Ilustrasi Pajak Daerah |
Apakah benar dalam proses jual beli tanah pihak penjual dikenai BPHTB 2,5%
jika NPOPnya di bawah NPOPTKP? Jika benar penjual dikenai BPHTB 2,5%. Kenapa
pada SPTPD nya tertulis Rp. 0,-.? Mohon pencerahannya.
Jawaban
Pengantar
Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan tidak terbatas terkait konstruksi
dan infrastruktur fisik di segala bidang, akan tetapi juga pembangunan dan
perkembangan kebutuhan akan ketersediaannya tanah dan bangunan dalam
aktivitas pembangunan dan perkembangan ekonomi makro hingga mikro yang
kemudian menciptakan manfaat ekonomi dari hasil tanah tersebut
bagi pemiliknya.
Sehingga sudah sewajarnya dikenakan pajak oleh negara, mengenai pajak
tersebut untuk menambah pemahaman Anda dapat membaca tulisan kami yang
berjudul “Pengantar Hukum Pajak” yang dalam hal ini, satu di antara Pajak tersebut yang kemudian
dikenal dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Sesuai sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyatakan bahwa:
“Bumi, dan air, dan kekayaan dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Adanya pengaturan mengenai BPHTB ini telah ada sejak tahun 1924, namun pada
saat itu disebut Bea Balik Nama Harta Tetap, sebagaimana diatur
dalam Ordonansi Bea Balik Nama Harta Tetap 1924 (Staatblad 1924 Nomor 291). Dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut
lagi.
Sedangkan, ketentuan mengenai pengenaan Pajak Atas Akta Pendaftaran dan
Pemindahan Kapal yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 masih tetap berlaku, dan sebagai pengganti dari Bea Balik Nama atas
Hak Harta Tetap tersebut yang tidak dipungut lagi digantikan dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku terhitung sejak 1
Januari 2011 oleh Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi
Daerah yang selanjutnya disebut sebagai (“UU PDRD”). (vide Pasal 180 Angka 6 Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak
Daerah Dan Retribusi Daerah)
Akan tetapi “UU PDRD” sebagaimana yang tersebut di atas dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Kemudian disebutkan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah serta Pajak dan Retribusi dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. (vide Pasal 189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah)
Artinya, peraturan perundang-undangan di sini tidak terbatas hanya mengenai
Undang-Undang saja, akan tetapi juga Peraturan perundang-undangan
sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf, c, d, e, f, dan g Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, antara lain:
-
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
-
Peraturan Pemerintah;
-
Peraturan Presiden;
-
Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pemahaman ini penting untuk pembahasan kami selanjutnya. Mengingat bahwa
sebagaimana ketentuan Pasal 192 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa:
“Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2
(dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.”
Definisi, Subjek, dan Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan
Sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa:
“Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB
adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.”
BPHTB adalah satu di antara pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.[1] Subjek Pajak BPHTB
adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Kemudian, Subjek BPHTB
ini yang kemudian disebut sebagai Wajib Pajak BPHTB.[2] Yang harus dipahami bahwa objek BPHTB adalah Perolehan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan tersebut meliputi:
1)
Adanya Pemidahan Hak Karena:
1.
Jual beli;
2.
Tukar-menukar;
3.
Hibah;
4.
Hibah wasiat;
5.
Waris;
6.
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7.
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8.
Penunjukan pembeli dalam lelang;
9.
Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10.
Penggabungan usaha;
11.
Peleburan usaha;
12.
Pemekaran usaha; atau
13.
Hadiah; dan
2)
Pemberian Hak Baru Karena:
1.
Kelanjutan pelepasan hak; atau
2.
Di luar pelepasan hak.[3]
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan tersebut antara lain meliputi:
a.
Hak Milik (HM);
b.
Hak Guna Usaha(HGU);
c.
Hak Guna Bangunan (HGB);
d.
Hak Pakai;
e.
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun; dan
f. Hak pengelolaan.
Kemudian yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan yang:
a.
Untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan
lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang
milik Daerah;
b.
Oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
c.
Untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas
badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan
Menteri;.
d.
Untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal
balik;
e.
Oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
f.
Oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
g.
Oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah;
dan
h.
Untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.[4]
Dasar Pengenaan BPHTB
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).[5] Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) tersebut ditetapkan sebagai
berikut:
a.
Harga transaksi untuk jual beli;
b.
Nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak,
penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
c.
Harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan
pembeli dalam lelang.[6]
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana tersebut di atas tidak
diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang
digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan
dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.[7] Dalam menentukan besaran BPHTB terutang tersebut, Pemerintah Daerah
menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebagai
pengurang dasar pengenaan BPHTB.[8]
Besarnya NPOPTKP ditetapkan paling sedikit sebesar Rp 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat
terutangnya BPHTB.[9] Apabila dalam hal perolehan
hak karena hibah wasiat atau waris yang diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke
atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris,
termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan paling sedikit sebesar Rp
300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).[10]
Kemudian, atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu,
Pemerintah Daerah dapat menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena
pajak yang lebih tinggi daripada nilai perolehan objek pajak tidak kena
pajak. Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dan
tarif BPHTB tersebut ditetapkan dengan Perda.[11]
Cara Menghitung BPHTB
Disebutkan bahwa besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan Dasar Pengenaan BPHTB (NPOP) setelah dikurangi Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), dengan tarif BPHTB 5% (lima
persen).[12]
Sebagaimana contoh sebagaimana penghitungnya dengan kasus Anda kami menduga
bahwa hak atas tanah yang Anda peroleh adalah berasal dari hak karena hibah
wasiat atau waris yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk
suami/istri, karena tertulis di lembar blanko surat setor pajak daerah
(SSPD) BPHTB Anda, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
dituliskan Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah), hanya saja kami
tidak tahu dimanakah lokasi tanah Anda berada, Anda tidak memberikan detail
lokasi domisili tanah Anda sehingga kami harus mencari tahu lebih lanjut
mengenai Peraturan Daerah yang digunakan mengenai pengenaan BPHTB
tersebut.
Mengingat, karena Anda tidak mencantumkannya maka kami pun
menggunakan Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pajak
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan
atas Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pajak
Daerah jo. Peraturan Walikota Pontianak Nomor 76 Tahun 2012 tentang Sistem Dan
Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Di
Kota Pontianak, peraturan pelaksana ini masih berlaku mengingat bahwa tidak bertentangan
dengan Pasal 189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ialah sebagai berikut:
Karena Perolehannya berasal dari Waris atau hibah maka penghitungannya sebagai berikut:
Luas Tanah: 911 m2 (meter persegi)
NJOP = Rp. 200.000,- per meter
Kemudian, kolom 13 tersebut berjumlah Rp. 182.200.000,- (seratus delapan
puluh dua juta dua ratus ribu rupiah) angka tersebut didapatkan dari luas
x NJOP PBB/m2. Yang kemudian hasil ini yang disebut dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP)
Yang Rumusnya:
NPOP = 911 x Rp. 200.000,- = Rp. 182.200.000,- yang sama dengan NJOP
total.
Kemudian, NJOPTKP waris adalah Rp. 300.000.000,- (vide Pasal 46 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah jo. Pasal 55 ayat (5) Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 14 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Peraturan Daerah KotaPontianak Nomor 11 Tahun
2020 tentang Pajak Daerah)
Kemudian, menjawab pertanyaan Anda benarkah dalam proses jual beli tanah pihak penjual dikenai BPHTB 2,5% jika NPOPnya di bawah NPOPTKP? Jika benar penjual dikenai BPHTB 2,5%. Kenapa pada SPTPD nya tertulis Rp. 0,-.? Begini, 2,5% yang dituliskan dalam SPTPD Anda tersebut mengacu pada ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikat Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan beserta Perubahannya, yang menyatakan bahwa 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan. Aturan ini mengatur mengenai PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN artinya apabila di situ peralihannya BUKAN DENGAN WARIS AKAN TETAPI JUAL BELI, DAN ATURAN TERSEBUT BERLAKU BAGI ANDA PENJUAL bukan mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Anda sebagai pembeli atau BPHTB yang hak perolehannya dari waris.
