Ilustrasi Hakim Agung Korupsi sumber gambar: hukumonline |
Pengantar
Mengutip tempo,
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Gufhron membenarkan
pihaknya menangkap hakim agung dalam Operasi Tanpa Tangan (OTT) yang dilakukan
di Jakarta dan Semarang.
“KPK bersedih harus menangkap Hakim Agung. Kasus
korupsi di Lembaga Peradilan ini sangat menyedihkan. KPK sangat prihatin dan
berharap ini penangkapan terakhir terhadap insan hukum,” kata Nurul Gufhron
dalam keterangan tertulis, Kamis, 22 September 2022.
Ia menyayangkan penangkapan ini. Pasalnya, KPK telah
melakukan pembinaan integritas di lingkungan Mahkamah Agung (MA) kepada hakim
dan pejabat strukturalnya agar tidak ada korupsi di MA.
“KPK berharap ada pembenahan yang mendasar jangan
hanya kucing-kucingan, berhenti sejenak ketika ada penangkapan, namun kembali
kambuh setelah agak lama,” kata Nurul Gufhron.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan KPK
sudah membawa lima orang dari Mahkamah Agung (MA) yang ditangkap dalam Operasi
Tangkap Tangan (OTT) ke Gedung Merah Putih karena diduga terlibat suap
kepengurusan perkara.
“KPK menangkap beberapa pihak yang diduga sedang
melakukan tindak pidana penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan perkara
di MA,” kata Ali Fikri dalam keterangan tertulis, 22 September 2022. Ali Fikri
mengatakan mereka ditangkap pada Rabu malam, 21 September 2022.
Dalam penangkapan itu, KPK menyita sejumlah barang,
antara lain berupa uang dalam mata uang asing.
“Hingga saat ini uang itu masih dikonfirmasi ke para
pihak yang ditangkap,” katanya.
Apa yang dimaksud dengan “Tertangkap Tangan”?
Mengutip tulisan Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej
(Eddy Hiariej), S.H., M.Hum, dari laman ICW,
beliau pernah menuliskan bahwa delik tertangkap tangan berasal dari zaman
Romawi yang dikenal dengan istilah delictum flagrans, yang dalam
perkembangannya diadopsi oleh hukum pidana Perancis yang dikenal dengan
istilah flagrant delit yaitu istilah hukum yang digunakan
untuk menunjukkan bahwa seorang tertangkap sesaat melakukan kejahatan.
Ini tidak jauh berbeda yang kemudian dirumuskan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tertangkap tangan adalah
kedapatan waktu melakukan kejahatan atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan,
atau disebut juga tertangkap basah.
Menurut Andi Hamzah[1] ada
perbedaan antara betrapping op heterdaad (tertangkap basah
atau bahasa Jawanya kepergok) dengan ontdekking op heterdaad (tertangkap
tangan). Tertangkap tangan memiliki makna yang lebih luas meliputi satu di
antaranya tertangkap basah atau tertangkap ketika melakukan suatu delik, dan
juga tertangkap beberapa saat setelah melakukan delik dan barang bukti
kedapatan ada padanya.
Dalam rumusan ini dikatakan suatu delik (strafbaar
feit), jadi bukan hanya kejahatan tetapi juga pelanggaran. Misalnya,
pemburu liar yang melanggar peraturan perburuan, agar supaya ia lolos dari
pemidanaan, ia menembak penjaga hutan. Di Indonesia bisa terjadi misalnya,
orang yang melanggar peraturan lalu lintas lalu dikejar polisi dan menembak
polisi itu.
Berdasarkan pengertian yang demikian tidak jauh
berbeda dengan pengertian dalam kamus hukum yang mendefinisikan tertangkap
tangan sebagai kedapatan waktu kejahatan sedang dilakukan atau tidak lama
sesudah kejahatan dilakukan. Kendati tak sama persis pengertian tertangkap
tangan antara KBBI dan kamus hukum, kedua pengertian tersebut lebih sempit
apabila dibandingkan pengertian tertangkap tangan berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 19
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
selanjutnya disebut (“KUHAP”), menyatakan bahwa:
“Tertangkap
tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana,
atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau
apabila sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang
melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga
keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan
bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak
pidana itu.”
