layananhukum

Gambaran Hukum secara Umum Credit Union yang Wajib Anda Ketahui

Ilustrasi Credit Union

Pertanyaan

Boleh dong sedikit bahas soal Credit Union atau CU bang, dan gimana sistem pengawasannya, kenapa tidak diawasi oleh OJK mengingat kegiatannya sudah hampir sama seperti kegiatan perbankan? Terima kasih.

Jawaban

Pengantar

Dalam perkembangannya Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dinilai mulai kehilangan jati diri sebagai Badan Usaha dari anggota, oleh anggota, dan untuk kesejehteraan anggota karena lebih berorientasi pada keuntungan semata, kemudian munculah gerakan koperasi modern yang menamakan diri Credit Union. Credit Union yang selanjutnya disebut dengan CU ini bergerak sebagai sebuah Lembaga Pelayanan Intermediasi Keuangan (financial intermediary services) yang sejatinya bergerak dalam “penyediaan jasa keuangan untuk nasabah berpenghasilan rendah, termasuk para pekerja mandiri”.

Dalam menjalan kegiatan usahanya Credit Union berdasarkan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian beserta perubahannya, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi dan peraturan lainnya. Namun demikian, sesungguhnya Credit Union (CU) tidaklah identik dengan Koperasi Simpan Pinjam atau koperasi pada umumnya. Perbedaan dengan Koperasi biasa, yaitu koperasi biasa masih mendapatkan bantuan dari Pemerintah dari sisi permodalan, sementara Credit Union (CU) bersifat mandiri dan tidak mendapatkan bantuan dari Pemerintah. 

Begini, sebenarnya berdasarkan definisi, sejarah dan prinsip yang dianutnya, CU sejatinya adalah Koperasi Simpan Pinjam yang umum dikenal di Indonesia. Seperti menurut 2 (dua) definisi dalam buku yang ditulis oleh Munaldus et al. (2012), CU adalah:

1.        Lembaga koperasi non-profit; dan

2.       Lembaga koperasi yang dimiliki dan dikendalikan oleh masyarakat.

Menurut buku ini, awal mulanya muncul CU di Indonesia adalah di perdesaan di Provinsi Kalimantan Barat pada awal dekade 1970-an. Waktu itu dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian dan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1973 tentang Unit Desa, maka setiap unit desa hanya diperbolehkan mendirikan satu unit koperasi. Menyiasati peraturan pemerintah tersebut, para perintis CU berusaha menyamarkan jati diri CU dengan tidak menyebutnya Koperasi Simpan Pinjam, mengingat pada waktu itu oleh pemerintah dianggap sebagai Lembaga ilegal. Namun para perintis kala itu tetap mengadakan perbedaan antara CU dengan Koperasi Simpan Pinjam, terutama dalam 3 (tiga) hal:

1.        CU merupakan bagian dari pelayanan sosial gereja;

2.       CU sebagai koperasi simpan pinjam khusus dikembangkan dalam lingkungan masyarakat dayak; dan

3.      Strategi pengembangan usaha CU cenderung berbeda dengan strategi pengembangan koperasi simpan pinjam.[1]

Selajutnya, mengenai perbedaan kegiatan usaha Credit Union (CU) dengan kegiatan perbankan, seperti dalam status kepemilikannya, yaitu di Credit Union (CU) penabung adalah anggota yang merupakan pemilik sekaligus sebagai pengguna jasa, dan anggota sebagai pemegang otoritas sehingga sebutannya “bukan nasabah” dan tunduk kepada Undang-Undang tentang Perkoperasian. Sementara Bank bentuknya Badan Hukum Perseroan Terbatas, ada soal saham, walaupun ada dana segar yang berasal dari penabung yang disebut nasabah, yang kemudian dikembangkan ke dalam bentuk produk-produk usaha dan layanan perbankan, dan tunduk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan beserta perubahannya.

