Papua conflict illustration(JP/Hengky Wijaya) - The Jakarta Post |
Konflik dan kekerasan yang belum kunjung usai di
Papua, melansir CNN
Indonesia, menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan saat ini ada 19 Kelompok
Kriminal Bersenjata (KKB) yang tengah diperangi oleh Pemerintah berkaitan
dengan berbagai aksi kekerasan dan separatis yang dilakukan di Papua.
Mahfud menegaskan pemerintah dalam hal ini tidak
sedang memerangi masyarakat Papua, melainkan kelompok masyarakat yang bergerak
secara separatis dan kerap melakukan kekerasan serta sudah dilabeli oleh
Pemerintah sebagai teroris.
“Mohon dipahami kita tidak perangi Papua tapi kita
perangi KKB, ada 19 kelompok. Kita mulai dari yang menonjol dulu,” kata Mahfud
saat menggelar rapat kerja dengan Komite I DPD RI, Selasa (25/5/2021).
Sementara Operasi Militer yang secara masif dilakukan
oleh Operasi gabungan TNI-POLRI di Papua, Mahasiswa
Papua di Bogor pun menuntut agar Operasi tersebut ditarik menimbang
eskalasi yang semakin meningkat sejak ditetapkannya Kelompok Kriminal
Bersenjata (KKB) – berdasarkan nomenklatur pemerintah- sebagai kelompok
teroris. Namun, hingga saat ini belum ada titik terang dengan menggunakan
pendekatan non-militer sebagai pendekatan lain terhadap penghentian kekerasan
di Papua dapat tercapai.
Sebuah laporan yang disusun Perkumpulan Advokat HAM
(PAHAM) Papua dan KontraS Papua menunjukkan tren kekerasan tetap tinggi pada
tahun 2020. Konsentrasi aparat keamanan dan pendekatan persoalan yang
diterapkan diduga menjadi faktor.
Laporan berjudul “Orang
Papua Dilarang Bicara” itu disusun berdasar monitoring dan
investigasi kasus-kasus kekerasan di Papua, yang melibatkan TNI dan Polri.
Mengingat kembali, baru saja beberapa hari yang lalu ada ratusan
pendemo di Manokwari ditahan 10 jam di Markas Brimob ketika mereka
menyerukan penolakan terhadap Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II.
Dalam laporan tersebut di atas, kedua lembaga itu
memberi perhatian lebih pada empat wilayah konflik, yaitu Kabupaten Intan Jaya,
Nduga, Maybrat, dan Kota Timika.
Menurut Yohanis Mambrasar dari PAHAM Papua, laporan
ini tidak terkait konflik bersenjata yang melibatkan Organisasi Papua Merdeka
(OPM) maupun Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TNPB).
Di lain kesempatan, berdasarkan catatan
Amnesty International Indonesia, setidaknya ada 47 kasus dugaan
pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh aparat keamanan sejak Februari
2018 hingga Desember 2020.
Dari 47 kasus tersebut, tercatat sekitar 80 orang
menjadi korban kemudian di tahun 2021 ini diduga sudah ada lima kasus dugaan
pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan yang memakan tujuh korban.
Selain itu yang pernah jadi sorotan publik juga
mengenai penjatuhan hukuman oleh terhadap 70
aktivis Papua di delapan kota berbeda termasuk Jakarta, atas
partisipasi dalam demonstrasi anti-rasisme di mana mereka mengibarkan bendera
Bintang Kejora Papua.
Karena perbuatan tersebut Pengadilan pun menjatuhkan
pidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan "Makar"
dan menghukum mereka pidana penjara
paling lama 11 bulan.
Korban yang Tidak Terlihat dan Terabaikan Media
Sejak akhir 2018
sekitar 400 pengungsi tewas di Kamp Pengungsi Nduga. Jakarta Indonesia
belum mengambil peran yang signifikan dalam menangani masalah
ini. Mengingat kembali lagi, dalam beberapa waktu terakhir, media
memberitakan aparat
keamanan Indonesia melakukan penembakan terhadap dua pria di Kabupaten Mimika,
Papua. Namun, hanya sedikit yang membicarakan tentang korban dari
konflik yang berkepanjangan pada pengungsi internal di Papua.