Sesuai dengan pengertian tertangkap tangan tersebut di
atas, maka syarat seseorang dapat dikategorikan tertangkap tangan, yakni:
1.
Seorang ditangkap
pada waktu sedang melakukan tindak pidana;
2.
Seseorang
ditangkap dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu
dilakukan;
3.
Seseorang
ditangkap sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang
melakukannya; atau
4.
Seseorang yang
ditangkap sesaat kemudian padanya ditemukan benda hasil tindak pidana atau
benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.
Syarat angka 1 (satu) sampai dengan angka 4 (empat)
bersifat alternatif, sehingga satu di antara syarat sudah terpenuhi, maka sudah
dikategorikan sebagai tertangkap tangan melakukan tindak pidana.[2]
Selain itu, dalam praktiknya terdapat permasalahan mengenai tafsiran berapa lama yang dimaksud dari frasa “sesudah beberapa saat” dan “sesaat kemudian”, tergantung penafsiran aparat dalam konteks tertangkap tangan.
Tertangkap tangan merupakan kondisi istimewa dalam
bentuk penangkapan, hal yang membedakan dari penangkapan adalah pada tertangkap
tangan tidak diperlukan adanya surat perintah penangkapan.
Sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (2)
KUHAP, yang menyatakan bahwa:
“Dalam
hal tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang
bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.”
Penangkapan pada tertangkap tangan merupakan
penyimpangan dari asas legalitas, di mana penangkapan tidak membutuhkan surat
perintah penangkapan. Tindakan penangkapan dalam perkara tertangkap tangan
wajib dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan penyidik wajib membuat berita acara penangkapan setelah melakukan
penangkapan.
Merujuk kepada Pasal 18 ayat (2) di
atas dan Pasal 111 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa:
“Dalam
hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang
mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum
wajib, menangkap tersangka guna diserahkan berserta atau tanpa barang bukti
kepada penyelidik atau penyidik.”
Yang pada intinya, dalam hal tertangkap tangan,
penangkapan harus disertai dengan barang bukti pada saat penangkapan. Masih
berdasarkan ketentuan di atas para pihak yang dapat melakukan penangkapan pada
tertangkap tangan adalah sebagai berikut:
1.
Setiap orang
tanpa terkecuali, diberi hak untuk menangkap;
2.
Bagi setiap orang
atau pejabat yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman, dan
keamanan umum dibebani kewajiban untuk menangkap pelaku perbuatan pidana guna
diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik.
Setiap orang tanpa terkecuali diberi hak untuk
menangkap, ketentuan ini mengisyaratkan bahwa setiap orang yang mengetahui
perbuatan pidana dapat menggunakan haknya untuk menangkap pelaku, demikian juga
dapat tidak menggunakan haknya untuk tidak menangkap pelaku.
Kata “hak” sebagaimana ketentuan Pasal 111
ayat (1) KUHAP bukan kewajiban melainkan hak. Sedangkan bagi
setiap orang atau pejabat yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban,
ketentraman, dan keamanan umum, wajib menangkap pelaku perbuatan pidana dan
menyerahkan pelaku berikut dengan barang buktinya kepada penyelidik atau
penyidik.
Pejabat yang mempunyai berwenang di sini dapat juga
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 102 ayat (2) KUHAP, yang
menyatakan bahwa:
“Dalam
hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera
melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana
tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b.”
Setelah kita menguraikan seputar kondisi tertangkap
tangan, kini kita coba bandingkan definisi tertangkap tangan menurut KUHAP
dengan apa yang selama ini dilakukan oleh KPK yang sering kita kenal dengan
Operasi Tangkap Tangan (OTT), pertanyaannya apakah OTT sama dengan tertangkap
tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 19 KUHAP?
