layananhukum

Memahami Pemilik Manfaat Dalam Pembuatan PT, CV, Firma, Yayasan, dan Badan Terkait

Ilustrasi Beneficial Ownership

Pertanyaan

Dapat dijelaskan kok adanya Pemilik Manfaat dalam Korporasi pak? Terima kasih.

Jawaban
Pengantar

Dalam taraf standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, pencucian uang, mengatur mekanisme untuk mengenali pemilik manfaat atau disebut dengan Beneficial Ownership (BO) dari suatu korporasi guna memperoleh informasi mengenai pemilik manfaat yang akurat, terkini dan tersedia untuk umum Korporasi wajib mengikuti penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat paling lambat 1 Maret tahun 2019.[1]

Konsep Beneficial Ownership (BO) atau Kepemilikan Manfaat ini diatur dalam Financial Action Task Force (FATF) Recommendations 2012. Menurut FATF RecommendationBeneficial Ownership (BO) merujuk pada orang perseorangan yang secara ultimate memiliki atau mengendalikan pihak lain (ultimate owns or controls), dan/atau orang perseorangan yang kepentingannya dikendalikan oleh orang lain.[2]

Konsep Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat

Bahwa Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat sering dipergunakan (maupun disalah artikan) dalam 2 (dua) konteks, antara lain:

1.        Pajak (dalam hal ini Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B); serta

2.       Pencucian uang. 

Dalam ranah P3B, Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat mengacu pada penerima penghasilan yang mempunyai keleluasaan untuk menggunakan maupun memanfaatkan penghasilan yang diterima sesuai keputusannya sendiri dan tanpa adanya kendala oleh adanya ikatan kontrak atau kewajiban secara hukum untuk meneruskan penghasilan tersebut kepada pihak-pihak lain. Sedangkan, dalam konteks pencucian uang, seperti yang tertera pada Financial Action Task Force (FATF) RecommendationBeneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat sebagaimana disebutkan dalam Financial Action Task Force (FATF) Recommendations 2012 (Part E Transparency And Beneficial Ownership Of Legal Persons And Arrangements) bahwa:

Transparency and Beneficial Ownership of Legal Persons:

“Countries should assess the risks of misuse of legal persons for money laundering or terrorist financing, and take measures to prevent their misuse. Countries should ensure that there is adequate, accurate and up-to-date information on the beneficial ownership and control of legal persons that can be obtained or accessed rapidly and efficiently by competent authorities, through either a register of beneficial ownership or an alternative mechanism. Countries should not permit legal persons to issue new bearer shares or bearer share warrants, and take measures to prevent the misuse of existing bearer shares and bearer share warrants. Countries should take effective measures to ensure that nominee shareholders and directors are not misused for money laundering or terrorist financing. Countries should consider facilitating access to beneficial ownership and control information by financial institutions and DNFBPs undertaking the requirements set out in Recommendations 10 and 22.”

Transparency and Beneficial Ownership of Legal Arrangements

“Countries should take measures to prevent the misuse of legal arrangements for money laundering or terrorist financing. In particular, countries should ensure that there is adequate, accurate and timely information on express trusts, including information on the settlor, trustee and beneficiaries, that can be obtained or accessed in a timely fashion by competent authorities. Countries should consider measures to facilitate access to beneficial ownership and control information by financial institutions and DNFBPs undertaking the requirements set out in Recommendations 10 and 22.”

Dari penjelasan ini, dapat dinyatakan bahwa terdapat penekanan pada pihak yang memiliki atau mengendalikan (economic control) pihak yang terlibat dalam suatu transaksi atau transaksi itu sendiri. Definisi ini lebih menitikberatkan pada tujuan untuk mengetahui aliran uang sehingga bisa membuktikan pihak yang sesungguhnya menjadi penerima atau pengendali dari transaksi.

Di sisi lain, konsep Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat dalam P3B juga berkaitan erat dengan economic control atau sering dianggap sebagai pihak yang memiliki keleluasaan (discretion) dan pengendalian (control) atas pemanfaatan dan penggunaan penghasilan yang diterima. 

