Ilustrasi Hak Asuh Anak |
Pertanyaan
Saya mau bertanya, saya seorang istri yang hendak
melangsungkan gugatan cerai ke suami saya. Pertanyaan saya, bagaimana dengan
status harta Bersama kami nanti? Apakah akan dibagi rata atau dibagi setelah
saya menggugat? Mengingat hampir semua harta tersebut berasal dari saya, karena
yang bekerja adalah saya dan suami saya justru menggunakan uang saya untuk main
dengan perempuan lain? Dan, juga bagaimana dengan hak asuh anak? Mohon
pencerahannya. Terima kasih.
Jawaban
Bahwa perlu dipahami Perkawinan putus karena beberapa
hal antara lain: akibat dari adanya peristiwa penting seperti kematian, perceraian,
dan atas keputusan Pengadilan. (vide Pasal 38
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal
1 Angka 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana
sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan)
Bahwa untuk Perceraian itu sendiri hanya dapat
dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (vide Pasal
39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan jo. Pasal
65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama),
Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama (PA) bagi mereka yang beragama
Islam dan Pengadilan Umum bagi lainnya. (vide Pasal 63 ayat
(1) Undang-Undang Perkawinan jo. Pasal 1 Angka 2
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama)
Jika Anda beragama bukan Islam, maka bentuknya adalah
Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Umum sebagaimana diatur oleh ketentuan
Perundang-Undangannya sendiri (vide Pasal 40 Undang-Undang
Perkawinan) Jika Anda beragama Islam maka tatacara perceraian di depan
sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri (vide Pasal
39 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan) Tata cara perceraian di depan
sidang Pengadilan yang dimaksud diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),
sebagaimana Bab XVI Pasal 129-Pasal 162 KHI jo. Pasal
65-Pasal 88 Undang-Undang Peradilan Agama.
Anda juga dapat membaca tulisan kami yang
berjudul “Aturan
Hukum Perceraian yang Wajib Anda Pahami” untuk membaca lebih
lengkap.
Kemudian, mengenai “Harta Bersama” itu, sebelumnya
kami juga pernah membahas soal “Harta Bersama” itu pada tulisan kami yang
berjudul “Lika
Liku Pembagian Waris Terhadap Harta Bersama yang Belum Dibagikan” yang
mana sebagaimana ketentuan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa:
“Harta
benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”
Ada beberapa kaidah-kaidah hukum yang pernah membahas
terkait “Harta Bersama” terdapat pada beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung,
seperti melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1448K/Sip/1974,
menyebutkan bahwa:
“Sejak
berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian, harta bersama tersebut
harus dibagi sama rata antara mantan suami istri.”
Selanjutnya, Putusan Mahkamah Agung Nomor
392 K/Pdt/1969 Tanggal 1 Oktober 1969, menyatakan bahwa:
“Terjadi
perceraian serta pembagian harta bersama antara bekas suami-isteri
masing-masing 1/2 bagian. Bahwa dipertimbangkan perihal harta benda
tersebut termasuk biaya hidup, pendidikan dan pemeliharaan anak yang menurut
yurisprudensi sebagai hukum yang hidup biaya-biaya tersebut tidak hanya
dibebankan kepada ayah saja tetapi juga kepada ibu, sehingga untuk menjamin
pembagian tersebut, conservatoir beslag dapat disahkan dan dinyatakan
berharga teristimewa untuk jaminan pelaksanaan putusan (eksekusi).”
Kemudian, Putusan Mahkamah Agung Nomor 803
K/Sip/1970 Tanggal 5 Mei 1970, yang menyatakan bahwa:
“Apa
saja yang dibeli, jika uang pembeliannya berasal dari harta bersama, maka dalam
barang tersebut tetap melekat harta bersama meskipun barang itu dibeli atau
dibangun berasal dari pribadi.”
Kemudian, Putusan Mahkamah Agung Nomor 90
K/AG/2003 tanggal 10 Nopember 2004, yang menyatakan bahwa:
“Harta
bersama harus dirinci antara harta yang diperoleh selama perkawinan dan harta
milik pribadi (harta bawaan, hadiah, hibah, warisan)”.
“Obyek
sengketa yang tidak dapat dibuktikan harus dinyatakan ditolak, sedangkan obyek
sengketa yang obscuur libel harus dinyatakan tidak dapat diterima.”
Putusan Mahkamah Agung Nomor 32 K/AG/2002 tanggal 20 April 2005, yang menyatakan bahwa:
“Untuk
membagi harta peninggalan yang di dalamnya terdapat harta bersama, maka harta
bersama harus dibagi terlebih dahulu, dan hak pewaris atas harta bersama
tersebut menjadi harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang
berhak.”
