Ilustrasi Beneficial Ownership |
Pertanyaan
Dapat dijelaskan kok adanya Pemilik Manfaat dalam
Korporasi pak? Terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Dalam taraf standar internasional di bidang pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi, pencucian uang, mengatur mekanisme
untuk mengenali pemilik manfaat atau disebut dengan Beneficial
Ownership (BO) dari suatu korporasi guna memperoleh informasi mengenai
pemilik manfaat yang akurat, terkini dan tersedia untuk umum Korporasi wajib
mengikuti penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat paling lambat 1 Maret
tahun 2019.[1]
Konsep Beneficial Ownership (BO) atau
Kepemilikan Manfaat ini diatur dalam Financial Action Task Force (FATF) Recommendations
2012. Menurut FATF Recommendation, Beneficial Ownership (BO)
merujuk pada orang perseorangan yang secara ultimate memiliki
atau mengendalikan pihak lain (ultimate owns or controls), dan/atau
orang perseorangan yang kepentingannya dikendalikan oleh orang lain.[2]
Konsep Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat
Bahwa Beneficial Ownership (BO) atau
Pemilik Manfaat sering dipergunakan (maupun disalah artikan)
dalam 2 (dua) konteks, antara lain:
1.
Pajak (dalam hal
ini Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B); serta
2.
Pencucian
uang.
Dalam ranah P3B, Beneficial Ownership (BO)
atau Pemilik Manfaat mengacu pada penerima penghasilan yang mempunyai
keleluasaan untuk menggunakan maupun memanfaatkan penghasilan yang diterima
sesuai keputusannya sendiri dan tanpa adanya kendala oleh adanya ikatan kontrak
atau kewajiban secara hukum untuk meneruskan penghasilan tersebut kepada
pihak-pihak lain. Sedangkan, dalam konteks pencucian uang, seperti yang tertera
pada Financial Action Task Force (FATF) Recommendation, Beneficial
Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat sebagaimana disebutkan dalam Financial
Action Task Force (FATF) Recommendations 2012 (Part
E Transparency And Beneficial Ownership Of Legal Persons And Arrangements)
bahwa:
Transparency and Beneficial Ownership of Legal Persons:
“Countries
should assess the risks of misuse of legal persons for money laundering or
terrorist financing, and take measures to prevent their misuse. Countries
should ensure that there is adequate, accurate and up-to-date information on
the beneficial ownership and control of legal persons that can be obtained or
accessed rapidly and efficiently by competent authorities, through either a
register of beneficial ownership or an alternative mechanism. Countries should
not permit legal persons to issue new bearer shares or bearer share warrants,
and take measures to prevent the misuse of existing bearer shares and bearer
share warrants. Countries should take effective measures to ensure that nominee
shareholders and directors are not misused for money laundering or terrorist
financing. Countries should consider facilitating access to beneficial
ownership and control information by financial institutions and DNFBPs
undertaking the requirements set out in Recommendations 10 and 22.”
Transparency and Beneficial Ownership of Legal
Arrangements
“Countries
should take measures to prevent the misuse of legal arrangements for money
laundering or terrorist financing. In particular, countries should ensure that
there is adequate, accurate and timely information on express trusts, including
information on the settlor, trustee and beneficiaries, that can be obtained or
accessed in a timely fashion by competent authorities. Countries should
consider measures to facilitate access to beneficial ownership and control
information by financial institutions and DNFBPs undertaking the requirements
set out in Recommendations 10 and 22.”
Dari penjelasan ini, dapat dinyatakan bahwa
terdapat penekanan pada pihak yang memiliki atau mengendalikan (economic
control) pihak yang terlibat dalam suatu transaksi atau transaksi itu
sendiri. Definisi ini lebih menitikberatkan pada tujuan untuk mengetahui
aliran uang sehingga bisa membuktikan pihak yang sesungguhnya menjadi
penerima atau pengendali dari transaksi.
Di sisi lain, konsep Beneficial Ownership (BO)
atau Pemilik Manfaat dalam P3B juga berkaitan erat dengan economic
control atau sering dianggap sebagai pihak yang memiliki
keleluasaan (discretion) dan pengendalian (control) atas
pemanfaatan dan penggunaan penghasilan yang diterima.