Memahami Dasar Hukum Operasi Tangkap Tangan dan Teknik Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Begini, tipe atau kualitas sasaran korupsi bukan merupakan tindak pidana yang sederhana dari sudut pelaku dan modus operandinya. Ada bermacam-macam istilah yang digunakan untuk menyebut tindak pidana korupsi, di antaranya adalah sebagai satu di antara bentuk dari crime as bussiness, economic crimes, white collar crime, official crime, atau abuse of power.[3] Modus operandi korupsi secara umum adalah pemberian suap (bribery), pemalsuan (fraud), pemerasan (exortion), penyalahgunaan jabatan atau wewenang (abuse or discretion), dan nepotisme (nepotism).[4]
Dalam konteks hukum pidana, korupsi merupakan tindak
pidana yang sulit dibuktikan. Dalam kasus suap misalnya, biasanya antara
pemberi suap dan penerima suap melakukan silent operation untuk
mewujudkan kejahatan tersebut. Bahkan sedapat mungkin meniadakan bukti-bukti
bahwa tindak pidana tersebut telah dilakukan.
KPK memiliki sistem untuk melakukan penanggulangan
kasus korupsi yaitu dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Tidak dapat dipungkiri
bahwa terungkapnya banyak kasus korupsi, seperti suap impor daging sapi yang
menyeret mantan Ketua Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dan suap
SKK Migas yang melibatkan Rudi Rubiandini, tidak terlepas dari Operasi Tangkap
Tangan (OTT).
Dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) ada 2
(dua) teknik yang digunakan oleh KPK yaitu penyadapan (tapping)
dan penjebakan (entrapment) atau undercover.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi selanjutnya disebut dengan (“Undang-Undang
tentang KPK”) hanya menyebut kewenangan melakukan penyadapan, (vide Pasal
12 ayat (1) Undang-Undang tentang KPK) akan tetapi tidak
mengatur prosedurnya, sedangkan penjebakan tidak dikenal dalam berbagai aturan
tentang korupsi di Indonesia. Akibatnya dalam penggunaannya, kedua teknik
tersebut sering menimbulkan pendapat bahwa KPK melakukan pelanggaran hukum dan
Hak Asasi Manusia (HAM).
Adapun bunyi Pasal 12 ayat (1)
Undang-Undang tentang KPK, sebagai berikut:
“Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan.”
Ketidakjelasan mengenai mekanisme dan batasan
kewenangan penyadapan yang dilakukan oleh KPK tersebut memunculkan asumsi
sebagian orang bahwa kewenangan penyadapan oleh KPK tersebut telah melanggar
hukum bahkan melanggar HAM yakni melanggar hak privasi seseorang.
Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi seperti:
1.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-I/2003 mengenai Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 mengenai Permohonan Pengujian Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
3.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU-VIII/2010 mengenai Pengujian Pasal 31 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa berkaitan dengan penyadapan, antara lain
mengatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang tentang KPK mengenai
kewenangan KPK dalam penyadapan bertentangan dengan Pasal 28G ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD
NRI Tahun 1945”), yang menyebutkan bahwa:
“Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari rasa ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.”
Namun, MK menjelaskan hak privasi bukanlah bagian dari
hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable
rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan
hak-hak tersebut dengan menggunakan Undang-Undang, sebagaimana diatur
dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
MK mengamanatkan untuk membentuk satu aturan tentang
mekanisme dan prosedur penyadapan yang berisi syarat-syarat:
1.
Adanya otoritas
resmi yang ditunjuk dalam Undang-Undang untuk memberikan izin penyadapan;
2.
Adanya jaminan
jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan;
3.
Pembatasan
penanganan materi hasil penyadapan; dan
4.
Pembatasan
mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. tertangkap tangan yang
dilakukan oleh KPK bersifat khusus karena KPK mempunyai kewenangan melakukan
penyadapan.
Hingga akhirnya sejak tanggal 17 Oktober 2019
berlakulah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana ditambahnya ketentuan Pasal
12B Undang-Undang tentang KPK, yang menyebutkan bahwa:
(1)
Penyadapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan
izin tertulis dari Dewan Pengawas.
(2)
Untuk
mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
permintaan secara tertulis dari Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3)
Dewan Pengawas
dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
permintaan diajukan.
(4)
Dalam hal
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Dewan
Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyadapan dilakukan paling lama 6
(enam) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1
(satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
Kemudian Pasal 12C Undang-Undang tentang
KPK, yang menyatakan bahwa:
(1)
Penyelidik dan
penyidik melaporkan Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
yang sedang berlangsung kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara
berkala.
(2)
Penyadapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan
harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
Penyadapan selesai dilaksanakan.