Dan, Putusan Mahkamah Agung Nomor 332
K/AG/2000 tanggal 3 Agustus 2005, menyatakan bahwa:
“Dalam
perkara waris, untuk menentukan harta peninggalan terlebih dahulu harus jelas
mana yang merupakan harta bawaan dan mana pula yang merupakan harta bersama.
Harta bawaan kembali kepada saudara pewaris dan harta bersama yang merupakan
hak pewaris menjadi harta warisan yang harus dibagikan kepada para ahli waris”.
“Dalam
membagi harta warisan harus disebutkan secara jelas orang-orang yang berhak
menjadi ahli waris dan bagiannya masing-masing.”
“Apabila
dilakukan hibah kepada pihak lain terhadap harta warisan yang belum dibagikan
kepada ahli waris, maka hibah tersebut batal demi hukum karena salahsatu syarat
hibah adalah barang yang dihibahkan harus milik pemberi hibah sendiri bukan
merupakan harta warisan yang belum dibagi dan bukan pula harta yang masih
terikat dengan suatu sengketa.”
Namun, apakah demikian dengan adanya Perceraian
tersebut atau Putusan Perceraian tersebut secara otomatis membagi harta
Bersama?
Hal yang wajib Anda pahami sebagai pasangan dari suami
atau istri Anda, maupun oleh masyarakat secara umum bahwa putusnya perkawinan
dengan adanya putusan perceraian tidak secara otomatis mengatur mengenai
pembagian harta bersama dalam perkawinan. Sehingga, dalam hal perkawinan
putus karena perceraian, sedangkan pasangan tersebut tidak pernah membuat perjanjian
pisah harta atau perjanjian perkawinan, maka harus dibuatkan putusan
terpisah mengenai pembagian harta gono gini atau harta bersama yang mereka
miliki, oleh karenanya biasanya para pihak diminta untuk menggugat lagi soal
pembagian harta Bersama tersebut.
Apabila tidak ada putusan/penetapan mengenai pembagian
harta gono gini atau harta bersama tersebut, maka setiap perbuatan hukum
terhadap asset yang terdaftar atas nama salah satu pihak, baik itu atas nama
suami/isteri, maka harus mendapatkan persetujuan dari bekas suami/isterinya. (vide Pasal
36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)
Perbuatan hukum dimaksud tidak terbatas hanya pada perbuatan hukum menjual
saja, melainkan termasuk menjaminkan dan bahkan menyewakan asset tersebut
kepada pihak lain.
Kami mengambil contoh bahwa perlu adanya putusan
pengadilan terlebih dahulu terhadap Harta Bersama sebagaimana Putusan
Pengadilan Agama Demok Nomor 2215/Pdt.G/2022/PA.Dpk tanggal 6
Oktober 2022, yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa:
MENGADILI
1.
Mengabulkan
gugatan Penggugat untuk Sebagian;
2.
Menyatakan harta
berupa 22.5 % (dua puluh dua koma lima per seratus) dari sebidang tanah dan
bangunan diatasnya seluas 81 m2 (delapan puluh satu meter persegi) luas tanah
dan 60 m2 (enam puluh meter persegi) luas bangunan, yang terletak di ALAMAT
dengan batas-batas sebagai berikut:
-
Sebelah Utara:
berbatasan dengan rumah kosong;
-
Sebelah Timur:
berbatasan dengan rumah NAMA;
-
Sebelah Selatan:
berbatasan dengan rumah NAMA/Jalan Pirus K2;
-
Sebelah Barat:
berbatasan dengan rumah kosonh;
sebagai
harta bersama Penggugat dengan Tergugat;
3.
Menetapkan
Penggugat dan Tergugat masing-masing berhak mendapatkan setengah bagian dari
harta bersama seperti tersebut dalam poin 2 diktum putusan ini;
4.
Menghukum
Tergugat untuk menyerahkan 1/2 (seperdua) bagian dari harta bersama seperti
tersebut pada diktum putusan poin 2 (dua) tersebut kepada Penggugat, dan
apabila harta tersebut tidak dapat dibagi secara natura, harus dijual secara
lelang melalui kantor lelang Negara dan hasilnya diserahkan 1/2 (seperdua)
bagian kepada Penggugat;
5.
Menolak gugatan
Penggugat selain dan selebihnya;
6.
Menghukum
Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 1.320.000,00 (satu juta
tiga ratus dua puluh ribu rupiah).
Atau, terhadap Putusan Pengadilan Agama
Jombang Nomor 113/Pdt.G/2022/PA.Jbg, tanggal 28 Maret 2022, yang
dalam amar putusannya menyatakan bahwa:
MENGADILI
1.
Mengabulkan
gugatan Penggugat;
2.
Menetapkan harta
berupa Tanah beserta bangunan rumah yang ada si atasnya, terletak di di Dusun
Plosokendal, Desa Xxxxxxxxxxx, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, dengan
sertifikat Hak Milik atas nama Mustofa luas 187 M2 dengan batas-batas sebagai
berikut:
-
Sebelah utara:
tanah AAAAAAAA;
-
Sebelah timur:
tanah AAAAAAAA;
-
Sebelah Selatan:
tanah AAAAAAAA;
-
Sebelah barat:
Jalan Desa;
3.
Menetapkan bagian
masing-masing Penggugat dan Tergugat atas harta bersama pada diktum angka 2 di
atas, untuk Penggugat ½ (seperdua) bagian, dan Tergugat 1/2 (seperdua) bagian;
4.
Menghukum
Tergugat untuk membagi dan menyerahkan harta bersama pada diktum angka 2
diatas, 1/2 (seperdua) bagian untuk Penggugat, dan 1/2 (seperdua) bagian untuk
Tergugat, dan apabila tidak dapat dibagi secara natura, maka harta bersama
tersebut dijual lelang di muka umum dan hasilnya 1/2 (seperdua) bagian
diserahkan kepada Penggugat, dan 1/2 (seperdua) menjadi bagian Tergugat;
5.
Membebankan
kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 1.775.000,- (satu
juta tujuh ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).
Bagaimana kalau istri yang menjalankan peran ganda
seperti mengurus rumah tangga sekaligus bekerja? Apakah pembagiannya
sebagaimana putusan di atas?
Istri yang menjalankan peran ganda; mengurus rumah
tangga sekaligus bekerja, berhak memperoleh bagian harta bersama melebihi
mantan suaminya, sebagaimana Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 78
K/Ag/2021 Tanggal 26 Maret 2021, sebagai berikut penjelasannya:
-
Pemohon Kasasi: semula adalah Penggugat pada tingkat pertama dan
Pembanding pada tingkat banding.
-
Termohon
Kasasi: semula adalah Tergugat pada
tingkat pertama dan Terbanding pada tingkat banding.
-
Jenis perkara: Gugatan Harta Bersama.
-
Amar putusan:
MENGADILI
1.
Menolak
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi tersebut;
2.
Membebankan
kepada Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi ini
sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
-
Tanggal
Putusan: 26 Maret 2021;
-
Kaidah Hukum: “Istri yang menjalankan peran ganda, yakni
mengurus rumah tangga sekaligus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
dapat diberikan bagian harta bersama melebihi mantan suaminya.”
Penggugat dan Tergugat pernah terikat dalam ikatan
perkawinan lalu resmi bercerai, namun setelah perceraian belum ada pembagian
harta bersama yang selama ini diperoleh sepanjang perkawinan mereka. Penggugat
berusaha melakukan pendekatan kekeluargaan agar harta bersama tersebut dibagi
namun usaha tersebut tidak mendatangkan hasil. Penggugat mengajukan gugatan
harta bersama ke Pengadilan Agama Depok yang kemudian Majelis hakim tingkat
pertama pada tanggal 21 Januari 2020 menjatuhkan putusan yang isinya mengabulkan
sebagian gugatan Penggugat.
Terhadap putusan tingkat pertama tersebut, Penggugat
mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung, yang
kemudian majelis hakim tingkat banding menjatuhkan putusan pada tanggal 10 Juni
2020 yang pada intinya menguatkan putusan Pengadilan Agama Depok.
Terhadap putusan tingkat banding tersebut, Penggugat
mengajukan upaya hukum kasasi yang pada tanggal 26 Maret 2021 majelis hakim
kasasi menjatuhkan putusan yang menguatkan putusan tingkat banding. Mahkamah
Agung berpendapat bahwa ketentuan pembagian harta Bersama dibagi dua antara
mantan suami dan mantan istri dapat dibenarkan sepanjang suami menjalankan
peran sebagai kepala keluarga sedangkan istri menjalankan peran sebagai ibu
rumah tangga. Dalam hal istri berperan ganda; mengurus rumah tangga sekaligus bekerja
untuk menopang kebutuhan rumah maka membagi dua bagian harta antara mantan
suami dan mantan istri tidak dapat lagi dipertahankan.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung mengemukakan 3
(tiga) argumentasi berikut:
1.
Bahwa Pasal 31
ayat (3) dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo.
Pasal 75 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan suami adalah kepala keluarga
yang berkewajiban mencari nafkah, menyediakan tempat kediaman anak dan
istrinya, sedangkan istri adalah ibu rumah tangga yang berkewajiban mengurus
rumah tangga dan mengasuh anak;
2.
Bahwa dalam
keadaan kedua belah pihak menjalankan fungsi masing-masing tersebut terhadap
harta bersama masing-masing mempunyai hak 1/2 (seperdua) bagiannya;
3.
Bahwa namun
demikian apabila istri menjalani dua fungsi sekaligus, yaitu berusaha/bekerja
memenuhi kebutuhan rumah tangga dan juga mengurus rumah tangga serta mengasuh
anak sebagaimana dalam perkara a quo, maka terhadap harta bersama
tidak adil apabila masing-masing mendapat 1/2 (seperdua) bagian, oleh karena
itu pembagian harta bersama seperti yang telah ditetapkan Judex Facti yaitu
70 (tujuh puluh) persen untuk Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi dan 30
(tiga puluh) persen untuk Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi sudah tepat
dan benar;
Sumber Putusan:
-
Putusan
Pengadilan Agama Depok Nomor 2802/Pdt.G/2018/PA.Dpk;
-
Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor 117/Pdt.G/2020/PTA.Bdg;
-
Putusan Mahkamah
Agung Nomor 78 K/Ag/2021.
Dalam hal terjadi demikian, maka pasangan yang sudah
bercerai atau akan bercerai tersebut bisa membuat Akta Kesepakatan Bersama
mengenai pembagian harta gono gini atau harta Bersama mereka di hadapan
Notaris. Notaris akan menguraikan semua asset yang mereka
miliki, dan kesepakatan antara pasangan tersebut terhadap asset perkawinan
mereka. Dalam hal misalnya (mantan) suami menyerahkan sebidang tanah kepada
(mantan) isterinya, maka di dalam Akta Kesepakatan Bersama tersebut harus pula
meliputi segala kuasa yang dibutuhkan untuk memproses baliknama sertifikat,
melepaskan hak atas tanah dimaksud, termasuk juga kuasa untuk menjaminkan,
membebani dengan Hak Tanggungan, dan lain sebagainya hingga tanah tersebut
dapat sepenuhnya dikuasai oleh yang bersangkutan.
Apakah Hak Asuh Anak juga bisa disepakati dalam Akta
Notaris?
Sebagaimana ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
menyebutkan bahwa Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud berlaku sampai anak
itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus.
Hal ini sejalan dengan Pasal 41
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur
akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a.
Baik ibu atau
bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b.
Bapak yang
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan
anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Mengenai hak asuh anak, Undang-Undang
tentang Perkawinan tidak mengatur secara khusus siapa yang berhak
mendapatkan hak asuh atas anak yang belum berusia 12 tahun. Melainkan hanya
mengatur hak asuh anak setelah bercerai, kedua belah pihak tetap wajib
memelihara dan mendidik anak-anaknya dan jika ada perselisihan hak asuh anak,
Pengadilan yang akan memberi keputusannya.
Peraturan mengenai hak asuh anak dalam perceraian
lainnya ada di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1973 tanggal
24 April 1975. Dalam putusan ini juga dikatakan bahwa dalam penentuan pemberian
hak asuh anak dalam perceraian haruslah mengutamakan ibu kandung. Terlebih lagi
untuk hak asuh anak yang masih di bawah umur atau 12 (dua belas) tahun ke
bawah.
Hal ini ditetapkan dengan melihat kepentingan anak
yang membutuhkan sosok ibu. Meski begitu, pemberian hak asuh anak kepada sang
ayah juga bisa saja terjadi dalam perceraian. Pasal 156 huruf (c)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa seorang ibu bisa
kehilangan hak asuh anak sekalipun masih berusia di bawah 12 (dua belas) tahun
apabila ia tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak. Bila
demikian, atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan Agama dapat
memindahkan hak asuh pada kerabat lain.
Kemudian, sebagaimana ketentuan Pasal 105
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan:
“Dalam
hal terjadinya perceraian:
a.
Pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak
ibunya;
b.
Pemeliharaan anak
yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah
atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c.
Biaya
pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”
Pada prinsipnya, dalam ketentuan hukum perdata, selama
anak dari pasangan tersebut masih di bawah umur dan tidak dapat dibuktikan
bahwa sang ibu lalai dalam menjalankan tugaskan sebagai ibu, maka anak yang
masih di bawah umur hak asuhnya diserahkan kepada ibunya, kecuali dibuktikan
sebaliknya.
Namun dapat juga jika perceraian dilakukan dengan
damai dan tanpa ribut-ribut, pasangan yang hendak bercerai sekaligus membuat
kesepakatan mengenai pengasuhan dan penyerahan hak asuh terhadap anak yang
lahir dari perkawinan mereka kepada salah satu pasangan. Kesepakatan tersebut
dapat dituangkan dalam akta kesepakatan bersama dan diajukan sekalian dalam
penetapan pengadilan saat putusnya perkawinan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.