Hal ini seperti tertera dalam OECD Model 2014 yang dipergunakan sebagai acuan dalam pengertian internasional. Penting untuk diperhatikan bahwa Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat dalam konsep P3B bertujuan untuk mencegah adanya treaty abuse (penyalahgunaan P3B). Dalam Commentary atas Pasal 10, 11, dan 12 dari OECD Model 2014 yang juga mengacu pada usulan perubahan Commentaries OECD Model 2012 juga dijelaskan bahwa definisi Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat haruslah mengacu pada konsep yang diakui secara internasional (international meaning) dan tidak mengacu pada ketentuan domestik dari yurisdiksi yang mengadakan P3B. Definisi yang tertera dalam ketentuan domestik hanya bisa dipergunakan selama selaras dengan konteks internasional dan konsisten dengan panduan dalam Commentaries OECD Model. Konsep tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari konteks tujuan dan maksud dari diadakannya P3B yaitu menghindari pemajakan berganda sekaligus mencegah pengelakan dan penghindaran pajak.

Bahwa ada banyak putusan-putusan pengadilan atas sengketa Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat sejauh ini tidak memberikan suatu pemaknaan terminologi Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat, namun lebih kepada suatu alat bantu interpretasi bagi komunitas pajak internasional. Hal ini dapat dilihat dari putusan pengadilan atas perkara Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat yang terkenal: Indofood, Prevost, dan Velcro. Terdapat beberapa hal menarik dari putusan-putusan pengadilan yang dapat dijadikan alat bantu interpretasi atas Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat:

1.        Bahwa konsep Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat seharusnya tidak ditinjau melalui pengujian substansi ekonomi;

2.       Bahwa konsep Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat seharusnya diartikan berdasarkan pemahaman dari sudut pandang internasional dan bukan melalui ketentuan domestik dari negara yang mengadakan P3B; dan

3.      Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat harusnya ditentukan dari hasil pengujian atas keleluasaan dan pengendalian atas dana yang diterima oleh perusahaan perantara.

Terminologi Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat

Terminologi BO dalam P3B tidak dimaksudkan untuk mengacu pada pembuktian substansi ekonomis (aktivitas aktif yang dimiliki penerima penghasilan, kepemilikan kantor, atau jumlah pegawai yang “layak” untuk mengelola bisnis, dan sebagainya), namun lebih mengacu pada bagaimana perusahaan perantara memiliki keleluasaan (discretion) dan pengendalian (control) atas penghasilan/dana yang diterimanya. 

Lebih lanjut lagi, derajat keleluasaan dan pengendalian tersebut juga harus dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat mengikat secara hukum atau kontraktual. Misalkan diuji dengan pertanyaan: apakah perusahaan perantara diwajibkan secara kontrak hukum untuk meneruskan pembayaran kepada pemegang saham dan apakah perusahaan perantara benar-benar menerima aliran dana masuk ke dalam akun bank yang dimilikinya?

Perbedaan utama dari kedua konsep tersebut terletak pada 2 (dua) hal, antara lain: 

1.        Penggunaan istilah ultimate, serta 

2.       Kehadiran ikatan hukum atau kontrak. 

Definisi Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat menurut P3B tidak melibatkan terminologi ultimate (penerima akhir), karena setiap penerima penghasilan bisa saja secara bebas mengalirkan penghasilannya kepada orang lain. Kriteria penting lain dalam P3B adalah kehadiran ikatan hukum atau kontrak yang bisa mengurangi keleluasaan tersebut.

Jadi, tidak semata-mata mengacu pada substansi aliran penghasilan, namun lebih melihat apakah ada perikatan yang mewajibkan hal tersebut.

Singkatnya, konsep Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat dalam P3B dan Ultimate Beneficial Owner (UBO) dalam Perpres 13/2018 adalah sesuatu yang berbeda. Hal ini seperti dikutip dari R.J Danon dalam “The discussion draft also clarifies that beneficial and ultimate beneficial ownership are not to be equated”. Hal ini juga telah dinyatakan pada Paragraf 12.6 OECD Commentary on Article 10:

“The above explanations concerning meaning of “beneficial owner” make it clear that the meaning given to this term in the context of the Article must be distinguished from different meaning that has been given to that term in the context of other instruments that concern the determination of the persons (typically the individuals) that exercise ultimate control over entities and assets.”

Pada intinya, Beneficial Ownership (BO) merujuk pada orang perseorangan yang melaksanakan kendali efektif secara keseluruhan (ultimate effective control) terhadap pihak lain atau atas pengaturan hukum. Kedua, istilah ultimate owns or controls dan ultimate effective control menggaris bawahi pada suatu keadaan di mana pelaksanaan kepemilikan atau pengendalian dilakukan baik melalui kendali langsung maupun tidak langsung. Dengan adanya aplikasi tersebut, identifikasi maupun verifikasi Beneficial Ownership (BO) atau pemilik manfaat dapat dilakukan oleh perusahaan itu sendiri (self assesment) meskipun dalam kenyataannya dilakukan oleh korporasi melalui perwakilan dari Notaris sebagai gatekeeper.

Namun tidak cukup jika Beneficial Ownership (BO) atau pemilik manfaat yang diidentifikasi terhenti hanya sampai pada legal ownership suatu korporasi saja melainkan harus dicari pemilik manfaat yang sesungguhnya. Mengingat, dalam praktik penjaringan Beneficial Ownership (BO) atau pemilik manfaat selama ini, pendeteksiannya dilakukan melalui key person maupun company computer. Bahkan sering ditemukan banyak korporasi fiktif, direksi dan komisaris dipegang oleh orang yang sama, dan pemilik perusahaan tercatat sebagai pegawai perusahaan.

Pemilik manfaat Menurut Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018

Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 2 Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme atau yang kemudian disebut dengan “Perpres 13/2018”, menyebutkan bahwa:

“Pemilik Manfaat adalah orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada Korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari Korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham Korporasi dan/atau memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini.”

Yang mana titik tekan dari Beneficial Ownership (BO) atau pemilik manfaat, ada pada orang perorangan yang memiliki sebenarnya atas dana atau saham korporasi sebagai akibat dari kepemilikan 3 (tiga) kewenangan, antara lain:

1.        Menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada Korporasi;

2.       Memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi; dan

3.      Berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Bahwa kemudian, secara keseluruhan, orang perseorangan dapat dikatakan sebagai Pemilik Manfaat apabila ia memiliki penghasilan dan/atau keuntungan akibat kepemilikan lebih dari 25% (dua puluh lima persen) saham, modal, kekayaan awal, sumber pendanaan, atau hak-hak lain yang dapat menimbulkan keuntungan dari korporasi. Di samping itu, meskipun orang perseorangan tidak memiliki kekayaan di korporasi, ia juga dikategorikan sebagai Pemilik Manfaat jika ia memiliki kewenangan tidak terbatas terkait penunjukan perangkat pengurus korporasi dan pengendalian korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari otoritasi dari pihak manapun, atau merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan korporasi. (vide Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Perpres 13/2018)

Bahwa disebutkan setiap Korporasi wajib menetapkan Pemilik Manfaat dari Korporasi. Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud paling sedikit merupakan 1 (satu) personil yang memiliki masing-masing kriteria sesuai dengan bentuk Korporasi. (vide Pasal 3 Perpres 13/2018)

Apa yang dimaksud dengan Korporasi itu? Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 1 Perpres 13/2018 menyebutkan bahwa:

“Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”

Adapun Korporasi sebagaimana dimaksud meliputi:

a.       Perseroan terbatas;

b.      Yayasan;

c.       Perkumpulan;

d.      Koperasi;

e.       Persekutuan komanditer;

f.        Persekutuan firma; dan

g.      Bentuk korporasi lainnya. (vide Pasal 2 ayat (2) Perpres 13/2018)

Bahwa perlu perlu diketahui sebagaimana sudah kami jelaskan, dalam pembuatan konsep Pemilik Manfaat menurut Perpres 13/2018 juga memiliki latar belakang yang sama dengan pembuatan pengertian Beneficial Ownership (BO) atau pemilik manfaat di dalam FATF Recommendations. Kedua aturan tersebut menyatakan bahwa pengungkapan Beneficial Ownership (BO) atau pemilik manfaat harus dilakukan oleh korporasi. Sebab, korporasi dapat dijadikan alat baik langsung maupun tidak langsung oleh pelaku tindak pidana yang merupakan Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat yang melakukan TPPU dan TPPT. Dengan demikian, tujuan dari pembuatan Perpres 13/2018 dan FATF Recommendations adalah untuk mencegah TPU dan TPPT.