Setelah pembantaian
di Nduga pada tahun 2018 — ketika 25 pekerja dari perusahaan
konstruksi milik negara Indonesia diculik oleh Tentara Pembebasan Nasional
Papua Barat (TPNBP) dengan menewaskan 30 orang — Pemerintah Indonesia
mengumumkan keadaan darurat di Kabupaten Nduga kala itu.
Status darurat tersebut memberikan justifikasi bagi
Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk melancarkan Operasi
Militer Nemangkawi yang mana itu justru meningkatkan
intensitas konflik bersenjata di wilayah tersebut, yang pada
akhirnya menciptakan Pengungsi Internal (Internally Displaced People-IDP).
Diperkirakan saat ini, ada sekitar
5000 orang tinggal di kamp pengungsi, 700 di antaranya adalah
anak-anak.
Pengungsi
di Nduga saat ini hidup dalam kondisi yang memprihatinkan.
Menurut seorang relawan dari Papua Baku Bantu
Foundation menyatakan bahwa makanan pengungsi di
kamp hanya terdiri dari ubi, tanpa lauk tambahan untuk memberi nutrisi lebih
lanjut bagi mereka.
Akibatnya, banyak pengungsi mengalami gizi buruk —
kondisi yang sangat berbahaya bagi kelompok rentan seperti ibu hamil, anak
kecil, dan penderita kondisi medis kronis. Selain itu, pengungsi juga
mengalami masalah sanitasi yang kurang memadai sehingga menyebabkan gangguan
kesehatan seperti diare dan penyakit kulit.
Kombinasi malnutrisi, sanitasi yang buruk, dan
kurangnya perhatian medis juga membahayakan sistem kekebalan pengungsi secara
keseluruhan, yang mengarah pada kerentanan terhadap penyakit tropis seperti
malaria dan demam berdarah. Sejak kamp pengungsian pertama kali didirikan pada
2018, kira-kira 400
pengungsi tewas di berbagai kamp di Nduga.
Kritik pun bermunculan dengan argumentasi yang kuat
bahwa sejak awal, pemerintah Indonesia tidak hadir di Nduga, dan sebagian besar
kamp pengungsi di kabupaten tersebut didirikan oleh LSM, gereja, dan organisasi
muda-mudi asli Papua—lembaga dengan sumber daya yang terbatas.
Sementara kondisi di kamp pengungsian semakin memburuk
setiap hari, tidak heran ada seruan dengan keras dilayangkan agar Pemerintah
Indonesia mengumumkan keadaan
darurat kemanusiaan. Namun, pada pertengahan 2019, militer
Indonesia membantah angka-angka yang ada dalam laporan Solidarity
for Nduga dan Amnesty International dan menyebutnya sebagai
"hoaks." Pemerintah membantah jumlahnya setinggi itu, meski di sisi
lain Pemerintah sendiri belum dapat memverifikasi kondisinya secara langsung
dengan data yang dapat dipertanggung jawabkan.
Pemerintah melalui Kementerian
Sosial Republik Indonesia dilaporkan telah memberikan bantuan
kepada pengungsian Nduga senilai Rp. 745 juta yang dibagikan dalam bentuk
sembako, peralatan rumah tangga, dan perlengkapan sekolah. Pemerintah juga
berupaya memulai program
konseling di sekolah darurat yang dilakukan oleh para guru.
Namun bantuan pemerintah masih jauh dari mencukupi,
karena kamp membutuhkan lebih dari sekadar bantuan ad hoc untuk
menciptakan lingkungan yang stabil dan sehat.
Respons terlambat dari pemerintah Indonesia, ditambah
dengan permusuhan terhadap orang asli Papua—baca rasisme terhadap mahasiswa dan
orang asli papua—ditambah dengan dilakukannya pendekatan militeristik Jakarta
di Papua, membuat pendekatan kemanusiaan lebih lanjut terhadap pengungsi oleh
pemerintah Indonesia menjadi sulit dilakukan.
