layananhukum

Memahami Upaya Diversi terkait Kasus/Perkara Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Illustration used for representational purpose, times of india

Pertanyaan

Selamat malam dan salam hormat, mohon petunjuk dan arahannya di sini saya mau konsultasi dengan masalah yang saya hadapi yaitu anak gadisku berusia 14 tahun tertangkap oleh saya lagi berhubungan badan dengan anak tetangga yang umurnya juga 14 tahun, ternyata kejadian itu bukan untuk pertama kalinya, sudah beberapa kali dilakukan. Kemudian, pengacara dari pihak pelaku mengajurkan untuk melakukan proses mediasi atau damai dan saya merasa ditekan oleh pengacaranya, namun saya beserta keluarga tetap memilih melanjutkan proses penyidikan, mohon gambaran untuk kasus hukum saya. Terima kasih.

Jawaban
Pengantar

Sebelum ke topik pembahasan dalam konteks kasus Anda di atas, menurut kami hukum yang berlaku adalah domainnya “Sistem Peradilan Pidana Anak”, karena baik terduga pelaku dan juga korban masihlah anak atau secara umum disebut anak di bawah umur. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan bahwa:

“Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.”

Ada beberapa istilah hukum dalam “Sistem Peradilan Pidana Anak” yang wajib Anda ketahui seperti istilah “Anak yang Berhadapan dengan Hukum” terutama dalam konteks kasus Anda tersebut di atas. Maka, timbul pertanyaan, apa maksudnya?

Yang dimaksud dengan “Anak yang Berhadapan dengan Hukum” antara lain:

1)       Anak yang Berkonflik dengan Hukum;

2)      Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana; dan

3)      Anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana. (vide Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)

Yang dimaksud dengan “Anak yang Berkonflik dengan Hukum” adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.[1]

Yang dimaksud dengan “Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana” adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.[2]

Kemudian, yang dimaksud dengan “Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana” adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.[3]

Bahwa, masuk ke dalam pembahasan sebagaimana yang Anda katakan anak gadis Anda berusia 14 (empat belas) tahun, begitu pun dengan anak tetangga berusia 14 (empat belas) tahun, ketahuan oleh Anda melakukan hubungan badan, masing-masing kami menyebutkan anak Anda sebagai “Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana”, dan anak tetangga tersebut sebagai “Anak yang Berkonflik dengan Hukum”. Mengingat bahwa anak tetangga tersebut merupakan terduga pelaku perbuatan cabul.

Bahwa perlu diketahui sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa:

“Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Kemudian, mempertegas ketentuan di atas disebutkan bahwa “Sistem Peradilan Pidana Anak’ dilaksanakan berdasarkan asas, antara lain:

a.       Pelindungan;

b.      Keadilan;

c.       Nondiskriminasi;

d.      Kepentingan terbaik bagi Anak;

e.       Penghargaan terhadap pendapat Anak;

f.        Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;

g.      Pembinaan dan pembimbingan Anak;

h.      Proporsional;

i.        Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan

j.        Penghindaran pembalasan.[4]

Ini bersesuaian sebagaimana Lampiran Ketentuan Huruf B Arah Kebijakan Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum, menyebutkan bahwa:

“Dalam rangka melaksanakan penanganan ABH maka kebijakannya diarahkan kepada penyelesaian perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif yang dilakukan oleh berbagai instansi/lembaga terkait, baik penegak hukum, pemerintah, pemerintah provinsi, kabupaten/kota maupun organisasi/ lembaga/badan sosial kemasyarakatan, pengacara, dan Lembaga kemasyarakatan lainnya dengan jejaring secara sistematis, komprehensif, berkesinambungan dan terpadu.”

Prinsip Keadilan Restoratif

Dalam penyelesaian perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif, perlu mengedepankan prinsip-prinsip keadilan restoratif yaitu:

a.       Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya;

b.      Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif;

c.       Melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan teman sebaya;

d.      Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah;

e.       Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dan reaksi sosial yang formal.

Penyelesaian perkara anak dengan pendekatan keadilan restoratif wajib memperhatikan:

a.       Kepentingan korban;

b.      Kesejahteraan dan tanggung jawab anak;

c.       Penghindaran stigma negatif;

d.      Penghindaran pembalasan;

e.       Keharmonisan masyarakat; dan

f.        Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.”

Berdasarkan ketentuan di atas, dalam “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” mengenal adanya istilah Keadilan Restoratif” yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. (vide Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)

Kemudian disebutkan sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan bahwa:

“Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.”

Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana yang dimaksud tersebut meliputi:

a.       Penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;

b.      Persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan

c.       Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau Tindakan.[5]

Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada tingkat penyidikan dan persidangan wajib diupayakan Diversi.[6]

Apa itu Diversi?

Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan bahwa:

“Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.”

Disebutkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.

Disebutkan juga bahwa diversi bertujuan:

a.       Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

b.      Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

c.       Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

d.      Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

e.       Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.[7]

Sebagaimana yang sudah kami jelaskan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan Diversi, Diversi sebagaimana dimaksud tersebut dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a.       Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

b.      Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.[8]

Apabila pemeriksaan tersebut sudah di tingkat pemeriksaan di Pengadilan Negeri, sebagaimana yang dimaksud ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan bahwa diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meski pun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.

Kemudian, Hakim Anak wajib mengupayakan Diversi dalam hal Anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan).[9]

Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Dalam hal diperlukan, musyawarah tersebut dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. Dalam melaksanakan proses Diversi wajib memperhatikan:

a.       Kepentingan korban;

b.      Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;

c.       Penghindaran stigma negatif;

d.      Penghindaran pembalasan;

e.       Keharmonisan masyarakat; dan

f.        Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.[10]

Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan:

a.       Kategori tindak pidana;

b.      Umur Anak;

c.       Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan

d.      Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.[11]

Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk:

a.       Tindak pidana yang berupa pelanggaran;

b.      Tindak pidana ringan;

c.       Tindak pidana tanpa korban; atau

d.      Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.[12]

Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat.[13]

Kesepakatan Diversi tersebut dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat berbentuk:

a.       Pengembalian kerugian dalam hal ada korban;

b.      Rehabilitasi medis dan psikososial;

c.       Penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

d.      Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di Lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

e.       Pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.[14]

Sedangkan untuk Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:

a.       Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

b.      Penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

c.       Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di Lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

d.      Pelayanan masyarakat.[15]

Hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi. Kemudian, hasil kesepakatan Diversi tersebut disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Penetapan sebagaimana dimaksud dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi.[16]

Penetapan tersebut kemudian disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut, Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.[17]

Disebut kan bahwa proses peradilan pidana Anak (tetap) dilanjutkan dalam hal:

a.       Proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau

b.      Kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan. (vide Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)

Kesepakatan diversi sama halnya sebagaimana kesepakatan yang dibuat dalam Hukum Perdata, untuk kesepakatan diversi tersebut dapat diminta pembatalan atau batal demi hukum jika kesepakatan tersebut melanggar syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, termasuk jika hanya melanggar unsur sepakat (misalnya jika korban tidak menyetujui hasil kesepakatan diversi dengan anak (pelaku) dan keluarganya). Akibat batalnya kesepakatan tersebut, perkara pidana Anak tersebut akan dilanjutkan ke dalam proses peradilan pidana Anak dan berkas dioper kepada Penuntut Umum sesuai ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Jadi, sebagaimana peristiwa yang Anda jabarkan, Anda menjelaskan bahwa pengacara dari pihak pelaku mengajurkan untuk melakukan proses mediasi atau damai dan Anda merasa ditekan oleh pengacaranya, sehingga Anda beserta keluarga tetap memilih melanjutkan proses penyidikan. Menurut kami sah-sah saja Anda selaku korban atau keluarga korban membuat keputusan seperti itu, perlu kami tekankan sebagaimana yang sudah kami jabarkan di atas, bahwa permintaan untuk dilakukannya diversi, atau Bahasa umumnya “damai” itu bukanlah sekadar insiatif dari Pengacara dari pihak pelaku saja, akan tetapi memang begitulah perintah dari Undang-Undang. Bahkan disebutkan baik pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan Diversi. Artinya, di setiap tingkatan pelimpahan berkas perkara, Aparat Penegak Hukum diwajibkan harus mengupayakan diversi.

Bahwa mengingat sejatinya, proses peradilan terhadap anak seringkali kehilangan makna esensinya, yaitu sebagai mekanisme yang harus berakhir dengan upaya untuk melindungi kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child). Peradilan pidana anak seringkali merupakan proses yang hanya berorientasi pada penegakan hukum secara formal dan tidak berorientasi pada kepentingan anak.[18] Baik anak sebagai korban dan anak sebagai pelaku.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] vide Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[2] vide Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[3] vide Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[4] vide Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[5] vide Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[6] vide Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[7] vide Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[8] vide Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[9] vide Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

[10] vide Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[11] vide Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[12] vide Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[13] vide Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[14] vide Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[15] vide Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[16] vide Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[17] vide Pasal 12 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[18] Achmad Ratomi, “Konsep Prosedur Pelaksanaan Diversi Pada Tahap Penyidikan Dalam Penyelesaian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak”, (Jurnal Arena Hukum, Vol.6, No.3, Desember 2013), 395.

Formulir Isian