Hal ini seperti tertera dalam OECD
Model 2014 yang dipergunakan sebagai acuan dalam pengertian
internasional. Penting untuk diperhatikan bahwa Beneficial Ownership (BO)
atau Pemilik Manfaat dalam konsep P3B bertujuan untuk mencegah adanya treaty
abuse (penyalahgunaan P3B). Dalam Commentary atas Pasal
10, 11, dan 12 dari OECD Model 2014 yang
juga mengacu pada usulan perubahan Commentaries OECD Model 2012 juga
dijelaskan bahwa definisi Beneficial Ownership (BO) atau
Pemilik Manfaat haruslah mengacu pada konsep yang diakui secara
internasional (international meaning) dan tidak mengacu pada
ketentuan domestik dari yurisdiksi yang mengadakan P3B. Definisi yang tertera
dalam ketentuan domestik hanya bisa dipergunakan selama selaras dengan konteks
internasional dan konsisten dengan panduan dalam Commentaries OECD
Model. Konsep tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari konteks tujuan dan
maksud dari diadakannya P3B yaitu menghindari pemajakan berganda sekaligus
mencegah pengelakan dan penghindaran pajak.
Bahwa ada banyak putusan-putusan pengadilan atas
sengketa Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat sejauh
ini tidak memberikan suatu pemaknaan terminologi Beneficial Ownership (BO)
atau Pemilik Manfaat, namun lebih kepada suatu alat bantu interpretasi bagi
komunitas pajak internasional. Hal ini dapat dilihat dari putusan pengadilan
atas perkara Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat
yang terkenal: Indofood, Prevost, dan Velcro. Terdapat beberapa hal menarik
dari putusan-putusan pengadilan yang dapat dijadikan alat bantu interpretasi
atas Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat:
1.
Bahwa konsep Beneficial
Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat seharusnya tidak ditinjau melalui
pengujian substansi ekonomi;
2.
Bahwa
konsep Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat
seharusnya diartikan berdasarkan pemahaman dari sudut pandang
internasional dan bukan melalui ketentuan domestik dari negara yang
mengadakan P3B; dan
3.
Beneficial
Ownership (BO) atau Pemilik
Manfaat harusnya ditentukan dari hasil pengujian atas keleluasaan dan
pengendalian atas dana yang diterima oleh perusahaan perantara.
Terminologi Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat
Terminologi BO dalam P3B tidak dimaksudkan untuk
mengacu pada pembuktian substansi ekonomis (aktivitas aktif yang dimiliki
penerima penghasilan, kepemilikan kantor, atau jumlah pegawai yang “layak”
untuk mengelola bisnis, dan sebagainya), namun lebih mengacu pada
bagaimana perusahaan perantara memiliki keleluasaan (discretion) dan
pengendalian (control) atas penghasilan/dana yang diterimanya.
Lebih lanjut lagi, derajat keleluasaan dan
pengendalian tersebut juga harus dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat
mengikat secara hukum atau kontraktual. Misalkan diuji dengan pertanyaan:
apakah perusahaan perantara diwajibkan secara kontrak hukum untuk meneruskan
pembayaran kepada pemegang saham dan apakah perusahaan perantara benar-benar
menerima aliran dana masuk ke dalam akun bank yang dimilikinya?
Perbedaan utama dari kedua konsep tersebut terletak
pada 2 (dua) hal, antara lain:
1.
Penggunaan
istilah ultimate, serta
2.
Kehadiran ikatan
hukum atau kontrak.
Definisi Beneficial Ownership (BO)
atau Pemilik Manfaat menurut P3B tidak melibatkan terminologi ultimate (penerima
akhir), karena setiap penerima penghasilan bisa saja secara bebas mengalirkan
penghasilannya kepada orang lain. Kriteria penting lain dalam P3B adalah kehadiran
ikatan hukum atau kontrak yang bisa mengurangi keleluasaan tersebut.
Jadi, tidak semata-mata mengacu pada substansi aliran
penghasilan, namun lebih melihat apakah ada perikatan yang mewajibkan hal
tersebut.
Singkatnya, konsep Beneficial Ownership (BO)
atau Pemilik Manfaat dalam P3B dan Ultimate Beneficial Owner (UBO)
dalam Perpres 13/2018 adalah sesuatu yang berbeda. Hal ini seperti dikutip
dari R.J Danon dalam “The
discussion draft also clarifies that beneficial and ultimate
beneficial ownership are not to be equated”. Hal ini juga telah
dinyatakan pada Paragraf 12.6 OECD Commentary on Article 10:
“The
above explanations concerning meaning of “beneficial owner” make it clear that
the meaning given to this term in the context of the Article must be
distinguished from different meaning that has been given to that term in the
context of other instruments that concern the determination of the persons
(typically the individuals) that exercise ultimate control over entities and
assets.”