Belum lagi dengan arus informasi yang simpang siur
mengingat kinerja jurnalis kredibel di Papua sulit dilakukan karena kondisi
internet di Papua digambarkan tidak bernyawa.
Krisis Pengungsi Nduga kurang mendapat perhatian media
dalam beberapa tahun terakhir hingga saat ini, tidak menutup kemungkinan bahwa
isu ini bisa menjadi titik radang konflik Papua di masa
mendatang. Meskipun pendekatan militeristik merupakan elemen penting dari
taktik kontra-pemberontakan, pemerintah Indonesia seharusnya tidak
menganggapnya sebagai satu-satunya cara dalam mengekang gerakan separatis
berdasarkan hukum nasional.
Masyarakat adat Papua haruslah dianggap sebagai
“penduduk netral” dalam konflik Papua, karena dukungan mereka dapat membantu
menentukan kemenangan atau kekalahan pihak yang berperang.
Dukungan untuk Indonesia dari komunitas asli Papua
akan melemahkan basis dukungan pemberontak, merampas jaringan intelijen,
logistik, dan tempat persembunyian mereka di antara populasi netral.
Dalam hal legitimasi internasional, dukungan dari
orang asli Papua juga akan memperkuat posisi Indonesia dalam mengamankan
legitimasinya jika terjadi referendum.
Sebaliknya, perubahan penyebutan istilah oleh
dari OPM
menjadi KKB adalah salah satu langkah cerdas Pemerintah Indonesia
untuk menghindari dibentuknya opini bahwa KKB merupakan sebuah kelompok
pemberontak yang kuat dan terorganisir.
Meskipun pernah berusaha mendeklarasikan kelompoknya
sebagai sebuah Organisasi Papua Merdeka, pada kenyataannya sifat kekerasan
bersenjata di Papua masih sporadis, tidak berada di bawah satu komando yang
bertanggung jawab serta jauh dari sifat terorganisir. Ini tentu ada
keterkaitannya dengan pemahaman
akan aturan Hukum Humaniter dan Hukum Internasional yang baik juga dapat menghindari Indonesia dari
tindakan gegabah menggunakan kekuatan bersenjatanya yang nantinya hanya akan
menjustifikasi bangsa lain untuk turut campur dalam urusan dalam negeri
Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Paul
et. al at RAND menunjukkan bahwa dari 59 studi kasus, 44 negara
masih menggunakan pendekatan utama mereka sebagai strategi kontra pemberontakan
dilakukan dengan pendekatan militeristik. Namun, metode represif tersebut hanya
menghasilkan tingkat keberhasilan 32%. Di sisi lain, negara yang
menggunakan strategi campuran memiliki peluang sukses yang lebih tinggi
ketimbang hanya pendekatan militeristik, dengan 73%.
Indonesia dapat belajar dari keberhasilan pemberontakan
Inggris di Malaya selama tahun 1950-an, di mana pemerintah Inggris
melakukan beberapa strategi selain operasi militer, seperti melakukan reformasi
politik dan memperbaiki pemerintahan. Namun apakah itu dengan Otsus Jilid II?
Itu diskusi yang lain lagi.
Pemerintah Indonesia harus mengambil peran utama dalam
memperbaiki kondisi kamp pengungsian. Itu konkret.
Pada akhirnya, di atas kepentingan strategisnya,
krisis pengungsi Nduga harus dilihat sebagai masalah kemanusiaan yang sangat
membutuhkan perhatian dari Pemerintah Indonesia. Tanpa bantuan lebih
lanjut dari pemerintah, situasi di kamp pengungsian Nduga sewaktu-waktu dapat
memburuk, yang berdampak jangka panjang yang dapat menghambat revitalisasi
pasca konflik di Kabupaten Nduga.
Dengan mempertimbangkan semua faktor tersebut,
pemerintah Indonesia harus hadir dan mengambil peran terdepan dalam mengatasi
krisis pengungsi Nduga semata-mata sebagai bentuk perlindungan Negara terhadap
warga negaranya di samping dari menjamin terlaksananya Hak Asasi Manusia.
Penulis juga Mengutip Tulisan Aisha Kusumasomantri And Yulanda Iek pada New Mandala.