Ilustrasi Tindak Pidana Pemilu |
Pengantar
Sebelumnya kami sudah pernah membahas mengenai “Bentuk-Bentuk
Tindak Pidana Pemilu yang Wajib Anda Ketahui” tulisan ini
merupakan lanjutan dari tulisan kami yang tersebut di atas, dan akan
menjelaskan secara umum upaya serta proses atau tata cara penanganan dan
penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan Umum (Pemilu).
Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 2
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2018 tentang Tata Cara
Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum, menjelaskan
bahwa:
“Tindak
Pidana Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Tindak Pidana Pemilu adalah
tindak pidana pelanggaran dan/ atau kejahatan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.”
Kemudian, apabila merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana
terakhir yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang
selanjutnya disebut dengan “UU Pemilu”, kita tidak akan
menemukan definisi secara jelas, apa yang dimaksud dengan “Tindak Pidana
Pemilu” tersebut. Akan tetapi, kita akan menemukan bentuk-bentuk Tindak Pidana
Pemilihan Umum, sebagaimana yang diatur dalam BAB II Ketentuan
Pidana Pasal 488 sampai dengan Pasal 554 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Setelah mengetahui bentuk-bentuknya, disebutkan
pengaturan mengenai tata cara penanganan Tindak Pidana Pemilihan Umum diatur
dalam ketentuan Pasal 476 sampai dengan Pasal 484 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Kewenangan Menerima Laporan/Temuan, Penyidikan dan Penuntutan
Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (2)
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2023
tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu Pemilihan Umum jo. Pasal
1 Angka 38 UU Pemilu, menyebutkan bahwa:
“Penanganan
Tindak Pidana Pemilu dilaksanakan dalam satu atap secara terpadu oleh
Gakkumdu.”
Apa itu Gakkumdu? Gakkumdu yang selanjutnya disebut
“Sentra Penegakan Hukum Terpadu” adalah pusat aktivitas penegakan hukum tindak
pidana Pemilu yang terdiri atas unsur Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan/atau
Bawaslu Kabupaten/Kota, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian
Daerah, dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia,
Kejaksaan Tinggi, dan/atau Kejaksaan Negeri.
Gakkumdu tersebut melekat pada kewenangan Bawaslu,
Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Mengingat bahwa satu di antara
tugas dari Bawaslu adalah menyampaikan dugaan tindak pidana Pemilu kepada
Gakkumdu. (vide Pasal 486 ayat (2) jo. Pasal
93 huruf i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum)
Kemudian, fungsinya Bawaslu Provinsi dalam melakukan
pengawasan pelaksanaan Kampanye Pemilu di tingkat provinsi terhadap kemungkinan
adanya kesengajaan atau kelalaian, bawaslu wajib meneruskan temuan dan laporan
tentang pelanggaran tindak pidana Pemilu kepada Gakkumdu. (vide Pasal
319 ayat(2) huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum)
Gakkumdu terdiri atas penyidik yang berasal dari
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penuntut yang berasal dari Kejaksaan
Agung Republik Indonesia.[1] Kemudian
itu dipertegas dalam Pasal 1 Angka 13 Peraturan Badan Pengawas
Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Sentra Penegakan
Hukum Terpadu Pemilihan Umum, yang mendefinisikan Penyidik Tindak
Pidana Pemilu yang selanjutnya disebut Penyidik adalah Penyidik dan Penyidik
Pembantu yang berasal dari Polri yang diberi wewenang khusus untuk melakukan
penyidikan tindak pidana Pemilu. Sedangkan, Penuntut Umum adalah Jaksa yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim. (vide Pasal 1 Angka 25 PPeraturan Badan
Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Sentra
Penegakan Hukum Terpadu Pemilihan Umum)
Untuk kewenangan mengadili merupakan kewenangan dari
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus.[2]
Laporan/Temuan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Pemilihan Umum
Laporan dugaan tindak pidana Pemilu diteruskan oleh
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia paling lama 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam sejak Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota,
dan/atau Panwaslu Kecamatan menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan yang
diduga merupakan tindak pidana Pemilu.[3]
Perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak
pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dinyatakan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu
Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan setelah berkoordinasi dengan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia
dalam Gakkumdu.[4]
Untuk format laporan dugaan tindak pidana Pemilu
tersebut disampaikan secara tertulis dan paling sedikit memuat:
a.
Nama dan alamat
pelapor;
b.
Pihak terlapor;
c.
Waktu dan tempat
kejadian perkara; dan
d.
Uraian kejadian.[5]
Kemudian barulah akan dilakukan Penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana Pemilu dilakukan
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang
ini.[6] Penyelidik
dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan
tindak pidana Pemilu, hasil penyelidikannya disertai berkas perkara disampaikan
kepada penyidik paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Bukti permulaan yang cukup di sini sebagaimana yang
dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
21/PUU-XII/2014, adalah minimal 2 (dua) alat bukti yang termuat
dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
Setelah itu kemudian, Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara
kepada penuntut umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
laporan dan dapat dilakukan dengan tanpa kehadiran tersangka. Dalam hal hasil
penyidikan belum lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi.
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana
dimaksud harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada
penuntut umum. Kemudian setelah lengkap maka Penuntut umum melimpahkan berkas
perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri paling lama 5 (lima) hari sejak
menerima berkas perkara dan dapat dilakukan dengan tanpa kehadiran tersangka.[7]
Tata Cara Mengadili Tindak Pidana Pemilihan Umum di Pengadilan Negeri
Sebagaimana ketentuan Pasal 481
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,
menyebutkan bahwa:
“Pengadilan
negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu
menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini. Untuk Sidang pemeriksaan perkara tindak pidana Pemilu
sebagaimana dimaksud dilakukan oleh majelis khusus.”
Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili dan memutus
perkara tindak pidana pemilihan dan tindak pidana pemilu paling lama 7 (tujuh)
hari setelah pelimpahan berkas perkara.
Hakim harus berupaya agar batasan waktu sebagaimana dimaksud tidak terlewati,
apabila dipandang perlu dapat bersidang pada malam hari agar batas waktu
penyelesaian perkara dapat berjalan sebagaimana mestinya dan pemeriksaan
tersebut dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa.[8]
Kemudian, dalam hal putusan pengadilan diajukan
banding, permohonan banding diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah
putusan dibacakan bagi pihak yang hadir atau 3 (tiga) hari sejak putusan
disampaikan kepada pihak yang tidak hadir. Pengadilan Negeri
melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada pengadilan tinggi paling
lama 3 (tiga) hari setelah permohonan banding diterima.
Putusan pengadilan negeri harus sudah disampaikan
kepada penuntut umum paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.
Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus perkara banding paling lama 7 (tujuh)
hari setelah permohonan banding diterima.[9]
Putusan pengadilan tinggi merupakan putusan terakhir
dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. (vide Pasal
482 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum jo. Pasal 3 ayat 8 Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak
Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum)
Putusan Pengadilan Tinggi tersebut harus disampaikan
kepada penuntut umum melalui pengadilan negeri paling lambat 3 (tiga) hari
setelah putusan dibacakan. Baik untuk Putusan Pengadilan Negeri dan Putusan
Pengadilan Tinggi harus dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) hari setelah
putusan diterima oleh Jaksa.
Untuk putusan pengadilan terhadap perkara tindak
pidana pemilu yang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilihan dan
pemilu harus selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU, KPU Provinsi
dan/atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan hasil pemilihan dan pemilu secara
nasional. Salinan putusan pengadilan tersebut harus diterima KPU, KPU Provinsi
dan/atau KPU Kabupaten/Kota dan peserta pemilihan atau pemilu pada hari putusan
pengadilan tersebut dibacakan.
Kemudian, KPU, KPU Provinsi dan/atau KPU
Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
dan salinan putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi disampaikan baik
secara manual dan/ atau secara elektronik.
Majelis Khusus Tindak Pidana Pemilihan Umum
Sidang pemeriksaan perkara tindak pidana Pemilu
dilakukan oleh majelis khusus.[10] Majelis
khusus terdiri atas hakim khusus yang merupakan hakim karier pada pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi yang ditetapkan secara khusus untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu ditetapkan berdasarkan
keputusan Ketua Mahkamah Agung.[11]
Hakim khusus sebagaimana dimaksud harus memenuhi
syarat telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim minimal 3 (tiga) tahun,
kecuali dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim yang masa kerjanya telah
mencapai 3 (tiga) tahun. Kemudian, Hakim khusus tersebut selama memeriksa,
mengadili, dan memutus tindak pidana Pemilu dibebaskan dari tugasnya untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain. Yang tak kalah penting Hakim
khusus tersebut harus menguasai pengetahuan tentang Pemilu. (vide Pasal
485 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum)
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1] vide Pasal 486 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
[2] vide Pasal 2 Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana
Pemilihan dan Pemilihan Umum.
[3] vide Pasal 476 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
[4] vide Pasal 476 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
[5] vide Pasal 476 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
[6] vide Pasal 477 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
[7] vide Pasal 480 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
[8] vide Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum.
[9] vide Pasal 3 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum.
[10] vide Pasal 481 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
[11] vide Pasal 485 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum jo. Pasal 4 ayat (1)Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum.