Ilustrasi Jual Beli Tanah |
Pertanyaan
Selamat siang kak, mau nanya, persoalaan hukum saya,
bahwa ada orang tiba-tiba datang ke rumah kami dengan membawa Sertipikat Hak
Milik (SHM) atas namanya di atas rumah tempat kami tinggal, dia mengatakan
telah membeli tanah tersebut dari orang dan meminta kami untuk segera
meninggalkan rumah kami sesegera mungkin. Awalnya, kami sekeluarga tidak
menanggapi hal tersebut karena baik ayah dan ibu saya tidak pernah menjual
tanah dan bangunan yang kami tinggali, selain itu kami memiliki Surat
Keterangan Tanah (SKT) yang pernah ayah saya buat di Kantor Desa. Tidak lama
kemudian, ada orang seperti preman begitu mendatangi rumah kami dan meminta
kami untuk meninggalkan rumah kami, kami pun meminta bantuan dari pihak desa
dan benar bahwa kata Kepala Desa kekuatan dari SKT yang ayah saya miliki tidak
kuat dari kekuatan sertipikat, mohon tanggapannya. Secara hukum apakah memang
begitu? Terima Kasih.
Jawaban
Sebelumnya, Anda dapat mengikuti beberapa tulisan kami
mengenai “Jenis-Jenis
Hak atas Tanah dan Penjelasannya” untuk lebih memahami klasifikasi
hak-hak atas tanah yang diatur dan bernilai pembuktian akan kepemilikannya
sebagaimana ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, menyebutkan
bahwa dalam pendaftaran tanah itu satu di antaranya dilakukannya pemberian
surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Yang kemudian surat-surat tanda bukti hak inilah menurut ketentuan Pasal
1 Angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
disebut dengan “Sertifikat”, yang terbitkan masing-masing hak terkait (seperti:
hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah
susun, dan hak tanggungan) tersebut sesudah dibukukan dalam buku tanah yang
bersangkutan.
Dalam konteks, yang kita bahas adalah Hak Milik (HM),
yang produknya berupa Sertifikat Hak Milik (SHM), merupakan alat pembuktian
yang kuat dan sah dalam pendaftarannya, peralihan, dan serta pembebanannya. (vide Pasal
23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria)
Mengenai “Pendaftaran” Anda dapat juga membaca tulisan
kami yang membahas mengenai “Tata
Kelola Pendaftaran Tanah dan Prosedur Pendaftarannya yang Wajib Anda Ketahui” semata-mata
untuk memahami bahwa betapa penting pemahaman akan dasar-dasar dari “Hukum
Pertanahan Nasional” secara umum dan garis besar sebagaimana yang kami jabarkan
di atas.
Mengenai persoalaan Anda, bahwa bagaimana status hukum
atau kekuatan pembuktian dari Surat Keterangan Tanah (SKT)? Begini, bahwa
sebelumnya tidak ada pengaturan secara spesifik mengenai apa yang disebut
dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) itu dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hanya saja, secara
tersurat/tertulis (tidak tersirat) kemudian itu baru disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan
Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Perlahan, akan kami jelaskan.
Surat Keterangan Tanah Ada Untuk Permohonan Kegiatan Pendaftaran Tanah
Bahwa disebutkan dalam proses “permohonan kegiatan
pendaftaran tanah” yang mana permohonan tersebut untuk mendaftar hak lama[1] dalam
rangka dilakukannya pengukuran bidang tanah (artinya pemberkasan yang wajib
dilengkapi sebelum melakukan pengukuran oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN;
pengukuran merupakan bagian dari pendaftaran tanah), sebagaimana pengukuran
bidang tanah yang diatur dalam Pasal 24 menyebutkan
bahwa:
Pasal 24[2]:
(1)
Prinsip dasar
pengukuran bidang tanah harus memenuhi kaidah teknis pengukuran dan pemetaan
sehingga bidang tanah yang diukur dapat dipetakan, diketahui letak dan batasnya
di atas peta serta dapat direkonstruksi titik batasnya di lapangan.