Bahwa cara pengungkapan Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat yang diatur dalam Pepres13/2018 dapat dilakukan dengan kerja sama dan permintaan informasi Pemilik Manfaat. Untuk mencegah dan memberantas TPU dan TPPT oleh Korporasi, instansi berwenang dapat melakukan pertukaran informasi dengan instansi peminta baik lingkup nasional maupun internasional. Tentunya, pertukaran informasi tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ketika dalam lingkup nasional dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang luar negeri dan perjanjian internasional dalam lingkup internasional.

Pengungkapan Pemilik Manfaat dalam Perpres 13/2018 dan Kaitannya dalam Konteks Pertukaran Informasi Pajak

Konsep Pemilik Manfaat yang dipaparkan di dalam Perpres 13/2018 tidak mengatur secara eksplisit terhadap sektor pajak. Meski demikian, dalam konteks pajak, keberadaan Perpres 13/2018 dapat mencegah dan/atau menutup celah penggelapan dan/atau penghindaran pajak yang seringkali dilakukan oleh Pemilik Manfaat.

Tidak tertutup kemungkinan, pencegahan aktivitas penghindaran dan penggelapan pajak dapat diselesaikan melalui kerja sama pertukaran informasi antara instansi berwenang dengan instansi peminta, yang salah satunya otoritas pajak (instansi pemerintah) seperti layaknya pencegahan dan/atau pemberantasan TPU dan TPPT.

Selanjutnya, pemberian informasi Pemilik Manfaat secara elektronik maupun non-elektronik oleh instansi berwenang dilakukan melalui pemberian hak akses kepada otoritas pajak.

Dalam konteks pertukaran informasi secara internasional (exchange of information/EoI), efektivitas penelusuran Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat bisa meningkat terutama karena meningkatkan transparansi di sektor pajak.

Walau demikian, jika kita melihat perkembangan implementasi EoI agaknya hal tersebut belum menyentuh upaya untuk menelusuri Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat. Kemudian, bahwa prospek automatic exchange of information/AEoI cukup menggembirakan, namun yang harus diingat adalah: AEoI baik untuk informasi keuangan (dalam konteks Common Reporting Standard/CRS) ataupun laporan laba perusahaan multinasional (dalam konteks Country by Country Reporting), tidak mewajibkan adanya suatu pengungkapan informasi atas penerima penghasilan yang memiliki kendali dan keleluasaan.

CRS misalkan, hanya mengacu pada informasi nasabah yang berkaitan dengan penghasilan dan saldo rekening saja. Di sisi lain, dalam konteks Exchange of Information by Request (EoIR), di 2016 terdapat suatu komitmen antara Financial Action Task Force (FATF) dan Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes (Global Forum) untuk menciptakan ketersediaan data serta dilaksanakannya pertukaran informasi atas Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat. 

Di saat yang bersamaan, OECD (yang disokong oleh G20) juga melakukan kajian dalam menciptakan format standar data elektronik yang memudahkan pencarian informasi kepemilikan dan disokong oleh G20.\Pengaturan eksplisit tentang pentingnya ketersediaan informasi Pemilik Manfaat atau BO diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, (selanjutnya disebut “PMK 19/2018”)  

Dalam PMK 19/2018, Pemerintah mengatur ketentuan atas pertukaran informasi keuangan agar dapat mengetahui kewajiban perpajakan wajib pajak, baik individu maupun badan. Bahkan, PMK 19/2018 telah sesuai dengan Guidance (Exchange of Information on Request (EOIR)) yang ditetapkan dalam The Global forum on transparency and exchange of information for tax purposes, di mana salah satu komponen yang ditetapkan yaitu adanya ketersediaan data kepemilikan manfaat secara hukum dan ekonomis dari sebuah perusahaan, partnership, trusts, yayasan, dan bentuk hukum dan pernyataan hukum lainnya.

