layananhukum

Mengulik Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri, Konflik Palestina-Israel, Indonesia-Papua Conflict

Ilustrasi Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri


Apakah the right of a people to self-determination atau Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) itu identik dengan independent statehood atau yang kita kenal dengan membentuk suatu Negara yang Berdaulat?

Contohnya, seperti Israel (bicara dalam taraf terbuka yang lebih enak didiskusikan) siapapun kita, penting untuk mengakui Israel (pasca 1948) untuk menentukan nasib sendiri. Penciptaan negara Israel telah menjadi pemenuhan “hak bawaan” or inherent right bagi Jewish people (Orang Yahudi) untuk menentukan nasib sendiri.

Mengenai tetangga-tetangganya di Palestina, klaimnya mengatakan bahwa pengakuan Israel atas hak mereka untuk menentukan masa depan mereka sendiri telah membentuk dasar Kesepakatan Oslo 1993 (The Oslo Accords of 1993) dan perjanjian perjanjian berikutnya. Pada saat yang sama, Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri Tidak (serta merta) memberikan mandat bagi setiap orang untuk secara sepihak menggunakan hak itu dengan cara apa pun yang mereka anggap cocok dan bisa menjadi tiket yang me-legimate bagi hak itu untuk “menindas kesadaran hak” yang lain demikian bahasa penulis, karena begini, hak itu tentu saja tidak melegitimasi kampanye terorisme yang pihak Palestina “dapat benarkan” begitupun pembunuhan harian oleh Israel sebagai pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri (itu tadi) yang harus memenuhi persyaratan atau mencakup kesadaran akan hak-hak orang lain juga.

Kesadaran seperti itu harus mencerminkan pemahaman (asal muasal) konflik di Timur Tengah (Middle East) atau pun jika bicara di sini konflik di West Papua atau Papua Barat. Sederhananya, ini bukanlah kisah tentang pencarian satu orang (satu pihak saja) untuk menentukan nasibnya sendiri, tetapi kisah dua orang bahkan lebih (tentu yang saling bisa klaim hak itu), keduanya berusaha hidup dalam keamanan dan kebebasan masing-masing, dan HAM menjamin itu. Lantas, bagaimana akhirnya?

Anggap saja, kita bicara mengenai resolusi, karena bagaimana pun akses dan ekses dari state (Indonesia) dalam menjamin hak warga negara yang review-nya cukup buruk (kalau dibilang buruk atau sangat buruk, takutnya penulis yang pancasilais ini dibilang anti pancasila) juga, memang panjang sepertinya, kronologisnya belum usai. Karena sampai hari ini kebebasan dalam mengutarakan pendapat bagi citizens di negara ini, ........... begitulah.

Memahami untuk Mundur Sebelum Maju

Sebelum lebih jauh, penulis mau mencoba membawa mundur dulu sedikit gambaran yang hendak disampaikan agar mampu dicerna dengan perlahan dan asyik. Karena tidak sedikit sejarawan dan penulis buku yang penulis ketahui yang menuliskan terkait dengan interpretasi yang cukup modern di abad ke-20 ini terkait konflik Palestina-Israel, sebelum penulis berbagi yang penulis ketahui soal konsep self-determination itu dengan independent statehood yang tidak identic sama sekali.

Mengingat, penafsiran Alkitab atau biblical interpretation telah berlangsung sejak narasi pertama dari apa yang sekarang disebut “Perjanjian Lama” atau Old Testament ditulis di zaman kuno, terkait konflik. Namun, saat pencerahan menandai titik balik penting mengenai pembacaan terkait tafsir Alkitab itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah, rasionalisme dan kritik sejarah menjadi alat utama untuk menafsirkan dan memahami Kitab Suci.

Buah pertama mereka dapat ditemukan di tractatus theologico-politicus, Baruch Spinoza tahun 1670. Tak ada keraguan bahwa interpretasi Spinoza dikembangkan untuk lingkungan intelektual pada masanya, ini dapat dipelajari dari tuduhan para pengkritiknya selama tiga dekade terakhir abad ketujuh belas. Namun, karyanya ini adalah satu di antara bacaan kritis modern pertama terhadap Alkitab seperti yang kita pahami hari ini: sebagai produk manusia, terlepas dari wahyu ilahi yang mungkin ditemukan di dalamnya.