(2)
Pengukuran bidang
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan cara
terestrial, fotogrametrik, satelit atau metode lainnya.
(3)
Prinsip dasar
pengukuran ruang atas tanah dan/atau ruang bawah tanah harus memenuhi kaidah
teknis pengukuran dan pemetaan 3 (tiga) dimensi.
Sebelum melakukan ketentuan tersebut di atas, harus
disertai dengan dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan[3],
antara lain:
1.
Grosse akta
hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings
Ordonnantie (S.1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang
bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau
2.
Grosse akta
hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings
Ordonnantie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal
pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
di daerah yang bersangkutan; atau
3.
Surat tanda bukti
hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan;
atau
4.
Sertipikat Hak
Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun
1959; atau
5.
Surat keputusan
pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak
berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang
diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau
6.
Petuk Pajak
Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau
7.
Akta pemindahan
hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala
Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunyaPeraturan Peme-rintah
ini dengan disertai alas hak yang dialihkan; atau
8.
Akta pemindahan
hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan
disertai alas hak yang dialihkan; atau
9.
Akta ikrar
wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dengan disertai alas hak yang
diwakafkan; atau
10.
Risalah lelang
yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan
dengan disertai alas hak yang dialihkan; atau
11.
Surat penunjukan
atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah; atau
12.
Surat Keterangan
Riwayat Tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
dengan disertai alas hak yang dialihkan; atau
13.
Lain-lain bentuk
alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
Dari dokumen-dokumen yang disebutkan di atas tidak ada
satu pun yang menyebutkan Surat Keterangan Tanah (SKT), sebagai satu di antara
dokumen yang dilampirkan aslinya nanti dalam permohonan kegiatan pendaftaran
tanah tersebut. Selanjutnya, disebutkan apabila bukti kepemilikan sebidang
tanah sebagaimana tersebut di atas tidak lengkap atau tidak ada,
pembuktian kepemilikan atas bidang tanah itu dapat dilakukan dengan bukti lain
yang dilengkapi dengan pernyataan yang bersangkutan dan keterangan yang dapat
dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dari lingkungan
masyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang
bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun
horizontal, yang manyatakan bahwa yang bersangkutan adalah benar pemilik bidang
tanah tersebut.[4]
Kemudian, Dalam hal bukti-bukti mengenai kepemilikan
tanah sebagaimana dimaksud tetap tidak ada, maka permohonan
tersebut harus disertai dengan:
-
Surat pernyataan
dari pemohon yang menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1)
Bahwa pemohon
telah menguasai secara nyata tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh)
tahun atau lebih secara berturut-turut, atau telah memperoleh penguasaan itu
dari pihak atau pihak-pihak lain yang telah menguasainya, sehingga waktu
penguasaan pemohon dan pendahulunya tersebut berjumlah 20 (dua puluh) tahun
atau lebih;
2)
Bahwa penguasaan
tanah itu telah dilakukan dengan itikad baik;
3)
Bahwa penguasaan
itu tidak pernah diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan
oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;
4)
Bahwa tanah
tersebut sekarang tidak dalam sengketa;
5)
Bahwa apabila
pernyataan tersebut memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan,
penandatangan bersedia dituntut di muka Hakim secara pidana maupun perdata
karena memberikan keterangan palsu.
-
Keterangan dari
Kepala Desa/Lurah dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya
dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai tetua adat setempat dan/atau penduduk
yang sudahlama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersang-kutan
dan tidak mempunyai hubungan keluarga pemohon sampai derajat kedua baik dalam
kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang membenarkan apa yang dinyatakan
oleh pemohon dalam surat pernyataan di atas, sesuai bentuk sebagaimana
tercantum dalam lampiran14.”[5]
Dari ketentuan tersebut menunjukkan bahwa adanya
keterangan dari Kepala Desa sebagaimana yang tercantum dalam lampiran
14 cukup penting. Dalam hal tersebut setiap orang yang mampu
menunjukkan alat bukti kepemilikan tertulis atas nama yang bersangkutan dan
apabila didapat dari peralihan hak maka peralihan hak berturut-turut sampai ke
tangan yang bersangkutan dibuktikan dengan riwayat peralihannya, dikonversi
menjadi hak atas tanah.