Pada intinya, Beneficial Ownership (BO)
merujuk pada orang perseorangan yang melaksanakan kendali efektif secara
keseluruhan (ultimate effective control) terhadap pihak lain atau atas
pengaturan hukum. Kedua, istilah ultimate owns or controls dan ultimate
effective control menggaris bawahi pada suatu keadaan di mana
pelaksanaan kepemilikan atau pengendalian dilakukan baik melalui kendali
langsung maupun tidak langsung. Dengan adanya aplikasi tersebut, identifikasi
maupun verifikasi Beneficial Ownership (BO) atau pemilik
manfaat dapat dilakukan oleh perusahaan itu sendiri (self assesment)
meskipun dalam kenyataannya dilakukan oleh korporasi melalui perwakilan dari
Notaris sebagai gatekeeper.
Namun tidak cukup jika Beneficial Ownership (BO)
atau pemilik manfaat yang diidentifikasi terhenti hanya sampai pada legal
ownership suatu korporasi saja melainkan harus dicari pemilik manfaat
yang sesungguhnya. Mengingat, dalam praktik penjaringan Beneficial
Ownership (BO) atau pemilik manfaat selama ini, pendeteksiannya
dilakukan melalui key person maupun company computer.
Bahkan sering ditemukan banyak korporasi fiktif, direksi dan komisaris dipegang
oleh orang yang sama, dan pemilik perusahaan tercatat sebagai pegawai
perusahaan.
Pemilik manfaat Menurut Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 2
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali
Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme atau
yang kemudian disebut dengan “Perpres 13/2018”, menyebutkan
bahwa:
“Pemilik
Manfaat adalah orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan
direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada Korporasi,
memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi, berhak atas dan/atau menerima
manfaat dari Korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik
sebenarnya dari dana atau saham Korporasi dan/atau memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini.”
Yang mana titik tekan dari Beneficial
Ownership (BO) atau pemilik manfaat, ada pada orang perorangan yang
memiliki sebenarnya atas dana atau saham korporasi sebagai akibat
dari kepemilikan 3 (tiga) kewenangan, antara lain:
1.
Menunjuk atau
memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada
Korporasi;
2.
Memiliki
kemampuan untuk mengendalikan korporasi; dan
3.
Berhak atas
dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Bahwa kemudian, secara keseluruhan, orang perseorangan
dapat dikatakan sebagai Pemilik Manfaat apabila ia memiliki penghasilan
dan/atau keuntungan akibat kepemilikan lebih dari 25% (dua puluh lima persen)
saham, modal, kekayaan awal, sumber pendanaan, atau hak-hak lain yang dapat
menimbulkan keuntungan dari korporasi. Di samping itu, meskipun orang
perseorangan tidak memiliki kekayaan di korporasi, ia juga dikategorikan
sebagai Pemilik Manfaat jika ia memiliki kewenangan tidak terbatas terkait
penunjukan perangkat pengurus korporasi dan pengendalian korporasi tanpa harus
mendapat persetujuan dari otoritasi dari pihak manapun, atau merupakan pemilik
sebenarnya dari dana atas kepemilikan korporasi. (vide Pasal
4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Perpres 13/2018)
Bahwa disebutkan setiap Korporasi wajib menetapkan
Pemilik Manfaat dari Korporasi. Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana
dimaksud paling sedikit merupakan 1 (satu) personil yang memiliki masing-masing
kriteria sesuai dengan bentuk Korporasi. (vide Pasal 3
Perpres 13/2018)
Apa yang dimaksud dengan Korporasi itu? Sebagaimana
ketentuan Pasal 1 Angka 1 Perpres 13/2018 menyebutkan
bahwa:
“Korporasi
adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.”
Adapun Korporasi sebagaimana dimaksud meliputi:
a.
Perseroan
terbatas;
b.
Yayasan;
c.
Perkumpulan;
d.
Koperasi;
e.
Persekutuan
komanditer;
f.
Persekutuan
firma; dan
g.
Bentuk korporasi
lainnya. (vide Pasal 2 ayat (2) Perpres 13/2018)
Bahwa perlu perlu diketahui sebagaimana sudah kami
jelaskan, dalam pembuatan konsep Pemilik Manfaat menurut Perpres 13/2018 juga
memiliki latar belakang yang sama dengan pembuatan pengertian Beneficial
Ownership (BO) atau pemilik manfaat di dalam FATF Recommendations.
Kedua aturan tersebut menyatakan bahwa pengungkapan Beneficial
Ownership (BO) atau pemilik manfaat harus dilakukan oleh korporasi.
Sebab, korporasi dapat dijadikan alat baik langsung maupun tidak langsung
oleh pelaku tindak pidana yang merupakan Beneficial Ownership (BO)
atau Pemilik Manfaat yang melakukan TPPU dan TPPT. Dengan demikian, tujuan dari
pembuatan Perpres 13/2018 dan FATF Recommendations adalah
untuk mencegah TPU dan TPPT.
Bahwa cara pengungkapan Beneficial Ownership (BO)
atau Pemilik Manfaat yang diatur dalam Pepres13/2018 dapat dilakukan dengan
kerja sama dan permintaan informasi Pemilik Manfaat. Untuk mencegah dan
memberantas TPU dan TPPT oleh Korporasi, instansi berwenang dapat
melakukan pertukaran informasi dengan instansi peminta baik lingkup nasional
maupun internasional. Tentunya, pertukaran informasi tersebut dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ketika dalam lingkup nasional dan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang luar negeri dan perjanjian
internasional dalam lingkup internasional.
Pengungkapan Pemilik Manfaat dalam Perpres 13/2018 dan Kaitannya dalam Konteks Pertukaran Informasi Pajak
Konsep Pemilik Manfaat yang dipaparkan di dalam
Perpres 13/2018 tidak mengatur secara eksplisit terhadap sektor
pajak. Meski demikian, dalam konteks pajak, keberadaan Perpres 13/2018
dapat mencegah dan/atau menutup celah penggelapan dan/atau penghindaran pajak
yang seringkali dilakukan oleh Pemilik Manfaat.
Tidak tertutup kemungkinan, pencegahan aktivitas
penghindaran dan penggelapan pajak dapat diselesaikan melalui kerja sama
pertukaran informasi antara instansi berwenang dengan instansi peminta, yang
salah satunya otoritas pajak (instansi pemerintah) seperti layaknya pencegahan
dan/atau pemberantasan TPU dan TPPT.
Selanjutnya, pemberian informasi Pemilik Manfaat
secara elektronik maupun non-elektronik oleh instansi berwenang dilakukan
melalui pemberian hak akses kepada otoritas pajak.
Dalam konteks pertukaran informasi secara
internasional (exchange of information/EoI), efektivitas
penelusuran Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat
bisa meningkat terutama karena meningkatkan transparansi di sektor pajak.
Walau demikian, jika kita melihat perkembangan
implementasi EoI agaknya hal tersebut belum menyentuh upaya untuk
menelusuri Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat.
Kemudian, bahwa prospek automatic exchange of information/AEoI
cukup menggembirakan, namun yang harus diingat adalah: AEoI baik untuk
informasi keuangan (dalam konteks Common Reporting Standard/CRS)
ataupun laporan laba perusahaan multinasional (dalam konteks Country by
Country Reporting), tidak mewajibkan adanya suatu pengungkapan informasi
atas penerima penghasilan yang memiliki kendali dan keleluasaan.
CRS misalkan, hanya mengacu pada informasi nasabah
yang berkaitan dengan penghasilan dan saldo rekening saja. Di sisi lain, dalam
konteks Exchange of Information by Request (EoIR), di 2016
terdapat suatu komitmen antara Financial Action Task Force (FATF)
dan Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax
Purposes (Global Forum) untuk menciptakan ketersediaan data
serta dilaksanakannya pertukaran informasi atas Beneficial Ownership (BO)
atau Pemilik Manfaat.