Sejarah Credit Union di Indonesia

Mengutip dari laman Cuco Indonesia, Credit Union (CU) dicetuskan pertama kali oleh Friedrich Wilhelm Raiffeisen untuk menjawab kondisi masyarakat di Jerman pada waktu itu yang sedang mengalami krisis ekonomi. Secara ideal, Credit Union adalah lembaga keuangan berbasis anggota yang bertujuan mulia untuk memberdayakan masyarakat (anggota) untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabatnya, melalui pelayanan simpan dan pinjam (bukan pinjam untuk simpan).

Indonesia mulai mengenal Credit Union pada tahun 1955. Hal ini terbukti karena pada masa itu sudah berdiri beberapa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) di Indonesia. Baru pada tahun 1967, WOCCU yang diwakili oleh Mr. A. A. Bailey resmi diundang datang ke Indonesia untuk memperkenalkan gagasan dan gerakan koperasi kredit (Credit Union). Tercatat sejak tanggal 8 Desember 1969, Pater Karl Albrecht, SJ, kelahiran Jerman mempelopori berdirinya Credit Union di Indonesia dengan mendirikan Credit Union Counselling Office (CUCO) atau Gerakan Koperasi Kredit Indonesia (GKKI).

Prinsip-prinsip yang harus dimiliki oleh Credit Union sebagai Koperasi Simpan Pinjam (KSP) harus dijalankan dengan memperhatikan semangat dari prinsip dasar koperasi yang dicetuskan oleh Friedrich William Raiffeisen itu sendiri yaitu selaku pendiri pertama credit union pada pertengahan abad ke-19, yaitu:

a.       Dana koperasi hanya diperoleh dari anggota-anggotanya saja.

b.      Pinjaman juga hanya diberikan kepada anggota-anggotanya saja.

c.       Jaminan terbaik bagi peminjam adalah watak si penjamin itu sendiri.[2]

Karakteristik Koperasi di Indonesia

Koperasi secara umum di Indonesia sejatinya adalah organisasi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. (vide Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian)

Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, menyebutkan bahwa:

1.        Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota.

2.       Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi.

3.      Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.

Kemudian, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sebagaimana ketentuan Pasal 86 Angka 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana mengubah ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, menyatakan bahwa:

1.        Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota.

2.       Usaha Koperasi sebagaimana dimaksud dapat dilaksanakan secara tunggal usaha atau serba usaha.

3.      Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi dalam rangka menarik masyarakat menjadi anggota Koperasi.

4.       Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka perlulah dilihat bahwa prinsip-prinsip koperasi berpedoman dalam menjalankan usahanya sebagai badan usaha dan gerakan ekonomi rakyat yang terdiri dari kemandirian, keanggotaan yang terbuka dan bersifat transparan, pengelolaan dilakukan secara terbuka, adil dan merata sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota. Sebagaimana ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yang menyatakan bahwa prinsip koperasi adalah

a.       Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;

b.      Pengelolaan dilakukan secara demokratis;

c.       Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;

d.      Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;

e.       Kemandirian.

Dalam mengembangkan Koperasi, maka Koperasi melaksanakan pula prinsip Koperasi pendidikan perkoperasian dan kerja sama antar koperasi.

Dalam Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah diatur penyederhanaan anggota pendiri koperasi, yaitu Koperasi Primer dapat dibentuk paling sedikit 9 (Sembilan) orang dari sebelumnya 20 (dua) orang, buku daftar anggota dapat berbentuk dokumen tertulis atau elektronik dengan tujuan memudahkan pengadministrasian daftar anggota lebih cepat dan akurat, Rapat Anggota dapat dilakukan secara daring dan/atau luring, usaha koperasi dapat dilaksanakan secara tunggal atau serba usaha, dan pengaturan dasar hukum koperasi syariah dimana koperasi dapat melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah dan koperasi syariah wajib memiliki dewan pengawas syariah. (vide Pasal 86 Angka 1, Angka 2, Angka 3, dan Angka 4  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana mengubah ketentuan Pasal 6 ayat (1), Penjelasan Pasal 17, Pasal 21, dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian)

Selain itu, sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang tentang Cipta Kerja juga memberikan pengaturan yang lebih terperinci mengenai kemudahan, pelindungan dan pemberdayaan bagi koperasi. Khususnya dalam hal pemberdayaan koperasi, dengan menetapkan kebijakan dalam aspek kelembagaan, pemasaran, produksi, keuangan, inovasi dan teknologi, serta kebijakan pengembangan koperasi di sektor tertentu melalui pemberdayaan koperasi di sektor kelautan dan perikanan, angkutan perairan pelabuhan, kehutanan, perdagangan, dan pertanian.

Jenis-Jenis Koperasi

Adapun jenis-jenis koperasi dibagi menjadi 3 (tiga) antara lain:

1.        Koperasi berdasarkan fungsinya;

2.       Koperasi berdasarkan tingkat dan luas daerah kerja; dan

3.      Koperasi berdasarkan keanggotaannya.

Koperasi berdasarkan Fungsinya
Koperasi Konsumsi

Koperasi ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan umum sehari-hari para anggotanya. Yang pasti barang kebutuhan yang dijual di koperasi harus lebih murah dibandingkan di tempat lain, karena koperasi bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya.

Koperasi Jasa

Fungsinya adalah untuk memberikan jasa keuangan dalam bentuk pinjaman kepada para anggotanya. Tentu bunga yang dipatok harus lebih rendah dari tempat meminjam uang yang lain.

Koperasi Produksi

Bidang usahanya adalah membantu penyediaan bahan baku, penyediaan peralatan produksi, membantu memproduksi jenis bahan tertentu serta membantu memasarkan hasil produksi tersebut. Sebaiknya anggotanya terdiri atas unit produksi yang sejenis. Semakin banyak jumlah penyediaan barang maupun penjualan barang maka semakin kuat terhadap daya tawar terhadap suplier dan pembeli.

Kopersi Berdasarkan Tingkat dan Luasnya Daerah Kerja
Koperasi Primer

Koperasi primer adalah koperasi yang minimal memiliki anggota sebanyak 9 (sembilan) orang perseorangan.[3]

Koperasi Sekunder

Koperasi Sekunder adalah koperasi yang terdiri dari gabungan badan-badan koperasi serta memiliki cakupan daerah kerja yang luas dibandingkan koperasi primer.[4]

Koperasi Berdasarkan Keanggotaannya
Koperasi Unit Desa (KUD)

Koperasi Unit Desa merupakan jenis koperasi yang para anggotanya adalah masyarakat pedesaan. KUD dibentuk dengan menyatukan beberapa koperasi pertanian kecil dan banyak jumlahnya di pedesaan. KUD melakukan kegiatan atau aktifitas usaha ekonomi pedesaan terutama bidang pertanian.

Koperasi Sekolah

Koperasi sekolah adalah koperasi yang anggotanya merupakan warga sekolah yaitu guru, karyawan dan para siswa sekolah. Koperasi ini hanya berada di lingkungan sekolah dan bertujuan untuk memajukan kesejahteraan para anggotanya dan juga masyarakat.

Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI)

Koperasi ini beranggotakan pegawai negeri. Sebelum KPRI, koperasi ini Bernama koperasi pegawai negeri (KPN). KPRI bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri (anggota). KPRI dapat didirikan di lingkup departemen atau instansi.

Pengawasan terhadap Credit Union

Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pengawas Koperasi, menyebutkan bahwa:

“Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab menyelenggarakan Pengawasan Koperasi.”

Objek Pengawasan Koperasi meliputi:

a.       Koperasi Primer; dan

b.      Koperasi Sekunder.