Yang kemudian, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membatalkan kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Sebab, kewenangan itu merupakan tindakan Pro Justitia yang hanya boleh dilakukan aparat penegak hukum.
Sejak putusan ini, tindakan penyadapan, penggeledahan,
dan/atau penyitaan oleh KPK cukup diberitahukan kepada Dewas KPK. Demikian satu
di antara poin penting bunyi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
70/PUU-XVII/2019 terkait pengujian materil Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid dan sejumlah dosen
Fakultas Hukum UII tersebut. Fathul Wahid dkk memohon pengujian Pasal 1 angka
3; Pasal 3; Pasal 12 B; Pasal 24; Pasal 37 B ayat (1) huruf B; Pasal 40 ayat
(1); Pasal 45 a ayat (3); dan Pasal 47 Undang-Undang tentang KPK.
Dalam permohonannya, Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat
(1) Undang-Undang tentang KPK bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) UUD NRI 1945.
Para Pemohon beralasan hal tersebut karena penyadapan,
penggeledahan, dan/atau penyitaan merupakan tindakan pro justitia,
sehingga tidak tepat jika kewenangan memberikan izin atas tindakan-tindakan
tersebut dimiliki Dewas KPK.
Dalam amar putusannya, Mahkamah membatalkan
berlakunya Pasal 12B, Pasal 37 B ayat (1) huruf b, dan Pasal
47 ayat (2) Undang-Undang tentang KPK karena bertentangan
dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menerangkan Pasal
12 Undang-Undang tentang KPK, tindakan penyadapan, penggeledahan,
dan/atau penyitaan merupakan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada KPK
dalam proses peradilan (Pro Justitia).
Ketentuan Pasal 12B ayat
(1) Undang-Undang tentang KPK, penyadapan oleh KPK harus
mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Dijelaskan Mahkamah, kedudukan
Dewan Pengawas dalam UU KPK adalah bagian dari internal KPK. Dewan Pengawas
bertugas sebagai pengawas guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan (abuse
of power) sepanjang tidak berkenaan dengan kewenangan yudisial (Pro
Justitia).
Sebagai salah satu unsur dari KPK, Dewan Pengawas
bertugas dan berwenang mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Dalam
pengertian demikian, kedudukan Dewan Pengawas tidak bersifat hierarkis dengan
Pimpinan KPK, sehingga dalam desain besar pemberantasan korupsi keduanya tidak
saling membawahi, namun saling bersinergi menjalankan fungsi masing-masing.
Mahkamah menilai adanya ketentuan yang mengharuskan
KPK meminta izin kepada Dewan Pengawas sebelum penyadapan tidak dapat dikatakan
sebagai pelaksanaan check and balances. Sebab, pada dasarnya Dewan
Pengawas bukanlah aparat penegak hukum sebagaimana kewenangan yang dimiliki
Pimpinan KPK dan karenanya Dewan Pengawas tidak memiliki kewenangan terkait
dengan tindakan Pro Justitia.
Menurut Mahkamah, adanya kewajiban Pimpinan KPK
mendapatkan izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan merupakan bentuk
nyata tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum, khususnya kewenangan pro
justitia yang seharusnya hanya dimiliki lembaga atau aparat penegak hukum.
Kewajiban mendapatkan izin Dewan Pengawas juga merupakan bentuk campur tangan
(intervensi) terhadap aparat penegak hukum oleh lembaga yang melaksanakan
fungsi di luar penegakan hukum.
Karena itu, bagi Mahkamah tidak diperlukan lagi izin
penyadapan oleh KPK dari Dewan Pengawas sebagaimana ditentukan Pasal
12B ayat (1) Undang-Undang tentang KPK, sehingga pasal ini harus
dinyatakan inkonstitusional. Selanjutnya sebagai konsekuensi yuridisnya
terhadap norma Pasal 12B ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) Undang-Undang tentang KPK tidak relevan lagi untuk
dipertahankan dan harus dinyatakan pula inkonstitusional.
Sebagai konsekuensi yuridis, Dewan Pengawas tidak
dapat mencampuri kewenangan yudisial/pro justitia dan
terhadap Pasal 12B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dinyatakan
inkonstitusional, maka frasa “dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas” dalam Pasal
12C ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi harus pula dinyatakan inkonstitusional sepanjang
tidak dimaknai menjadi “diberitahukan kepada Dewan Pengawas”.