Pertanyaannya kenapa BPHTB-nya jadi Rp. 0 (nol rupiah)? NPOPTKP waris adalah Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) untuk BPHTB Waris. Sedangkan, karena besarnya NPOP Tanah yang beralih haknya tersebut lebih kecil setelah hasilnya dikurangi dengan angka pengurangan NPOPTKP BPHTB waris dan dikenakan tarif 5% untuk peralihan hak karena warisan tersebut, maka tidak heran BPHTB-nya pun NIHIL.
Apabila Perolehan Hak atas Tanah dari Jual Beli, sebagai berikut:
Luas = 911 m2
NJOP = Rp 200.000,-/meter
NPOPTKP adalah Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) –
untuk saat ini masih berlaku 60 juta di Kota Pontianak, walaupun
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, telah mengatur bahwa NPOPTKP itu Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah), karena belum ada aturan perda yang mengatur hal tersebut.
(Katakanlah) Harga kesepakatan antara penjual dan pembeli adalah Rp200.000/meter, maka nilai NPOP (Nilai Transaksi) = 911 x 200.000 = Rp 182.200.000,-, maka perlu dihitung besarnya PPh/PHTB (penjual) dan BPHTB (pembeli) adalah sebagai berikut: PPh/PHTB = 2,5 % x NPOP, untuk penghitungan PHTB= 2,5% x Rp182.200.000,- = Rp 4.555.000,- (empat juta lima ratus lima puluh lima ribu rupiah), kemudian besaran BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP), maka besarnya BPHTB = 5 %x (Rp182.200.000 – Rp60.000.000) = Rp 6.110.000,- (enam juta seratus sepuluh ribu).
Penting diketahui bahwa harus membayar BPHTB dan pajak terkait mengingat
bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak. (vide Pasal 59 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 11 Tahun 2020
tentang Pajak Daerah Kota Pontianak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan
atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pajak Daerah Kota
Pontianak)
Dokumen yang Dilampirkan Ketika Hendak Membayar BPHTB
Sebagai informasi tambahan meskipun Anda sudah memahami, akan tetapi kami
menambahkan informasi ini bagi pembaca yang hendak mengurus BPHTB yang mana
dokumen-dokumennya ini paling tidak akan diminta oleh petugas dari Dinas
Pemda Kab/Kota terkait, antara lain:
1.
SSPD BPHTB;
2.
Fotocopy SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan;
3.
Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) wajib pajak;
4.
Fotocopy STTS/struk ATM (Anjungan Tunai Mandiri) bukti pembayaran tarif PBB
untuk 5 tahun terakhir;
5.
Fotocopy Bukti Kepemilikan Tanah, seperti sertifikat, akta jual beli,
letter C, atau girik;
6.
Fotocopy Surat Keterangan Waris atau Akta Hibah;
7.
Fotocopy Kartu Keluarga (KK).
Terutangnya BPHTB
Perlu diketahui juga bahwa pada saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
1.
Pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli
untuk jual beli;
2.
Pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah,
hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha,
pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
3.
Pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris
mendaftarkan pera-lihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
4.
Pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
untuk putusan hakim;
5.
Pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian
hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
6.
Pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian
hak baru di luar pelepasan hak; atau
7.
Pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.[13]
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda
melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada
di sini. Terima Kasih.
[1]
vide Pasal 4 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022
tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah jo. Pasal 3 ayat (4) huruf h Peraturan Pemerintah 55 Tahun
2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah
jo. Pasal 2 ayat (1) huruf i Peraturan Daerah Kota Pontianak
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pajak Daerah Kota Pontianak.
[2]
vide Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah
[3]
vide Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah
[4]
vide Pasal 44 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
[5]
vide Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
[6]
vide Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
[7]
vide Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
[8]
vide Pasal 46 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
[9]
vide Pasal 46 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
[10]
vide Pasal 46 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
jo. Pasal 55 ayat (5) Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 14
Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah KotaPontianak Nomor
11 Tahun 2020 tentang Pajak Daerah
[11]
vide Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
[12]
vide Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah
[13] vide Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah