan hukum dalam peralihan hak tetapi dalam amar putusannya tidak
dinyatakan secara tegas.[13]
Sebelum dilakukan pembatalan oleh karena cacat administrasi dan/atau cacat yuridis, Kementerian atau Kantor Wilayah sesuai kewenangan memberitahukan kepada pemegang Hak atas Tanah dan Hak Tanggungan dalam hal Produk Hukum yang akan dibatalkan berupa hak atas tanah atau sertipikat tanah yang dibebani dengan hak tanggungan.[14]
Usulan Pembatalan Produk Hukum karena cacat
administrasi dan/atau cacat yuridis harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Surat Permohonan
atau Surat Pengaduan;
b.
Fotokopi
Identitas pemohon yang dilegalisir dan kuasanya jika dikuasakan;
c.
Asli Surat Kuasa
jika dikuasakan;
d.
Fotokopi
bukti-bukti pemilikan/penguasaan atas tanah pemohon yang dilegalisir;
e.
Dokumen data
fisik dan data yuridis yang diusulkan Pembatalan;
f.
Dokumen hasil
Penanganan; dan
g.
Fotokopi dokumen
pendukung lainnya yang dilegalisir yang menunjukkan atau membuktikan adanya
cacat administrasi dan/atau cacat yuridis.[15]
Perlu dicatat bahwa Kementerian atau Kantor Wilayah
sesuai kewenangannya tidak dapat membatalkan Produk Hukum baik karena cacat
administrasi dan/atau cacat yuridis maupun sebagai pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal:
a.
Hak atas tanah
objek Sengketa/Perkara telah beralih kepada pihak ketiga;
b.
Pihak ketiga
sebagai pemegang hak terakhir tidak menjadi pihak dalam Perkara; dan
c.
Pihak ketiga
memperoleh hak atas tanah tersebut dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebelum adanya perkara.[16]
Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Melalui Pengajuan Gugatan ke Pengadilan Negeri
Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang
lain, sedang di antara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan
hukum perjanjian), maka berdasarkan undang undang juga timbul atau terjadi
hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, sebagai
berikut:
“Tiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.”
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, yang
dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum
yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian
bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan
melawan hukum, yaitu sebagai berikut:[17]
1.
Perbuatan melawan
hukum karena kesengajaan;
2.
Perbuatan melawan
hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian);
3.
Perbuatan melawan
hukum karena kelalaian.
Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum adalah
sebagai berikut:[18]
1.
Tanggung jawab
dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam
Pasal 1365 KUHPerdata.
2.
Tanggung jawab
dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam Pasal
1366 KUHPerdata.
3.
Tanggung jawab
mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367 KUHPerdata.
Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat
disengaja dan tidak disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam
Pasal 1366 KUHPerdata, sebagai berikut:
“Setiap
orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya.”
Apabila mencermati dari beberapa asas yang melingkupi
dari hukum pertanahan nasional terhadap para pemegang hak atas tanah, seperti
yang ditegaskan oleh Boedi Harsono, yaitu:[19]
1.
Pengusaan dan
penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi hak
atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional;
2.
Penguasaan dan
penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal), tidak dibenarkan,
bahkan diancam dengan sanksi pidana (UU Nomor 51 Prp 1960);
3.
Penguasaan dan
penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh hukum tanah
nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak manapun, baik oleh
sesama anggota masyarakat, maupun oleh pihak penguasa sekalipun, jika gangguan
tersebut tidak ada landasan hukumnya;
4. Tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun oleh pihak manapun kepada pemegang hak atas tanah untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaan lembaga penwaran pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi pada Pengadilan Negeri (Pasal 1404 KUHPerdata).
Bahwa sebagaiamana Pasal 1 ayat (3)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 tahun 1960 tentang
Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Bersangkutan Atau Kuasanya,
menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin meliputi upaya menduduki,
mengerjakan dan/atau menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau
bangunan diatasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan
sendiri atau kuasanya. Selanjutnya dalam Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Bersangkutan Atau Kuasanya disebutkan
bahwa dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.
Bahwa contoh terkait dengan Perkara Pertanahan di
Pengadilan Negeri, kami mengambil contoh Putusan Mahkamah Agung
Nomor 3233 K/Pdt/2018 tanggal 30 November 2018, yang dalam amar
putusannya menyatakan:
M E N G A D I L I
1.
Menolak
permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. RUSIE, 2. KARYA TAGAP, S.Pd., 3.
KARSIBEN tersebut;
2.
Menghukum Para
Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
3.
Putusan ini
memperkuat 2 (dua) putusan judex factie antara lain Putusan
Pengadilan Negeri Sampit Nomor 24/Pdt.G/2017/PN.SPT, tanggal 14
Desember 2017 dan diperkuat oleh Putusan Pengadilan Tinggi Palangka
Raya Nomor 20/PDT/2018/PT.PLK, tanggal 3 Mei 2018, yang dalam amar
putusannya menyatakan bahwa:
MENGADILI
Dalam
Eksepsi:
-
Menolak eksepsi
Para Tergugat seluruhnya;
Dalam
Pokok Perkara:
1.
Mengabulkan
gugatan Penggugat untuk sebagian;
2.
Menyatakan sah
menurut hukum Penggugat adalah pemilik satu satunya atas sebidang tanah
pertanian yang terletak di Jalan Cilik Riwut, Kelurahan Kota Besi, Kecamatan
Kota Besi dengan ukuran panjang 200 meter, lebar 117 meter berdasarkan
Sertifikat Hak Milik Nomor 401;
3.
Menyatakan
perbuatan Para Tergugat menguasai tanah di Jalan Cilik Riwut, Kelurahan Kota
Besi, Kecamatan Kota Besi dengan ukuran panjang 200 meter, lebar 117 meter
tersebut adalah tanpa hak dan melawan hukum;
4.
Menghukum Para
Tergugat untuk menyerahkan tanah sengketa kepada Penggugat dalam keadaan kosong
dan baik;
5.
Menghukum Para
Tergugat untuk membayar ongkos perkara ini sebesar Rp 4.591.000,00 (empat
juta lima ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);
6.
Menolak gugatan
Penggugat untuk selain dan selebihnya.
Kemudian, dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim
berpendapat antara lain:
-
Bahwa dalam
memahami Pasal 1365 KUHPerdata tersebut, sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah
Agung, dalam menafsirkan perbuatan melawan hukum dalam hubungan keperdataan,
Mahkamah Agung telah menganut pengertian luas yaitu sejak Arrest
Hoge Raad 31 Januari 1919, dimana maksud perbuatan melawan
hukum ditafsirkan tidak sama dengan melawan undang-undang tetapi lebih luas
adalah “berbuat atau tidak berbuat yang memperkosa hak orang lain atau
bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau kesusilaan atau kepatutan
dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain”.
-
Bahwa sebagaimana
telah di pertimbangkan dalam pokok permasalahan pertama, bahwa obyek perkara
secara hukum adalah milik Penggugat, dengan mempedomani pertimbangan dalam
pokok permasalahan pertama tersebut yang telah mempertimbangkan semua bukti
kedua belah pihak, maka dalam pokok permasalahan kedua ini, tetap mempedomani
pertimbangan semua bukti kedua belah pihak dalam pokok permasalahan pertama
tersebut.
-
Bahwa menurut
hukum setiap perbuatan yang menguasai hak milik orang lain, baik benda tetap
atau pun bergerak tanpa seizin dari pemiliknya yang sah adalah bertentangan
dengan hukum dan merupakan perbuatan melawan hukum (vide Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2568 K/Pdt/1998 tanggal 31 Mei 2000);
-
Bahwa berdasarkan
uraian di atas, Majelis berkesimpulan perbuatan para Tergugat tersebut,
dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara menguasai dan
mengusahai lahan obyek sengketa tanpa seizin pemiliknya dalam hal ini
Penggugat;
-
Bahwa oleh karena
obyek perkara telah terbukti miliknya Penggugat, maka semua bentuk perbuatan
para Tergugat yang telah menguasai obyek sengketa tanpa sepengetahuan dan
seizin dari Penggugat tersebut adalah perbuatan yang melawan hak orang lain
atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau kesusilaan atau
kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain, sehingga
perbuatan para Tergugat tersebut telah memenuhi maksud perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan ini pokok permasalahan yang kedua telah terjawab.
Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Pengajuan Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
Yang menjadi objek sengketa Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) adalah “Keputusan Tata Usaha Negara” (vide Pasal
53 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara),
yaitu produknya seperti Sertifikat Hak atas Tanah yang mana pihak yang berhak
atau berwenang mengeluarkan adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN).
BPN merupakan Jabatan Tata Usaha Negara, sehingga jika
ada sengketa terhadap Sertifikat Hak atas Tanah yang berhak memeriksa dan
mengadili adalah PTUN (kompetensi/ kewenangan absolute). Sesuai dengan Pasal
55 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yakni
gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari
sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, jadi apabila telah lewat 90 (sembilan puluh) hari, PTUN tidak dapat
lagi menerima gugatan tersebut, demikian juga dengan Pengadilan Negeri ataupun
Pengadilan lainnya tidak dapat menerima gugatan tersebut karena objek
gugatannya yaitu Keputusan Tata Usaha Negara tidak merupakan kewenangan
Pengadilan tersebut.
Sebelum masuk ke pengadilan, ada upaya yang bisa ditempuh untuk pembatalan hak atas tanah, jika seseorang merasa dalam penerbitannya ada cacat hukum administratif. Sebagaimana yang sudah kami jelaskan di atas mengenai penyelesaian sengketa melalui BPN.
Kemudian sebagaimana ketentuan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan
bahwa:
(1)
Apabila Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hal itu
menjadi kewajibannya, maka hak tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha
Negara.
(2)
Jika suatu Badan
Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan
jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud
telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah
menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3)
Dalam hal
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat
bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Ketentuan di atas menentukan prinsip dasarnya, yaitu
bahwa setiap badan atau Jabatan TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga
masyarakat yang ia terima apabila hal yang dimohonkan kepadanya itu menurut
peraturan dasarnya menjadi tugas kewajibannya. Kalau ia melalaikan kewajibannya
itu, maka walaupun ia tidak berbuat apa-apa terhadap permohonan yang
diterimanya itu, undang-undang menganggap ia telah berbuat menolak permohonan
tersebut.
Keputusan tersebut bersifat fiktif dan negatif karena
Badan atau Jabatan TUN yang menerima permohonan itu bersikap diam tidak berbuat
apa-apa dan tidak mengeluarkan suatu keputusan apapun tetapi oleh undang-undang
dianggap telah mengeluarkan suatu penetapan tertulis yang berisi suatu
penolakan atas suatu permohonan yang telah diterimanya itu.
Sehingga permohonan pembatalan hak atas tanah yang
diajukan ke BPN, jika tidak ditanggapi oleh BPN maka BPN dianggap telah
mengeluarkan penetapan tertulis yang berisi penolakan permohonan tersebut. Oleh
karena itu terhadap BPN yang dianggap telah mengeluarkan Penetapan Tertulis
penolakan tersebut dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan jangka
waktu 90 (sembilan puluh) hari dihitung setelah pejabat TUN yang bersangkutan
dianggap mengeluarkan keputusan.
Demikian juga sengketa tentang Sertifikat hak atas tanah yang banyak disidangkan di Pengadilan Negeri, perlu diketahui bahwa sebenarnya yang menjadi objek perkara (Objektum litis) dalam sengketa tersebut adalah bukan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau bukan Sertifikat hak atas tanah tersebut melainkan hak-hak atau kepentingan-kepentingan masyarakat yang dilanggar sebagai akibat keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara atau keluarnya sertifikat tersebut.
Perbedaan antara gugatan di PN dan PTUN ada pada PTUN
objek pemeriksaan perkaranya (objectum litis) yaitu Keputusan TUN yang
dikeluarkan oleh Pejabat TUN atau penguasa, sedangkan pada PN objek perkaranya
adalah hak-hak atau kepentingan-kepentingan masyarakat yang dirugikan sebagai
akibat dari dikeluarkannnya Keputusan TUN oleh Pejabat TUN atau penguasa,
termasuk dalam hal ini adalah Sertifikat Hak atas Tanah yang dikeluarkan oleh
BPN yang seringkali merugikan hak dan kepentingan masyarakat.
Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Secara Pidana
Pasal 167 KUHP, yang terletak dalam Buku II (Kejahatan) Bab V (Kejahatan terhadap
Ketertiban Umum), menurut terjemahan Tim Penerjemah BPHN, berbunyi sebagai
berikut:
(1)
Barangsiapa
memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai
orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan
atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2)
Barangsiapa masuk
dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu, perintah
palsu atau pakaian jahatan palsu, atau barang siapa tidak setahu yang berhak
lebih dahulu serta bukan karena kekhilafan masuk dan kedapatan di situ pada
waktu malam, dianggap memaksa masuk.
(3)
Jika mengeluarkan
ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan orang, diancam dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
(4) Pidana tersebut dalam ayat (1) dan ayat (3) dapat ditambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu.
Kemudian, dapat juga dikenakan pidana lainnya seperti
contoh Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 2/Pid.B/2020/PN Ptk tanggal
18 Maret 2020, yang pada intinya menerangkan bahwa Terdakwa membuat Surat Tanda
Penerimaan Laporan Kehilangan Surat-Surat Penting No. Pol : STPL/4376-C/VI/2008
tanggal 06 Juni 2008, sebagai salah satu syarat untuk menerbitkan Sertifikat
Pengganti di BPN. Dalam kepengurusan ke BPN untuk menerbitkan penerbitan
sertifikat pengganti dengan menggunakan Surat Tanda Penerimaan Laporan
Kehilangan Surat-Surat Penting No. Pol : STPL/4376-C/VI/2008 tanggal 06 Juni
2008 sebagai salah satu syarat untuk melengkapi persyaratan dalam penerbitan
sertifikat pengganti. Setelah persyaratan terpenuhi, kemudian BPN Kota
Pontianak menerbitkan Sertifikat Pengganti Nomor: seri AZ 119970 dengan
sertifikat Hak Milik Nomor 10505 seluas 817 M² an. ONAY Binti NAYA pada tanggal
17 Oktober 2008. Setelah sertifikat pengganti tersebut terbit, kemudian
sertifikat pengganti tersebut dipegang oleh terdakwa. Kemudian terdakwa menjual
tanah tersebut kepada M seharga Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta
rupiah).
Jadi, ada beberapa cara dalam pidana tergantung unsur
pasal yang dilanggar untuk menjerat pelaku yang tidak memiliki hak yang sah
dalam melakukan perbuatan hukum atas objek tanah tertentu.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1] vide Pasal 1 Angka 2 Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun
2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[2] vide Pasal 1 Angka 3 Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun
2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[3] vide Pasal 3 ayat (1)
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[4] vide Pasal 3 ayat (2)
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[5] vide Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[6] vide Pasal 5 huruf a, huruf b,
dan huruf c Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus
Pertanahan.
[7] vide Pasal 6 ayat (1)
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[8] vide Pasal 6 ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian
Kasus Pertanahan.
[9] vide Pasal 17 huruf a Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun
2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[10] vide Pasal 17 huruf b Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun
2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[11] vide Pasal 17 huruf c Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun
2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[12] vide Pasal 29 ayat (1) Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun
2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[13] vide Pasal 35 Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun
2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[14] vide Pasal 29 ayat (2) Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun
2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[15] vide Pasal 36 Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun
2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[16] vide Pasal 32 ayat (1) Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun
2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
[17] Munir Fuady, “Perbuatan Melawan Hukum”,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), 3.
[18] Ibid.
[19] Boedi Harsono, “Tinjuan Hukum Pertanahan Diwaktu Lampau, Sekarang, san Masaakan Datang”, (Yogyakarta: Liberty, 2002), 16.