Sebagaimana akan serangkaian yang sudah kami paparkan
di atas, Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK tidak dapat disamakan dengan
istilah tertangkap tangan dalam KUHAP, karena dalam Operasi Tangkap Tangan
(OTT) oleh KPK, sebenarnya KPK telah mengintai dan mempersiapkan dari sejak
awal proses penangkapan. Dalam proses Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK
tersebut, sejatinya tidak dalam kondisi “tertangkap” melainkan “ditangkap”
karena telah diintai dari sebelumnya.
Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Oleh karena Operasi Tangkap Tangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat dipersamakan dengan kondisi tertangkap
tangan menurut Pasal 1 Angka 19 KUHAP, maka KPK wajib
dibekali dengan surat perintah penangkapan karena proses penangkapan setelah
didahului dengan penyelidikan dan pengintaian. (vide Pasal 38
ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi)
Terdapat beberapa perbedaan antara kondisi tertangkap
tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 19 KUHAP dengan
Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK sebagai berikut:
1.
Dalam tertangkap
tangan petugas maupun masyarakat tidak mengetahui akan terjadi tindak pidana,
sehingga petugas atau masyarakat mengetahuinya secara kebetulan, sedangkan
dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK tindak pidana telah diketahui
sebelumnya dan memang dalam objek pengintaian KPK;
2.
Dalam tertangkap
tangan, tindak pidana pada umumnya terjadi di hadapan publik dan dapat
disaksikan secara langsung oleh masyarakat umum, sedangkan dalam Operasi
Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK hanya pihak KPK saja yang mengetahui adanya
tindak pidana tersebut;
3.
Dalam tertangkap
tangan, pihak yang melakukan penangkapan bisa siapa saja karena tindak pidana
dan penangkapan terjadi secara spontan, sedangkan dalam Operasi Tangkap Tangan
(OTT) oleh KPK tindak pidana telah dalam pengintaian sebelumnya, sehingga
petugas yang melakukan penangkapan adalah petugas khusus yang telah
dipersiapkan oleh KPK;
4.
Dalam hal
tertangkap tangan, tidak diperlukan adanya surat perintah penangkapan karena
tindak pidana terjadi secara tiba-tiba dan penangkapan pada umumnya dilakukan
bukan oleh penyidik, sedangkan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK
penangkapan dilakukan oleh petugas KPK sehingga tetap memerlukan surat perintah
penangkapan.
Meskipun secara sifat dan mekanismenya berbeda, namun
juga terdapat beberapa kesamaan antara tertangkap tangan dengan Operasi Tangkap
Tangan (OTT) oleh KPK yang dilakukan KPK yaitu:
1.
Baik tertangkap
tangan maupun OTT oleh KPK dilakukan pada saat sedang terjadi tindak pidana
atau sesaat setelah terjadi tindak pidana;
2.
Baik tertangkap
tangan maupun OTT oleh KPK, proses penangkapannya bersamaan dengan penyitaan
barang buktinya, atau setidak-tidaknya didapatkan benda yang berhubungan dengan
tindak pidana yang terjadi pidana.
Harus dipahami bahwa perekaman atau penyadapan harus
dilihat terpisah dari penangkapan, ada dugaan tindak pidana korupsi. Sudah
menjadi kewenangan KPK melakukan penyadapan dan perekaman akan tetapi
serangkaian tidakan tersebut bukan pada tahap penyidikan, melainkan
penyelidikan. Penyelidikan adalah tahap awal proses perkara pidana sebelum
penyidikan. Artinya, penyadapan dilakukan masih pada tahap untuk menentukan ada
tidaknya suatu tindak pidana untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1] Andi Hamzah, “Delik-Delik Tertentu (speciale
delicten) di dalam KUHP”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), 49.
[2] Rafika Nur, “Sistem Peradilan Pidana”,
(Gorontalo: Penerbit CV Cahaya Arsh Publisher & Printing), 103.
[3] Elwi Danil, “Korupsi Konsep, Tindak
Pidana, dan Pemberantasannya”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2012), 61.
[4] Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta: Pena Multi Media, 2008), 20.