layananhukum

Memahami Tertangkap Tangan Dalam Tindak Pidana Korupsi

Ilustrasi Hakim Agung Korupsi sumber gambar: hukumonline

Pengantar

Mengutip tempo, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Gufhron membenarkan pihaknya menangkap hakim agung dalam Operasi Tanpa Tangan (OTT) yang dilakukan di Jakarta dan Semarang.

“KPK bersedih harus menangkap Hakim Agung. Kasus korupsi di Lembaga Peradilan ini sangat menyedihkan. KPK sangat prihatin dan berharap ini penangkapan terakhir terhadap insan hukum,” kata Nurul Gufhron dalam keterangan tertulis, Kamis, 22 September 2022.

Ia menyayangkan penangkapan ini. Pasalnya, KPK telah melakukan pembinaan integritas di lingkungan Mahkamah Agung (MA) kepada hakim dan pejabat strukturalnya agar tidak ada korupsi di MA.

“KPK berharap ada pembenahan yang mendasar jangan hanya kucing-kucingan, berhenti sejenak ketika ada penangkapan, namun kembali kambuh setelah agak lama,” kata Nurul Gufhron. 

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan KPK sudah membawa lima orang dari Mahkamah Agung (MA) yang ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) ke Gedung Merah Putih karena diduga terlibat suap kepengurusan perkara.

“KPK menangkap beberapa pihak yang diduga sedang melakukan tindak pidana penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan perkara di MA,” kata Ali Fikri dalam keterangan tertulis, 22 September 2022. Ali Fikri mengatakan mereka ditangkap pada Rabu malam, 21 September 2022.

Dalam penangkapan itu, KPK menyita sejumlah barang, antara lain berupa uang dalam mata uang asing.

“Hingga saat ini uang itu masih dikonfirmasi ke para pihak yang ditangkap,” katanya.

Apa yang dimaksud dengan “Tertangkap Tangan”?

Mengutip tulisan Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej), S.H., M.Hum, dari laman ICW, beliau pernah menuliskan bahwa delik tertangkap tangan berasal dari zaman Romawi yang dikenal dengan istilah delictum flagrans, yang dalam perkembangannya diadopsi oleh hukum pidana Perancis yang dikenal dengan istilah flagrant delit yaitu istilah hukum yang digunakan untuk menunjukkan bahwa seorang tertangkap sesaat melakukan kejahatan. 

Ini tidak jauh berbeda yang kemudian dirumuskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tertangkap tangan adalah kedapatan waktu melakukan kejahatan atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan, atau disebut juga tertangkap basah.

Menurut Andi Hamzah[1] ada perbedaan antara betrapping op heterdaad (tertangkap basah atau bahasa Jawanya kepergok) dengan ontdekking op heterdaad (tertangkap tangan). Tertangkap tangan memiliki makna yang lebih luas meliputi satu di antaranya tertangkap basah atau tertangkap ketika melakukan suatu delik, dan juga tertangkap beberapa saat setelah melakukan delik dan barang bukti kedapatan ada padanya. 

Dalam rumusan ini dikatakan suatu delik (strafbaar feit), jadi bukan hanya kejahatan tetapi juga pelanggaran. Misalnya, pemburu liar yang melanggar peraturan perburuan, agar supaya ia lolos dari pemidanaan, ia menembak penjaga hutan. Di Indonesia bisa terjadi misalnya, orang yang melanggar peraturan lalu lintas lalu dikejar polisi dan menembak polisi itu.

Berdasarkan pengertian yang demikian tidak jauh berbeda dengan pengertian dalam kamus hukum yang mendefinisikan tertangkap tangan sebagai kedapatan waktu kejahatan sedang dilakukan atau tidak lama sesudah kejahatan dilakukan. Kendati tak sama persis pengertian tertangkap tangan antara KBBI dan kamus hukum, kedua pengertian tersebut lebih sempit apabila dibandingkan pengertian tertangkap tangan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut (“KUHAP”), menyatakan bahwa:

“Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau apabila sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.”

Sesuai dengan pengertian tertangkap tangan tersebut di atas, maka syarat seseorang dapat dikategorikan tertangkap tangan, yakni:

1.        Seorang ditangkap pada waktu sedang melakukan tindak pidana;

2.       Seseorang ditangkap dengan segera sesudah beberapa saat tindak  pidana itu dilakukan;

3.      Seseorang ditangkap sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya; atau

4.       Seseorang yang ditangkap sesaat kemudian padanya ditemukan benda hasil tindak pidana atau benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.