Dari akhir abad ke-18 hingga akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 kita sekarang, banyak perkembangan intelektual telah terjadi. Meski begitu, penulis tak akan mencoba untuk memajukan sintesis di sini, hanya akan membahas empat dekade terakhir penelitian alkitabiah, arkeologis dan historis untuk menilai sifat historis yang berubah dari entitas yang disebut “Israel” sebagai produk penulisan sejarah kontemporer.

Kita dapat dengan tepat menganggap pada pertengahan tahun 1970-an sebagai titik balik dalam sejarah mengenai penafsiran historis Israel kuno. Tahun-tahun ini menandai awal dari serangkaian penilaian kritis terhadap “sejarah Israel kuno” yang berlanjut hingga saat ini. Anda bisa membaca karya-karya Thomas L. Thompson dan John Van Seters yang dianggap membahayakan penerimaan historisitas narasi patriarki, dengan menggerakkan dekonstruksi progresif kisah-kisah Alkitab dalam kaitannya dengan sejarah Palestina kuno dan Timur Tengah kuno.

“Sejarah” perlahan-lahan mulai menghilang dari gambaran ilmiah (tetapi tidak sepenuhnya) dan analisis sastra semakin menjadi pusat perhatian kala itu tentu ini sangat mempengaruhi literature yang diedarkan, entah kalau di sini (Indonesia). Secara signifikan, cerita tentang para Leluhur akan kemudian digambarkan sebagai hal yang cocok dengan beragam konteks — dari milenium kedua hingga abad keenam SM — yang membuat historisitasnya sangat sulit ditentukan.

Maka tak heran, dari perspektif yang akan dikembangkan di sini, pertanyaan tentang asal-usul Israel harus diatasi hanya setelah kita menyadari bahwa asal-usul tersebut bukan “tujuan” atau topik yang harusnya dibahas lagi tetapi lebih ke “penciptaan ingatan dari masa lalu”. Berusaha menciptakan silsilah diskursif dari proses historis, tetapi kita tidak dapat menganggap bahwa proses semacam itu sebagai kesinambungan teleologis objektif dari masa lalu ke masa kini dan masa depan kita.

Rasa penjelasan sejarah diberikan oleh sejarawan, bukan oleh data apa pun. Data diberikan, bukti sejarah dibuat. Ini bisa dibaca di The Understanding in M. Foucault, 'Nietzsche, la genealogie, l'histoiree, in Hommage a Jean Hyppolite. Melacak latar belakang historiografi dari 1925 hingga 1985, kita melihat bahwa 2 (dua) pendekatan utama mendominasi penjelasan tentang bagaimana Israel muncul di Palestina Kuno, dengan yang ketiga muncul pada 1960-an.

Pada 1925 dan kemudian pada 1939, Albrecht Alt menerbitkan 2 (dua) studi di mana ia memahami kemunculan Israel sebagai infiltrasi pengembara semipastoralis ca. 1200 SM. Ada William F. Albright, yang tidak hanya membela historisitas narasi penaklukan Alkitab melalui perspektif arkeologis, tetapi juga melihat bangsa Israel sebagai pembawa budaya yang lebih tinggi di wilayah tersebut, sesuatu yang dapat diidentifikasi.

Dalam catatan arkeologis sebagai penanda etnis. Kemudian George E. Mendenhall menerbitkan sebuah artikel pendek tapi komprehensif di mana untuk pertama kalinya, Israel disebutnya sebagai entitas asli Palestina. Kemudian, Norman K. Gottwald dalam bukunya The Tribes of Yahweh dari tahun 1979, meskipun ia meremehkan peran agama dan pendekatannya memberikan peran sentral pada konflik kelas antara penguasa Kanaan dan rakyat agraris yang mana Yahudi ada di dalamnya.

Sedangkan, Niels Peter Lemche muncul, di mana sejumlah besar data sosio-antropologis dari Timur Tengah digunakan untuk membangun titik keberangkatan baru untuk memahami asal-usul Israel sebagai bagian asli yang kemudian perjalanan panjang yang membuat mereka terpisah dari tempat asalnya.

Singkatnya, peradaban israel di masa lalu ada terkait dengan Palestina Kuno namun tidak sederhana. Ditambah di tahun 1916, Britain dan Prancis menandatangani Sykes-Picot Agreement, yang membagi koloni Kekaisaran Ottoman di antara mereka. Di bawah perjanjian ini, wilayah Palestina akan dikontrol oleh Inggris.

Kemudian, tahun 1917, surat dari Arthur James Balfour kepada Lord Rothschild yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour 1917 (The Balfour Declaration) pemerintah Inggris menjanjikan “pendirian di Palestina sebuah rumah nasional untuk orang-orang Yahudi”, tetapi pada saat yang sama diperlukan dengan tak dilakukan pengurangan hak sipil dan agama dari komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina.

Ketidaksepakatan tentang imigrasi Yahudi itu datang dari Amin Al-Husseini menyebabkan pecahnya kekerasan Arab-Yahudi di Kerusuhan Palestina tahun 1920. Kekerasan berlanjut pada tahun berikutnya selama Kerusuhan Jaffa. Kekerasan meletus lagi dalam bentuk 1929 kerusuhan di palestina. Maksudnya, di tahun 1929 ada 2 (dua) pembantaian. Pembantaian Hebron (hebron massacre) dan pembantaian Safed (safed massacre), Hak Asasi Manusia (HAM) waktu itu tentu belum jadi instrument yang kini dapat dengan mudah digunakan dalam International Law.

Ada yang mati di sana, tentu tak elok juga, dijadikan alasan pembunuhan yang terus terjadi hari ini dan kita tahu bersama Israel yang lebih sedikit mendominasi ketimbang lawan politiknya dalam militer Hamas dan Iran. Ada alasannya kenapa penulis membahas hal ini, karena dari hal ini justru kita bisa bersama merumuskan semacam pertanyaan atau mempertanyakan (sekaligus) konsep erga omnes bahkan volonte generale atau kehendak umum dalam self determination. Kalau soal West Papua, Penulis mau membuat pertanyaan begini dulu, “bagaimana kemungkinan “resolusi” transisi dari individu tersebut ditransfer ke penentuan nasib sendiri secara kolektif?”

“Apa yang Bisa Otonomi Individu Lakukan Saat Berada di Bawah Kondisi Sifat Sosial Manusia?”

Georg Kohler pernah mulai dengan pertanyaan yang relevan: “apa yang bisa otonomi individu lakukan saat berada di bawah kondisi sifat sosial manusia?” Ini adalah tentang hubungan antara self-determination individu dan kolektif. Ini kita lagi roasting Rousseau yang mana ada perbedaan signifikan “kepentingan individu” dan “kolektif” itu sendiri, tidak harus saling terkait.

Kehendak umum, itu baginya apa yang seharusnya diinginkan setiap warga negara untuk kebaikan semua orang, sejauh untuk kepentingan dirinya sendiri.

Ada masalah serius dengan konsep Rousseau ini, tetapi dalam konteks yang lebih luas memperlakukannya sebagai masalah teori negara kontraktualis modern secara umum, yang sangat kontras dengan negara dalam dunia kuno, seperti zaman Aristoteles sebagai contoh. Ada ketidaksetaraan empiris, titik awal aksiomatik untuk modernitas adalah kesetaraan manusia itu sendiri.

It's a bit sudden, but listen seriously to the question, I'm about to ask and think about the answer carefully.

“are people equal or not?”

Bentuk rasional dari setara/sejajar/sederajat adalah diskrepansi dari penyempurnaan realita yang dengan sendirinya irasional. Keterampilan akademik dan kualifikasi intelektual adalah milik individu; perbedaan mengikuti sejak lahir, hirarkis bervariasi berdasarkan kebutuhan dan kondisi dengan kampanye “punya peluang yang sama bagi mereka yang berani mengambil langkah dengan melampaui apa yang diharapkan,”

Walau memang ada yang bilang Tuhan tidak menciptakan manusia ada yang di atas dan yang di bawah, kita bisa sepakat dengan hal tersebut, akan tapi itu bukan berarti bahwa setiap manusia setara.

Teori itu harus bekerja pada pertanyaan tentang bagaimana manusia otonom yang dapat menentukan diri sendiri dapat lepas dari batasan-batasan sifat sosialnya, yang membuatnya bergantung pada suatu komunitas, namun ia tetap bertahan. Fokusnya menangani pertanyaan paling intens dari dampak terbesar yang Rousseau hasilkan.

Begini, Kohler menunjukkan bahwa konsep volonte generale (kehendak umum) sama sekali tidak totaliter, tetapi ia rentan terhadap totaliterisme. Menjadi jelas bahwa Rousseau juga tidak bisa menyelesaikan masalahnya dengan pikirannya. Konsekuensi dari ini untuk membedah secara konseptualisasi apa sih yang ada dalam self-determination kolektif itu dan hak itu dari Anda sebagai individu.

Dalam pandangan ini, komunitas internasional berperilaku sangat konsisten menolak (meskipun bisa jadi karena alasan lain) untuk mendefinisikan subjek dari hak penentuan nasib sendiri itu adalah rakyat, bangsa apapun lah. Tesis Kohler ini bagus bahwa pertanyaan tentang siapa dan bagaimana dengan orang-orang dalam kerangka teori kedaulatan rakyat ini sama sekali tidak jelas dan dapat dijawab sekali; untuk semua yang gimana?

Jalan lain ya dengan untuk keadaan darurat dan subjek, mereka yang bertindak sadar dalam pencapaian mereka untuk menggantikan derivasi sistematis. ini sedikit mendekati konsep Kantian “maturity” prinsip penentuan nasib sendiri dirumuskan secara tegas yang awalnya merupakan hak individu serta perubahan hukum kelompok dimulai dengan perjuangan untuk kebebasan beragama di zamannya.

Apabila membaca The Happiness Of The Nation atau Gentis Felicitas-nya J. Amos Comenius pun terkait dengan kebahagiaan individu, kemudian dilanjutkan semua orang mencintai diri mereka sendiri. Semuanya memang berawal dari individu yang merdeka. Ia kemudian dirumuskan sebagai “kedaulatan rakyat” hingga menjadi independent statehood itu dalam Revolusi Prancis dan Perang Kemerdekaan Amerika, kemenangan atas prinsip dinasti, yang sebelumnya diakui sebagai kekuasaan yang sah.

Lanjutannya, ternyata penafsiran tentang hak kolektif untuk menentukan nasib sendiri ini merupakan kelanjutan dari meniadakan hak etnis tertentu. Dimana dimensi konsep populer mencakup bahwa “rakyat” harus dipahami dalam konteks revolusi borjuis sebagai kategori politik yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk “vertical”, yaitu kepada elit penguasa klasik (bangsawan, raja), tetapi tidak dalam bentuk “horizontal” (berbeda dengan kelompok etnis lain). Dalam konteks ini, kita sudah menemukan perbedaan penting antara definisi etnis dan politik dari istilah “bangsa”.

Penulis setuju dengan Karl Doehring, sebagai jawaban sementara untuk mendamaikan kepentingan kolektivis itu dengan individu yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri memiliki karakter hak membela diri dalam definisi jika suatu kelompok etnis didiskriminasi secara mendasar (fundamentally), justru karena karakteristik kelompoknya, maka ia memiliki hak untuk memisahkan diri.

Isu rasisme institusional dan kerugian masyarakat adat serta marginalisasi dalam ekonomi, sektor pendidikan, pasukan keamanan, serta birokrasi bisa menjadi dasar (kasus West Papua) bagi mereka untuk menentukan nasibnya sendiri. Lagipula jika berkaca mengenai apa “Indonesia” itu sih? Ya, tak perlu lagi bicara banyak mengenai isu West Papua itu, jamin hak mereka sebagai kelompok etnis satu kesatuan yang ingin dipenuhi tanpa syarat apa yang diminta, karena Indonesia adalah...

“Some people construct a large narrative related to the “Indonesian” entity that is mentioned even described as being a person, not a place, built on consensus and credibility that is considered capable of connecting all the contents of the human head. Credibility is here understood in reference to Griggs and Howarth's (2000) discussion of criteria for successful empty signifiers, itself building on Laclau's (1990, 66) which argues that credible empty signifiers are those which resonate with the historicity and tradition of the basic principles informing the organization of a group. unfortunately, that credibility has never existed since West Papua was occupied by the Indonesia govt. Indonesia as just an illusion. Period.”


Akhir kata, secara konseptual self-determination itu adalah celah yang bakal mudah di-counter bagi mereka yang jelas menentangnya karena emang ia tak identic dengan independent statehood. Namun ada alternative-nya ya itu tadi, hak karakteristiknya harus memperhatikan kelompok yang rentan dengan diskriminasi (bisa etnis tertentu) dalam skala besar (genosida dsb), secara mendasar. Anda tahu dengan baik apa yang penulis maksud terkait apa yang terjadi pada West Papuan hari-hari ini. 

Tulisan ini hanya pendapat pribadi penulis tidak merepresentasikan pandangan hukum. Apabila terdapat masalah hukum, Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih. 

Formulir Isian