Ilustrasi Pajak |
Pertanyaan
Selamat pagi pak, izin bertanya saya pada tahun 2020
mendirikan PT. Akan tetapi, dalam berjalannya waktu PT tersebut usahanya tidak
beroperasi lagi setelah hanya berjalan 1 (satu) tahun saja. Pada Mei 2021
sampai saat ini PT tersebut tidak melakukan operasi apapun, dan saya ini tidak
pernah lapor pajak baik SPT tahunan maupun bulanannya. Saya tidak pernah
menerima surat tagihan apapun dari kantor pajak setempat. Pertanyaan saya
terkait dengan kasus yang saya alami ini, apa sanksi yang akan saya terima karena
hal tersebut? Dan bagaimana solusinya? Serta bila mau menutup apakah sulit
prosedurnya? Terima kasih.
Jawaban
Pengantar
Sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan jo. Pasal
2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat
Pemberitahuan (SPT), menyatakan bahwa:
“Setiap
Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas,
dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata
uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”
Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disebut dengan
“SPT” dimaksudkan di sini adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan
objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. (vide Pasal 1 Angka 11
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan)
SPT meliputi antara lain:
a.
SPT Tahunan PPh;
dan
b.
SPT Masa yang
terdiri dari:
1.
SPT Masa PPh;
2.
SPT Masa PPN; dan
3.
SPT Masa PPN bagi
Pemungut PPN.
SPT sebagaimana dimaksud berbentuk formulir kertas
(hardcopy) atau dokumen elektronik.[1]
Kemudian disebutkan bahwa batas waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan adalah:
a.
Untuk Surat
Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
b.
Untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama
3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
c. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.[2]
Bagi wajib pajak baik perorangan atau badan, SPT
berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah pajak terutang untuk melaporkan hal-hal antara lain:
-
Pembayaran atau
pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan
atau pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak;
-
Penghasilan yang
merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
-
Harta dan
kewajiban; dan
-
Pembayaran dari
pemotong/pemungut tentang pemotongan dan pemungutan pajak orang pribadi atau
badan lain dalam satu masa pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Untuk Pemenuhan kewajiban pelaporan SPT tahunan PPh
badan itu dilakukan dengan mengisi Formulir
1771. Ketentuan formulir SPT tersebut diatur dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2017 tentang Perubahan Keempat atas
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan
Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya.
Ketentuan Umum SPT Pajak
Ketentuan pelaporan SPT tahunan PPh badan berdasarkan
ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan antara lain sebagai berikut:
1.
Wajib pajak harus
melakukan pengisian SPT dengan benar, lengkap, dan jelas. Benar adalah benar
dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.[3] Sementara
itu, lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak
dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT. Adapun yang dimaksud
dengan jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur
unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT.
2.
Wajib pajak harus
melakukan pengisian SPT dalam bahasa Indonesia, dengan menggunakan huruf latin
dan satuan mata uang rupiah atau mata uang asing apabila mendapatkan ijin dari
Kementerian Keuangan.[4]
3.
Wajib pajak
diwajibkan menandatangani SPT dan harus melakukan penyampaian SPT ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) di mana wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan.[5]
4.
Cara mengisi SPT
tahunan PPh badan 1771 dapat melalui software SPT elektronik (e-SPT) yang harus
diunduh dahuluatau melalui menu e-Form pada DJP Online untuk selanjutnya
membuat file CSV SPT 1771 dan melakukan e-Filing SPT tahunan PPh badan pada
aplikasi e-Filing Pajak yang resmi.
5.
Wajib pajak dapat
memperpanjang jangka waktu pelaporan SPT tahunan PPh badan dalam jangka waktu
paling lama sekitar dua bulan dengan cara melakukan pemberitahuan secara
tertulis atau cara lain sesuai ketentuan Ditjen Pajak.
6.
Selain SPT, wajib
pajak juga harus mencantumkan lampiran dan dokumen tambahan yang dibutuhkan
dalam pelaporan SPT.[6]
Sanksi Bagi Wajib Pajak yang Tidak Lapor SPT Tahunan PPh Badan
Sebagaimana ketentuan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana
terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, bagi para Wajib Pajak yang
telat melaporkan SPT, maka akan dikenakan sanksi yang berupa denda. Setiap
Wajib Pajak perlu memeriksa denda mana yang perlu dibayarkan terlebih dahulu,
apakah denda telat melaporkan SPT atau ada juga denda telat membayar pajak.