Syarat angka 1 (satu) sampai dengan angka 4 (empat) bersifat alternatif, sehingga satu di antara syarat sudah terpenuhi, maka sudah dikategorikan sebagai tertangkap tangan melakukan tindak pidana.[2]

Selain itu, dalam praktiknya terdapat permasalahan mengenai tafsiran berapa lama yang dimaksud dari frasa “sesudah beberapa saat” dan “sesaat kemudian”, tergantung penafsiran aparat dalam konteks tertangkap tangan.

Tertangkap tangan merupakan kondisi istimewa dalam bentuk penangkapan, hal yang membedakan dari penangkapan adalah pada tertangkap tangan tidak diperlukan adanya surat perintah penangkapan.

Sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.”

Penangkapan pada tertangkap tangan merupakan penyimpangan dari asas legalitas, di mana penangkapan tidak membutuhkan surat perintah penangkapan. Tindakan penangkapan dalam perkara tertangkap tangan wajib dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan penyidik wajib membuat berita acara penangkapan setelah melakukan penangkapan.

Merujuk kepada Pasal 18 ayat (2) di atas dan Pasal 111 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan berserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik.”

Yang pada intinya, dalam hal tertangkap tangan, penangkapan harus disertai dengan barang bukti pada saat penangkapan. Masih berdasarkan ketentuan di atas para pihak yang dapat melakukan penangkapan pada tertangkap tangan adalah sebagai berikut:

1.        Setiap orang tanpa terkecuali, diberi hak untuk menangkap;

2.       Bagi setiap orang atau pejabat yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman, dan keamanan umum dibebani kewajiban untuk menangkap pelaku perbuatan pidana guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik.

Setiap orang tanpa terkecuali diberi hak untuk menangkap, ketentuan ini mengisyaratkan bahwa setiap orang yang mengetahui perbuatan pidana dapat menggunakan haknya untuk menangkap pelaku, demikian juga dapat tidak menggunakan haknya untuk tidak menangkap pelaku.

Kata “hak” sebagaimana ketentuan Pasal 111 ayat (1) KUHAP bukan kewajiban melainkan hak. Sedangkan bagi setiap orang atau pejabat yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman, dan keamanan umum, wajib menangkap pelaku perbuatan pidana dan menyerahkan pelaku berikut dengan barang buktinya kepada penyelidik atau penyidik.

Pejabat yang mempunyai berwenang di sini dapat juga dikaitkan dengan ketentuan Pasal 102 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b.”

Setelah kita menguraikan seputar kondisi tertangkap tangan, kini kita coba bandingkan definisi tertangkap tangan menurut KUHAP dengan apa yang selama ini dilakukan oleh KPK yang sering kita kenal dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT), pertanyaannya apakah OTT sama dengan tertangkap tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 19 KUHAP?

Memahami Dasar Hukum Operasi Tangkap Tangan dan Teknik Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Begini, tipe atau kualitas sasaran korupsi bukan merupakan tindak pidana yang sederhana dari sudut pelaku dan modus operandinya. Ada bermacam-macam istilah yang digunakan untuk menyebut tindak pidana korupsi, di antaranya adalah sebagai satu di antara bentuk dari crime as bussinesseconomic crimeswhite collar crimeofficial crime, atau abuse of power.[3] Modus operandi korupsi secara umum adalah pemberian suap (bribery), pemalsuan (fraud), pemerasan (exortion), penyalahgunaan jabatan atau wewenang (abuse or discretion), dan nepotisme (nepotism).[4]

Dalam konteks hukum pidana, korupsi merupakan tindak pidana yang sulit dibuktikan. Dalam kasus suap misalnya, biasanya antara pemberi suap dan penerima suap melakukan silent operation untuk mewujudkan kejahatan tersebut. Bahkan sedapat mungkin meniadakan bukti-bukti bahwa tindak pidana tersebut telah dilakukan.

KPK memiliki sistem untuk melakukan penanggulangan kasus korupsi yaitu dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Tidak dapat dipungkiri bahwa terungkapnya banyak kasus korupsi, seperti suap impor daging sapi yang menyeret mantan Ketua Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dan suap SKK Migas yang melibatkan Rudi Rubiandini, tidak terlepas dari Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) ada 2 (dua) teknik yang digunakan oleh KPK yaitu penyadapan (tapping) dan penjebakan (entrapment) atau undercover.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi selanjutnya disebut dengan (“Undang-Undang tentang KPK”) hanya menyebut kewenangan melakukan penyadapan, (vide Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang tentang KPK) akan tetapi tidak mengatur prosedurnya, sedangkan penjebakan tidak dikenal dalam berbagai aturan tentang korupsi di Indonesia. Akibatnya dalam penggunaannya, kedua teknik tersebut sering menimbulkan pendapat bahwa KPK melakukan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Adapun bunyi Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang tentang KPK, sebagai berikut:

“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan.”

Ketidakjelasan mengenai mekanisme dan batasan kewenangan penyadapan yang dilakukan oleh KPK tersebut memunculkan asumsi sebagian orang bahwa kewenangan penyadapan oleh KPK tersebut telah melanggar hukum bahkan melanggar HAM yakni melanggar hak privasi seseorang.

Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi seperti:

1.        Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-I/2003 mengenai Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.       Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 mengenai Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan

3.      Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU-VIII/2010 mengenai Pengujian Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bahwa berkaitan dengan penyadapan, antara lain mengatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang tentang KPK mengenai kewenangan KPK dalam penyadapan bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD NRI Tahun 1945”), yang menyebutkan bahwa:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari rasa ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Namun, MK menjelaskan hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan menggunakan Undang-Undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

MK mengamanatkan untuk membentuk satu aturan tentang mekanisme dan prosedur penyadapan yang berisi syarat-syarat:

1.        Adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang-Undang untuk memberikan izin penyadapan;

2.       Adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan;

3.      Pembatasan penanganan materi hasil penyadapan; dan

4.       Pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. tertangkap tangan yang dilakukan oleh KPK bersifat khusus karena KPK mempunyai kewenangan melakukan penyadapan.

Hingga akhirnya sejak tanggal 17 Oktober 2019 berlakulah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana ditambahnya ketentuan Pasal 12B Undang-Undang tentang KPK, yang menyebutkan bahwa:

(1)      Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.

(2)     Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3)    Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak permintaan diajukan.

(4)     Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyadapan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.

Kemudian Pasal 12C Undang-Undang tentang KPK, yang menyatakan bahwa:

(1)         Penyelidik dan penyidik melaporkan Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang sedang berlangsung kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala.

(2)        Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan. 

Yang kemudian, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membatalkan kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Sebab, kewenangan itu merupakan tindakan Pro Justitia yang hanya boleh dilakukan aparat penegak hukum.

Sejak putusan ini, tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan oleh KPK cukup diberitahukan kepada Dewas KPK. Demikian satu di antara poin penting bunyi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 terkait pengujian materil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid dan sejumlah dosen Fakultas Hukum UII tersebut. Fathul Wahid dkk memohon pengujian Pasal 1 angka 3; Pasal 3; Pasal 12 B; Pasal 24; Pasal 37 B ayat (1) huruf B; Pasal 40 ayat (1); Pasal 45 a ayat (3); dan Pasal 47 Undang-Undang tentang KPK. Dalam permohonannya, Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang tentang KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

Para Pemohon beralasan hal tersebut karena penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan merupakan tindakan pro justitia, sehingga tidak tepat jika kewenangan memberikan izin atas tindakan-tindakan tersebut dimiliki Dewas KPK.

Dalam amar putusannya, Mahkamah membatalkan berlakunya Pasal 12B, Pasal 37 B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang tentang KPK karena bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menerangkan Pasal 12 Undang-Undang tentang KPK, tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan merupakan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada KPK dalam proses peradilan (Pro Justitia).

Ketentuan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang tentang KPK, penyadapan oleh KPK harus mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Dijelaskan Mahkamah, kedudukan Dewan Pengawas dalam UU KPK adalah bagian dari internal KPK. Dewan Pengawas bertugas sebagai pengawas guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) sepanjang tidak berkenaan dengan kewenangan yudisial (Pro Justitia).

Sebagai salah satu unsur dari KPK, Dewan Pengawas bertugas dan berwenang mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Dalam pengertian demikian, kedudukan Dewan Pengawas tidak bersifat hierarkis dengan Pimpinan KPK, sehingga dalam desain besar pemberantasan korupsi keduanya tidak saling membawahi, namun saling bersinergi menjalankan fungsi masing-masing.

Mahkamah menilai adanya ketentuan yang mengharuskan KPK meminta izin kepada Dewan Pengawas sebelum penyadapan tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan check and balances. Sebab, pada dasarnya Dewan Pengawas bukanlah aparat penegak hukum sebagaimana kewenangan yang dimiliki Pimpinan KPK dan karenanya Dewan Pengawas tidak memiliki kewenangan terkait dengan tindakan Pro Justitia.

Menurut Mahkamah, adanya kewajiban Pimpinan KPK mendapatkan izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan merupakan bentuk nyata tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum, khususnya kewenangan pro justitia yang seharusnya hanya dimiliki lembaga atau aparat penegak hukum. Kewajiban mendapatkan izin Dewan Pengawas juga merupakan bentuk campur tangan (intervensi) terhadap aparat penegak hukum oleh lembaga yang melaksanakan fungsi di luar penegakan hukum.

Karena itu, bagi Mahkamah tidak diperlukan lagi izin penyadapan oleh KPK dari Dewan Pengawas sebagaimana ditentukan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang tentang KPK, sehingga pasal ini harus dinyatakan inkonstitusional. Selanjutnya sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap norma Pasal 12B ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang tentang KPK tidak relevan lagi untuk dipertahankan dan harus dinyatakan pula inkonstitusional. 

Sebagai konsekuensi yuridis, Dewan Pengawas tidak dapat mencampuri kewenangan yudisial/pro justitia dan terhadap Pasal 12B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dinyatakan inkonstitusional, maka frasa “dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas” dalam Pasal 12C ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus pula dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai menjadi “diberitahukan kepada Dewan Pengawas”.

Sebagaimana akan serangkaian yang sudah kami paparkan di atas, Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK tidak dapat disamakan dengan istilah tertangkap tangan dalam KUHAP, karena dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK, sebenarnya KPK telah mengintai dan mempersiapkan dari sejak awal proses penangkapan. Dalam proses Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK tersebut, sejatinya tidak dalam kondisi “tertangkap” melainkan “ditangkap” karena telah diintai dari sebelumnya.

Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Oleh karena Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat dipersamakan dengan kondisi tertangkap tangan menurut Pasal 1 Angka 19 KUHAP, maka KPK wajib dibekali dengan surat perintah penangkapan karena proses penangkapan setelah didahului dengan penyelidikan dan pengintaian. (vide Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)

Terdapat beberapa perbedaan antara kondisi tertangkap tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 19 KUHAP dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK sebagai berikut:

1.        Dalam tertangkap tangan petugas maupun masyarakat tidak mengetahui akan terjadi tindak pidana, sehingga petugas atau masyarakat mengetahuinya secara kebetulan, sedangkan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK tindak pidana telah diketahui sebelumnya dan memang dalam objek pengintaian KPK;

2.       Dalam tertangkap tangan, tindak pidana pada umumnya terjadi di hadapan publik dan dapat disaksikan secara langsung oleh masyarakat umum, sedangkan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK hanya pihak  KPK saja yang mengetahui adanya tindak pidana tersebut;

3.      Dalam tertangkap tangan, pihak yang melakukan penangkapan bisa siapa saja karena tindak pidana dan penangkapan terjadi secara spontan, sedangkan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK tindak pidana telah dalam pengintaian sebelumnya, sehingga petugas yang melakukan penangkapan adalah petugas khusus yang telah dipersiapkan oleh KPK;

4.       Dalam hal tertangkap tangan, tidak diperlukan adanya surat perintah penangkapan karena tindak pidana terjadi secara tiba-tiba dan penangkapan pada umumnya dilakukan bukan oleh penyidik, sedangkan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK penangkapan dilakukan oleh petugas KPK sehingga tetap memerlukan surat perintah penangkapan.

Meskipun secara sifat dan mekanismenya berbeda, namun juga terdapat beberapa kesamaan antara tertangkap tangan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK yang dilakukan KPK yaitu:

1.        Baik tertangkap tangan maupun OTT oleh KPK dilakukan pada saat sedang terjadi tindak pidana atau sesaat setelah terjadi tindak pidana;

2.       Baik tertangkap tangan maupun OTT oleh KPK, proses penangkapannya bersamaan dengan penyitaan barang buktinya, atau setidak-tidaknya didapatkan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang terjadi pidana.

Harus dipahami bahwa perekaman atau penyadapan harus dilihat terpisah dari penangkapan, ada dugaan tindak pidana korupsi. Sudah menjadi kewenangan KPK melakukan penyadapan dan perekaman akan tetapi serangkaian tidakan tersebut bukan pada tahap penyidikan, melainkan penyelidikan. Penyelidikan adalah tahap awal proses perkara pidana sebelum penyidikan. Artinya, penyadapan dilakukan masih pada tahap untuk menentukan ada tidaknya suatu tindak pidana untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.


[1] Andi Hamzah, “Delik-Delik Tertentu (speciale delicten) di dalam KUHP”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), 49.

[2] Rafika Nur, “Sistem Peradilan Pidana”, (Gorontalo: Penerbit CV Cahaya Arsh Publisher & Printing), 103.

[3] Elwi Danil, “Korupsi Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2012), 61.

[4] Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Pena Multi Media, 2008), 20.

Formulir Isian