Kemudian, bahwa sebagaimana yang sudah kami paparkan bahwa Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat yang dimaksud bukanlah hanya orang perseorangan yang memegang kendali langsung, melainkan mencakup juga orang perseorangan yang mengendalikan perusahan secara tidak langsung. Apabila diilustrasikan adalah sebagai berikut bahwa Perusahaan A dimiliki sahamnya oleh Perusahaan B sebesar 80 % (delapan puluh persen) dan Mr. X sebesar 20% (dua puluh persen). Kemudian, 70% (tujuh puluh persen) saham dari Perusahaan B dimiliki oleh Mr. Y. Maka dari itu, Mr. Y dapat dikategorikan sebagai Pemilik Manfaat juga karena memiliki saham lebih dari 25%, yaitu 80 x 70% = 56% (lima puluh enam persen).

Jadi Perpres 13/2018 bukan hanya berlaku atas PT yang pemegang sahamnya merupakan perorangan, melainkan juga PT yang pemegang sahamnya merupakan badan hukum/PT. Tetapi perlu diperhatikan bahwa fokus dari Perpres 13/2018 adalah untuk mengenali Pemilik Manfaat sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya. Namun, terdapat pendapat dari Roy M. Adhityaputra, Partner dari Schinder Law Firm pada acara Talks! Hukumonline dengan topik “Beneficial Ownership Disclosure dalam Bisnis dan Pencegahan Tindak Pidana Pasca Diterbitkannya Perpres Nomor 13 Tahun 2018” bahwa definisi mengenai Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat pada Perpres 13/2018 belum secara eksplisit mendefinisikan apakah suatu perusahaan (tanggung jawab hukum) dapat dirujuk sebagai Beneficial Ownership (BO) atau Pemilik Manfaat, namun, definisi "pemilik sebenarnya dari aset atau modal saham" secara eksplisit mengacu pada seorang pribadi.

Sanksi

Bahwa disebutkan sebagaimana ketentuan Pasal 24 Perpres 13/2018 disebutkan bahwa Korporasi yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 14, dan Pasal 18 sampai dengan Pasal 22 Perpres 13/2018 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan bahan presentasi yang disampaikan oleh Dr. Yunus Husein yang merupakan Kepala PPATK periode 2002-2011 & Ketua Tim Penyusun Perpres 13/2018 pada acara Diseminasi Perpres 13/2018, bahwa berdasarkan Peraturan Presiden ini, penerapan pengenaan sanksi administratif oleh Otoritas Berwenang mengacu perundang-undangan yang mengatur kewenangan Otoritas Berwenang dalam mengenakan sanksi administratif, antara lain:

1.        Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;

2.       Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;

3.      Undang-Undang 32 tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi;

4.       Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

5.       Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan  Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;

6.      Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;

7.       Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;

dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Catatan Tambahan:

Bahwa Aplikasi Pemilik Manfaat Korporasi dibuat berdasarkan Perpres 13/2018 dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi. Selain ketentuan tersebut dasar Hukum prinsip mengenai pemilik manfaat antara lain:

1.        Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

2.       Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

3.      Peraturan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Pengguna Jasa Bagi Perencanaan Keuangan; dan

4.       Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum No. AHU. UM.01.01-1239 tanggal 16 September 2019 tentang Panduan Pengawasan Kepatuhan Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) dan Pelaporan ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Bagi Notaris.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Nevey Varida Ariani, “Penerapan Benefesial Owner Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang” (Jakarta: Balitbangkumham Press, 2019), 4.

[2] Henry Donald Lbn, “Pembentukan Regulasi Badan Usaha Dengan Model Omnibus Law,” De jure 1, no. 1 (2017): 463.

Formulir Isian