Jika bukti tertulis tidak lengkap atau tidak ada lagi,
pembuktian pemilikan tanah memerlukan keterangan saksi, keterangan kepala
desa/lurah, atau pernyataan yang materinya dapat meyakinkan Kepala Kantor
Pertanahan setempat. Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang cakap
memberikan kesaksian dan mengetahui riwayat pemilikan tanah yang bersangkutan.
Alat-alat bukti tanah adat yang diakui dan dilaksanakan konversinya adalah
seperti Petuk Pajak Bumi/Landrente, Girik, Leter C, Pipil,
Kikitir, Verponding Indonesia dan lain-lain yang sudah ada
sebelum tahun 1961 (sebelum berlaku PP 10/1961). Anda dapat membaca tulisan
kami mengenai “Kedudukan
Hukum Tanah Girik dan Pembuatan Sertifikat yang Berasal dari Tanah Girik”
Fungsi Keterangan Kepala Desa/Lurah Terkait Dengan Riwayat Pengusaan Tanah, serta Kekuatan Pembuktiannya
Bahwa Keterangan Kepala Desa/Lurah fungsinya untuk
menerangkan riwayat penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah berikut
Riwayat perolehannya yang didasarkan catatan Buku Register Desa/Kelurahan atau
di beberapa Desa berkaitan dengan lokasi tanahnya ada yang menyebut dengan Peta
Rincikan.
Ini catatan penting yang wajib Anda pahami bahwa Surat
Keterangan Tanah (SKT) oleh Kepala Desa/Lurah hanyalah perbuatan
administratif pelayanan publik guna menjalankan fungsi
pemerintahan, bukan pejabat yang berwenang untuk memberikan tanda bukti
atau alat bukti suatu kepemilikan tanah. Kepala Desa/Lurah adalah jabatan
struktural[6] yang
memperoleh kewenangan sebagaimana ketentuan Pendaftaran Tanah dan Peraturan
terkait guna membantu BPN dalam memberikan petunjuk riwayat/penguasaan tanah di
daerahnya. Oleh karenanya, Desa/Lurah sekarang untuk meminimalisasi adanya
gugatan di Pengadilan terutama Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, Surat
Keterangan Tanah (SKT) tersebut tidak lagi dikeluarkan dan hanya mengeluarkan
Surat Pernyataan Tanah (SPT) sebagaimana lampiran 14 yang sudah kami jelaskan
diatas, dimana lurah/Kepala Desa hanya mengetahui saja, dan pihak yang
berkepentinganlah yang membuat pernyataan tersebut dengan adanya saksi-saksi.
Lebih Khusus BPN mengeluarkan Surat Edaran
Nomor 9/SE/VI/2013 tanggal 18 Juni 2013, tentang Surat Keterangan Tanah Bekas
Milik Adat, yang menegaskan bahwa Surat Keterangan Bekas Tanah Milik
Adat yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan bukan merupakan bukti
kepemilikan tanah. Oleh karena itu surat keterangan kepala desa/lurah yang
demikian tidak secara absolut untuk membuktikan kepemilikan
orang atas tanah, hanya sebagai pelengkap surat (bukti) tanah,
karena jika surat (bukti) kepemilikan tanah hilang atau tidak ada maka
penetapan pembuktian diserahkan pada hasiln Panitian Pemeriksaan Tanah.
Penelitian dan pemeriksaan Panitia Pemeriksaan Tanah adalah ex-officio membantu
indikasi hak orang atas tanah sebelum diputuskan pejabat Badan Pertanahan
Nasional (BPN) yang berwenang.
Oleh karenanya sebagaimana ketentuan Pasal
97 Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas
Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah, menyebutkan
bahwa surat Keterangan tanah, surat keterangan ganti
rugi, surat keterangan desa, dan lainnya yang sejenis yang dimaksudkan
sebagai keterangan atas penguasaan dan pemilikan Tanah yang dikeluarkan
oleh kepala desa/lurah camat hanya dapat digunakan sebagai petunjuk
dalam rangka Pendaftaran Tanah.
Artinya, SKT itu hanya menegaskan riwayat tanah. Surat
keterangan tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk
menunjukkan pengusaan atas tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah,
bukan bukti kepemilikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 32
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang
menyebutkan bahwa:
“Sertipikat
merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai
data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan
data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku
tanah hak yang bersangkutan.”
Pembuatan Sertifikat Tanah Sudah Tidak Perlu Lagi SKT Dari Kelurahan atau Desa
Perlu diketahui dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1756/15.I/1V/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat, mengakibatkan konsekuensi hukum yang berdampak pada tidak ada lagi kewenangan Kepala Desa/ Lurah dalam menerbitkan Surat Keterangan Tanah yang menjadi salah satu syarat dalam proses awal pendaftaran tanah. Walaupun Surat Keterangan Tanah merupakan alat bukti hak tertulis dibawah tangan yang kekuatan pembuktiannya tidak sekuat sertifikat, akan tetapi surat keterangan tanah menjadi bukti fisik sebagai bukti Riwayat kepemilikan tanah. Surat Keterangan Tanah merupakan alas hak yang menjadi proses awal pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional guna terbitnya sertifikat. Dengan adanya, yang berfungsi sebagai bukti penguat penguasaan secara fisik apabila ditemuinya kekeliruan ataupun ketidaklengkapan bukti penguasaannya.
Mengingat bahwa masih banyak masyarakat yang
menggunakan SKT sebagai bukti tertulis kepemilikan tanah. Bahkan tidak jarang
ditemui jual beli transaksi tanah dengan bukti kepemilikan hanya berupa Surat
Keterangan Tanah. Perolehan SKT tidaklah sulit karena hanya membutuhkan
kesaksian beberapa saksi, RT dan diketahui oleh Lurah setempat dimana objek
tanah tersebut berada guna penerbitan SKT. Makanya tidak heran pernah terjadi
adanya SKT ganda.
Sengketa Kepemilikan Tanah dan Upaya Hukum
Sejauh penelusuran kami sejauh ini, mengenai kekuatan
pembuktian apabila Surat Keterangan Tanah (SKT) melawan Sertifikat Hak Milik
(SHM), Anda dapat menempuh 3 (tiga) cara untuk membatalkan sertifikat tanah
yang sudah berbentuk Hak Milik (HM) tersebut, dengan beberapa cara:
1.
Permintaan
Pembatalan ke Menteri/Kepala BPN/Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
2.
Gugat di
Pengadilan Tata Usaha Negara;
3.
Gugatan Sengketa
Kepemilikan di Pengadilan Negeri setempat.
Untuk permintaan Pembatalan Sertifikat dapat dilakukan
di luar mekanisme peradilan yaitu dengan cara mengajukan permohonan kepada
Menteri/Kepala BPN/Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Mekanisme ini diatur
pada Pasal 29 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan
Penyelesaian Kasus Pertanahan, yang menyatakan bahwa pembatalan Produk
Hukum dilakukan oleh Pejabat yang berwenang karena:
a.
Cacat
administrasi dan/atau cacat yuridis;
b.
Pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kemudian disebutkan bahwa Pembatalan Produk Hukum
karena cacat administrasi dan/atau cacat yuridis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) huruf a disebabkan: (vide Pasal 35
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan)
a.
Kesalahan dalam
proses/prosedur penerbitan hak atas tanah, pendaftaran hak dan proses
pemeliharaan data pendaftaran tanah;
b.
Kesalahan dalam
proses/prosedur pengukuran;
c.
Kesalahan dalam
proses/prosedur penerbitan sertipikat pengganti;
d.
Kesalahan dalam
proses/prosedur penerbitan sertipikat Hak Tanggungan;
e.
Kesalahan
penerapan peraturan perundang-undangan;
f.
Kesalahan subjek
hak;
g.
Kesalahan objek
hak;
h.
Kesalahan jenis
hak;
i.
Tumpang tindih
hak atas tanah;
j.
Tumpang tindih
dengan kawasan hutan;
k.
Kesalahan
penetapan konsolidasi tanah;
l.
Kesalahan
penegasan tanah objek landreform;
m.
Kesalahan dalam
proses pemberian izin peralihan hak;
n.
Kesalahan dalam
proses penerbitan surat keputusan Pembatalan;
o.
Terdapat putusan
pengadilan pidana berkekuatan hukum tetap yang membuktikan adanya tindak pidana
pemalsuan, penipuan, penggelapan dan/atau perbuatan pidana lainnya;
p.
Terdapat dokumen
atau data yang digunakan dalam proses penerbitan sertipikat bukan produk
instansi tersebut berdasarkan surat keterangan dari instansi yang bersangkutan;
q.
Terdapat putusan
pengadilan yang dalam pertimbangan hukumnya terbukti terdapat fakta adanya
cacat dalam penerbitan produk hukum Kementerian dan/atau adanya cacat dalam
perbuatan hukum dalam peralihan hak tetapi dalam amar putusannya tidak
dinyatakan secara tegas.
Kemudian, melalui Gugatan Pengadilan Tata Usaha
Negara, bahwa Sertifikat tanah merupakan salah satu Keputusan Tata Usaha Negara
(“KTUN”) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Untuk
membatalkan suatu KTUN, dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun
demikian, perlu diperhatikan bahwa terdapat jangka waktu untuk menggugat
Keputusan TUN, yaitu 90 (Sembilan puluh) hari sejak diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat TUN, sebagaimana diatur dalam Pasal
55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
yang menyatakan bahwa:
“Gugatan
dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak
saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara.”
Gugat Perdata di Pengadilan Negeri setempat, yang mana
dalam Penerbitan Sertifikat di atas tanah yang sebenarnya ditemukan tidak
adanya itikan baik dari pihak yang mengaku sudah memiliki sertifikat padahal
patut diketahui Anda tidak pernah menjual tanah Anda, yang mana itu merupakan
bentuk perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain, sehingga dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) sebagaimana diatur
pada Pasal 1365 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:
“Tiap
perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut ”.
Dalam mengajukan gugatan perdata, perlu diperhatikan
adanya kadaluarsa dapat diajukannya gugatan yaitu 5 (lima) tahun sejak
terbitnya sertifikat, sebagaimana diatur pada Pasal 32 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
menyatakan:
“Dalam
hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama
orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan
secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah
itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5
(lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan
secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan
tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.”
Namun adanya daluarsa menurut sebagaimana disebut
Pasal yang tersebut di atas tidak mutlak selama dapat dibuktikan bahwa
perolehan tanah tersebut dilakukan tidak dengan itikad baik.
Apabila mekanisme ternyata ditemukan memang adanya
pembayaran atau jual beli, (misalnya) tentu saja ada kesepakatan yang kemudian
membentuk suatu perjanjian, maka terhadapnya juga dapat diajukan gugatan
Wanprestasi pada Pengadilan Negeri sebagai opsi lain jika ingin agar pembeli
memenuhi prestasi/janji yang telah disepakati.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia
yang ada di sini. Terima
Kasih.
[1] vide Pasal 73 ayat (2) huruf c
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
[2] vide Pasal 24 Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2021 tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
[3] vide Pasal 76 ayat (1) Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
[4] vide Pasal 76 ayat (2) Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah
[5] vide Pasal 76 ayat (3) Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah
[6] vide Pasal
8 ayat (2) huruf b angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah jo. Pasal 1Angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa.