layananhukum

Tata Cara Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Kasus Pertanahan yang Wajib Anda Ketahui

Ilustrasi Kasus Pertanahan

Pertanyaan

Bang, boleh coba ulas mengenai tata cara sengketa kasus atau perkara pertanahan dong? Apa hanya melalui gugatan di pengadilan saja? Lantas, pengadilan pun lewat pengadilan apa? Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)? Terima kasih.

Jawaban

Banyaknya sengketa pertanahan yang terjadi dalam masyarakat, mendapat perhatian serius dari pemerintah, karena dianggap bahwa “peristiwa kasus sengketa dan konflik pertanahan merupakan salah satu issue strategis.” Permasalahan hak atas tanah yang dikuasai oleh pihak yang tidak berhak dapat diselesaikan melalui beberapa cara. Cara-cara tersebut di antaranya adalah:

1.        Melalui mekanisme ajudikasi (administrative tribunal oleh BPN);

2.       Melalui mekanisme litigasi (peradilan oleh pengadilan); dan

3.      Melalui mekanisme pidana.

Berikut paparannya secara sederhana dan singkat:

Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Melalui BPN

Terkait penanganan dan penyelesaian sengketa itu sendiri, dilakukan dengan menggunakan kewenangan administrasi Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kemudian, ada yang dikenal dengan istilah “Kasus Pertanahan”, sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, yang menyatakan bahwa:

“Kasus Pertanahan yang selanjutnya disebut Kasus adalah sengketa, konflik, atau perkara tanah yang disampaikan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya untuk mendapatkan penanganan dan penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Selanjutnya, dalam peraturan yang tersebut di atas membedakan antara “Sengketa Pertanahan” dan “Konflik Pertanahan”, yang dimaksud dengan sengketa pertanahan adalah perselisihan tanah antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.[1] Sedangkan, konflik pertanahan adalah perselisihan tanah antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau Lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.[2]

Oleh karenanya dalam kasus pertanahan tersebut para pihak yang merasa dirugikan dapat membuat “Pengaduan Sengketa atau Konflik Pertanahan”, sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 5 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, menyatakan bahwa:

“Pengaduan Sengketa dan Konflik yang selanjutnya disebut Pengaduan adalah keberatan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan atas suatu produk hukum Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya atau merasa dirugikan oleh pihak lain menyangkut penguasaan dan/atau kepemilikan bidang tanah tertentu.”

Disebutkan bahwa dalam rangka Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan, Kementerian menerima Pengaduan yang berasal dari:

a.       Perorangan/warga masyarakat;

b.      Kelompok masyarakat;

c.       Badan hukum;

d.      Instansi pemerintah; atau

e.       Unit teknis Kementerian, Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan.[3]

Kemudian, Pengaduan sebagaimana dimaksud diterima melalui loket penerimaan Surat Pengaduan, loket penerimaan Pengaduan secara langsung dan penerimaan Pengaduan melalui media daring yang diselenggarakan oleh Kementerian, Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan.[4] Pengaduan yang disampaikan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a.       Identitas/legalitas pengadu yang meliputi:

1.        Perorangan:

a)      Fotokopi bukti identitas diri; atau

b)      Surat Kuasa dan fotokopi identitas pemberi dan penerima kuasa apabila dikuasakan.

2.       Badan hukum:

a)      Fotokopi Akta Pendirian/Perubahan terakhir;

b)      Surat Kuasa dari Direksi; dan

c)      Fotokopi identitas pemberi dan penerima kuasa apabila dikuasakan.

3.       Kelompok masyarakat:

a)      Fotokopi bukti identitas diri anggota kelompok masyarakat; dan

b)      Surat Kuasa dari seluruh anggota kelompok masyarakat dengan dilampiri fotokopi identitas penerima kuasa, apabila dikuasakan.

4.     Instansi pemerintah:

Fotokopi bukti identitas diri pegawai atau pejabat instansi yang bersangkutan disertai Surat Tugas atau Surat Kuasa dari instansi yang bersangkutan.

5.       Kementerian, Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan:

Surat laporan dari pimpinan unit kerja atau satuan kerja yang bersangkutan.

b.      Fotokopi data pendukung atau bukti penguasaan/kepemilikan tanah pengadu;

c.       Fotokopi data pendukung lainnya atas tanah objek Sengketa atau Konflik; dan

d.      Uraian singkat kronologis Kasus.[5]

Klasifikasi Kasus Pertanahan

Kasus yang merupakan Sengketa dan Konflik digolongkan menjadi 3 (tiga) klasifikasi:

a.       Kasus Berat merupakan Kasus yang melibatkan banyak pihak, mempunyai dimensi hukum yang kompleks, dan/atau berpotensi menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, politik dan keamanan;

b.      Kasus Sedang merupakan Kasus antarpihak yang dimensi hukum dan/atau administrasinya cukup jelas yang jika ditetapkan penyelesaiannya melalui pendekatan hukum dan administrasi tidak menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, politik dan keamanan;

c.       Kasus Ringan merupakan Kasus Pengaduan atau permohonan petunjuk yang sifatnya teknis administratif dan penyelesaiannya cukup dengan surat petunjuk Penyelesaian kepada pengadu atau pemohon.[6]

Terkait dengan mekanisme penanganan sengketa kepemilikan tanah lazimnya dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut:

a.       Pengkajian Kasus;

b.      Gelar awal;

c.       Penelitian;

d.      Ekspos hasil Penelitian;

e.       Rapat Koordinasi;

f.        Gelar akhir; dan

g.      Penyelesaian Kasus.[7]

Penanganan Sengketa dan Konflik dilakukan dengan tahapan Penanganan secara berurutan. Dalam hal Sengketa dan Konflik klasifikasi Kasus Sedang atau Kasus Ringan penanganannya dapat dilakukan tanpa melalui semua tahapan sebagaimana dimaksud. Untuk dokumen hasil Penanganan Sengketa dan Konflik yang masih dalam proses bersifat rahasia.[8]

Apabila Penanganan Kasus dinyatakan selesai ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan, antara lain:

a.       Kriteria Satu (K1) jika penyelesaian bersifat final, berupa:

1.        Keputusan Pembatalan;

2.       Perdamaian; atau

3.       Surat Penolakan tidak dapat dikabulkannya permohonan.[9]

b.      Kriteria Dua (K2) berupa:

1.        Surat Petunjuk Penyelesaian Kasus atau Surat Penetapan pihak yang berhak tetapi belum dapat ditindaklanjuti keputusan penyelesaiannya karena terdapat syarat yang harus dipenuhi yang merupakan kewenangan instansi lain;

2.       Surat Rekomendasi Penyelesaian Kasus dari Kementerian kepada Kantor Wilayah atau Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya dan Kantor Wilayah kepada Kantor Pertanahan atau usulan Penyelesaian dari Kantor Pertanahan kepada Kantor Wilayah dan Kantor Wilayah kepada Menteri.[10]

c.       Kriteria Tiga (K3) berupa surat pemberitahuan bukan kewenangan Kementerian.[11]

Dalam hal Pembatalan Produk Hukum dilakukan oleh Pejabat yang berwenang karena:

a.       Cacat administrasi dan/atau cacat yuridis;

b.      Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.[12]

Pembatalan Produk Hukum karena cacat administrasi dan/atau cacat yuridis disebabkan beberapa hal antara lain:

a.       Kesalahan dalam proses/prosedur penerbitan hak atas tanah, pendaftaran hak dan proses pemeliharaan data pendaftaran tanah;

b.      Kesalahan dalam proses/prosedur pengukuran;

c.       Kesalahan dalam proses/prosedur penerbitan sertipikat pengganti;

d.      Kesalahan dalam proses/prosedur penerbitan sertipikat Hak Tanggungan;

e.       Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;

f.        Kesalahan subjek hak;

g.      Kesalahan objek hak;

h.      Kesalahan jenis hak;

i.        Tumpang tindih hak atas tanah;

j.        Tumpang tindih dengan kawasan hutan;

k.       Kesalahan penetapan konsolidasi tanah;

l.        Kesalahan penegasan tanah objek landreform;

m.     Kesalahan dalam proses pemberian izin peralihan hak;

n.      Kesalahan dalam proses penerbitan surat keputusan Pembatalan;

o.      Terdapat putusan pengadilan pidana berkekuatan hukum tetap yang membuktikan adanya tindak pidana pemalsuan, penipuan, penggelapan dan/atau perbuatan pidana lainnya;

p.      Terdapat dokumen atau data yang digunakan dalam proses penerbitan sertipikat bukan produk instansi tersebut berdasarkan surat keterangan dari instansi yang bersangkutan;

q.      Terdapat putusan pengadilan yang dalam pertimbangan hukumnya terbukti terdapat fakta adanya cacat dalam penerbitan produk hukum Kementerian dan/atau adanya cacat dalam perbuatan hukum dalam peralihan hak tetapi dalam amar putusannya tidak dinyatakan secara tegas.[13]

Sebelum dilakukan pembatalan oleh karena cacat administrasi dan/atau cacat yuridis, Kementerian atau Kantor Wilayah sesuai kewenangan memberitahukan kepada pemegang Hak atas Tanah dan Hak Tanggungan dalam hal Produk Hukum yang akan dibatalkan berupa hak atas tanah atau sertipikat tanah yang dibebani dengan hak tanggungan.[14]

Usulan Pembatalan Produk Hukum karena cacat administrasi dan/atau cacat yuridis harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a.       Surat Permohonan atau Surat Pengaduan;

b.      Fotokopi Identitas pemohon yang dilegalisir dan kuasanya jika dikuasakan;

c.       Asli Surat Kuasa jika dikuasakan;

d.      Fotokopi bukti-bukti pemilikan/penguasaan atas tanah pemohon yang dilegalisir;

e.       Dokumen data fisik dan data yuridis yang diusulkan Pembatalan;

f.        Dokumen hasil Penanganan; dan

g.      Fotokopi dokumen pendukung lainnya yang dilegalisir yang menunjukkan atau membuktikan adanya cacat administrasi dan/atau cacat yuridis.[15]

Perlu dicatat bahwa Kementerian atau Kantor Wilayah sesuai kewenangannya tidak dapat membatalkan Produk Hukum baik karena cacat administrasi dan/atau cacat yuridis maupun sebagai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal:

          a.           Hak atas tanah objek Sengketa/Perkara telah beralih kepada pihak ketiga;

          b.           Pihak ketiga sebagai pemegang hak terakhir tidak menjadi pihak dalam Perkara; dan

          c.           Pihak ketiga memperoleh hak atas tanah tersebut dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum adanya perkara.[16]

Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Melalui Pengajuan Gugatan ke Pengadilan Negeri

Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang di antara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, sebagai berikut:

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:[17]

1.        Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;

2.       Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian);

3.      Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:[18]

1.        Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

2.       Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata.

3.      Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367 KUHPerdata.

Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata, sebagai berikut:

“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.”

Apabila mencermati dari beberapa asas yang melingkupi dari hukum pertanahan nasional terhadap para pemegang hak atas tanah, seperti yang ditegaskan oleh Boedi Harsono, yaitu:[19]

1.        Pengusaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional;

2.       Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal), tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana (UU Nomor 51 Prp 1960);

3.      Penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh hukum tanah nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat, maupun oleh pihak penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya;

4.       Tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun oleh pihak manapun kepada pemegang hak atas tanah untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaan lembaga penwaran pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi pada Pengadilan Negeri (Pasal 1404 KUHPerdata).

Bahwa sebagaiamana Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Bersangkutan Atau Kuasanya, menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin meliputi upaya menduduki, mengerjakan dan/atau menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan diatasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau kuasanya. Selanjutnya dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Bersangkutan Atau Kuasanya disebutkan bahwa dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.

Bahwa contoh terkait dengan Perkara Pertanahan di Pengadilan Negeri, kami mengambil contoh Putusan Mahkamah Agung Nomor 3233 K/Pdt/2018 tanggal 30 November 2018, yang dalam amar putusannya menyatakan:

M E N G A D I L I

1.        Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. RUSIE, 2. KARYA TAGAP, S.Pd., 3. KARSIBEN tersebut;

2.       Menghukum Para Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

3.      Putusan ini memperkuat 2 (dua) putusan judex factie antara lain Putusan Pengadilan Negeri Sampit Nomor 24/Pdt.G/2017/PN.SPT, tanggal 14 Desember 2017 dan diperkuat oleh Putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya Nomor 20/PDT/2018/PT.PLK, tanggal 3 Mei 2018, yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa:

MENGADILI

Dalam Eksepsi:

-        Menolak eksepsi Para Tergugat seluruhnya;

Dalam Pokok Perkara:

1.        Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2.       Menyatakan sah menurut hukum Penggugat adalah pemilik satu satunya atas sebidang tanah pertanian yang terletak di Jalan Cilik Riwut, Kelurahan Kota Besi, Kecamatan Kota Besi dengan ukuran panjang 200 meter, lebar 117 meter berdasarkan Sertifikat Hak Milik Nomor 401;

3.      Menyatakan perbuatan Para Tergugat menguasai tanah di Jalan Cilik Riwut, Kelurahan Kota Besi, Kecamatan Kota Besi dengan ukuran panjang 200 meter, lebar 117 meter tersebut adalah tanpa hak dan melawan hukum;

4.       Menghukum Para Tergugat untuk menyerahkan tanah sengketa kepada Penggugat dalam keadaan kosong dan baik;

5.       Menghukum Para Tergugat untuk membayar ongkos perkara ini sebesar Rp 4.591.000,00 (empat juta lima ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);

6.      Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.

Kemudian, dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim berpendapat antara lain:

-        Bahwa dalam memahami Pasal 1365 KUHPerdata tersebut, sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah Agung, dalam menafsirkan perbuatan melawan hukum dalam hubungan keperdataan, Mahkamah Agung telah menganut pengertian luas yaitu sejak Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919, dimana maksud perbuatan melawan hukum ditafsirkan tidak sama dengan melawan undang-undang tetapi lebih luas adalah “berbuat atau tidak berbuat yang memperkosa hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau kesusilaan atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain”.

-        Bahwa sebagaimana telah di pertimbangkan dalam pokok permasalahan pertama, bahwa obyek perkara secara hukum adalah milik Penggugat, dengan mempedomani pertimbangan dalam pokok permasalahan pertama tersebut yang telah mempertimbangkan semua bukti kedua belah pihak, maka dalam pokok permasalahan kedua ini, tetap mempedomani pertimbangan semua bukti kedua belah pihak dalam pokok permasalahan pertama tersebut.

-        Bahwa menurut hukum setiap perbuatan yang menguasai hak milik orang lain, baik benda tetap atau pun bergerak tanpa seizin dari pemiliknya yang sah adalah bertentangan dengan hukum dan merupakan perbuatan melawan hukum (vide Putusan Mahkamah Agung Nomor 2568 K/Pdt/1998 tanggal 31 Mei 2000);

-        Bahwa berdasarkan uraian di atas, Majelis berkesimpulan perbuatan para Tergugat tersebut, dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara menguasai dan mengusahai lahan obyek sengketa tanpa seizin pemiliknya dalam hal ini Penggugat;

-        Bahwa oleh karena obyek perkara telah terbukti miliknya Penggugat, maka semua bentuk perbuatan para Tergugat yang telah menguasai obyek sengketa tanpa sepengetahuan dan seizin dari Penggugat tersebut adalah perbuatan yang melawan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat atau kesusilaan atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang lain, sehingga perbuatan para Tergugat tersebut telah memenuhi maksud perbuatan melawan hukum. Berdasarkan ini pokok permasalahan yang kedua telah terjawab.

Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Pengajuan Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara

Yang menjadi objek sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah “Keputusan Tata Usaha Negara” (vide Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu produknya seperti Sertifikat Hak atas Tanah yang mana pihak yang berhak atau berwenang mengeluarkan adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN).

BPN merupakan Jabatan Tata Usaha Negara, sehingga jika ada sengketa terhadap Sertifikat Hak atas Tanah yang berhak memeriksa dan mengadili adalah PTUN (kompetensi/ kewenangan absolute). Sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yakni gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, jadi apabila telah lewat 90 (sembilan puluh) hari, PTUN tidak dapat lagi menerima gugatan tersebut, demikian juga dengan Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan lainnya tidak dapat menerima gugatan tersebut karena objek gugatannya yaitu Keputusan Tata Usaha Negara tidak merupakan kewenangan Pengadilan tersebut.

Sebelum masuk ke pengadilan, ada upaya yang bisa ditempuh untuk pembatalan hak atas tanah, jika seseorang merasa dalam penerbitannya ada cacat hukum administratif. Sebagaimana yang sudah kami jelaskan di atas mengenai penyelesaian sengketa melalui BPN.

Kemudian sebagaimana ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa:

         (1)           Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hak tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

        (2)           Jika suatu Badan Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

        (3)           Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Ketentuan di atas menentukan prinsip dasarnya, yaitu bahwa setiap badan atau Jabatan TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang ia terima apabila hal yang dimohonkan kepadanya itu menurut peraturan dasarnya menjadi tugas kewajibannya. Kalau ia melalaikan kewajibannya itu, maka walaupun ia tidak berbuat apa-apa terhadap permohonan yang diterimanya itu, undang-undang menganggap ia telah berbuat menolak permohonan tersebut.

Keputusan tersebut bersifat fiktif dan negatif karena Badan atau Jabatan TUN yang menerima permohonan itu bersikap diam tidak berbuat apa-apa dan tidak mengeluarkan suatu keputusan apapun tetapi oleh undang-undang dianggap telah mengeluarkan suatu penetapan tertulis yang berisi suatu penolakan atas suatu permohonan yang telah diterimanya itu.

Sehingga permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan ke BPN, jika tidak ditanggapi oleh BPN maka BPN dianggap telah mengeluarkan penetapan tertulis yang berisi penolakan permohonan tersebut. Oleh karena itu terhadap BPN yang dianggap telah mengeluarkan Penetapan Tertulis penolakan tersebut dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari dihitung setelah pejabat TUN yang bersangkutan dianggap mengeluarkan keputusan.

Demikian juga sengketa tentang Sertifikat hak atas tanah yang banyak disidangkan di Pengadilan Negeri, perlu diketahui bahwa sebenarnya yang menjadi objek perkara (Objektum litis) dalam sengketa tersebut adalah bukan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau bukan Sertifikat hak atas tanah tersebut melainkan hak-hak atau kepentingan-kepentingan masyarakat yang dilanggar sebagai akibat keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara atau keluarnya sertifikat tersebut.

Perbedaan antara gugatan di PN dan PTUN ada pada PTUN objek pemeriksaan perkaranya (objectum litis) yaitu Keputusan TUN yang dikeluarkan oleh Pejabat TUN atau penguasa, sedangkan pada PN objek perkaranya adalah hak-hak atau kepentingan-kepentingan masyarakat yang dirugikan sebagai akibat dari dikeluarkannnya Keputusan TUN oleh Pejabat TUN atau penguasa, termasuk dalam hal ini adalah Sertifikat Hak atas Tanah yang dikeluarkan oleh BPN yang seringkali merugikan hak dan kepentingan masyarakat.

Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Secara Pidana

Pasal 167 KUHP, yang terletak dalam Buku II (Kejahatan) Bab V (Kejahatan terhadap Ketertiban Umum), menurut terjemahan Tim Penerjemah BPHN, berbunyi sebagai berikut:

         (1)           Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

        (2)           Barangsiapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jahatan palsu, atau barang siapa tidak setahu yang berhak lebih dahulu serta bukan karena kekhilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap memaksa masuk.

        (3)           Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

        (4)           Pidana tersebut dalam ayat (1) dan ayat (3) dapat ditambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu.

Kemudian, dapat juga dikenakan pidana lainnya seperti contoh Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 2/Pid.B/2020/PN Ptk tanggal 18 Maret 2020, yang pada intinya menerangkan bahwa Terdakwa membuat Surat Tanda Penerimaan Laporan Kehilangan Surat-Surat Penting No. Pol : STPL/4376-C/VI/2008 tanggal 06 Juni 2008, sebagai salah satu syarat untuk menerbitkan Sertifikat Pengganti di BPN. Dalam kepengurusan ke BPN untuk menerbitkan penerbitan sertifikat pengganti dengan menggunakan Surat Tanda Penerimaan Laporan Kehilangan Surat-Surat Penting No. Pol : STPL/4376-C/VI/2008 tanggal 06 Juni 2008 sebagai salah satu syarat untuk melengkapi persyaratan dalam penerbitan sertifikat pengganti. Setelah persyaratan terpenuhi, kemudian BPN Kota Pontianak menerbitkan Sertifikat Pengganti Nomor: seri AZ 119970 dengan sertifikat Hak Milik Nomor 10505 seluas 817 M² an. ONAY Binti NAYA pada tanggal 17 Oktober 2008. Setelah sertifikat pengganti tersebut terbit, kemudian sertifikat pengganti tersebut dipegang oleh terdakwa. Kemudian terdakwa menjual tanah tersebut kepada M seharga Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah).

Jadi, ada beberapa cara dalam pidana tergantung unsur pasal yang dilanggar untuk menjerat pelaku yang tidak memiliki hak yang sah dalam melakukan perbuatan hukum atas objek tanah tertentu.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] vide Pasal 1 Angka 2 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[2] vide Pasal 1 Angka 3 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[3] vide Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[4] vide Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[5] vide Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[6] vide Pasal 5 huruf a, huruf b, dan huruf c Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[7] vide Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[8] vide Pasal 6 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[9] vide Pasal 17 huruf a Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[10] vide Pasal 17 huruf b Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[11] vide Pasal 17 huruf c Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[12] vide Pasal 29 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[13] vide Pasal 35 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[14] vide Pasal 29 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[15] vide Pasal 36 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[16] vide Pasal 32 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

[17] Munir Fuady, “Perbuatan Melawan Hukum”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), 3.

[18] Ibid.

[19] Boedi Harsono, “Tinjuan Hukum Pertanahan Diwaktu Lampau, Sekarang, san Masaakan Datang”, (Yogyakarta: Liberty, 2002), 16.

Formulir Isian