Di saat yang bersamaan, OECD (yang disokong oleh G20)
juga melakukan kajian dalam menciptakan format standar data elektronik yang
memudahkan pencarian informasi kepemilikan dan disokong oleh G20.\Pengaturan
eksplisit tentang pentingnya ketersediaan informasi Pemilik Manfaat atau BO
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 19/PMK.03/2018 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses
Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, (selanjutnya disebut
“PMK 19/2018”)
Dalam PMK 19/2018, Pemerintah mengatur ketentuan atas
pertukaran informasi keuangan agar dapat mengetahui kewajiban perpajakan wajib
pajak, baik individu maupun badan. Bahkan, PMK 19/2018 telah sesuai
dengan Guidance (Exchange of Information on Request (EOIR)) yang
ditetapkan dalam The Global forum on transparency and exchange of
information for tax purposes, di mana salah satu komponen yang ditetapkan
yaitu adanya ketersediaan data kepemilikan manfaat secara hukum dan ekonomis
dari sebuah perusahaan, partnership, trusts, yayasan, dan bentuk
hukum dan pernyataan hukum lainnya.
Kemudian, bahwa sebagaimana yang sudah kami paparkan
bahwa Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat yang
dimaksud bukanlah hanya orang perseorangan yang memegang kendali langsung,
melainkan mencakup juga orang perseorangan yang mengendalikan perusahan secara
tidak langsung. Apabila diilustrasikan adalah sebagai berikut bahwa Perusahaan
A dimiliki sahamnya oleh Perusahaan B sebesar 80 % (delapan puluh persen) dan
Mr. X sebesar 20% (dua puluh persen). Kemudian, 70% (tujuh puluh persen) saham
dari Perusahaan B dimiliki oleh Mr. Y. Maka dari itu, Mr. Y dapat
dikategorikan sebagai Pemilik Manfaat juga karena memiliki saham lebih dari
25%, yaitu 80 x 70% = 56% (lima puluh enam persen).
Jadi Perpres 13/2018 bukan hanya berlaku atas PT yang
pemegang sahamnya merupakan perorangan, melainkan juga PT yang pemegang
sahamnya merupakan badan hukum/PT. Tetapi perlu diperhatikan bahwa fokus dari
Perpres 13/2018 adalah untuk mengenali Pemilik Manfaat sebagaimana telah
dijabarkan sebelumnya. Namun, terdapat pendapat dari Roy M. Adhityaputra,
Partner dari Schinder Law Firm pada acara Talks!
Hukumonline dengan topik “Beneficial Ownership Disclosure dalam
Bisnis dan Pencegahan Tindak Pidana Pasca Diterbitkannya Perpres Nomor 13 Tahun
2018” bahwa definisi mengenai Beneficial Ownership (BO) atau
Pemilik Manfaat pada Perpres 13/2018 belum secara eksplisit mendefinisikan
apakah suatu perusahaan (tanggung jawab hukum) dapat dirujuk sebagai Beneficial
Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat, namun, definisi "pemilik
sebenarnya dari aset atau modal saham" secara eksplisit mengacu pada
seorang pribadi.
Sanksi
Bahwa disebutkan sebagaimana ketentuan Pasal
24 Perpres 13/2018 disebutkan bahwa Korporasi yang tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 14, dan Pasal
18 sampai dengan Pasal 22 Perpres 13/2018 dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan bahan
presentasi yang disampaikan oleh Dr. Yunus Husein yang merupakan
Kepala PPATK periode 2002-2011 & Ketua Tim Penyusun Perpres 13/2018 pada
acara Diseminasi Perpres 13/2018, bahwa berdasarkan Peraturan Presiden ini,
penerapan pengenaan sanksi administratif oleh Otoritas Berwenang mengacu
perundang-undangan yang mengatur kewenangan Otoritas Berwenang dalam mengenakan
sanksi administratif, antara lain:
1.
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
2.
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
3.
Undang-Undang 32
tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi;
4.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah,
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia;
5.
Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;
6.
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
7.
Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Catatan Tambahan:
Bahwa Aplikasi Pemilik Manfaat Korporasi dibuat
berdasarkan Perpres 13/2018 dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali
Pemilik Manfaat dari Korporasi. Selain ketentuan tersebut
dasar Hukum prinsip mengenai pemilik manfaat antara lain:
1.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
2.
Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
3.
Peraturan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penerapan
Prinsip Mengenai Pengguna Jasa Bagi Perencanaan Keuangan; dan
4.
Surat Edaran
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum No. AHU. UM.01.01-1239 tanggal 16
September 2019 tentang Panduan Pengawasan Kepatuhan Penerapan Prinsip Mengenali
Pengguna Jasa (PMPJ) dan Pelaporan ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) Bagi Notaris.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.