Bahwa kemudian, Objek Pengawasan Koperasi sebagaimana dimaksud meliputi usaha simpan pinjam dan non simpan pinjam sesuai dengan wilayah keanggotaan Koperasi. Objek Pengawasan Koperasi dibagi dalam 4 (empat) tingkat Klasifikasi Usaha Koperasi (KUK) antara lain:

a.       KUK 1 memiliki jumlah anggota paling banyak 5.000 (lima ribu) orang, jumlah modal sendiri paling banyak Rp250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), dan/atau jumlah aset paling banyak Rp2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah);

b.      KUK 2 memiliki jumlah anggota lebih dari 5.000 (lima ribu) orang sampai dengan paling banyak 9.000 (sembilan ribu) orang, jumlah modal sendiri lebih dari Rp250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), dan/atau jumlah aset lebih dari Rp2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah);

c.       KUK 3 memliki jumlah anggota lebih dari 9.000 (sembilan ribu) orang sampai dengan paling banyak 35.000 (tiga puluh lima ribu) orang, jumlah modal sendiri lebih dari Rp15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp40.000.000.000,- (empat puluh miliar rupiah), dan/atau jumlah aset lebih dari Rp100.000.000.000,- (serratus miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000.000,- (lima ratus miliar rupiah); dan

d.      KUK 4 memiliki jumlah anggota lebih dari 35.000 (tiga puluh lima ribu) orang, jumlah modal sendiri lebih dari Rp40.000.000.000,- (empat puluh miliar rupiah), dan/atau jumlah aset lebih dari Rp500.000.000.000,- (lima ratus miliar rupiah). (vide Pasal 4 Peraturan Menteri Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pengawas Koperasi)

Penentuan tingkat KUK sebagaimana dimaksud berdasarkan jumlah anggota, modal sendiri, atau aset tertinggi yang dicapai Koperasi yang bersangkutan.

Bupati/Wali Kota melaksanakan pemantauan dan evaluasi kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor kas yang berkedudukan di wilayahnya untuk melindungi anggota Koperasi dan masyarakat. Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dilaporkan kepada:

a.       Menteri untuk Koperasi dengan wilayah keanggotaan lintas daerah provinsi; dan

b.      Gubernur untuk Koperasi dengan wilayah keanggotaan lintas daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi. (vide Pasal 5 Peraturan Menteri Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pengawas Koperasi)

Sedangkan, kewenangan Otoritas Jasa Keuangan itu diatur sebagaimana ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang menyebutkan bahwa:

“OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

a.       Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b.      Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

c.       Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”

Yang dimaksud dengan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan. (vide Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 21Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan)

Apakah Koperasi termasuk Badan yang Diawasi OJK?

Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor /Pojk.05/2014 tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro, menyatakan bahwa pembinaan, pengaturan, dan pengawasan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dilakukan oleh OJK. Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan, OJK melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian dalam Negeri.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro joPasal 1 Angka 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor /POJK.05/2014 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro, Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.

Pada intinya, OJK dapat melakukan pengawasan terhadap Credit Union yang masuk dalam klasifikasi Lembaga Simpan Pinjam sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 2 dan Angka 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor /POJK.05/2014 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro. Artinya, tidak semua harus berdasarkan badan hukum Perseroan Terbatas, sebagaimana ketentuan tersebut, akan tetapi juga Badan Hukum Koperasi, yang melakukan kegiatan pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan, sebagaimana yang dimaksudkan di atas.

Berikut daftar Lembaga Keuangan Mikro yang Terdaftar di OJK buka di sini.


[1] Prof. Tulus Tambunan, “Pasar Tradisional dan Peran UMKM”, (Bogor: PT Penerbit IPB Press, 2020), 173.

[2] Maria Ana Liwa, “Aspek Hukum Credit Union Di Indonesia”, (Samarinda: Jurnal Ilmu Hukum “THE JURIS” Vol. I, No. 2, Desember 2017, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Awang Long, 2017), 213.

[3] vide Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

[4] vide Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Formulir Isian