Berikut denda yang harus dibayarkan untuk wajib pajak yang telat melaporkan
SPT:
-
Denda telat lapor
SPT bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yaitu sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu
rupiah) per SPT Masa Pajak.
-
Denda telat
lapor SPT bagi Wajib Pajak Badan yaitu sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta
rupiah) per SPT Tahunan
Pajak.
-
Sanksi
administrasi untuk SPT Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi sebesar Rp 500.000,-
(lima ratus ribu rupiah) per SPT Masa Pajak dan Rp 100.000,- (seratus ribu
rupiah) per SPT Masa Pajak untuk SPT dengan masa lainnya.
- Denda telat bayar pajak sebesar 2% (dua persen) per bulan dari waktu biaya pajak yang belum dibayarkan. Denda telat bayar pajak memiliki waktu yang dihitung dari sejak tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran pajak tersebut. Jika anda terlambat membayar dari batas waktunya maka hitungan bayar dendanya dihitung 1 (satu) bulan penuh.
Membayar pajak merupakan kewajiban yang harus dipatuhi
oleh seluruh warga negara. Pajak bersifat wajib dengan menetapkan sanksi bagi
mereka yang tidak melakukan pembayaran pajak dengan tujuan Wajib Pajak semakin
patuh untuk melakukan kewajiban perpajakan. Maka dari itu, agar terhindar dari
sanksi - sanksi tersebut, WP harus mematuhi segala peraturan perpajakan yang
ada dengan mengisi SPT dengan jujur, menyetor dan melapor SPT tepat waktu,
mengisi faktur dengan lengkap, hindari segala aktivitas yang memicu tindak
pidana perpajakan, serta gunakan aplikasi MPN Pajakku untuk melakukan
pembayaran, bea dan cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) semudah
mengisi pulsa dan untuk pelaporan pajak secara elektronik yang real
time, dapat multi NPWP dan multi pasal, dengan bukti penerimaan elektronik
yang sah.
Jadi, meskipun tidak ada kegiatan, kewajiban untuk
melaporkan pajaknya harus dilakukan. Jangan menunggu STP datang, semakin lama
tidak dilaporkan denda terlambat lapornya semakin bertambah. Terlebih di zaman
sekarang semua hal sudah dibantu teknologi, wajib pajak yang ingin melaporkan
SPT Tahunan tak perlu repot pergi ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk lapor
SPT secara manual. Direktorat Jenderal Pajak sudah memfasilitasi wajib pajak
agar lebih mudah lapor SPT Tahunan yaitu melalui e-Filing sehingga
memungkinkan wajib pajak melaporkan pajak secara daring di mana pun dan kapan
pun. Dengan semua fasilitas yang disediakan dan kemudahan yang tersedia, wajib
pajak seharusnya terhindar dari kelalaian dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya.
Apabila mau Menutup Perusahaan Apakah Sulit Prosedurnya?
Dalam kasus seperti kasus Anda, ada 2 (dua)pilihan:
1.
Bubarkan
perusahaan di mana perusahaan tidak ada lagi;
2.
Tetap biarkan
perusahaan tidak aktif, mengingat perusahaan yang tidak aktif adalah perusahaan
yang berhenti beroperasi dan tidak memiliki catatan transaksi dalam pembukuan
keuangannya sejak periode waktu tertentu.
Sebagaimana ketentuan Pasal 146
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyatakan
bahwa:
“Pengadilan
negeri dapat membubarkan Perseroan atas:
a.
Permohonan
kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau
Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;
b.
Permohonan pihak
yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian;
c.
Permohonan
pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan Perseroan tidak
mungkin untuk dilanjutkan.”
Apabila perusahaan yang tidak dapat melanjutkan
kegiatan usahanya karena tidak aktif atau tidak melakukan kegiatan usaha selama
3 (tiga) tahun sebelumnya, sebagaimana dilaporkan ke kantor pajak melalui surat
pemberitahuan. KPP akan menetapkan perusahaan wajib pajak tidak aktif jika
perusahaan memenuhi kriteria berikut:
1.
Domisili wajib
pajak tidak diketahui;
2.
Selama 3 (tiga)
tahun berturut-turut, pihak wajib pajak tidak dapat memenuhi kewajiban
perpajakannya, antara lain membayar pajak atau menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa (SPT Masa), atau Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan);
3.
Adanya
penghentian penuh dari setiap jenis kegiatan bisnis. (vide Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ.7/2003 tentang Kebijakan
Pemeriksaan Pajak (Seri Pemeriksaan 01 - 03)
Perusahaan yang tidak aktif harus mematuhi peraturan
akuntansi dan pajak Indonesia, yang mengharuskan mereka untuk mengangkat
komisaris dan direksi secara berkala, sesuai dengan masa jabatannya,
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan untuk mengesahkan
laporan tahunan Direksi Laporan investasi dan pemutakhiran informasi perusahaan
harus disampaikan ke BKPM apabila ada unsur asing di dalamnya.
Selain tanggung jawab ini, kantor pajak harus mengajukan beberapa aplikasi agar perusahaan tersebut dinyatakan tidak aktif. Ini kemungkinan akan disetujui dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja. Apabila suatu badan hukum belum menyampaikan SPT Masa atau SPT Tahunan, atau SPT Bulanan, dan belum membayar sanksi administrasi, maka fiskus tidak boleh menerbitkan surat peringatan perpajakan.
Beberapa persyaratan hukum alih-alih laporan pajak
yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang tidak aktif adalah sebagai berikut:
1.
Perusahaan-perusahaan
yang tidak aktif di Indonesia tetap bertahan karena tidak melakukan transaksi
keuangan tetapi belum benar-benar bubar. Mereka tetap membayar pajak.
2.
Berdasarkan SPT
tahunan yang diajukan oleh perusahaan, perusahaan tersebut wajib menyampaikan
SPT yang dikenal dengan Surat Pemberitahuan yang terkait dengan pajak
penghasilan badan atau pajak pertambahan nilai. Kecuali pengadilan memberikan
pengecualian atau perusahaan dibubarkan, itu diharuskan untuk membayar pajak
secara teratur.
3.
Apabila
perusahaan gagal membayar pajak, Kementerian Keuangan menetapkan bahwa tidak
akan ada sanksi.
4.
Audit tahunan
tidak diperlukan untuk perusahaan yang tidak aktif. Hal ini berlaku untuk
bisnis yang telah tidak aktif sejak pembentukannya atau sampai akhir tahun
fiskal sebelumnya.
Bagaimana Membubarkan Perusahaan yang Tidak lagi
Aktif ? Jika suatu badan memutuskan untuk berhenti menjalankan usahanya, ia
tidak serta merta kehilangan status badan hukumnya. Oleh karenaya perlu
mengambil tindakan khusus sebelum melikuidasi perusahaan tersebut.
Langkah-langkah berikut dapat digunakan untuk
membubarkan perusahaan terutama yang berbentuk PT yang sudah tidak lagi aktif:
-
Para pemegang
saham, Direksi, dan Dewan Komisaris harus mengajukan permohonan pembubaran
perseroan. Likuidator yang biasanya adalah Direktur Perseroan diangkat dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengupayakan proses likuidasi.
Likuidator wajib mengumumkan pembubaran PT dalam Berita Negara Republik
Indonesia serta dalam surat kabar.
-
Pemberitahuan ini
harus dikeluarkan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Rapat Umum Pemegang
Saham. Jika ada pemberi pinjaman atau kreditur yang berhutang, mereka memiliki
waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan untuk mengklaim
kewajiban mereka.
-
Likuidator harus
menyerahkan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia formulir persetujuan
pembubaran perusahaan. Perusahaan dianggap bubar setelah Menteri menyetujui
pembubarannya.
-
Ketika pembubaran
perusahaan yang tidak aktif diumumkan, pilihan divisi aset harus dibuat juga.
-
Para pemegang
saham harus mengkonfirmasi pemisahan kekayaan Perusahaan setelah 60 (enam
puluh) hari berlalu.
-
Likuidator harus
meminta otorisasi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk
mendistribusikan aset sekali lagi. Prosedur likuidasi selesai pada titik ini,
dan perusahaan kehilangan kedudukan hukumnya di negara tersebut.
-
Langkah terakhir
adalah mempublikasikan pemberitahuan publik bahwa prosedur pembubaran
perusahaan telah selesai. Pemberitahuan ini memberi tahu Anda tentang tidak
adanya perusahaan atau keputusan perusahaan untuk menghentikan operasinya.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1] vide Pasal 3 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT).
[2] vide Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana terakhir
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan
[3] vide Pasal
4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana terakhir telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan.
[4] vide Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT)
[5] Ibid.
[6] vide Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2019 tentang Tata Cara Penyampaian,
Penerimaan, dan Pengolahan Surat Pemberitahuan jo. Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ/2019 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara
Penyampaian, Penerimaan, dan Pengolahan Surat Pemberitahuan.